• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Sosial Budaya Dalam Perspektif Teori Integrasi

Dalam dokumen teori (Halaman 68-74)

Pembahasan tentang perspektif teori integrasi dalam memahami fenomena sosial budaya berikut ini, hanya menyinggung tentang tiga hal, antara lain: Pertama, embrio atau cikal bakal munculnya teori integrasi; Kedua, beberapa pandangan teori integrasi ’mikro-makro’ Ritzers; dan Ketiga, beberapa asumsi teori integrasi ’strukturasi’ Giddens .

Embrio munculnya teori integrasi

Ditinjau dari segi ‘analisis sosial-budaya’, para ahli ilmu sosial membedakan menjadi dua macam pendekatan kajian atau analisis terhadap fenomena sosial budaya, yaitu: Pertama, analisis teori mikro dan; Kedua, analisis teori makro. Analisis teori mikro, memandang individu (subjek) sebagai sentra dan penentu atau penggerak proses-proses sosial budaya di masyarakat. Sedangkan analisis teori makro, memandang struktur sosial atau faktor eksternal, atau masyarakat (objek) menentukan berbagai proses sosial dan budaya individu di masyarakat (Sanderson, 1991; Salim, A. 2002). Diantara teori-teori ekstrem makro yang paling terkemuka di abad 20 adalah: (a) teori determinisme kultural (teori fungsional-struktural) oleh Talcott Parsons (1966), tetapi Parsons juga sedikit menyinggung adanya integrasi mikro-makro, hanya konsep mikro dalam teorinya Parsons kurang memberikan peran individu secara merdeka atau bebas berkreativitas; (b) teori konflik versi Karl Marx dengan pendekatan ‘ekonomi sentris’ dan versi Dahrendorf (1959), yang memusatkan perhatiannya pada ‘asosiasi yang dikoordinasi secara imperatif’; (c) teori makrostrukturalisme oleh Peter Blau (1977), yang mengaku ‘aku adalah seorang determinis struktural’; dan (d) teori jaringan sosial oleh White, Boorman (1976), yang menganggap ‘unit analisis dalam sosiologi struktural, lebih menekankan pada jaringan sosial, dan kurang menyinggung pada peran individu’.

Sedangkan teori-teori ekstrem mikro yang paling terkemuka di abad 20 ini adalah: (1) teori interaksionisme simbolik oleh H. Mead dan H. Blumer. Diantara inti pemahaman teori ini adalah ‘kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi sosial dan komunikasi antar individu, antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar atau interaksi sosial’; (2) teori fenomenologi oleh Alfred Schutz, yang lebih memfokuskan pada empat unsur pokok yaitu: (a) perhatiannya terhadap peran aktor; (b) ‘kenyataan’ adalah penting atau pokok, dan sikap yang alamiah (natural attitude); (c) mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka; (d) memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan tindakan; (3) teori etnometodologi

oleh Garfinkel (1967), yang mamusatkan perhatian pada organisasi, kehidupan sehari-hari dan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas; dan (4) teori pertukaran sosial oleh George Homans, dan teori behavioral sosiologi oleh Skinners, juga termasuk perspektif mikro (paradigma perilaku sosial) (Ritzer, 2002). Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa:

a. Di kalangan teoritisi sosial, telah terjadi perbedaan sudut pandang dalam memahami fenomena sosial dan cara malakukan analisis sosial-budaya. Silang pendapat tersebut berlangsung cukup lama, dari abad 19 sampai abad 20, bahkan mungkin sampai sekarang.

b. Masing-masing perspektif, baik dari teori mikro maupun teori makro mempunyai keterbatasan analisis argumentatif dan ketidakmampuan dalam mengkaji secara utuh fenomena sosial-budaya yang begitu kompleks dan dinamik. Masing-masing terbatas pada lingkup paradigmanya.

c. Realitas tersebut mendorong munculnya pendapat, bahwa kajian sosial-budaya ke depan perlu menggunakan perspektif ganda atau integrasi antara mikro-makro, dengan tujuan utama adalah diperoleh pemahaman yang lebih utuh (tidak parsial) tentang suatu fenomena sosial-budaya (Creswell, J.W. 1994; Giddens, A. 1995).

Pendekatan terpadu atau integrasi dalam memahami realitas fenomena sosial-budaya, secara implisit, sebenarnya telah ditunjukkan oleh empat teoritikus sosial terkemuka sebelumnya. Pandangan keempat teoritikus berikut ini dapat dikatakan sebagai ‘embrio’ bagi pembentukan paradigma terpadu atau teori sosial integratif. Sedangkan pokok pikiran para teoritukus tersebut antara lain:

1.

Emille Durkheim, yaitu asumsi tentang pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif. Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan tentang kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Jadi, konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu dalam memahami fenomena sosial belum lengkap, dan penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik (lebih menekankan pendekatan struktural). Apabila individu mempunyai kebebasan dalam bertindak, maka kebebasan itu datang dari paksaan struktur makro (faktor eksternal) (Durkheim, E. 1974; Baal,V.J., 1987).

2.

Karl Marx. Pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi analisis Marx terhadap fenomena sosial tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif,

kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis. Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-makro Karl Marx masih memberatkan pada struktur makro (determinisme struktural), khususnya mempersoalkan ‘kapitalisme’, yaitu analisis Marx bersifat ‘ekonomi sentris’, dan konsep ‘reification’ (mematerialkan barang sesuatu). Bagi Marx ‘materi/ ekonomi’ adalah dasar dari segala sesuatu (infrastruktur) (Bottomre and Rubel, 1956; Mutahhari, M. 1986; Surbakti, R., 1997a). 3. Max Weber. Menurut Mizman, Weber juga menggunakan konsep ‘reification’, hanya

Weber tidak mempersoalkan kapitalisme seperti Marx. Weber melihat dunia semakin rasional dan semakin birokratis. Perhatian Weber terhadap faktor makro-objektif ditunjukkan pada ‘struktur birokrasi’. Sedangkan faktor mikro-subjektif adalah perhatiannya pada ‘rasionalisasi nilai-norma’. Weber, punya perhatian pada realitas sosial tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga; konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian besar pada tingkat mikro (contoh, pandangan individu, bahwa ‘manusia memiliki pikiran rasional dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial dalam kehidupan sosial). Jadi, pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisis terpadu mikro-makro (Wrong, D. (ed). 1970).

4. Talcott Parsons. Meskipun Parsons lebih memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial yang lebih mikro. Sistem tindakan kultural Parsons adalah, paralel dengan konsep makro subjektif dan makro objektif. Sebagian konsep kepribadian Parsons juga paralel dengan tingkat mikro subjektif. Meskipun Parsons juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu (integrasi), namun titik berat argumentasinya masih terletak pada ‘sisi struktur makro’, yakni pada pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian. Individu ter-determinasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali atau hampir tidak ada (Soekanto, S dan Ratih, L. 1988; Ritzer, 2002).

Ada beberapa pandangan para ahli, yang mendorong perlunya melakukan analisis sosial-budaya dengan menggunakan pendekatan integrasi antara ‘perspektif mikro-makro’ antara lain :

a. Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964), yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosiologi berskala mikro (kecil) dan teori berskala besar (makro).

b. Walter Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’, dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian kesatuan) antara teori mikro-makro’.

c. Jim Kemeny dalam karyanya ‘Perspective on the mikro macro distinction’, dalam Sociological Review, 24: 731-752 (1976), berpendapat ‘perlu adanya perhatian lebih besar terhadap perbedaan mikro-makro maupun terhadap cara dimana teori mikro-makro saling berhubungan satu sama lain’.

d. Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya ‘Macro Sosiological Theor: Perspectives on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa, ‘Konfrontasi antara teori makro dan mikro mestinya sudah berlalu’. Begitu juga Smelser dalam Ontology The Micro Macro Link (1987) berkesimpulan tentang ‘perlunya hubungan timbal balik antara teori mikro makro’ (Alexander, 1987).

Beberapa pandangan tokoh (para teoritikus) tersebut di atas dapat dikatakan sebagai ‘embrio’ tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro (misalnya teori interaksionis simbolis, fenomenologi, dan sebagainya) dengan teori-teori makro (misalnya teori-teori fungsional struktural, teori-teori konflik dan sebagainya) dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Menurut Ritzer dan Goodman (2003), ada dua pola (model) utama karya tentang integrasi mikro makro dalam studi sosiologi yaitu: (1) beberapa teoritikus yang memusatkan perhatian pada ‘integrasi tingkat analisis sosial mikro dan makro’; dan (2) beberapa teoritikus yang memusatkan perhatian untuk membangun sebuah ‘teori baru’ yang membahas hubungan antara tingkat mikro dan makro dalam analisis sosial. Berikut ini akan dijelaskan pokok-pokok pikiran teori integrasi versi George Ritzer dan versi A. Giddens.

Teori integrasi mikro-makro George Ritzer dalam memahami fenomena sosial Gerakan perlunya analisis sosial dengan pola ‘integrasi mikro makro’ begitu sangat popular di tahun 1980-1990-an (sebagai analisis sosial terkini dalam studi sosiologi). Menurut Ritzer, pada dasarnya pokok perhatian ‘integrasi mikro-makro’ adalah sejajar (sinonim) dengan pokok perhatian ‘integrasi agen-struktur’. Pada umumnya teoritisi sosiologi Amerika lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi mikro-makro’, sedangkan teoritisi sosiologi Eropa lebih sering menggunakan istilah ‘integrasi agen-struktur’ (Ritzer dan Godman, 2003).

Ada yang memandang, masalah ‘mikro-makro’ dan ‘agen- struktur’ adalah, mirip bahkan sama atau serupa, tetapi ada juga yang memandang antara keduanya

(mikro-makro dan agen- struktur) mampunyai perbedaan signifikan. Berikut kita bisa pahami tentang konsep ‘agen-struktur’ dan konsep ‘mikro-makro’, menurut para ahli, antara lain:

a. Konsep agen (agency), pada umumnya menunjuk pada tingkat mikro (aktor manusia individual, jadi agen diartikan sama dengan mikro). Agen menurut Burns, bisa juga bermakna ‘kolektifitas (makro) yang bertindak’ (misalnya: agen individu atau kelompok terorganisir; agen organisasi; agen bangsa). Sedangkan Touraine, memandang, kelas sosial sebagai aktor. Apabila mengikuti pandangan Burns dan Touraine, maka kita ‘tidak bisa menyamakan agen dengan fenomena tingkat mikro’.

b. Konsep struktur, umumnya bermakna mengacu pada struktur sosial berskala besar (tingkat makro), tetapi konsep ini juga dapat mengacu pada struktur mikro. Jadi baik agen maupun struktur, dapat mengacu pada fenomena tingkat mikro atau makro, atau kepada kedua-duanya.

c. Konsep mikro, sering mengacu pada kesadaran atau aktor kreatif (menurut teori agen), tetapi pengertian mikro juga dapat mengacu pada ‘behaver’ (dalam teori Behavior-Skinners).

d. Konsep makro, sering mengacu pada struktur sosial berskala luas, tetapi makro juga dapat mengacu pada kultur dari kolektivitas tertentu. Jadi, mikro mungkin bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘agen’. Dan makro bisa, atau mungkin juga tidak, mengacu pada ‘struktur’.

Bagaimana melakukan analisis fenomena sosial dengan menggunakan pendekatan atau teori integrasi mikro-makro?. Paling tidak ada empat macam model teori integrasi mikro-makro yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain: (1) model integrasi paradigma sosiologi oleh George Ritzer; (2) model sosiologi multidimensional oleh Jeffery Alexander; (3) model mikro ke makro oleh Coleman and Liska; dan (4) model sosiologi figurasional oleh Norbert Elias. Pada pembahasan berikut ini, model yang dipilih untuk dijelaskan adalah model pertama, yaitu model ‘integrasi paradigma sosiologi’ atau integrasi mikro-makro G. Ritzer.

Beberapa pokok pikiran model analisis sosial-budaya integrasi mikro-makro oleh G. Ritzer dalam karyanya yang berjudul ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975) antara lain:

Pertama, lahirnya karya Ritzer tentang ‘Integrasi paradigma sosiologi’, sebagian dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: (1) adanya kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana, dan lebih lengkap serta integratif dalam memahami berbagai aspek kehidupan sosial-budaya; (2) paradigma yang ada (paradigma fakta sosial; definisi sosial dan perilaku sosial) cenderung berat

sebelah atau hanya memusatkan pada tingkat khusus atau dimensi tertentu dalam melakukan analisis sosial-budaya; (3) mengusulkan pandangan, bahwa pada dasarnya tidak ada posisi hegemoni dalam paradigma sosiologi. Paradigma integrasi adalah untuk melengkapi paradigma yang ada dan bukan dimaksudkan untuk menciptakan posisi hegemoni yang baru; (4) dalam realitas sosial, kehidupan sosial sesungguhnya tidak terbagi dalam tingkatan, yang terpisah dari dua hal yang berbeda. Realitas sosial paling tepat harus dilihat sebagai fenomena sosial yang beragam yang membentuk suatu kehidupan sosial yang saling terkait (aspek makro dan aspek mikro).

Kedua, menurut Ritzer, seluruh fenomena sosial makro dan mikro adalah juga fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konsekuensinya (seharusnya) adalah terdapat empat tingkat utama dalam setiap melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Dan setiap sosiolog harus memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik (timbal balik) dari keempat tingkat tersebut secara integratif dalam setiap melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Namun setiap peneliti tetap harus memperhatikan fokus atau permasalahan yang akan dikajinya. Apabila peneliti hanya ingin melihat dimensi objektif (aspek struktural/ aspek makro), dan hanya ingin melihat dimensi subjektif (aspek agen/ aspek mikro), tentu peneliti tersebut tidak perlu menggunakan empat tingkat utama dalam analisis sosial-budaya secara integratif.

Hubungan dialektik antar empat tingkatan analisis fenomena sosial yang ditawarkan Ritzer tersebut dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:

Gambar : 2.2 Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer (diadopsi dari Ritzer, 2002)

Keterangan:

1)

Tingkat makro objektif, meliputi realitas material berskala luas (besar), misalnya: masyarakat, birokrasi, dan teknologi.

2) Tingkat makro subjektif, meliputi fenomena non material berskala luas, misalnya: nilai, norma, adat (budaya ide atau sistem budaya).

3) Tingkat mikro objektif, meliputi fenomena kesatuan objektif berskala kecil, misalnya: pola tindakan individu, pola interaksi sosial.

4) Tingkat mikro subjektif, meliputi proses mental berskala kecil, yaitu upaya individu untuk membangun (merekonstruksi) realitas sosial-budaya sehari-hari, misalnya, berpendapat atau bersikap atau berpandangan.

Masing-masing keempat tingkat analisis tersebut mempunyai arti penting sendiri-sendiri, tetapi yang paling penting setiap peneliti sosial apabila melakukan analisis fenomena sosial-budaya ‘harus’ membahas, mengkaji dan menjelaskan ‘hubungan dialektika’ antara keempatnya secara integratif dalam perspektif ruang dan waktu (rentang historis). Contoh, Mengkaji tentang ‘Perubahan sosial masyarakat Porong Kabupaten Sidoarjo, suatu kajian proses dan dampak lumpur Lapindo’. Dalam hal ini apabila peneliti mengunakan teori integrasi mikro-makro versi George Ritzer, maka peneliti harus menjelaskan secara integral hubungan dialektik antara empat aspek tersebut di atas (lihat gambar 2.2)

Ketiga, menurut Ritzer, ada ‘dua kontinum realitas sosial’ yang berguna dalam membangun tingkatan utama kehidupan sosial yaitu: (1) kontinum mikroskopik-makroskopik; dan (2) kontinum objektif-subjektif. Kontinum mikroskopik-makroskopik.

MIKROSKOPIK SUBJEKTIF OBJEKTIF I MAKRO-OBJEKTIF

Dalam dokumen teori (Halaman 68-74)