• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Fenomenologi 1. Fenomenologi dalam perspektif filsafat

Dalam dokumen teori (Halaman 56-61)

Sebelum menjelaskan beberapa pandangan teori fenomenologi terhadap kehidupan sosial-budaya, penulis memandang perlu untuk menguraikan secara singkat tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat. Aliran fenomenologi juga dikenal dalam dunia kajian filsafat, dan diantara tokoh terkenal dari metode atau aliran fenomenologi dalam studi filsafat adalah Edmund Husserl (1859-1938). Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran Husserl tentang fenomenologi dalam perspektif filsafat antara lain:

Pertama, Husserl menolak sikap ‘scientisme’, yang menghadapi fenomena hidup (gejala kehidupan) dengan menggunakan metode eksakta (kuantitatif). Bagi Husserl, objek pertama bagi filsafat bukan dari ‘pengertian hasil rasionalistik’ tentang kenyataan, tetapi dari kenyataan itu sendiri.

Kedua, menurut Husserl, dunia sekitar manusia itu ‘berada’, adalah tergantung oleh proses terjadinya hubungan ‘antar subjektivitas transendental’ dalam komunitas antar individu yang ada dalam komunitas tersebut.

Ketiga, metode Husserl disebut metode fenomenologi, dengan beberapa ciri antara lain: (1) titik tolak metodenya dalam objek dan subjek. Untuk mencapai objek pengertian menurut keasliannya harus dilakukan metode reduksi (pembersihan) dari unsur-unsur yang tidak nyata, misalnya membersihkan pengertian tentang sesuatu dari unsur-unsur tradisi, manusia harus otonom. Jadi, yang dimaksud metode reduksi adalah ‘penundaan segala pengetahuan yang ada tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan berulang-ulang’; (2) objek penyelidikan adalah ‘fenomena’ atau gejala. Fenomena itu adalah data dari gejala yang sederhana, tanpa ditambah hal lain (apa adanya); (3) fenomena alam itu fakta (relasi) yang dapat diterapkan dalam observasi empiris, tetapi fenomenologi Husserl juga dapat berupa pandangan ‘rohani’, namun fenomenologi Husserl tidak sama dengan fenomenologi agama; (4) ‘metode reduksi’ merupakan salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenologis harus bersikap netral atau otonom (tidak terpengaruh) dari teori atau pandangan yang telah ada, artinya diberi kesempatan ‘berbicara tentang dirinya sendiri’.

Keempat, ada tiga reduksi yang ditempuh untuk mencapai realitas fenomena dalam pendekatan fenomenologis, yaitu: (1) reduksi fenomenologis, maksudnya adalah apa yang kita lihat tentang segala sesuatu (misalnya ‘X’) dalam kehidupan sehari-hari kita yakini sebagai kenyataan. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada diluar dirinya (di balik kenyataan ‘X’ yang nampak), dan pemahaman dibalik yang nampak hanya dapat dicapai dengan ‘mengalami secara intuitif’, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan mata itu untuk sementara harus ‘ditinggalkan’, ‘segala subjektivitas disingkirkan’, ‘dibebaskan dari teori-teori yang ada’, sehingga yang muncul dalam kesadaran adalah ‘fenomena itu sendiri’ (hal ini disebut reduksi fenomenologis); (2) reduksi eidetis (inti sari), maksudnya adalah dengan reduksi eidetis, semua segi, aspek dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan (karena aspek dan profil tersebut tidak menggambarkan objek secara utuh). Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga. Hakikat (realitas) yang dicari dalam reduksi eidetis adalah struktur dasar yang fundamental dan hakiki. Dalam reduksi eidetis memberlakukan kriteria kohersi, artinya, pengamatan yang terus menerus terhadap objek harus bisa dipadukan dalam suatu horison yang konsisten; dan (3) reduksi fenomenologi transendental. Reduksi ini tidak lagi mengenai objek, atau fenomena bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Kesadaran dalam fenomenologi transendental, bukan kesadaran empiris (bendawi) lagi, melainkan kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu sebagai ‘subjektivitas’ atau ‘aku transendental’. Dari reduksi fenomenologi transendental inilah yang menyebabkan Husserl oleh para ahli dikategorikan penganut aliran idealisme (Rossides, 1978; Bachtiar, W., 2006)

Kelima, tujuan dari adanya ketiga reduksi tersebut adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi dengan fenomena asli dalam kesadaran. Namun para fenomenolog (murid-murid Husserl) lebih banyak menggunakan reduksi fenomenologi (tidak menggunakan reduksi fenomenologi transendental).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga reduksi tersebut memberikan kejelasan bahwa metode fenomenologi itu menutut ‘manusia tidak begitu saja menerima pengertian dan rumusan tentang sesuatu hal dari teori atau pandangan yang berpaham strukturalis, karena pengertian atau pemahaman tersebut belum menyentuh hakikat dari apa yang kita tuju. Pandangan atau pengertian pertama tentang sesuatu perlu dilanjutkan pada pandangan kedua untuk menghilangkan tabir yang menghalangi pada pandangan pertama, pandangan kedua untuk menemukan

hakikat objek’. Metode fenomenologi ini di era sekarang banyak dipakai dalam studi filsafat, sosial budaya, ideologi, dan politik (Praja, J.S., 2005).

2. Fenomenologi dalam perspektif teori

Menurut para ahli, teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi mempunyai kesamaan pandangan, yang menganggap bahwa ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Oleh karena itu, baik teori fenomenologi maupun teori interaksionis simbolik adalah sering disebut sebagai teori dalam ‘perspektif interpretif’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002).

Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi adalah teori-teori sosiologi yang berparadigma definisi sosial atau berparadigma interpretif. Berikut ini kesimpulan sosiolog Burrell dan Morgan (1994) tentang ciri-ciri pandangan paradigma interpretis dalam memahami fenomena sosial-budaya, antara lain: (1) memahami dunia (masyarakat) seperti apa adanya, atau menuntut pemahaman terhadap realitas sosial berdasarkan kesadaran subjektivitas individu dalam proses-proses sosialnya; (2) dalam studi sosiologi harus memahami fenomena sosial yang terbangun oleh pikiran atau jiwa subjek (individu) secara terus menerus dalam praktek kehidupan sehari-hari (meliputi pandangan, asumsi, nilai, motivasi, tujuan, dan keyakinannya); (3) bersifat nominalis, artinya kehidupan sosial tergantung pada sebutan atau pandangan subjek, dunia sosial eksternal (realitas sosial eksternal) hanyalah sebuah nama atau label. Jadi, yang menentukan sesuatu itu bermakna atau tidak adalah pikiran dan jiwa individu. Disamping itu paradigma ini bersifat anti positivism, voluntaris (manusia sepenuhnya otonom, manusia mempunyai keinginan secara bebas atau sukarela dalam berekspresi); dan (4) berorientasi pada ideologi atau aliran filsafat idealisme. Disamping itu, paradigma ini dalam studi sosiologi bersifat mikro (studi tentang individu dan organisasi yang kecil). Teori-teori sosiologi yang termasuk dalam paradigma ini adalah: teori interaksionis simbolik, teori fenomenologi, teori ethnometodologi, teori tindakan rasional Weber (Soerbakti, R., 1979b; Soeprapto, R. 2002). Fenomenologi dalam perspektif filsafat oleh Husserl tersebut kemudian dikembangkan dalam teori sosiologi oleh Alfred Vierkandt; Alfred Schutz; dan Harold Garfinkel. Kajian tentang teori fenomenologi berikut ini adalah menitikberatkan beberapa pandangan teoritikus fenomenologi Alfred Schutz dan Harold Garfinkel.

Beberapa pokok pikiran teori atau pendekatan fenomenologi versi Alfred Schutz (1899-1959), antara lain: Pertama, Schutz menganalisis tentang fenomena sosial-budaya di masyarakat mendasarkan pada aspek pengalaman-pengalaman individu (hal ini bertolak belakang dengan pandangan teori-teori yang berbasis stuktural). Pandangan Schutz banyak berorientasi pada piranti-piranti filsafat fenomenologi

Edmund Husserl. Schutz menyetujui metode atau pandangan Husserl tentang ‘memahami realitas sosial-budaya dengan menganalisis kondisi ‘batiniah individu’, yakni beragam pengalaman individu tentang fenomena hidup, yang ia sebut ‘arus kesadaran’. Menurut Husserl segala objek kehidupan sosial-budaya dipahami melalui kesadaran pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan ‘apersepsi’ (pemberian makna secara spontan terhadap objek). Jadi, semua kesadaran adalah kesadaran akan sebuah objek, oleh karena itu realitas objek merupakan konstruksi individu (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001

).

Kedua, kesadaran mengkonstruksi tersebut merupakan wujud kemampuan individu dalam merefleksi (yaitu bercermin diri untuk melihat apa sisi negatif dan positif, lalu mengambil langkah ke depan yang terbaik) terhadap beragam fenomena kehidupan sehari-hari. Dengan merefleksikan beragam peristiwa masa lampau dipadu dengan pengetahuan yang ada, individu menganalisis dunia sebagaimana dunia itu tampak pada kesadaran individu, mengidentifikasi dan memeriksa ‘beragam objek’. Jadi, menganalisis terhadap fenomena sosial-budaya di masyarakat harus mendasarkan kepada beragam pengalaman individu yang dihayatinya. Beragam pengalaman individu di masa lalu dan pengetahan yang dimiliki akan menjadi landasan untuk bertindak dan mengambil sikap terhadap ‘dunia kehidupan sehari-hari’. Perpaduan pengalaman dan pengetahuan tersebut akan menghasilkan ‘tindakan bermakna’, artinya individu melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan kesadaran dan terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Menurut Schutz, bahwa manusia hanya bisa mulai memahami makna tindakan individu ketika individu itu melihat kembali pada saat melakukan refleksi. Kemudian manusia dapat menyeleksi unsur-unsur pengalamannya yang memungkinkan untuk melihat tindakan-tindakan dia sendiri yang bermakna (Cambell, T., 1981).

Ketiga, pengalaman masa lalu yang banyak mewarnai tindakan individu merupakan ‘pra-fenomenal’. Bagi Schutz pra fenomenal adalah sesuatu yang fundamental untuk kehidupan manusia sehari-hari. Pengalaman masa lalu dan pengetahuan yang dimiliki individu akan membangun kesadaran untuk melakukan ‘tindakan bermakna’ bagi masa depan. Oleh karena itu kehidupan sehari-hari manusia adalah sebuah ‘orientasi pragmatis ke masa depan’. Manusia adalah makhluk yang berpotensi memunculkan masalah dan menyelesaikan masalah, sehingga manusia selalu membangun ‘kesadaran diri yang aktif/ dinamik’ atau ‘motivasi diri supaya lebih baik di masa depan’. Untuk menyelamatkan atau memecahkan masalah tersebut manusia ‘mendefinisikan’ situasinya, artinya individu harus memutuskan dan menetapkan dalam situasi macam apakah ia berada, untuk bisa memecahkan masalah

dan meraih tujuan. Agar manusia dapat mendefinisikan situasinya, maka manusia berbekal pengalaman dan pengetahuan untuk melakukan ‘identifikasi objek’. Kemampuan individu dalam ‘mengidentifikasi’ sesuatu untuk ‘mendefinisikan’ objek apapun berdasarkan ‘pengalaman dan pengetahuannya’ (misalnya, mobil, rumah, binatang, pohon dan sebagainya), oleh Schutz disebut ‘tipifikasi’ (typification). Jadi, apa yang dilakukan manusia (individu) adalah menyusun sebuah ‘dunia-dunia’ yang ia ‘maksudkan’ dalam kesadarannya sehari-hari, dengan memakai tipifikasi-tipifikasi yang diteruskan kepadanya oleh kelompok-kelompok sosialnya.

Keempat, pandangan Schutz tentang masyarakat antara lain: (1) pada diri manusia ada kesadaran akan kehidupan secara bersama, hal ini merupakan ‘kesadaran sosial’. Kesadaran sosial ini berlangsung dengan dua cara, yaitu: (a) kesadaran ‘mengandaikan’ adanya kegiatan orang lain yang dialami bersama dalam tindakan sosial untuk saling memberi reaksi; dan (b) kesadaran memakai tipifikasi-tipifikasi yang diciptakan dan dikomunikasikan dalam kelompok sosial (kehidupan bersama); (2) sebuah masyarakat adalah sebuah komunitas linguistik. Masyarakat berada melalui simbol-simbol komunikasi timbal balik antar individu. Oleh karena itu kesadaran sehari-hari juga merupakan kesadaran sosial atau kesadaran yang diwariskan secara sosial (dibelajarkan/ disosialisasikan) mengenai masyarakat. Jadi, dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia ‘inter-subjektif’, keberadaan kelompok bukanlah ‘milikku’ tetapi ‘milik kita’, konsep hubungan inter subjektif merupakan hubungan kita (we-relationship); (3) antar individu menjalin hubungan langsung (tatap muka) dan hubungan tak langsung atau hubungan-hubungan mereka (they-relationships) untuk membentuk totalitas masyarakat. Masyarakat adalah sebuah konstruksi tipe-tipe ideal yang didefinisikan menurut fungsi-fungsi individu yang bersangkutan; dan (4) masyarakat sebagai sebuah sistem peran-peran dan institusi-institusi tempat para individu harus menyesuaikan diri. Jadi, masyarakat merupakan produk kultural para individu. Masyarakat merupakan sebuah konsep pragmatif (nilai guna/ manfaat) yang dipakai untuk menata beragam pengalaman individu untuk harapan dan tujuan hidup bersama (Rossides, D. W. 1978; Cambell, T., 1981; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

Salah satu sosiolog yang mendapat pengaruh dari pandangan Schutz adalah Harold Garfinkel (Bachtiar, W. 2006). Berikut ini beberapa pokok pikiran atau pandangan teoritikus Harold Garfinkel, antara lain: Pertama, meskipun Garfinkel mengakui pandangan atau teorinya dipengaruhi oleh pola pikir Max Weber, tetapi pandangan-pandangan Schutz dijadikan sebagai sumber pokok dalam membangun teorinya yang dia sebut ‘teori etnometodologi’. Jadi, Garfinkel tidak menamakan teorinya dengan ‘teori fenomenologi’ seperti Schutz, tetapi menyebutnya ‘teori

etnometodologi’. Pada pokoknya, esensi sudut pandang teori etnometodologi tentang fenomena sosial adalah relatif sama dengan teori fenomenologi, yaitu ‘meletakkan aspek pikiran, jiwa, pandangan atau potensi agen (dimensi internal) sebagai penentu dalam melakukan tindakan sosial dan proses-proses sosial, dan menolak pandangan struktur sosial (dimensi eksternal) sebagai penentu proses-proses sosial di masyarakat’.

Kedua, kajian etnometodologi menekankan bahwa aksi-aksi sosial-budaya dan organisasi sosial diproduksi oleh agen-agen (individu) yang dipahami mampu mengarahkan aksinya (tindakannya) dengan mengunakan rasionalisasi pikiran sehat (common sense) yang sesuai dengan situai atau kondisi yang dialami oleh individu (agen) dalam kehidupan sehari-hari.

Ketiga, Garfinkel dengan teorinya etnometdologi juga sama-sama mempunyai pandangan seperti teori fenomenologi, yaitu menfokuskan pada makna dan bagaimana makna tersebut secara inter-subjektif dikomunikasikan dalam kehidupan sosial. Menurut Garfinkel, bahwa: (a) perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna dari pada langsung kata-kata itu sendiri; (b) perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum; (c) pemahaman secara umum yang menyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara inter-subjektif; dan (c) transaksi dan peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional.

Keempat, menurut Garfinkel setiap peneliti sosial-budaya dalam menganalisis fenomena sosial-budaya harus mengamati dan mempertanyakan pada setiap agen, bagaimana pandangan, motivasi tentang tindakan sosial sehari-hari untuk mendapatkan penjelasan dan pengertian secara benar. Jadi, setiap peneliti harus terlibat aktif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengamati dan memahami makna-makna yang sebenarnya dari proses ‘inter-subjektif’ para agen dalam kehidupan sehari-hari (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Bachtiar, W. 2006).

Dalam dokumen teori (Halaman 56-61)