• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mayoritas individu tinggal dalam lingkungan yang familiar, tempat dimana individu tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui dilingkungan individu pada saat bekerja, sekolah ataupun bermain cenderung memiliki kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai, bahasa, atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Menurut Bochner (2003) hal ini disebut dengan inhabiting a culturally

homogeus space.

Ada juga individu yang tidak tinggal dalam lingkungan yang familiar. Dimana Individu dapat pindah dari satu tempat familiar ke tempat yang asing dengan beberapa tujuan. Beberapa tujuan tersebut adalah untuk bekerja, menempuh pendidikan, mengungsi, ataupun untuk berwisata (Bochner, 2003).

Pendidikan dapat ditempuh di dalam dan di luar negeri. Individu yang menempuh pendidikan tinggi diluar negeri disebut dengan mahasiswa asing. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 25 tahun 2008, bahwa mahasiswa asing adalah warga negara asing yang mengikuti pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia (Peraturan Menteri, 2008)

Banyak negara yang membuka peluang tesebut, salah satunya adalah Indonesia. Indonesia sendiri telah menerima lebih dari 200.000 mahasiswa asing di berbagai kota. Salah satu kota yang menerima mahasiswa asing tersebut adalah Medan. Universitas yang paling banyak menerima mahasiswa asing di kota Medan adalah Universitas

(2)

Sumatera Utara (USU). Mayoritas mahasiswa asing ini berasal dari negara Malaysia (berita sore, 10/06/2008). Humas USU, Bisru Hafi, di Medan, Selasa [10/06] , mengatakan,

“dewasa ini total mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di USU mencapai 1.250 orang. Sebanyak 70 persen berada di Fakultas Kedokteran dan 30 persen di Fakultas Kedokteran Gigi.”

( beritasore, 10/06/2008)

Mahasiswa asing Malaysia ini dapat dikategorikan sebagai sojourner, yaitu individu yang pindah dan tinggal sementara di kebudayaan baru dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Lebih lanjut Bochner (1986) menjelaskan 4 kategori individu yang berpindah tersebut yaitu :

1. Turis : kunjungan ke budaya asing selama kurang 6 bulan

2. Sojourners : tinggal sementara di budaya asing lebih dari 6 bulan

3. imigran : tinggal menetap dalam budaya asing

4. pengungsi : dikeluarkan dari kebudayaan setempat.

Mahasiswa asing juga merupakan individu dimana setiap individu lahir di dunia tanpa memiliki pemahaman apapun tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bertindak agar dapat diterima dalam masyarakat. Melalui proses enkulturasi, pola budaya diinternalisasikan dan menjadi bagian dari kepribadian dan perilaku individu. Hasil internalisasi ini membuat individu mudah berinteraksi dengan anggota lain dari kelompok budaya yang sama. Budaya memprogram kita untuk mendefinisikan apa yang nyata, apa yang baik, apa yang benar, apa yang dimaksud dengan indah dan lain sebagainya (Gudykunst dan Kim, 2003). Perbedaan antara budaya yang dikenal individu dengan budaya asing dapat menyebabkan individu sulit menyesuaikan diri dengan

(3)

lingkungan yang baru. Individu mungkin menghadapi cara berpakaian, cuaca, makanan, bahasa, orang-orang, sekolah dan nilai-nilai yang berbeda (Kingsley dan Dakhari, 2006).

Mahasiswa asing yang menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU) berasal dari 3 negara yaitu Pakistan, India, dan Malaysia dengan suku mayoritas Tamil, Melayu, dan Cina. Berikut perinciannya mahasiswa asing berdasarkan suku. Jumlah mahasiswa suku Melayu berjumlah 343 orang, mahasiswa suku Tamil adalah 243 orang, dan jumlah mahasiswa suku Cina adalah 40 orang.

Suku Melayu berbahasa Melayu dan memeluk agama Islam. Suku Melayu biasanya diharapkan untuk memakai sarung dan kebaya, baju kurung, baju Melayu, dan kerudung yang berhubungan dengan muslim. Wanita biasanya diharapkan memaki kerudung dan pria memakai songkok atau kopiah (Tsui, 2005). Pada hasil Observasi di USU, wanita Melayu memakai pakaian kurung dan kerudung, tetapi pria Melayu tidak memaki songkok atau kopiah. Masyarakat Melayu sangat menekankan pada perilaku yang baik, toleransi, dan keluarga.

Suku Tamil biasanya berbahasa Tamil, malayam, dan dialek hindu lainnya. Penggunaan bahasa Tamil baik secara lisan ataupun tulisan di sekolah Tamil sangat ditekankan untuk melestarikan kebudayaan (Tsui, 2005). Mayoritas mereka memeluk agama Hindu. Masyarakat Tamil sangat menghargai hubungan keluarga, mempertahankan nilai-nilai dan tradisi kebudayaan mereka, terbuka dan sangat peduli dengan lingkungan (Verma, 2000).

Suku Cina di Malaysia minimal mampu paling sedikit satu dialek bahasa Cina. Suku Cina biasanya berbahasa hokkien, hakka, dan kanton baik dalam setting formal atau informal sedangkan bahasa Mandarin sebagai bahasa standar Cina digunakan dalam

(4)

setting publik dan sebagai medium bahasa pengantar dalam sekolah khusus Cina serta cenderung menggunakan bahasa Cina daripada bahasa Melayu. Suku Cina memeluk agama Buddha dan Taoisme. Suku Cina merupakan suku yang lebih tertutup dibandingkan dengan kategori suku lainnya di Malaysia (Daniels, 2003). Norma sosial dalam masyarakat suku Cina adalah hubungan keluarga, komunitas dan kewirausahaan (Verma, 2000).

Budaya tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria-wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalu lintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana, 2005).

Mahasiswa dari negara Malaysia ini dengan variasi latar belakang budaya melanjutkan studi di Medan sehingga mahasiswa asing perlu beradaptasi dengan kebudayaan Medan. Medan sendiri merupakan suatu kota yang terdiri dari bermacam suku. Dari hasil data Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat komposisi masyarakat Medan terdiri dari suku Melayu saat ini sebanyak 125.557 (6,5%), Karo 78.129 (4,1%), Simalungun 13.078 (0,68%), Tapanuli/Toba 365.758 (19,2%), Mandailing 178.308 (9,4%), Pakpak 6.509 (0,34%), Nias 12.159 (0,64%), Jawa 628.898 (33%), Minang 163.774 (8,6%), Cina (Tionghoa) 202.839 (10,6%), Aceh 53.911 (2,8%). Kemudian suku di luar itu mencapai 75.253 (3,9%). Jadi secara kumulatif jumlah penduduknya dari berbagai suku tersebut 1.904.273 (Waspada, 20/06/2008).

Ciri penting kebudayaan dari penduduk Kota Medan adalah kemajemukan agama, adat istiadat, seni budaya dan suku yang sangat heterogen. Oleh karena itu, salah satu ciri utama masyarakat Kota Medan adalah “terbuka”. Pluralisme kependudukan ini juga

(5)

yang menjadikan sebahagian mereka yang berkunjung ke Kota Medan mendapat kesan

Miniatur Indonesia di Kota Medan, ditambah dengan “Melting Potnya Kebudayaan Bangsa” (Pemko, 2007).

Memasuki budaya Medan yang berbeda membuat mahasiswa Malaysia menjadi orang asing di budaya tersebut, dimana mahasiswa dihadapkan dengan situasi dimana kebiasaan-kebiasaannya diragukan. Hal ini dapat menimbulkan keterkejutan dan tekanan. Keterkejutan dapat menyebabkan terguncangnya konsep diri dan identitas kultural

individu dan mengakibatkan kecemasan (Gudykunst dan Kim, 2003).

Seperti yang diungkapkan oleh seorang mahasiswa asal Malaysia yang berinisial S dan memiliki latar belakang suku Cina dan menetap di medan selama 5 bulan :

”awalnya sangat sulit tinggal disini, bahkan hal-hal yang simpel sekalipun... Seperti... berteman dengan penduduk sini,ngomong ama profesor disini. Saya jadi agak anxiety dan stress. Saya ingat dulu waktu mau ujian mid, saya mengalami sakit kepala. Dan saya sampai nangis waktu ngerjain ujiannya... Saya gak tau mengapa seperti ini, it is difficult to me, so different in Malaysia”

(Komunikasi Personal, 10 November 2008)

Reaksi terhadap situasi ini yang diikuti rasa cemas dan stress disebut dengan

culture shock (Gudykunst dan Kim, 2003). Culture shock adalah reaksi-reaksi yang

muncul terhadap situasi dimana individu mengalami keterkejutan dan tekanan karena berada dalam lingkungan yang berbeda, yang menyebabkan terguncangnya konsep diri, identitas kultural dan menimbulkan kecemasan temporer yang tidak beralasan. Reaksi

culture shock dapat menimbulkan gejala-gejala seperti marah karena hal-hal sepele,

menarik diri dari orang-orang yang berbeda dengan diri individu, makan dan tidur yang berlebihan, extereme homesick, dan akhirnya keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman (Oberg dalam Mulyana dan Rakhmat, 2005). Oberg (dalam Pyvis dan

(6)

Anne, 2005) menyatakan reaksi culture shock dapat menimbulkan berbagai gejala-gejala seperti :

a. stress dalam penyesuaian psikologis

b. merasa kehilangan teman, status, peranan sosial, dan posisi personal c. merasa takut ditolak oleh kebudayaan baru

d. bingung dalam peran, peran yang diharapkan, nilai, perasaan dan identitas diri e. terkejut, cemas, bahkan jijik setelah menyadari perbedaan kebudayaan

f. merasa impotens akibat ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Sebagaimana digambarkan oleh K yang memiliki latar belakang suku Tamil, dan telah tinggal di Medan selama 4 tahun :

“kebudayaan disini similiar with Malaysia, disini juga ada ras Cina, Melayu dan

Tamil. Tapi Tamil disini different...ehm....because majority of them can not speak our language, i mean Tamil language, and they value for education sangat kurang sekali. Although we are sejenis, tapi saya merasa tidak sejenis dengan mereka dan berbeda dengan mereka....disini juga kuilnya memakai bahasa pengantar Indonesia, saya merasa tidak nyaman dengan hal ini....awalnya tinggal disini sering ditipu ama penduduk sini, misalnya harga barang yang lebih mahal Rp 5000 atau Rp 10000 bahkan tukang becak aja menipu. Sehingga saya mikir kok begini di kota Medan ini. And i feel disgusting with this host people..Saya stress juga disini waktu itu.. Trus lalu lintasnya yang hanya mikirin diri sendiri, dan tidak ada yang patuh ama traffic light disini serta becak dan bus sangat ribut sekali..saya juga takut jalan dijalan raya disini. Jadi gak comfortable disini”.

(komunikasi personal, 25 november 2008)

Sebagaimana digambarkan oleh S yang memiliki latar belakang suku Cina, yang telah berada di Medan selama 5 bulan :

“the first time ya gak nyaman disini, walaupun bahasa melayu di Ipoh sama kayak disini, tapi ada yang berbeda, but aku gak tau how to give a response, ehmmmm.. contohnya kalo professor ngomong dikelas, aku difficult untuk bedain mana yang serius dan becanda...disini juga rasanya sepi, gak ada teman seperti di Ipoh.walaupun disini banyak suku Cina, tapi rasanya beda. suku Cina nya beda, they cannot speak mandarin, dan orang-orang disini sangat suka menipu...Jadi, saya sempat ngurung diri juga sih..aku stress sekali.... berat badan ku turun.... drastis sekali.... sampe temenku kemarin datang, nanya ”kamu kenapa? Stress ya?” Trus

(7)

berkendaraan... duh..di jalan itu sebenarnya ga capek... tapi pulang pergi itu... orang-orangnya tidak tau aturan....aku ga suka liat orang nerobos-nerobos lampu merah dan nyalip sana nyalip sini....”

(Komunikasi Personal, 10 November 2008.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi culture shock yaitu intrapersonal, variasi kebudayaan, dan manifestasi sosial politik. Faktor intrapersonal meliputi keterampilan (keterampilan komunikasi), pengalaman sebelumnya (dalam setting lintas budaya), trait personal (mandiri atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan, umur, kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi (Parillo, 2008).

Kazantzis (dalam Pederson, 1995) menyatakan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan culture shock. Individu yang lebih muda cenderung mengalami culture shock yang lebih tinggi dari pada individu yang lebih tua; dan wanita lebih mengalami culture

shock daripada pria.

Variasi kebudayaan sangat mempengaruhi pengalaman culture shock seseorang, semakin beda kebudayaan yang dimiliki individu dengan kebudayaan baru, maka culture

shock yang dialamai semakin besar (Bochner, 2003).

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin melihat gambaran culture shock yang dialami Mahasiswa asing.

B.Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum culture shock pada mahasiswa asing yang menempuh pendidikan di USU?

(8)

2. Bagaimana gambaran culture shock pada mahasiswa yang menempuh pendidikan

tinggi di USU ditinjau dari suku, usia, dan jenis kelamin?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran culture shock yang dialami mahasiswa asing di Universitas Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, antara lain: a. Manfaat teoritis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi dan psikologi sosial , khususnya mengenai culture shock mahasiswa Malaysia di Medan. Sehingga dapat memberikan saran dan bantuan yang tepat kepada individu-individu yang akan bekerja di luar daerah asalnya, agar dapat menyesuaikan diri terhadap budaya lokal daerah tujuan.

2) Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai culture shock dalam bidang organisasi, pendidikan dan lain-lain

b. Manfaat praktis 1) Pihak Malaysia

Memberikan gambaran kepada pihak Malaysia mengenai culture shock sehingga dapat memfasilitasi untuk beradaptasi dengan budaya lokal.

(9)

memberikan gambaran kepada pihak penyelenggara pendidikan di Medan mengenai

culture shock yang mungkin terjadi sehingga dapat memfasilitasi proses adaptasi yang

terjadi.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Memuat teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian, yaitu: teori tentang

culture shock termasuk di dalamnya definisi culture shock, komponen culture shock, faktor-faktor yang mempengaruhi culture shock, dan dampak dari culture shock. Teori mahasiswa asing dan budaya.

Bab III Metode Penelitian

Membahas mengenai metode yang digunakan dalam penelitian yaitu metode penelitian kuantiatif deskriptif, termasuk di dalamnya variabel penelitian, defini operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Referensi

Dokumen terkait

Beban kerja mengajar didistribusikan dua kali setahun di dalam pertemuan staf pengajar sebelum dimulai semester baru. Tidak ada mekanisme yang jelas

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk permen jeli kopi yang dihasilkan dari dua taraf faktor yang berbeda.Uji organoleptik

satu cara paling mudah yang bisa kita lakukan untuk melestarikan budaya batik pada. siswa adalah dengan memakainya di

Jika tiada tajuk ruangan dalam Buku Tunai, sebelah debit dianggap ruangan diskaun, tunai dan bank. Sebelah kredit pula dianggap ruangan diskaun, tunai

Berdasarkan hasil penelitian penerapan pembelajaran IPA Terpadu tipe connected materi sifat larutan serta keterkaitannya dengan sumber arus listrik di kelas VII

Dan sebagian guru telah menerapkan pengetahuan tentang peran dan pemanfaatan teknologi yang dimilikinya secara menyeluruh dalam pembelajaran, 2 rancangan pembelajaran

Untuk mensimulasikan arah pengaruh gempa rencana yang sembarang terhadap struktur gedung, pengaruh pembebanan gempa dalam arah utama harus dianggap efektif 100% dan

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda