• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN STRATEGI MODELING PARTISIPAN UNTUK MENINGKATKAN PENYESUAIAN DIRI TERHADAP TEMAN SEBAYA. Rhina Meitica Pidiana 1 dan Mochamad Nursalim 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN STRATEGI MODELING PARTISIPAN UNTUK MENINGKATKAN PENYESUAIAN DIRI TERHADAP TEMAN SEBAYA. Rhina Meitica Pidiana 1 dan Mochamad Nursalim 2"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN STRATEGI MODELING PARTISIPAN UNTUK MENINGKATKAN PENYESUAIAN DIRI TERHADAP TEMAN SEBAYA

Rhina Meitica Pidiana1 dan Mochamad Nursalim2

Abstrak; Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan strategi Modeling Partisipan untuk meningkatkan penyesuaian diri terhadap teman sebaya pada siswa kelas VII G di SMP Negeri 1 Ngadirojo, Pacitan. Rancangan penelitian ini termasuk pre eksperimen dengan jenis pre-test dan post-test one group design, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII G SMP Negeri 1 Ngadirojo-Pacitan, yang mempunyai penyesuaian diri yang rendah terhadap teman sebaya. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik statistik dengan menggunakan Uji Tanda. Hasil analisis Uji Tanda menunjukkan bahwa nomor urut yang bertanda negatif sejumlah 0 sedangkan yang bertanda positif sejumlah 6, sehingga terdapat perbedaan skor antara pre-test dan post-test. Berdasarkan tabel probabilitas binomial untuk ρ=0,5, N=6, r=0 diketahui dengan α=0,05. Sehingga diperoleh α > peluang sampel yaitu (0,05>0,016) berarti H0 ditolak dan Ha diterima, dengan demikian menunjukkan bahwa strategi

modeling partisipan dapat meningkatkan penyesuaian diri terhadap teman sebaya.Maka dapat disimpulkan ada pengaruh positif penerapan strategi modeling partisipan terhadap peningkatan penyesuaian diri terhadap teman sebaya pada siswa kelas VII G SMP Negeri 1 Ngadirojo-Pacitan.

Kata kunci: Strategi Modeling Partisipan, Penyesuaian diri terhadap teman sebaya

1 Alumni Prodi BK FIP Unesa 2 Staf Pengajar Prodi BK Unesa

(2)

Pendahuluan

Setiap peserta didik memiliki kebutuhan dan dinamika dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hal tersebut tidak lepas dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial sehingga setiap individu memerlukan orang lain dalam kehidupannya, untuk dapat berhubungan dengan orang lain secara baik, individu dituntut mampu beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan lingkungannya. Penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya (Willis, 2005:55).

Setiap individu memiliki kemampuan berbeda untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Beberapa individu mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan baik terhadap lingkungan barunya sehingga tidak akan mengalami hambatan dalam pergaulan, hal ini akan menumbuhkan rasa optimis dan positif yang dapat mendorong individu berbuat lebih banyak dan teliti sehingga kemungkinan berhasil akan diperolehnya. Adapula individu yang kurang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan barunya, sehingga mengalami hambatan dalam pergaulan.

Penyebab yang membuat individu tidak mampu menyesuaikan diri dapat berasal dari lingkungan keluarga, atau lingkungan sosialnya, dan dari faktor individu sendiri, seperti konflik dan frustasi. Individu yang kurang mampu menyesuaikan diri ini berpeluang untuk mengalami kegagalan dalam proses pendidikan dan pembelajarannya. Selain itu, individu yang kurang mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya akan mengalami perasaan tertekan karena merasa tidak dapat menempatkan diri dengan baik dan dikucilkan dari pergaulan, sehingga individu tersebut merasa tidak nyaman dengan keadaan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapatnya (Panuju, 37-38:2005), menyatakan bahwa “Individu yang tidak dapat menyesuaikan diri akan memiliki kekurangan-kekurangan sehingga akan merasa terasing dan terisolir dari lingkungan masyarakat dimana individu hidup”.

Hal tersebut juga sering dialami oleh siswa yang baru masuk ke jenjang sekolah baru, terutama siswa yang masuk SMP, kondisinya jelas berbeda dari sekolah dasar. Saat memasuki kondisi sekolah baru maka siswa dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Menyesuaikan diri di sini bukan berarti siswa berubah “menjadi” seperti tuntutan lingkungannya, yang diharapkan ialah siswa dapat memadukan potensi dan kondisi internal dirinya dengan lingkungan tempat berinteraksinya.

Setiap siswa harus mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah agar dapat memenuhi kebutuhan, Pada dasarnya kebutuhan utama siswa SMP yang mempunyai rentang umur lebih kurang 12-15 tahun ialah yang bersifat psikologis seperti mendapat kasih sayang, menerima pengakuan terhadap dorongan untuk semakin mandiri, memperoleh prestasi di berbagai bidang yang dihargai oleh orang dewasa dan teman sebaya, merasa aman dengan perubahan kejasmaniannya sendiri (Winkel, 2007:142). Apabila siswa tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut maka dia akan mengalami masalah yaitu kesulitan menyesuaikan diri di lingkungan sekolah terutama dengan teman sebaya.

Menurut (Willis, 2005:63), teman sebaya ialah kelompok yang terdiri dari anak-anak yang memiliki usia, kelas dan motivasi bergaul yang sama atau hampir

(3)

sama. Hal ini dinamakan Peer group atau kelompok teman sebaya dapat membantu proses penyesuaian diri yang baik. Kebutuhan akan adanya penyesuaian diri siswa dalam kelompok sebaya, muncul sebagai akibat adanya keinginan bergaul siswa dengan teman sebayanya.

Dalam hubungan ini, siswa sering dihadapkan dalam penerimaan atau penolakan teman sebaya terhadap kehadirannya dalam pergaulan. Pihak siswa, hal penolakan ”peer” merupakan hal yang sangat mengecewakan. Untuk menghindari kekecewaan itu siswa perlu sikap, perasaan, keterampilan-keterampilan perilaku yang menunjang penerimaan kelompok teman sebayanya, (Tanpa nama.2008).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru Bimbingan dan Konseling,(yang dalam pembahasan selanjutnya menggunakan istilah guru BK) pada 24 oktober 2009 di SMP Negeri 1 Ngadirojo, Pacitan diketahui sekitar 40% anak yang dikucilkan dari pergaulan, tidak mempunyai teman untuk bergaul, sebab siswa tersebut menarik diri, minder, cenderung suka menyendiri dan tidak dapat berinteraksi dengan baik terhadap teman sebaya. Fenomena tersebut sering ditemukan pada siswa kelas VII, hal itu terjadi karena siswa kelas VII tersebut baru masuk dalam lingkungan sekolah itu, yang jelas kondisinya berbeda dari lingkungan sekolah dasar sehingga mereka sulit melakukan penyesuaian diri. Guru BK yang membimbing kelas VII menyatakan dengan jelas bahwa hampir setiap kelas ada 1-4 orang anak yang dikucilkan dari pergaulan dan tidak mempunyai banyak teman, yang paling menonjol ialah siswa kelas VII G.

Melihat hal yang demikian guru BK tidak diam saja, guru BK berupaya menangani permasalahan tersebut dengan memanggil orang tua siswa dan membicarakannya dengan orang tua siswa, diperoleh informasi bahwa anak tersebut memang minder, dikucilkan dari pergaulan dan tidak mempunyai banyak teman, orang tua sudah berusaha menasihati anaknya agar mau membaur dengan teman- temannya, akan tetapi tetap saja tidak mau.

Dari keterangan guru mata pelajaran diperoleh informasi bahwa guru tersebut pernah menjumpai siswa ketika istirahat juga cenderung memilih diam dikelas. Keterangan tersebut semakin menguatkan pandangan guru BK bahwa siswanya banyak yang mengalami masalah kurang mampu menyesuaikan diri, yang akan berdampak negatif pada diri siswa. Upaya lain yang dilakukan guru BK ialah mencoba memberikan saran untuk tidak minder, mau mencari teman untuk bergaul ataupun sharing, tetapi sampai saat ini siswa belum mengalami perubahan tingkah lakunya.

Berdasarkan keterangan di atas, permasalahan tersebut seharusnya tidak terjadi, karena salah satu tugas perkembangan remaja ialah belajar dan mampu mengaktualisasikan diri dengan lebih optimal. Jika dalam melakukan tugas perkembangan tersebut mengalami berbagai hambatan maka akan menghambat tugas perkembangan selanjutnya. Maka dari itu, permasalahan tersebut harus dapat ditangani, dipecahkan, dan diselesaikan. Selain itu, permasalahan ini menarik untuk diteliti dengan alasan bahwa individu dapat merubah perilakunya karena suatu sebab yaitu kurang mampu menyesuaikan diri, terutama dengan teman sebaya dapat mengakibatkan dirinya tidak mempunyai banyak teman dan dikucilkan dari pergaulan. Jika kebiasaan tersebut dapat dikontrol diharapkan dapat memberikan dampak positif yang akan mampu mempengaruhi dan merubah tingkah laku seseorang menjadi lebih baik.

(4)

Bimbingan dan konseling merupakan suatu alternatif bantuan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, konseling dapat membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dan banyak strategi dalam konseling yang dapat digunakan untuk membantu klien dalam mengatasi masalah berhubungan dengan tingkah laku mereka, stretegi konseling adalah modus operandi atau rencana tindakan ynag dirancang untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu dari masing-masing klien, Hackney,dkk (dalam Nursalim 2005:13). Salah satu strategi yang digunakan yaitu strategi modeling. Menurut Bandura strategi modeling ialah suatu strategi dalam konseling yang menggunakan proses belajar melalui pengamatan terhadap model dan perubahan perilaku yang terjadi karena peniruan (dalam Nursalim 63:2005). Ada tiga macam prosedur modeling dalam konseling yaitu modeling simbolis, diri sebagai model, dan modeling partisipan. Modeling Partisipan merupakan cara yang efektif untuk mengadakan “uji realitas yang cepat, yang memberikan pengalaman korektif untuk berubah” Bandura, (dalam Nursalim dkk 2005 : 75). “Modeling partisipan juga dapat digunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan” Bandura, dkk (dalam Nursalim dkk 2005:75). Modeling partisipan mempercepat perubahan terhadap perilaku, sikap dalam menghadapi rangsangan yang mengkhawatirkan Etringer,dkk (dalam Nursalim dkk 2005 : 75). Melalui langkah-langkah dalam modeling partisipan (1) rasional strategi ialah penjelasan mengenai alasan pengguanaan dan gambaran singkat mengenai strategi, (2) modeling, (3) partisipasi terbimbing, (4) Pengalaman Sukses dan Penguatan.

Penyesuaian Diri terhadap Teman Sebaya

Kegiatan atau tingkah laku individu pada hakikatnya merupakan cara memenuhi kebutuhan. Yang penting untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan ini individu harus dapat menyesuaiakan antar kebutuhan dengan segala kemungkinan yang ada dalam lingkungan, disebut sebagai proses penyesuaian diri (Yusuf, 2008:210).

Sedangkan menurut Willis, (2005:55) Penyesuaian diri ialah usaha seseorang untuk menyelaraskan pemuasan kebutuhan dengan situasi di luar. Penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya. Schneiders berpendapat bahwa penyesuaian diri ialah proses yang melibatkan respon-respon mental dan perbuatan individu dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, dan mengatasi ketegangan, frustrasi dan konflik secara sukses serta menghasilkan hubungan yang harmonis antara kebutuhan dirinya dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia hidup(dalam Yusuf,dkk 2008:51). Menurut Hartono, (2006:222) Penyesuaian diri ialah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan.

Ciri-ciri penyesuaian diri yang baik menurut Kartini-Kartono (1989 : 261), ialah: 1) Dapat mengendalikan pikiran, angan-angan, keinginan, dorongan emosi dan tingkah lakunya. 2) Dapat menghayati kelemahannya sehingga ia dapat mengadakan perbaikan diri, juga dapat memanfaatkan kelebihannya. 3) Mempunyai konsep yang sehat tentang dirinya yaitu mengakui dan menerima kelebihan serta kelemahannya secara rasional. 4) Mengikuti perkembangan diri

(5)

dengan berpedoman pada perbaikan, kejujuran, kebijaksanaan, rendah hati dan lain-lain. 5) Mampu mengatasi perubahan sosial dan perubahan diri yang fleksibel. 6) Dapat menghadapi frustasi dan konflik batin denagn mekanisme yang sehat sehingga tercapai keuntungan kematangan diri. Sedangkan menurut Mu’tadin (2002), bahwa ciri-ciri penyesuaian diri adalah: 1) Mampu bekerjasama dengan orang lain, 2) Simpati, 3) Mudah akrab, dan 4) Disiplin

Menurut Sundari (2005:45) faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri antara lain adalah : 1) Frustasi, Merupakan hambatan, kegagalan, rintangan terhadap dorongan atau kebutuhan. 2) Konflik, Merupakan pertentangan batin, sebagaimana frustasi konflik adalah pertentangan hambatan terhadap tujuan, 3) Kecemasan, Merupakan suatu keadaan yang menggoncangakn karena adanya ancaman terhadap kesehatan. Hartono, (2006:229) menuliskan bahwa penentu penyesuaian diri dikelompokkan sebagai berikut : 1) Kondisi-kondisi fisik, termasuk di dalamnya keturunan, konstitusi fisik, kelenjar dan sistem otot, kesehatan, penyakit dan sebagainya, 2) Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional, 2) Penentu psikologis, termasuk didalamnya pengalaman, belajar, pengkondisian, penentuan diri (self determination), frustasi, dan konflik, 3) Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah, 4) Penentu kultural, termasuk agama.

Menurut Willis, (2005:63) teman sebaya ialah kelompok yang terdiri dari anak-anak yang memiliki usia, kelas dan motivasi bergaul yang sama atau hampir sama. Hal ini dinamakan peer group atau kelompok teman sebaya dapat membantu proses penyesuaian diri yang baik. Menurut Santosa, (1999:85), teman sebaya yaitu kelompok anak sebaya yang sukses dimana ia dapat berinterakasi. teman sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun diantara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam teman sebaya ini, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Menurut Santrock ( 2003:232), teman sebaya ialah individu yang tingkat \kematangan dan umurnya kurang lebih sama.

Menurut Santosa, (1999:85-86), fungsi teman sebaya antara lain: Mengajarkan kebudayaan, Mengajarkan mobilitas sosial, Membantu peran sosial yang baru, Sumber informasi bagi orang tua, guru dan masyarakat, Mengajarkan moral orang dewasa, Di dalam teman sebaya, individu mencapai kebebasan, bertindak, berpendapat atau menemukan identitas diri. Menurut Santrock (2003:232), fungsi teman sebaya: Teman sebaya sebagai sarana untuk perbandingan secara sosial, Sebagai sarana sumber informasi tentang dunia luar keluarga, Sebagai hubungan yang diperlukan untuk perkembangan sosial, Memberikan konteks untuk untuk mempelajari pola hubungan yang timbal balik dan setara.

Strategi Modeling

Menurut Bandura, strategi modeling adalah suatu strategi dalam konseling yang menggunakan proses belajar melalui pengamatan terhadap model dan perubahan perilaku yang terjadi karena peniruan (dalam Nursalim 2005:63). Nelson berpendapat bahwa strategi modeling merupakan strategi pengubahan perilaku melalui pengamatan perilaku model (dalam Nursalim 2005:63).

(6)

Selanjutnya Perry,dkk menuliskan strategi modeling ialah ”as the process of observasional learning in wich the behavior of individual or a group, the model acts as a stimulus for the trought altitudes, or behavior on the part of another individual who observes the model’s performance.”Artinya: modeling sebagai proses belajar observasi, dimana perilaku individu atau kelompok, para model, bertindak sebagai suatu perangsang gagasan, sikap, atau perilaku pada orang lain yang mengobservasi penampilan model (dalam Cormier 1985:328).

Dari pengertian beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa modeling ialah proses belajar atau pengubahan perilaku melalui pengamatan atau observasi yang menunjukkan terjadinya proses belajar setelah mengamati atau mengobservasi perilaku dari orang lain atau model.

Menurut Nursalim, (2005:63-64), strategi modeling dapat digunakan membantu klien untuk: a) Memperoleh perilaku baru melalui model hidup maupun model simbolik, b) Menampilkan perilaku yang sudah diperoleh dengan cara yang tepat atau pada saat diharapkan, c) Mengurangi rasa takut dan cemas. d) Memperoleh keterampilan sosial, e) Mengubah perilaku verbal, dan mengobati kecanduan narkoba.

Menurut Corey, (dalam Nursalim dkk, 2005 : 64) macam-macam modeling ialah sebagai berikut: a) Model yang nyata (live model), contohnya konselor yang dijadikan model oleh kliennya, guru, anggota keluarga, atau tokoh lain yang dikagumi, b) Model simbolik (symbolic model), ialah tokoh yang dilihat melalui film, video, atau media lain, c) Model ganda (multiple model) yang terjadi dalam kelompok. Seseorang anggota dari suatu kelompok mengubah sikap dan mempelajari sesuatu sikap baru, setelah mengamati bagaimana anggota lain dalam kelompoknya bersikap.

Bandura, berpendapat bahwa “participant modeling consists of modeled demonstrasion, guide practice, and successful experiences.” Artinya modeling partisipan terdapat demonstrasi model, bimbingan praktek dan pengalaman sukses (dalam Cormier 1985:335).

Selain itu Bandura, menuliskan “ in participant modeling with phobic clients, successful performance in fearful activities or situations heps person learn to cope with the feared situation. The probably nothing more persuasive than successful performance in feared situations”. Artinya di dalam modeling partisipan dengan klien phobia, pengalaman yang sukses di dalam aktivitas ketakutan atau situasi yang membantu sesorang untuk mencoba meniru situasi ketakutan, mungkin tidak ada lagi yang lebih meyakinkan daripada pengalaman yang sukses dalam situasi ketakutan (dalam Cormier 336 :1985).

Selanjutnya Bandura, dkk mengemukakan bahwa “ participant modeling has been used to reduce avoidance behavior and the person’ associated feelings about fearful activities or situations”. Artinya modeling partisipan juga dapat dipergunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan (dalam Cormier 1985:336).

Estringer,dkk berpendapat bahwa “participant modeling quickly achieved very high levels of changes on behavioral, attitudinal, and perceived self- efficacy measures in dealing with a feared stimulus.”Artinya modeling partisipan mempercepat level perubahan terhadap perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan.

(7)

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa modeling partisipan adalah suatu strategi yang digunakan untuk membantu seseorang yang mengalami kesulitan menghadapi suatu kondisi yang menakutkan, pelatihan perubahan perilaku yang lebih baik melalui observasi terhadap perilaku yang dimodelkan oleh seseorang yang memiliki pengalaman lebih sukses sehingga dapat menumbuhkan suatu motivasi untuk meniru perilaku yang dimodelkan sampai adanya perubahan perilaku yang semakin membaik.

Menurut Bandura, (dalam Nursalim 2005: 76-81) Ada 4 komponen dasar modeling partisipan yaitu rasional modeling, pertisipasi terbimbing, dan pengalaman yang berhasil. Keempat komponen tersebut pada hakekatnya sama baik untuk mengurangi perilaku maupun untuk meningkatkan perilaku. Dibawah ini akan diuraikan keempat komponen tersebut:

Rasional ialah penjelasan mengenai alasan pengguanaan dan gambaran singkat mengenai strategi. Dibawah ini adalah contoh rasional dalam modeling partisipan yang diberikan kepada klien :

“Prosedur ini digunakan untuk membantu anda dalam mengatasi ketakutan atau perilaku baru. Ada tiga hal utama yang akan kita lakukan yaitu: pertama anda akan melihat beberapa orang mendemonstrasikan…… Kedua, anda akan mempraktekkannya dengan bimbingan saya selama wawancara konseling ini berlangsung. Ketiga, kami akan mengatur untuk anda agar dapat mempraktekkannya di luar wawancara konseling yang memungkinkan anda memperoleh keberhasilan. Jenis praktek ini akan membantu anda untuk menampilkan apa yang anda rasa sulit untuk anda lakukan. Apakah anda mau dan bersedia mencobanya?”.

Komponen modeling dari modeling partisipan terdiri dari lima bagian yaitu : 1) Perilaku sasaran, Langkah pertama yang harus dilakukan konselor ialah menentukan perilaku sasaran. Perilaku sasaran yang komplek harus dibagi dalam subskill atau subtask dalam suatu rangkaian hirarkhi. Contoh yang menjadi sasaran perilaku adalah kemampuan berperilaku tegas. Konselor dapat membagi kemampuan berperilaku tegas ke dalam tiga kategori yaitu : a) kontak mata secara tegas dengan orang yang menerima pesan, b) pengiriman pesan yang tegas tanpa kesalahan dalam berbicara, c) pengiriman pesan yang tegas tanpa tenggang waktu yang lama antara pengiriman pesan dengan tanggapan. 2) Mengatur subskill atau task dalam hierarki, Konselor dan klien perlu mengatur subskill atau task dalam suatu hierarki. Suatu hierarki dimulai dari suatu yang paling sedikit ancamannya atau situasi yang paling tidak menakutkan, kemudian diikuti situasi yang lebih kompleks dan yang lebih besar ancamannya. Hierarki yang paling ringan dikerjakan terlebih dulu lalu menyusul hierarki yang lebih kompleks. 3) Memilih model, Sebelum melaksanakan komponen modeling, perlu dilakukan seleksi terhadap model yang tepat. Model yang serupa dengan klien akan memberikan keuntungan yang besar. 4) Instruksi sebelumnya bagi klien, Untuk menarik perhatian klien terhadap model, konselor harus memberikan instruksi kepada klien tentang apa yang akan dilakukan oleh model. Klien di suruh mencatat dan memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh model. 5) Demonstrasi model, Dalam modeling partisipan, seorang model mendemonstrasikan satu bagian kemampuan sekaligus. Demonstrasi ganda dapat diatur dengan memiliki model single yang mengulang-ulang demonstrasi atau dengan memiliki beberapa model yang mendemonstrasikan aktivitas atau tanggapan yang sama. Model-model

(8)

ganda memberikan keanekaragaman cara aktivitas yang ditampilkan dan mampu dipercaya pada gagasan bahwa akibat yang merugikan tidak akan terjadi.

Setelah demonstrasi perilaku atau aktivitas, klien diberi kesempatan dan bimbingan yang diperlukan untuk menampilkan perilaku yang dimodelkan. Partisipasi terbimbing atau penampilan adalah salah satu komponen pembelajaran yang paling penting untuk mengatasi situasi yang menakutkan, dan untuk memperoleh perilaku baru.

Partisipasi terbimbing terdiri dari lima langkah yaitu: 1) Praktek klien, Setelah model mendemonstrasikan perilaku atau aktivitas, klien diminta mempraktekkannya dalam hierarki. Klien melakukannya mulai langkah pertama hierarki sampai klien melakukannya dengan terampil dan penuh percaya diri. 2) Umpan balik konselor. Setelah klien mempraktekkan, konselor memberikan umpan balik verbal kepada klien tentang penampilannya. Ada dua bagian umpan balik yaitu : (a) menyanjung atau meneguhkan praktek yang berhasil (b) usulan memperbaiki atau mengubah kesalahan. 3) Penggunaan bantuan induksi. Bantuan induksi merupakan bantuan yang mendukung yang diatur konselor untuk membantu klien dalam melakukan tanggapan yang sulit atau menakutkan. 4) Penghilangan bantuan induksi. Bantuan induksi dapat ditarik secara bertahap sesuai dengan tingkatan hierarkinya. 5) Praktek klien yang diarahkan pada diri, Klien harus dapat melakukan aktivitas atau tanggapan yang diharapkan tanpa bantuan induksi. Praktek klien yang diarahkan pada diri, memperkuat perubahan dalam kepercayaan dan evaluasi dari klien dan bisa mengarah ke perbaikan fungsi perilaku.

Pengalaman berhasil diatur melalui suatu program yang mengalihkan kemampuan tambahan dari interview (sesi konseling) ke kehidupan klien. Program transfer pelatihan ini meliputi langkah berikut: 1) Konselor dan klien mengidentifikasi situasi dalam lngkungan klien dimana klien ingin melakukan tanggapan-tanggapan target. 2) Situasi ini diatur dalam hierarki. 3) Konselor menyertai klien masuk kedalam lingkungan dan berlatih dengan masing-masing situasi dalam daftar modeling dan partisipasi terbimbing. 4) Klien diberikan serangkaian tugas untuk melakukan dengan cara yang diarahkan pada diri.

Metode

Jenis penelitian ini adalah pre eksperimen dengan jenis pre-test dan post-test one group design, sedangkan subjek penelitiannya adalah 6 siswa yang memiliki penyesuaian diri rendah terhadap teman sebaya di kelas VII G SMP Negeri 1 Ngadirojo, Pacitan. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang siswa yang memiliki penyesuaian diri rendah terhadap teman sebaya adalah dari angket yang dikembangkan sendiri. Penerpan strategi modeling partisipan dilakukan 8× pertemuan dengan menggunakan konseling kelompok.

Data dianalisis dengan menggunakan teknik statistik non parametrik dengan menggunakan Uji Tanda.

Hasil dan Pembahasan

Pada pelaksanaan penelitian, semua subyek penelitian melaksanakan langkah-langkah sesuai dengan hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Dimulai dengan pelaksanaan tes awal (pre-test), pemberian perlakuan melalui strategi modeling partisipan, dan tes akhir (post-test). Pada pelaksanaan pre-test

(9)

dan post-test, subyek penelitian diberikan instrumen berupa angket penyesuaian diri terhadap teman sebaya yang sama. Hasil yang diperoleh adalah penerapan strategi modeling partisipan mampu meningkatkan penyesuaian diri terhadap teman sebaya.

Dari keterangan di atas dapat diketahui hasil pre-test dan post-test konseli semuanya mengalami kenaikkan dalam skor penyesuaian diri terhadap teman sebaya. Jika di rata-rata skor pre-test ialah 71,83 dan rata-rata skor post-test 99,16, rata kenaikkan skor setiap individu adalah 27 skor. Adanya kenaikkan rata-rata skor penyesuaian diri terhadap teman sebaya menunjukkan bahwa kenaikkan itu terjadi akibat perlakuan yang diberikan, kenaikkan yang paling besar terjadi pada konseli SSO, DWJ dan KTW, hal ini terjadi karena mereka melaksanakan strategi modeling partisipan dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi untuk meningkatkan penyesuaian diri terhadap teman sebaya mereka sehingga hasil yang diperoleh juga maksimal. Sedangkan konseli yang lain sudah berusaha melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Perubahan konseli banyak yang terlihat pada perlakuan ke 4, mereka tampak lebih percaya diri, tidak takut ketika mau berinteraksi, sebagian dari mereka mau memulai pembicaraan terlebih dahulu, berani mengemukakan pendapat dan menyanggah pendapat teman, bertanya, menyapa terlebih dahulu dan mau berbincang-bincang dengan teman. Hasil yang diperoleh cukup maksimal, sudah mengalami perubahan yang berarti. Jadi dengan penerapan strategi modeling partisipan yang dilaksanakan konseli dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi yang timbul dari diri konseli dapat memberikan hasil yang optimal. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa keterangan di atas, berarti strategi modeling partisipan dapat dijadikan sebagai alternatif bantuan bagi siswa yang memiliki penyesuaian diri terhadap teman sebaya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura, Blancard dan Ritter, 1969 mengemukakan bahwa modeling partisipan juga dapat dipergunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan (dalam Cormier 336:1985). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya tentang penggunaan strategi modeling partisipan dan penyesuaian diri. Seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Lanni Mardiana di SMA Kemala Bhayangkari 1 Surabaya, membuktikan bahwa strategi modeling partisipan dapat membantu siswa yang kurang berani bertanya, setelah pemberian strategi modeling partisipan, siswa yang mulanya gemetar, malu, tidak percaya diri, takut salah, menjadi tidak takut berbicara, lebih sering betanya, dan mampu menjelaskan kembali pertanyaan- pertanyaan yang kurang jelas pada guru maupun teman. Dalam penelitian tersebut ada pengaruh positif strategi modeling partisipan terhadap keberanian bertanya siswa pada guru dikelas (Lanni Mardiana, 2005). Penelitian yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang relevan dengan penelitian ini, antara lain : penelitian yang dilakukan oleh Khotijah (2008), tentang penggunaan latihan asertif untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa kelas X-2 di SMA Khadijah Surabaya. Dalam penelitian tersebut diketahui adanya peningkatan penyesuaian diri siswa disekolah setelah dilakukan latihan asertif. Jadi Strategi modeling partisipan merupakan strategi yang sangat efektif, sebagai pengubahan tingkah laku atau kebiasaan dengan pengaturan dan pemanfaatan yang dilakukan oleh subjek sendiri. Keseluruhan dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri terhadap teman sebaya yang sebelumnya

(10)

menyebabkan konseli kurang mampu bergaul, berinteraksi, bertanya, tidak percaya diri, dan minder, setelah mendapatkan perlakuan strategi modeling partisipan, konseli mengalami perubahan dalam hal konseli dapat berinteraksi, bergaul, mempunyai banyak teman dan lebih percaya diri. Estringer,Cash, and Rimm,1982 mengemukakan bahwa “participant modeling quickly achieved very high levels of changes on behavioral, attitudinal, and perceived self- efficacy measures in dealing with a feared stimulus.”Artinya modeling partisipan mempercepat level perubahan terhadap perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan. Hal tersebut terbukti yaitu dengan pemberian strategi modeling partisipan kepada konseli yang mengalami penyesuaian diri terhadap teman sebaya pada tingkat yang rendah setelah diberikan strategi modeling partisipan konseli dapat berinteraksi dengan baik, dapat meningkatkan penyesuaian diri mereka sehingga dampak negatif dari perilaku tersebut dapat dihilangkan.

Meskipun strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk mengatasi masalah penyesuaian diri terhadap teman sebaya, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain: pertama, ialah rancangan penelitian yang digunakan pre-tes post-pre-test one group design, artinya hasil yang diperolah belum dapat diketahui keterandalannya jika diberikan pada kelompok lain yang juga diberikan dengan strategi modeling partisipan, sehingga belum dapat dibandingakan apakah hasil penelitian akan sama dengan kelompok pembanding. Kedua, Penelitian ini hanya menggunakan angket sebagai alat pengumpul data untuk mengungkap permasalahan penyesuaian diri terhadap teman sebaya. Ketiga, penelitian ini hanya dilakukan dengan menggunakan konseling kelompok, oleh karena itu penelitian yang akan datang perlu digunakan konseling secara individual untuk menerapkan strategi modeling partisipan. Dari proses pemberian perlakuan strategi modeling partisipan dilakukan sebanyak 8 kali pertemuan, tidak ada kendala dalam segi tempat ataupun waktu. Sehingga dalam melakukan penelitian ini dapat tercapai tujuan yang maksimal. Untuk lebih meyakinkan keefektifan strategi modeling partisipan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi penyesuaian diri terhadap teman sebaya dengan subyek yang berbeda dan jumlah yang lebih banyak.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji tanda, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan skor penyesuaian diri terhadap teman sebaya di kelas VII G SMP Negeri 1 Ngadirojo, Pacitan antara sebelum dan sesudah penerapan strategi modeling partisipan. Hal ini berarti ada peningkatan penyesuaian diri terhadap teman sebaya antara sebelum dan sesudah penerapan strategi modeling partisipan pada siswa kelas VII G di SMP Negeri 1 Ngadirojo, Pacitan. Hasil analisis per individu, diketahui bahwa sejumlah enam subyek penelitian yaitu NRF, DWJ, SSO, ADP, BNR dan KTW mengalami perubahan yaitu penyesuaian diri terhadap teman sebaya mereka meningkat. Perubahan tingkat penyesuaian diri terhadap teman sebaya masing-masing subjek penelitian berbeda-beda, namun peningkatan atau perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang positif. Hal tersebut terbukti dengan adanya perubahan pada subjek penelitian yaitu subjek penelitian sudah mampu untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya dengan mereka tampak lebih percaya diri, tidak takut ketika

(11)

mau berinteraksi, sebagian dari mereka mau memulai pembicaraan terlebih dahulu, berani mengemukakan pendapat dan menyanggah pendapat teman, bertanya, menyapa terlebih dahulu dan mau berbincang-bincang dengan teman. Saran

Konselor sekolah dapat menggunakan strategi modeling partisipan sebagai alternatif bantuan kepada siswa yang mempunyai masalah utamanya menyangkut penyesuaian diri terhadap teman sebaya.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-tes post-test one group design, artinya hasil yang diperolah belum dapat diketahui keterandalannya jika diberikan pada kelompok lain yang juga diberikan dengan strategi modeling partisipan, sehingga belum dapat dibandingakan apakah hasil penelitian akan sama dengan kelompok pembanding. Bagi peneliti lain diharapkan dapat menggunakan true experiment design yaitu menggunakan kelompok kontrol sebagai kelompok pembanding. Sehingga hasil yang diperoleh akan lebih sempurna dan bisa memperkuat hasil penelitian.

Peneliti lain yang ingin melakukan penelitian serupa dapat menambah alat pengumpul data misalnya observasi dan wawancara, karena dalam penelitian ini hanya menggunakan angket sebagai alat pengumpul data.

Daftar Rujukan

Cormier,W.H dan cormier L.S. 1985. Interviewing Strategies for Helps Fundamental Skill and Cognitive Behavioral Intervention.2. ed. Monlerey,California: Publishing Company.

Hartono. Agung. B dan Sunarto. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.

Kartono, Kartini.1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung : Mandar Maju.

Mu’tadin, Zainun. 2002. Penyesuaian Diri Remaja (Online).

(http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=390, diakses 24 maret 2010)

Nursalim, Moch.dkk. 2005. Strategi konseling. Surabaya. Unesa University Press. Panuju, Panut dan Ida Umami. 2005. Psikologi Remaja.Yogyakarta : Tiara

Wacana.

Santoso, slamet. 1999. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT Bumi Aksara. Santrock, Jhon W. 2003. Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.

Sundari, Siti. 2005. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Tanpa Nama.2008. penyesuaian diri siswa di sekolah(Online).

(http://insanutama.blogspot.com/2008/10/penyesuaian-diri-siswa-di-sekolah.html, diakses 24 maert 2010.)

Winkel, W.S dan Hastuti. 2007. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.

Willis, Sofyan. 2005. Remaja dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2008. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT Remaja Rosda Karya

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.18 Hasil Uji t Independent Sample Test Data N-Gain. Kemampuan Penalaran Matematis

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik simpulan bahwa model pembelajaran group investigation berbantuan modul efektif pada prestasi belajar

Namun dalam penelitian ini rasio yang digunakan yaitu Return on Equity (ROA) disebut sebagai rentabilitas ekonomis yang merupakan ukuran kemampuan perusahaan

Serta menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM) untuk menguji hipotesisnya. Adapun hasil analisis data pengujian hipotesisnya, sebagai berikut : 1) Perceived

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan suatu pemikiran yang dapat disumbangkan pada para praktisi hukum, dan menambah wacana maupun wawasan pada masyarakat

Pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling , yaitu pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan menggunakan

Untuk memberikan gambaran yang jelas terhadap pembahasan, serta agar analisis terhadap penelitian menjadi terarah dan sesuai dengan masalah yang ada, maka penulis membatasi

merupakan protein fase akut yang paling pertama meningkat sebagai. respon terhadap