• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIKRO-SUBJEKTIF Contoh: persepsi,

Dalam dokumen teori (Halaman 74-89)

keyakinan, pandangan/ konstruksi sosial (Skala kecil/ mental)

Dalam kehidupan sosial-budaya selalu tersusun serentetan kesatuan, mulai dari yang berskala besar sampai yang terkecil atau sebaliknya. Di ujung makro dari kontinum adalah, ‘fenomena sosial-budaya berskala besar atau luas, seperti: kelompok luas (contoh, sistem kehidupan kapitalis dan sosialis dunia), kebudayaan (cultural universals) dan masyarakat dunia’. Di ujung mikro dari kontinum adalah, ‘aktor individu, pikiran individu dan tindakan individu’. Sedangkan diantara ujung mikro ke makro, terdapat: bentuk ‘interaksi’ antar individu, kemudian kearah lebih besar yaitu ‘kelompok’, kemudian lebih besar lagi ke ‘organisasi’, kemudian ke ‘masyarakat atau budaya’, kemudian terbesar adalah ‘sistem dunia’. Perhatikan bagan berikut

Gambar 2.3. Tentang garis kontinum mikro-makro, diadopsi dari Ritzer dan Goodman ( 2003)

Disetiap ujung kontinum mikro-makro kita dapat membedakan antara komponen objektif-subjektif. Istilah subjektif disini mengacu pada sesuatu yang semata-mata terjadi hanya di dalam dunia gagasan (idea) individu. Sedangkan objektif berhubungan dengan ‘peristiwa nyata, kejadian material’ dengan lingkup yang luas. Sebuah masyarakat tersusun dari struktur objektif (seperti pemerintahan, birokrasi, teknologi dan hukum) dan fenomena subjektif (seperti nilai, norma, gagasan, pandangan, persepsi individu).

Ujung kontinum objektif (fenomena sosial-budaya objektif), yang mempunyai wujud nyata, wujud materi, misalnya: aktor; tindakan sosial; interaksi sosial; struktur birokrasi; UU atau hukum; aparatur negara, dan sebagainya. Sedangkan ujung kontinum Subjektif, misalnya: Ide, pandangan, persepsi, nilai yang diyakini, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial budaya, norma, motivasi. Kemudian antara ujung objektif dan subjektif adalah ‘tipe campuran’ (ada unsur objektif dan ada unsur subjektif). Perhatikan bagan kontinum objektif-subjektif sebagai berikut:

Mikroskopk Makroskopik Inter-aksi Kelom -pok Orga-nisasi Masy. & Budya Siste m Dunia Objektif Subjektif Aktor; Tindakan; Interaksi; Undang-Tipe Campuran, Kombinasi dalam berbagai Pandangan, Nilai, Norma, Konstruksi pikiran ttg

Gambar 2.4. Tentang garis kontinum Objektif-Subjektif, diadopsi dari Ritzer dan Goodman (2003).

Jadi, setiap peneliti sosial dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya, seharusnya membahas hubungan antara dua kontinum tersebut (kontinum makroskopik-mikroskopik dan kontinum objektif-subjektif), dan yang terpenting adalah ‘representasi skematis hubungan kedua kontinum tersebut dengan empat tingkat utama analisis sosial secara dialektif-integratif”.

Kemudian, bagaimana hubungan antara keempat tingkat utama analisis sosial-budaya dengan ketiga paradigma, yaitu Paradigma: Fakta sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku sosial?. Sebelum menjawab permasalahan ini, hal yang penting perlu diperhatikan adalah, peneliti harus mampu menjelaskan hubungan kesatuan (hubungan integratif atau dialektik) dari model empat tingkat utama, yaitu: (1) makro-objektif, seperti birokrasi; (2) realitas makro-subjektif, seperti nilai; (3) fenomena mikro-objektif, seperti pola interaksi; dan (4) fakta mikro-subjektif, seperti proses konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya (pandangan individu). Di bawah ini gambaran hubungan antara keempat ‘tingkatan utama analisis sosial-budaya dengan keempat paradigma (termasuk paradigma terpadu) menurut G. Ritzer.

Tabel : 2.3 tentang hubungan antara tingkat realitas sosial dengan empat paradigma:

No. Empat Tingkat Realitas Sosial

Paradigma Sosial 1. a. Makro Subjektif

b. Makro Objektif

Fakta Sosial

(Teori Fungsional struktural; Teori Konflik; Teori Sistem;

Teori Sosiologi Makro) Paradigma Terpadu (Lihat gambar 2.2) 2. c. Mikro Subjektif

d. Mikro Objektif

Definisi Sosial

(Teori Aksi Weber; Teori interaksionis simbolik; Teori Fenomenologi)

Perilaku Sosial

(Teori Behavioral sosiologi; Teori Exchange)

Keempat, teori ‘Integrasi paradigma terpadu’ oleh Ritzer dapat dianggap sebagai Exemplar. Menurut Ritzer, ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami, berkaitan dengan penggunaan ‘integrasi paradigma terpadu’ dalam melakukan analisis sosial-budaya, yaitu:

1.

Paradigma terpadu ‘bukan’ dimaksudkan sebagai pengganti paradigma sosiologi yang sudah ada (paradigma fakta sosial; paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial). Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis fenomena sosial-budaya selama tidak ada anggapan bahwa satu paradigma tertentu itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial-budaya di masyarakat secara komprehensif.

2.

Bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempat tingkat

realitas sosial-budaya, yaitu: (a) tingkat makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa; (b) tingkat makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) tingkat mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik dan pertukaran; dan (d) tingkat mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, merasakan, dan konstruksi pikiran individu tentang realitas sosial-budaya. Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara integratif’, artinya setiap persoalan sosial budaya yang dikaji harus diselidiki atau dijelaskan dari empat tingkatan sosial tersebut secara terpadu.

3. Paradigma terpadu disamping menekankan perhatian pada sosiologi modern, yang diarahkan kepada realitas sosial budaya tingkat makroskopik, juga tidak mengabaikan realitas sosial budaya tingkat mikroskopik. Perlu dipahami, bahwa keempat tingkat realitas sosial tersebut adalah pembagian konseptual, bukan menggambarkan kenyataan sebenarnya. Realitas sosial budaya di masyarakat selalu tampil dalam keberagaman, kompleks dan sangat dinamik (terus menerus berubah). Penggambaran dalam analisis sosial budaya ke dalam empat tingkat tersebut tidak bertentangan dengan kenyataan sebenarnya, oleh karena itu setiap peneliti sosial-budaya dituntut untuk lebih memahami secara integral fenomena sosial budaya yang dikajinya. Paradigma terpadu (keempat tingkat) sifatnya saling melengkapi, hal ini memungkinkan bagi peneliti dalam proses pengumpulan data penelitian harus menggunakan beragam cara, metode atau teknik, misalnya: metode wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan sebagainya.

4.

Paradigma terpadu haruslah ‘bersifat historis’. Harus mampu menerangkan keseluruhan realitas sosial dalam semua masyarakat dan sepanjang sejarah (keterkaitan antara fenomena sosial-budaya masa lampau, kini dan akan datang). Paradigma ini harus pula diorientasikan pada studi tentang perubahan sifat realitas

sosial-budaya. Namun perlu diingat, bahwa tekanan hubungan keempat tingkat realitas sosial tersebut antar masyarakat bisa beragam.

5.

Paradigma terpadu harus mengambil ‘manfaat dari logika dialektis’. Diantara ciri logika dialektis adalah: (a) memandang satu sisi manusia sebagai pencipta sebagian besar struktur sosial-budaya dan disisi lain struktur sosial-budaya itu pada gilirannya akan membatasi atau memaksa manusia untuk bertindak sesuai dengan struktur sosial-budaya yang dicipta; (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik (eksternal) dan mikroskopik (internal), (c) tidak menitikberatkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat dialektis/ empat tingkatan realitas sosial seperti pada gambar 2.2); (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya; dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi. Contoh: Marx, memusatkan perhatiannya pada kontradiksi yang ada dalam masyarakat kapitalis; Weber, melihat adanya kontradiksi antara rasionalisasi melawan kebebasan individual; G. Simmel, menyelidiki kontradiksi antara kultur subjektif dan kultur objektif; (Rossides, 1978; Ritzer, 2002; Ritzer dan Goodman, 2003).

Teori integrasi strukturasi Giddens dalam memahami fenomena sosial-budaya Para sosiolog mengatakan, bahwa pada umumnya teoritisi Eropa dalam mencermati feomena sosial-budaya lebih perhatian pada hubungan atau integrasi antara ‘agen dan struktur’. Ada empat contoh utama teori ‘integrasi agen-struktur’ dalam melakukan analisis sosial budaya yaitu: (a) teori strukturasi oleh Anthony Giddens; (b) teori strukturalisme-genesis oleh Pierre Bourdieu; (c) teori morphogenesis, kultur dan agen oleh Margareth Archer; dan (d) teori kolonisasi kehidupan dunia oleh Habermas (Turner, B., 2000).

Menurut Bryan Tunner, Jary, Cohen dan Craib, salah satu upaya yang ‘paling terkenal’ teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah ‘Teori Strukturasi’ oleh A. Giddens, oleh karena itu dalam penjelasan ‘teori integrasi agen-struktur’ berikut ini hanya menjelaskan beberapa prinsip teori agen struktur oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984), mengatakan ‘setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah selalu menyangkut penghubungan tindakan atau agen dengan struktur, tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur ‘menentukan’ agen atau sebaliknya’. Giddens juga mengatakan ‘Bidang mendasar studi ilmu sosial budaya, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan sosial tertentu,

melainkan praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space)’ (Giddens, 1984).

Teori Strukturasi, sebagian mendapat pengaruh dari: (1) teori Marx, khususnya menyangkut konsep peran manusia (agen) dalam menentukan gerak sejarah; (2) pengaruh teori interaksionis simbolik (individu kreatif, dinamik); dan (3) teori fungsional struktural (orientasi masyarakat atau struktur). Menurut Berstein, tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah, untuk ‘menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur’ (Faisal, S., 1998; Priyono, 2002).

Beberapa konsep penting yang perlu dipahami tentang teori integrasi agen-struktur atau ‘teori agen-strukturasi Giddens’ dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984), dalam memahami fenomena sosial budaya antara lain:

a.

Dalam teori ‘strukturasi’, agen dan struktur tidak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu dengan yang lain. Agen dan struktur ibarat ‘dua sisi dari satu keping mata uang’. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas sosial-budaya sehari-hari setiap individu. ‘Tindakan pelaku (agen) dan struktur saling mengandaikan’. Dualitas struktur mengandaikan, bahwa struktur merupakan ‘sarana’ (medium) dan juga ‘hasil’ (outcame) dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Hal ini berarti bahwa saat pelaksanaan atau pengadaan (moment of production) adalah juga saat pelaksanaan atau pengadaan kembali (moment of reproduction). Oleh karena itu Giddens mendifinisikan ‘Strukturasi’ dalam daftar terminologi sebagai ‘strukturasi relasi-relasi sosial yang melintasi waktu dan ruang, berkat adanya dualitas struktur’

b.

Dalam teori strukturasi, praktik sosial atau tindakan sosial manusia itu dapat dilihat

sebagai ‘perulangan’ (rutinization), artinya praktik sosial ‘bukan dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus, mereka ciptakan berulang-ulang melalui suatu cara tertentu, dan dengan cara itu juga individu menyatakan diri mereka sebagai aktor’. Jadi, praktik sosial atau aktivitas sosial-budaya tidak semata-mata dihasilkan melalui kesadaran atau melalui konstruksional pikiran individu tentang realitas (seperti pandangan teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi), juga bukan semata-mata diciptakan oleh struktur sosial (seperti teori fungsional struktural, teori konflik). Tetapi melalui praktik sosial berulang-ulang (rutinization) agen-struktur itulah, baik kesadaran (internal) maupun struktur (eksternal) diciptakan.

c.

Secara umum teori strukturasi memusatkan perhatian pada proses dialektika dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’.

Dalam teori strukturasi, agen atau aktor sosial melakukan refleksi, tetapi peneliti sosial (sosiolog) juga melakukan refleksi dalam mempelajari masalah hubungan agen dan struktur. Oleh karena itu Giddens mengemukakan gagasan yang terkenal yaitu ‘proses penelitian fenomena sosial-budaya perlu menggunakan pendekatan atau metode ‘Hermeneutika ganda’, artinya, baik agen (aktor sosial) maupun peneliti sosial sama-sama menggunakan bahasa, yaitu: (a) aktor sosial, menggunakan bahasanya untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan sehari-hari, dan (b) peneliti sosial-budaya, menggunakan bahasanya untuk menerangkan tindakan aktor sosial yang ditelitinya. Jadi, perlu diperhatikan untuk mengkombinasikan antara bahasa awam (para agen praktik sosial) dan bahasa ilmiah (para peneliti).

d.

Dalam teori strukturasi Giddens, terdapat lima komponen (elemen) penting yang perlu dipahami, yaitu: (1) konsep agen; (2) konsep struktur dan sistem sosial; (3) konsep waktu-ruang (time-space); (4) konsep rutinisasi (routinization); dan (5) konsep strukturasi (Giddens, 1984). Berikut ini akan dijelaskan singkat tentang kelima konsep tersebut

Pertama, konsep atau pemikiran tentang ‘agen’. Agen dalam pandangan Giddens adalah: (a) agen atau aktor sosial terus menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka dalam kehidupan sehari-hari; (b) agen (pelaku) menunjuk pada orang kongkret dalam ‘arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia’; (c) dalam upaya mencari rasa aman, aktor atau agen merasionalkan kehidupan (aktivitas) mereka. Menurut Giddens, yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah ‘mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka secara efisien’; (d) agen atau aktor juga mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini berupa keinginan atau hasrat untuk bertindak (potensi untuk bertindak). Jadi, ‘rasionalisasi, refleksivitas terus menerus terlibat dalam tindakan, sedangkan motivasi sebagai potensinya’.

Dalam diri ‘aktor atau agen’ terdapat ‘kesadaran’. Giddens membedakan tiga dimensi internal pelaku (kesadaran atau motivasi individu) yaitu: (1) ‘motivasi tidak sadar’ (unconscious motives), yaitu menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukanlah tindakan itu sendiri; (2) ‘kesadaran diskursif’ (discursive consiousness), yaitu mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberi penjelasan eksplisit atas tindakan kita (tindakan melalui hasil agumentasi pikiran yang rasional); (3) ‘kesadaran praktis’ (practical consciousness), yaitu menunjuk pada gugus pengetahuan praktik yang selalu bisa

diurai (tidak perlu argumentatif). Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami teori strukturasi (Faisal, 1998). Batas antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif ‘sangatlah lentur dan tipis’, tetapi tidak seperti antara ‘kesadaran diskursif’ dan ‘motivasi tidak sadar’, yang relatif jelas perbedaannya. Jadi, kesadaran diskursif, memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata secara rasional. Kesadaran praktis, melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Tipe ‘kesadaran praktis’ inilah yang sangat penting bagi teori strukturasi. Kesadaram praktis agen inilah yang membuat transisi halus dari ‘agen’ ke ‘agensi’ (agency). Agensi (keagenan atau peranan individu), adalah ‘sesuatu yang sebenarnya atau seharusnya dilakukan oleh agen’. Keagenan berarti peran-peran individu atau kejadian yang dilakukan oleh individu, misalnya: Peran seorang dosen adalah mengajar, membimbing mahasiswa, meneliti dan sebagainya, peran petani adalah membajak, menanam padi, memanen padi dan sebagainya. Giddens sangat menekankan arti penting keagenan dalam teorinya.

Menurut Giddens, agen juga ‘sering’ bertindak tidak sesuai dengan tujuan semula atau sering tindakan yang sengaja dilakkan melahirkan akibat yang tidak diharapkan. Disamping itu agen juga mempunyai kemampuan atau kekuasaan untuk menciptakan ‘pertentangan’ dalam kehidupan sosial, bahkan Giddens mengatakan, bahwa agen atau aktor tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan untuk menciptakan pertentangan. Jadi, agen atau aktor akan berhenti jadi agen apabila ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Menurut Giddens, kekuasaan untuk menciptakan pertentangan ini bersifat logis mendahului subjektivitas, karena tindakan melibatkan kekuasaan (kemampuan) untuk mengubah situasi (Ritzer dan Goodman, 2003).

Kedua, konsep tentang ‘struktur dan sistem sosial’. Menurut Giddens, struktur dan sistem sosial dapat dipahami sebagai berikut: (a) struktur didefinisikan sebagai ‘properti-properti yang berstruktur (aturan dan sumber daya)’. Struktur hanya akan terwujud karena adanya aturan dan sumber daya, atau struktur dipahami sebagai ‘kumpulan aturan dan sumber daya yang berulangkali terorganisasikan’ (recursively organized sets of rules and resources). Struktur itu sendiri ‘tidak ada dalam ruangan dan waktu’, karena struktur ‘hanya ada di dalam dan melalui akivitas agen manusia’. Tidak ada struktur bila tidak ada aktivitas manusia. Jadi, definisi struktur menurut Giddens tidak sama dengan definisi struktur menurut para teoritikus fungsional struktural. Menurut teoritikus Fungsional struktural dan teori konflik, struktur adalah ‘sesuatu yang berada di luar (eksternal) aktor atau individu dan memaksa (determinis) pada aktor dalam aktivitas sosial’. Bagi Giddens, struktur adalah ‘apa

yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan sosial, ada faktor agen yang juga ikut menentukan’. Jadi, struktur adalah ‘aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk keterulangan praktik sosial’. Struktur, bukanlah benda melainkan ‘skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial’. Skemata mirip ‘aturan’ yang merupakan hasil (out came) dan sekaligus menjadi ‘sarana’ (medium) bagi berlangsungnya praktik sosial kita. Struktur, bukan bersifat mengekang (constraining) individu (seperti pandangan teori fungsional struktural), tetapi bersifat ‘memberdayakan’ (enabling) (Giddens, 1984).

Sedangkan konsep struktural, menurut Giddens mempunyai tiga gugus besar, yaitu: (1) struktur ‘signifikasi’ (signification) menyangkut skemata simbolik, penyebutan terhadap sesuatu dan wacana tentang sesuatu yang dilakukan aktor (agen); (2) struktur ‘dominasi’ (domination), yang mencakup skemata penguasaan atau wewenang terhadap orang lain (aspek politik) dan penguasaan terhadap barang (aspek ekonomi); (3) struktur ‘legitimasi’ (legitimation) yang mencakup skemata peraturan-peraturan normatif yang terungkap dalam tata hukum, untuk menata proses-proses sosial di masyarakat.

Kemudian konsep sistem sosial. Pengertian sistem sosial menurut Giddens, ‘mirip’ dengan pengertian stuktur dalam pandangan konvensional (teori fungsional struktural atau teori konflik). Sistem sosial menurut Giddens adalah sebagai praktik sosial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi antara aktor(egen) dan kolektivitas (kelompok) yang diorganisir sebagai praktik sosial tetap. Sistem sosial ‘tidak mempunyai’ struktur, tetapi dapat memperlihatkan ciri-ciri strukturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial yang direproduksi. Sistem sosial oleh Giddens dilihat baik sebagai ‘media’ maupun sebagai ‘hasil tindakan aktor’ dan sistem sosial yang secara berulang-ulang (regulation) mengorganisisr kebiasaan aktor. Jadi, sistem sosial ‘merupakan institusionalisasi dan regularisasi praktik-praktik sosial’ dalam kehidupan sehari-hari (Giddens, 1984).

Ketiga, konsep waktu dan ruang (time and space) dan rutinisasi (routinization). Ada beberapa prinsip Giddens dalam memahami waktu dan ruang menurut teori strukturasi, antara lain: (a) ruang dan waktu, merupakan variabel (unsur) penting dalam teori strukturasi. Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik subjek maupun objek sosial (Faisal, 1998). Banyak teoritisi sosial menganggap ruang dan waktu cenderung diperlakukan sebagai ‘lingkungan’ (environments)

tempat ketika suatu tindakan sosial dilaksanakan, atau sebagai salah satu ‘faktor tidak tetap’, sedangkan menurut teori ‘trukturasi adalah, ‘ruang dan waktu secara integral turut membentuk tindakan atau kegiatan sosial’. Sistem sosial berkembang atau meluas menurut waktu dan ruang, sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir pada waktu yang sama dan di ruang yang sama. Menurut Bryand and Jary, prestasi Giddens yang diakui oleh para ilmuwan adalah analisisnya tentang ‘upaya mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam analisa sosial’ (Ritzer dan Goodman, 2003).

Giddens membedakan tiga dimensi waktu, yaitu: (1) duree, pengalaman hari demi hari (reversible time), yaitu berkenaan dengan keberlangsungan waktu pengalaman atau kegiatan hari demi hari yang dapat dibalik, misalnya berangkat dari rumah, berada di jalan, sampai keadaan di kantor, kemudian pulang dari kantor, berada di jalan, sampai di rumah kembali; (2) jangka hidup individual (irreversible time), yaitu berkenaan dengan rentang waktu kehidupan individu yang tidak dapat dibalik, misalnya lahir-hidup-mati; (3) longue duree, lembaga-lembaga, yaitu berkenaan dengan waktu keberlangsungan jangka panjang dan dapat dibalik dari lembaga-lembaga atau waktu kelembagaan (institutional time) yang merupakan baik syarat (condition) maupun hasil (outcame) kegiatan-kegiatan sosial yang terpola dalam kontinuitas hidup sehari-hari.

Waktu tidak dapat dipisahkan dari ruang, karena kontekstualitas kehidupan sosial menyangkut baik ruang maupun waktu, ‘seluruh kehidupan sosial terjadi didalam, dan terbentuk oleh, persimpangan kehadiran dan ketidakhadiran dalam memudarnya waktu dan berubahnya tempat’. Bahwa tubuh manusia ‘tidaklah menempati ruang dan waktu dalam arti sama seperti benda-benda material lain yang berada dalam ruang dan waktu’. Jadi, posisi tubuh manusia paling baik dipahami sebagai ‘tubuh aktif, kreatif yang terarah pada tugas-tugasnya’ atau sebagai ‘pengambilan posisi’ (positioning). Ruang atau tempat (space) dalam teori strukturasi tidak dapat sekedar dipahami untuk menunjuk suatu ‘titik dalam ruang’ (point in space), tetapi lebih dipahami dengan istilah ‘tempat peristiwa’ (locale) yang merujuk pada pemakaian ruang sebagai ‘latar interaksi’ (setting of interaction) (Giddens, 1984). Istilah locale erat hubungannya dengan konsep regionalisasi (regionalization) dalam geografi waktu, yakni lebih menunjukkan pada penempatan wilayah ruang-waktu sehubungan dengan kegiatan sosial yang dirutinisasikan (zoning of time-space in realtion to routinized social practices), misalnya; ada ruang kerja, ruang makan, ruang tamu, ruang tidur dan sebagainya, yang hal-hal tersebut menunjukkan adanya pembentukan sistem-sistem interaksi.

Keempat, konsep penting lain dalam teori strukturasi adalah ‘rutinisasi’ (routinization), karena yang rutin adalah elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari, ‘istilah hari demi hari’ mengungkapkan dengan tepat sifat terutinisasi yang diperoleh kehidupan sosial yang terentang melintasi ruang dan waktu. Keterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-pisah atau sekedar sekumpulan tindakan, atau tindakan manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan. Tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan waktu. Interaksi sosial dipelajari dalam rangka kehadiran bersama (co-presences). ‘Ingatan’ adalah aspek penghadiran (presencing) dan cara mendiskusikan kemampuan pengetahuan (knowledge-ability) pelaku manusia. Ingatan tidak menunjuk pada pengalaman masa lalu, dan bukan pula pemanggilan kembali masa lalu ke masa kini. ‘Persepsi’ bukan lah kumpulan persepsi-persepsi tetapi ‘aliran kegiatan’ (flow of activity) yang diintegrasikan dengan gerakan tubuh dalam ruang dan waktu. Regulation (keterulangan terus menerus), atau rutinisasi (routinization) akan melahirkan rasa aman ontologis (ontological security) sehubungan dengan masa depan individu. Sedangkan situasi kritis dalam kehidupan sosial dapat mengacaukan rutinitas yang dapat diramalkan dan menghancurkan rasa kedatangan masa depan (futural sence) (Giddens, 1984; Priyono, 2002).

Kelima, konsep strukturasi. Pemahaman terhadap konsep strukturasi ini menjadi kunci dalam teorinya Giddens. Beberapa hal penting yang dapat dipahami tentang ‘strukturasi’ adalah: (a) konsep strukturasi mendasarkan pemikiran bahwa ‘konstitusi agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi mencerminkan dualitas; (b) strukturasi meliputi ‘hubungan dialektika’ antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya; (c) rutinisasi merupakan elemen dasariah kegiatan sosial sehari-hari. Atau teterulangan merupakan bahan dasar kehidupan sosial (the recursive nature of soial life). Tindakan sosial dipandang sebagai ‘suatu proses’ dan bukan tindakan terpisah-pisah, tindakan manusia dinilai sebagai ‘aliran terus menerus’ (on going flow) kegiatan-kegiatan; dan (d) tindakan manusia sangat terkait dengan ruang dan waktu (time and space). Setiap kegiatan sosial ‘mencengkram’ ruang dan waktu (biting into space and time), serta berada pada akar pembentukan baik subjek maupun objek sosial. Jadi, ‘ruang dan waktu secara integral turut membentuk

Dalam dokumen teori (Halaman 74-89)