• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan teori neo Marxian atau neo konflik

Dalam dokumen teori (Halaman 39-42)

D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik dan Neo-Marxian

4. Pandangan teori neo Marxian atau neo konflik

Sebelum menjelaskan tentang beberapa konsep tentang teori neo-Marxian atau neokonflik, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan teori neo Marxian adalah: (a) teori-teori konflik yang dikemukakan para ilmuwan sosial setelah munculnya teori konflik Marx, dan teori tersebut masih berorientasi pada teori konflik Marx serta sifatnya lebih menyempurnakan asumsi-asumsi Marx tentang konflik sosial dalam hubungannya dengan perubahan sosial di masyarakat; (b) apabila perspektif konflik Marx lebih mendasarkan pada aspek ekonomi sebagai

‘pen-determinasi’ (infra-struktur) semua aspek kehidupan sosial (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, 1986), maka teori neo Marxis beranggapan bahwa faktor kunci konflik bukan semata-mata karena kepentingan ekonomi, tetapi ‘multi-faktor’ (Ritzer, 2001; Kinloch, 2005). Variasi teori Neo Marxian atau neo-konflik ini sangat beragam, antara lain: (a) Determinisme Ekonomi; (b) Marxisme Hegelian; (c) Teori Kritis; (d) Sosiologi Ekonomi Neo-Marxian; (e) Marxisme Berorientasi Historis; (f) Analisis Sosial Neo-Marxian; dan (g) Teori Post-Marxis (Johnson, D.P., 1981; Sztompka, P. 1993).

Pengaruh teori konflik dalam studi sosiologi berada dalam rentang waktu yang sangat panjang (sejak tahun 1818 sampai awal tahun 1960-an). Para tokoh teori konflik antara lain: (a) Karl Marx dan Robert Park, yang dikenal dengan pendekatan ‘Sistemik konvensional’ (revolusionis); (b) Vilfredo Pareto dan Torstein Veblen, yang dikenal dengan ‘Tipe naturalistik konvensional teori konflik’ (revolusionis); (c) Ralf Dahrendorf dan Wright Mills, yang dikenal penganut pendekatan atau aliran ‘Sistemik modern’ (revolusionis); dan (d) Lewis Coser dan David Reisman, yang dikenal penganut model ‘Naturalistik modern’ (fungsionalis-evolusionis) (Kinloch, 2005).

Banyak teoritisi konflik yang masuk dalam kelompok Neo-Marxian atau neokonflik, antara lain: (a) George Lukacs, sumbangan besar Lukacs terhadap teori neo Marxian adalah berupa gagasan tentang ‘reifikasi dan kesadaran kelas’; (b) Antonio Gramsci, dia tetap mengakui faktor ekonomi sebagai penyebab konflik dan revolusi, tetapi ada juga faktor lain yaitu massa perlu mengembangkan ‘ideologi revolusioner’, dan dalam membangkitkan ideologi revolusioner, massa harus ada ‘tokoh intelektual’. Baik Lukacs maupun Gramsci sama-sama memusatkan perhatian pada aspek ‘Gagasan kolektif’ daripada aspek ‘Struktur ekonomi’ sebagai penyebab konflik, sebagaimana pandangan oleh Karl Marx; (c) Henri Lefebvre, dia mengatakan bahwa teori Marxian (neokonflik) perlu menggeser fokusnya dari ‘cara-cara produksi ke produksi ruang’ (dari produksi ke reproduksi). Ruang berfungsi dengan berbagai macam cara untuk mereproduksi sistem kapitalis, struktur kelas di dalam sistem ekonomi. Menurut H. Lefebvre, setiap aksi revolusioner harus berhubungan dengan ‘restrukturisasi ruang’ (Ritzer dan Goodman, 2004); (d) Lewis Coser, menurut Coser bahwa: Konflik meningkatkan penyesuaian sosial; Konflik bermula dari tuntutan rasio penghargaan; Struktur sosial bisa berbentuk tertutup dan terbuka; Tipe-tipe masalah menyangkut pengaruh konflik dan konflik akan menjadi fungsional bagi sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969); dan (e) David Reisman, dia menjelaskan relevansi ‘perubahan demografi’ sebagai fundasi konflik sosial. Baik L. Coser maupun D. Reisman adalah termasuk tokoh teori Neo-Marxis

atau neo konflik (teori konflik modern) yang bersifat naturalistik, makroskopik, organik, evolusioner dan struktural (Kinloch, 2005)

Dalam posisi kajian ini, teori Neo Marxian atau neokonflik yang diuraikan secara singkat adalah teori neokonflik Lewis Coser, yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai ‘teori konflik modern yang bersifat ‘Naturalistik dan evolusioner’. Hal ini bukan berarti hanya teori Neo Marxian L. Coser saja yang cocok untuk dijadikan orientasi teori dalam suatu kajian fenomena sosial-budaya di masyarakat. Berikut beberapa substansi pokok pikiran atau asumsi teori konflik L. Coser, dalam memahami fenomena sosial-budaya antara lain:

a. Konflik akan cenderung meningkatkan daripada menurunkan penyesuaian sosial adaptasi dan memelihara batas kelompok. Konflik bisa bersifat fungsional dan bisa tidak fungsional. Konflik muncul ketika ada akses dari penuntut untuk memperoleh imbalan sesuai dengan kerjanya dalam kehidupan sosial di masyarakat.

b. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (Teori fungsional struktural), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan dinamika hidup, maka kehidupan kelompok memerlukan adanya konflik antar unsur (sub sistem) (teori konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional struktural), perpecahan dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Poloma, M. M. 1979; Cambell, 1994).

c. Struktur sosial berbeda-beda bentuknya. Ada yang berbentuk mobilitas sosial, eksistensi institusi katup keselamatan (savety-valve institutions), konflik institusional, dan toleransi, yang pada tingkatan tertentu memiliki hubungan erat, tingkat berpartisipasi kelompok, dan panjangnya konflik. Jadi, semakin erat sistem stratifikasi, semakin sedikit pulalah institusi katup keselamatan; Semakin rendah institusionalisasi toleran konflik institusional, semakin lebih dekat merajut kelompok, partisipasi kelompok dan apabila perjuangan dalam kelompok lebih lama, lebih intens akan berpotensi menjadi konflik sosial di masyarakat.

d. Konflik yang realistis dalam sebuah struktur sosial yang terbuka memberikan kontribusi penyesuaian struktur yang lebih hebat, fleksibelitas dan integritas sosial. Sebaliknya konflik yang tidak realistis dalam lingkungan yang fleksibel dan tertutup akan menimbulkan kekerasan dan disintegrasi.

e. Pada dasarnya perspektif fungsional struktural dan perspektif konflik adalah ‘saling kait mengkait’ dalam memahami masyarakat secara holistik tentang proses-proses sosial. Menurut teoritikus neokonflik, baik teori fungsional maupun

teori konflik, adalah sama-sama teori parsial (hanya menyinggung satu sisi/ aspek kehidupan) dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di masyarakat.

f. Kehidupan sosial memang memerlukan keserasian fungsi (teori fungsional), tetapi untuk melakukan proses perubahan dan mendorong terjadinya dinamika hidup, maka kehidupan sosial memerlukan adanya konflik antar unsur sosial atau sub sistem (teori konflik). Jadi, konflik dan konsensus (fungsional), perpecahan dan integrasi adalah proses fundamental (sesuatu yang mesti ada) dalam masyarakat, meski porsinya beragam antar kelompok. Atau konflik dan integrasi merupakan bagian integral dalam sistem sosial (Coser and Rosenberg, 1969; Cambell, 1981).

g. Fungsi konflik adalah: (a) konflik antar kelompok dalam memperkokoh solidaritas ingroup, atau bisa juga menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain; (b) konflik dapat mengaktifkan peran individu, yang semula terisolasi menjadi tidak terisolasi, semula pasif menjadi aktif, semula statis menjadi dinamik; (c) konflik juga membantu fungsi komunikasi (artinya fungsi, peran dan batas-batas musuh dengan konflik semakin jelas) antar anggota dalam kelompok atau antar kelompok. Di atas merupakan fungsi konflik yang lebih positif, tetapi konflik juga mempunyai ‘disfungsi’ atau fungsi negatif (Poloma, M. M. 1979; Ritzer dan Goodman, 2004).

h. Ada beberapa konsep penting dari pandangan L. Coser dalam menganalisis tentang konflik dan perubahan sosial-budaya di masyarakat, antara lain: (a) terdapat hubungan yang erat antara struktur sosial masyarakat dengan konflik dan kekuasaan; (b) bahwa bentuk perubahan sosial lebih bersifat evolusi daripada revolusi; (c) bahwa konflik yang mempunyai suatu fungsi tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidupnya (makna fungsional konflik); dan (d) kerangka konflik yang terjadi di masyarakat tidak semata-mata berbasis ekonomi (seperti pandangan Karl Marx), tetapi juga berbasis non ekonomi (Turner, J.H. 1982; Kinloch, 2005).

Dalam dokumen teori (Halaman 39-42)