• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Posmodern

Dalam dokumen teori (Halaman 61-68)

Uraian singkat tentang pandangan teori postmodern berikut ini diawali dari pembahasan singkat tentang dua hal, yaitu: Pertama, pengertian tentang post-modernisme; dan Kedua, beberapa pandangan teori post-modern tentang fenomena sosial budaya

Pengertian post-modernisme

Istilah ‘post-modern’ pertama kali muncul pada tahun 1930 yang dipakai oleh Federico de Onis dalam bidang seni, kemudian berikutnya istilah ‘post-modernisme’ dipakai di bidang historiografi oleh sejarawan A. Toynbee pada tahun 1947 (Sugiharto, B., 1996). Menurut para ahli, tidak ada definisi atau pengertian yang sama tentang

post-modernisme yang dikemukakan oleh para ahli, karena setiap bidang kajian (disiplin ilmu) telah mendefinisikan post-modernisme sesuai dengan sudut pandang bidang kajian atau keilmuan masing-masing, contoh, pengertian post-modernisme menurut seorang seniman atau sastrawan akan berbeda sudut pandangnya dengan seorang ahli dibidang arsitektur, atau berbeda dengan sosiolog, ekonom, politikus, filosof, dan sebagainya.

Berikut ini merupakan beberapa konsep tentang pengertian post-modernisme, ditinjau dari beberapa bidang kehidupan, antara lain:

1. Post-modernisme, bermakna hilangnya batas antara seni dan kehidupan, hilangnya batas budaya tinggi dan budaya rendah yang dikonsepsikan oleh modernisme, peleburan segala batas yang diusung oleh modernisme. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi seni-budaya.

2. Post-modernisme, bermakna munculnya atau berkembangnya kecenderungan pola kehidupan yang bertolak belakang dengan segala macam gaya hidup modern, bebasnya daya naluri setiap individu, membumbungnya kesenangan material individu, tingginya intensitas ketegangan struktural masyarakat akibat pola hidup modern. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi sosial-ekonomi.

3. Post-modernisme, bermakna logika kultural yang membawa transformasi budaya secara terus menerus disemua unsur-unsur budaya pada umumnya. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi kebudayaan.

4. Post-modernisme, bermakna adanya dominasi teknologi reproduksi dalam jaringan-jaringan global kapitalisme multikultural dengan berbasis teknologi informatika dan komunikasi. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme dintinjau dari segi teknologi-ekonomi.

5. Post-modernisme, bermakna peleburan segala batas, wilayah dan keberagaman budaya tinggi-rendah, penampilan dengan kenyataan, terjadinya intensifikasi dinamisme hidup dalam segala hal, upaya tidak henti-hentinya melakukan inovasi, eksperimentasi dan revolusi sosial secara terus menerus. Hal ini berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi sosial.

6. Post-modernisme, bermakna ketidakpercayaan segala bentuk narasi besar (generalisasi konsep yang diusung modernisme), penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang baku (mentalisasi) seperti: Hegelianisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme dan sebagainya, atau post-modernisme merupakan suatu paham yang menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas beragam paradigma (paham-paham) modernisme. Hal ini

berarti pengertian konsep post-modernisme ditinjau dari segi filsafat (Sugiharto, B., 1996).

Diantara faktor penyebab kekaburan makna istilah ‘post-modernisme’ adalah adanya awalan ‘post’ dan akhiran ‘isme’. Awalan ‘post’ dalam post-modernisme adalah untuk menunjukkan pada situasi waktu dan tata sosial sebagai produk teknologi informasi, globalisasi, gaya hidup cenderung hedonis, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar, usangnya negara-bangsa, dan penggalian kembali beragam inspirasi tradisi lokal. Sedangkan akhiran ‘isme’ dalam post-modernisme adalah untuk menunjuk pada paham, pandangan, atau kritik-kritik filosofis, atau gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern yang dianggap telah mapan.

Pandangan teori post-modern tentang fenomena sosial

Menurut para ahli, ilmuwan sosial yang dapat dikategorikan sebagai tokoh dan pendukung teori post-modern, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) kelompok teoritikus post-modern dekonstruktif, antara lain: Derrida; Lyotard; Foucault; Rorty; dan Baudrillard; dan (2) kelompok teoritikus post-modern konstruktif (revisioner), antara lain: Heidegger; Gadamer; Recoeur; Mary Hesse; dan Jomeson. Dalam perdebatan di kalangan ilmuwan sosial di Indonesia, kelompok kedua (kontruktif atau revisioner) tidak banyak disinggung dalam berbagai kegiatan, kajian, atau diskusi ilmiah, karena pandangan kelompok post-modern konstruktif ini mempunyai kecenderungan tidak berseberangan secara ekstrim dengan modernisme, atau tidak memposisikan tentang perbedaan modernisme dengan post-moderinsme bagaikan langit dan bumi atau bagaikan hitam dan putih, tetapi kelompok post-modernisme kontruktif memandang bahwa ‘post-modernisme hanyalah kritik imanen yang hendak mengoreksi atau merevisi beberapa kelemahan atau kekurangan dari pandangan-pandangan modernisme yang lekat dengan kemapanan, kebakuan, keuniversalan (Sugiharto, B., 1996). Berikut ini akan dikemukakan beberapa pokok pandangan teoritikus post-modern Jomeson dan Baudrillard.

Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Fredric Jomeson (1984), antara lain: Pertama, pandangan Jomeson oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada paham teori post-modern yang bersifat ‘moderat’, artinya ‘tidak ada pemisahan waktu secara radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas, keduanya mempunyai hubungan atau kesinambungan dalam proses-proses kehidupan’. Oleh karena itu Jomeson, menolak pandangan kalangan teoritikus post-modern ‘radikal’ (misalnya Lyotard dan Baudrillard), bahwa ‘teori Marxian adalah narasi besar , par-excellence, sehingga dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan post-modernitas’. Bagi Jomeson, teori Marxian merupakan teori yang mampu menawarkan penjelasan terbaik tentang post-modernitas. Jomeson termasuk teoritikus Marxian, oleh karena itu

dia menilai tentang kapitalisme, bahwa ‘kapitalisme menciptakan pembebasan dan kemajuan yang sangat berharga, tetapi pada waktu bersamaan kapitalisme meningkatkan penindasan dan alienasi kehidupan sosial’.

Kedua, menurut Jomeson, ada tiga tahap dalam sejarah kapitalisme, yaitu: tahap pertama adalah kapitalisme pasar (munculnya pasar nasional); tahap kedua, adalah imprialis (munculnya jaringan kapitalis global); dan tahap ketiga adalah kapitalisme akhir (munculnya ekspansi kapital luar biasa). Analisis Jomeson tentang teori post-modern adalah berbasis pada analisis kultur ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh model basis konsep infrastruktur dan suprastruktur karya Karl Marx. Jadi, Jomeson menghubungkan antara kultur realitas dengan kapitalisme pasar, kultur modernis dengan kapitalisme monopoli (imprialis), dan kultur post-modern dengan kapitalisme multinasional (kapitalisme akhir atau kapitalisme modern).

Ketiga, bagi Jomeson, masyarakat post-modern mempunyai beberapa ciri, antara lain: (1) produk kultural masyarakat post-modern banyak ditandai oleh serba dangkal dan sulit dipelajari makna kedalamannya, karena sulit dibedakan yang asli dan palsu; (2) kehidupan masyarakat post-modern banyak ditandai oleh sikap kepura-puraan dan kelesuan emosi. Kehidupan post-modern, alienasi telah digantikan oleh fragmentasi, sehingga kehidupannya ‘mengambang bebas dan impersonal’; (2) kehidupan post-modern ditandai oleh hilangnya makna kesejarahan. Hilangnya kesejarahan ini menyebabkan ‘kanibalisasi acak semua masa lalu’. Pemikiran post-modern bersifat pastiche, yaitu pemikiran yang kadang-kadang kontradiktif dan membingungkan tentang makna masa lalu. Padahal realitas kehidupan membuktikan bahwa ‘kehidupan sosial budaya masa lalu mempunyai keterkaitan erat dengan masa kini dan masa akan datang’; (3) terdapat sejenis teknologi baru yang berkaitan erat dengan masyarakat post-modern, yaitu teknologi reproduksi dominan, misalnya dominannya media elektronika dan komputer yang canggih dalam segala aspek (Ritzer, G. 2003).

Jadi, Jameson menilai, bahwa kehidupan manusia di era post-modern adalah terkatung-katung dan tidak mampu memahami sistem kapitalis multinasional atau pertumbuhan kultur yang meledak-ledak di tempat mereka hidup’. Oleh karena itu bagi Jameson masalah sentral dalam kehidupan post-modern adalah ‘kehilangan kemampuan manusia untuk menempatkan dirinya sendiri dalam ruang (space) dimana dia hidup dan untuk meletakkannya secara kognitif’ (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003).

Beberapa pokok pikiran teori post-modern versi Jean Boudrillard antara lain: Pertama, pandangan Boudrillard oleh para teoritisi sosial dikelompokkan pada paham teori post-modern yang bersifat ‘radikal’, artinya ‘terdapat pemisahan waktu secara

radikal (mutlak) antara modernitas dengan post-modernitas’. Boudrillard menolak seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu, dan dia memusatkan perhatiannya pada upaya menganalisis masyarakat masa kini yang menurutnya tidak lagi didominasi oleh produksi, tetapi lebih didominasi oleh ‘media, model sibernetika dan sistem pengendalian komputer, pemrosesan oleh teknologi informasi, industri hiburan dan kemajuan ilmu pengetahuan (science)’. Menurut Boudrillard kehidupan masyarakat modern mengalami proses diferensiasi, maka kehidupan post-modern dapat dipandang mengalami proses de-diferensiasi (Ritzer, G. 2003).

Kedua, menurut Boudrillard kehidupan post-modern ditandai oleh simulasi atau ‘manusia hidup di abad simulasi’. Proses simulasi mengarah kepada penciptaan reproduksi objek atau peristiwa, sehingga semakin sulit membedakan yang asli dan yang palsu (dunia imitasi yang luar biasa di berbagai aspek). Jadi, simulasilah yang menggambarkan sesuatu yang nyata, yang menjadi utama dan yang berkuasa. Kehidupan manusia menjadi budak simulasi, yang membentuk sistem lingkaran yang tidak berujung pangkal.

Ketiga, kehidupan sosial-budaya post-modern oleh Boudrillard dilukiskan sebagai hiperrealitas, artinya informasi tentang segala aspek kehidupan didominasi oleh teknologi informasi media (TV, Internet, Tabloid, Surat Kabar), sehingga informasi media sering dianggap sebagai realitas sosial-budaya, bahkan isi informasi media melebihi dari realitas itu sendiri. Sering masyarakat tidak menyadari telah disuguhkan kebohongan dan distorsi realitas yang diusung oleh media (fenomena inilah disebut hiperrealitas). Akibatnya adalah ‘bahwa apa yang nyata (realitas sosial-budaya) disubordinasikan), dan terasa semakin sulit membedakan mana informasi realitas sosial-budaya yang nyata dengan realitas yang sekedar tototan (info-komersial).

Keempat, bagi Boudrillard, era post-modern telah menyuguhkan perubahan kultur (budaya) yang bersifat revolusi besar-besaran dan dapat dianggap sebagai bencana besar. Revolusi kultural (revolusi budaya) itu menurut Boudrillard menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin aktif (memberontak) seperti pandangan Karl Marx. Massa yang pasif, ketidakacuhan, apatis merupakan gambaran yang tepat untuk melukiskan adanya kejenuhan massa terhadap apa yang dilakukan media, simulasi, dan hiperrealitas. Kondisi kehidupan seperti ini melukiskan massa sebagai sebuah ‘lubang hitam’. Menurut Kellner, visi teori post-modern Boudrillard adalah ‘ledakan makna dalam media terhadap realitas; ledakan kehidupan sosial ke dalam massa; ledakan massa ke dalam lubang hitam nihilisme; dan ketidakbermaknaan kehidupan’.

Uraian singkat pandangan teori post-modern Boudrillard tersebut terasa cukup untuk memposisikan Boudrillard sebagai teoritikus post-modern radikal. Dia menolak

seluruh gagasan yang membatasi disiplin ilmu. Dia menilai kehidupan post-modern atau masyarakat masa kini sebagai kultur yang mati, disamping itu kehidupan masyarakat masa kini sudah mulai kelihatan terlalu primitif. Kehidupan masyarakat masa kini (seperti Amerika Serikat) oleh Boudrillard dianggap tidak mungkin terjadi reformasi sosial, yang terlihat adalah malapetaka kehidupan simulasi, hiperrealitas, dan ledakan segala sesuatu ke dalam ‘lubang hitam’ yang tidak dapat dimengerti (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003; Ritzer, G. 2003).

Beberapa kritik terhadap teori post-modern

Beberapa kritik yang dikemukakan para ahli tentang pandangan teori post-modern, antara lain: Pertama, diantara penyebab terjadinya pandangan negatif terhadap post-modernisme, antara lain: (a) kecenderungan adanya pandangan umum yang menyamakan asumsi-asumsi post-modernisme itu dengan asumsi-asumsi kelompok post-strukturalis yang pada umumnya adalah kaum neo-Nietzschean, atau post-modernisme diidentikkan dengan kaum dekonstruksionis, yaitu kerjanya ‘hanya mengbongkar-bongkar segala tatanan sosial-budaya yang ada dan menihilkan segala sesuatu yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat; (b) post-modernisme sering dinilai atau dipandang memiliki makna yang ‘ambigu’ (pengertian yang sangat longgar dan memungkinkan adanya multitafsir). Ambiguitas dan kelonggaran makna terhadap post-modernisme, adalah relevan atau sesuai dengan sulitnya mendefinisikan istilah ‘modern atau kemodernan’ itu sendiri. Makna istilah ‘modern’ atau ‘kemodernan’ juga memungkinkan adanya multitafsir di kalangan ilmuwan sosial, artinya makna atau arti ‘modern’ akan memberikan pengertian dan penafsiran yang berbeda dari sudut politik, ekonomi, ideologi, bahasa, nilai-norma budaya, hukum, agama, pendidikan, teknologi, dan sebagainya (Sugiharto, B., 1996). Contoh tentang terjadinya multitafsir tentang makna ‘negara modern’, yaitu suatu negara tertentu (X) bisa dikatakan sebagai ‘negara/ masyarakat modern’ ditinjau dari segi teknologi, tetapi bisa juga negara (X) tersebut belum bisa disebut sebagai negara modern apabila ditinjau dari segi norma budaya dan agama.

Kedua, teori post-modern dikritik karena kegagalannya untuk berbuat sesuai dengan standar ilmiah modern (standar saintis yang dihindari oleh post-modern). Ide-ide post-modern tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset-riset empirik, ilmiah (saintis), dan paradigma objektivis. Semua standar saintis modern ditolak oleh post-modern. Ide-ide teori post-modern tidak menawarkan narasi besar, tetapi potongan-potongan gagasan yang sering kelihatan kontadiksi satu sama lain; Ketiga, karena pengetahuan yang dihasilkan oleh post-modern tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh ide-ide saintis, kebenaran empirik (objektivis), melainkan subjektivis, maka ide-ide kebenaran post-modern lebih bersifat ideologis, sehingga dibicarakan itu bukan ide-ide

itu benar atau tidak, melainkan apakah manusia percaya atau tidak terhadap ide tersebut. Keempat, karena kerangka berpikir post-modern tidak didasarkan pada norma dan logika saintis (logika deduktif), maka post-modern bebas untuk melakukan apa yang mereka suka, ada yang menyebut post-modern ‘bermain-main’ dengan berbagai macam ide. Oleh karena itu generalisasi umum (luas) yang ditawarkan post-modern sering tidak berkualitas menurut standar positivisme. Oleh karena itu asumsi-asumsi post-modern tentang fenomena sosial-budaya sulit diterima oleh kalangan saintis sosial; Kelima, ide-ide post-modern tentang fenomena hidup sering kali sangat kabur dan abstrak, sehingga sulit ditangkap atau dipahami secara logis sistematis dan objektif, karena konsep-konsep dasar ide post-modern sering berubah-ubah.

Keenam, dalam analisisnya, teoritisi sosial post-modern sering kali melancarkan kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan validitasnya, karena pada umumnya kritik mereka kekurangan basis normatif (landasan ilmiah) untuk membuat penilaian; Ketujuh, karena pandangan teori post-modern menolak pendekatan subjek dan subjektivitas, maka teori post-modern sering kali kekurangan suatu teori tentang agen (subjek). Disamping itu teoritisi sosial post-modern paling-paling bisa mengkritik masyarakat, tetapi kekurangan visi tentang bagaimana masyarakat itu seharusnya, karena teori post-modern cenderung bersifat sangat pesimis dalam menyikapi atau menilai proses kehidupan; dan Kedelapan, sering teoritisi sosial post-modern menilai dirinya telah terlibat pada kajian isu-isu sosial utama, tetapi dalam kenyataannya mereka sering mengabaikan hal-hal yang dianggap sebagai problem penting di masa sekarang (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003).

Meskipun banyak sisi negatif atau titik kelemahan dari teori post-modern sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kehadiran teori post-modern memberikan sisi-sisi positif khususnya bagi perkembangan wacana teori sosiologi modern, antara lain: (1) kehadiran teori post-modern mendorong tumbuhkan budaya kritik konstruktif bahkan kritik dekonstruktif terhadap pandangan teori-teori sosiologi konvensional dalam memahami fenomena sosial yang bersifat statis dan terstruktur. Hal ini tentu dapat mendorong terjadinya dinamika pemikiran kritis dalam memahami fenomena sosial-budaya yang sangat kompleks; (2) teori post-modern yang menolak adanya ‘narasi besar atau narasi makro’, dan menawarkan ‘narasi lokal atau narasi mikro’, secara tidak langsung telah menambah beragam khasanah perspektif bagi para teoritikus sosial dalam memahami fenomena sosial budaya yang sangat dinamik; dan (3) teori post-modern yang menolak adanya ‘kebakuan orientasi atau pandangan, kepatuhan dalam orientasi dan interpretasi terhadap teori-teori konvensional yang telah ada’, akan mendorong munculnya keterbukaan beragam interpretasi baru (diferensiasi

pandangan), sehingga kehidupan mampu menyajikan diferensiasi multi aspek (Ritzer, G. 2003).

Dalam dokumen teori (Halaman 61-68)