• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut

2.1.1 Definisi Sindroma Koroner

Istilah SKA banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian

kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindroma Koroner Akut merupakan

satu sindrom yang terdiri beberapa penyakit koroner yaitu, angina pektoris tidak

stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), infark miokard

dengan elevasi ST (STEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca

tindakan intervensi koroner perkutan. Sindroma Akut merupakan keadaan darurat

jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai

akibat iskemia miokardium.

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan spektrum manifestasi akut dan

berat yang merupakan keadaan kegawat-daruratan dari koroner akibat

ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah

(Kumar, 2007).

Andra (2006) mengatakan Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah kejadian

kegawatan pada pembuluh darah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa

Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari Angina Pektoris Tidak

Stabil yang disertai Infark Miokard Akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) atau Infark

Miokard dengan elevasi ST (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat

dari ruptur plak aterosklerosis yang tidak stabil.

2.1.2 Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindroma Koroner Akut (SKA)

(2)

a) Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan

nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per

hari.

b) Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan

pada waktu istirahat.

c) Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.

Secara Klinis:

a) Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti

anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia

karena gagal napas.

b) Kelas B: Primer.

c) Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati

dengan obat anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan

antagonis kalsium) dan nitrogliserin intravena.

2.1.3 Etiologi Sindroma Koroner Akut

Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada

penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini

diakibatkan oleh empat hal, meliputi:

a) Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat

konsumsi kolesterol tinggi.

b) Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).

c) Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus

menerus.

d) Infeksi pada pembuluh darah.

Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindroma Koroner Akut (SKA)

(3)

a) Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan

b) Stres emosi, terkejut

c) Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan

peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat,

frekuensi denyut jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

2.1.4 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut

Faktor resiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor resiko

konvensional dan faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan proses

aterotrombosis (Braunwald, 2007).

Faktor resiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,

hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di

dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi (Santoso, 2005).

Di antara faktor resiko konvensional, ada empat faktor resiko biologis yang

tidak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.

Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan

lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik. (Braunwald,

2007)

Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa

menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga

oleh karena adanya efek perlindungan estrogen.

Faktor-faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat

memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar

serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi

lemak jenuh, kolesterol, dan kalori .

Sindroma Koroner Akut umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40

tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita

penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45

(4)

atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada

usia muda. (Santoso, 2005)

2.1.5 Penyakit Yang Termasuk Dalam SKA

Yang termasuk kedalam Sindroma Koroner Akut adalah Angina Pektoris

Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI), dan Infark

Miokard tanpa Elevasi ST (NSTEMI).

2.1.5.1 Angina Pektoris Tidak Stabil

2.1.5.1.1 Definisi Angina Pektoris Tidak Stabil

Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia

miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian

utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal

(varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih

difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil (Kumar, 2007).

Angina pektoris tidak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya

meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan

menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil.

Angina tidak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius

dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada

sebagian besar pasien, angina ini dipicu oleh perubahan akut pada plak di sertai

trombosis parsial dan embolisasi distal. Perubahan morfologik pada jantung

adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).

2.1.5.1.2 Patogenesis Angina Pektoris Tidak Stabil

(5)

Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tidak

stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner

yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari

pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau

kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tidak stabil mempunyai penyempitan

kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak

lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari

inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya

ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau

pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding

plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan makrofag

dan secara enzimatik melemahkan dinding plak. Terjadinya ruptur menyebabkan

aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya

trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan

elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya

menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tidak stabil (Trisnohadi,

2006).

2) Trombosis dan agregasi trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar

terjadinya angina tidak stabil.Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di

sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa

(foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan

dalam plak tak stabil.Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan

berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang

menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).

(6)

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tidak

stabil.Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi

oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan

menyebabkan spasme.Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal

juga menyebabkan angina tidak stabil.Adanya spasme sering kali terjadi pada plak

yang tidak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi,

2006).

4) Erosi pada plak tanpa ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan

migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya

perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat

menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia

(Trisnohadi, 2006).

2.1.5.1.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Angina Pektoris Tidak Stabil

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina

yang bertambah dari biasa.Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih

lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang

minimal.Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah,

kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak

ada yang khas.

Pemeriksaan penunjang:

• Elektrokardiografi (EKG)

• Pemeriksan laboratorium

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima sebagai

petanda paling penting.

(7)

Tindakan umum:

Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien

perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin

atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah

mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).

Terapi medikamentosa :

• Obat anti iskemia

• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.

• Obat anti agregasi trombosit

• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa

• Obat anti trombin

• Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin

• Direct trombin inhibitors

Tindakan revaskularisasi pembuluh darah:

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia

berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan

penyempitan di ventrikel kiri atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila di

sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan Coronary Artery Bypass Grafting

(CABG) dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko

kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan

morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif.Pada pasien dengan faal jantung

yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua pembuluh darah atau

bila ada kontraindikasi pembedahan, Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

merupakan pilihan utama. Pada angina tidak stabil perlu dilakukan tindakan

invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi resiko pasien: Pada resiko

tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin

meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama jantung seperti

takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi, 2006).

(8)

2.1.5.2.1 Definisi NSTEMI

NSTEMI mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah

yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Secara klinis infark

akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina tidak stabil. Yang

membedakan adalah adanya enzim petanda jantung yang positif. (Brunner dan

Sudarth, 2002)

2.1.5.2.2 Patofisiologi NSTEMI

NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau

peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.

NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.

Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tidak

stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,

densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor

jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi

ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi

ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya

proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF

α, dan IL-6. selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Sjaharuddin, 2006).

2.1.5.2.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang NSTEMI

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium

dengan ciri seperti di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri

tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering di

temukan pada penderita NSTEMI. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual,

diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga

terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65

tahun. Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal

penting yang menentukan resiko pada pasien. Troponin T atau Troponin I

(9)

daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada pasien dengan

infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4

jam dan dapat menetap sampai 2 minggu (Sjaharuddin, 2006).

2.1.5.2.4 Penatalaksanaan NSTEMI

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk

deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus

dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:

• Terapi antiiskemia

• Terapi anti platelet/antikoagulan

• Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)

• Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.\

2.1.5.3 Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI) 2.1.5.3.1 Definisi STEMI

Infark miokard menunjukkan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium

akibat iskemia total. Infark miokard akut yang dikenal sebagai “serangan

jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian dinegara dan

merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju (Kumar,

2007).

2.1.5.3.2 Patofisiologi STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak

setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya.

Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak

memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury

vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,

(10)

arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau

sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi

ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis

menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous

cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran

patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar

sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya

pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)

memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan

tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit

memicu perubahan reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi

fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada

protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2

platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan

agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel

yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin

menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri

koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri

agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga

disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan

berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

2.1.5.3.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang STEMI

Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri

dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri

dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus,

dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di keluarga (Alwi,

2006). Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi

STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang

(11)

variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam

setelah bangun tidur.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.

Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada

substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda

fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas

jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan

murmur mid sistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).

Selain itu diagnosis STEMI ditegakkan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST

kurang lebih 2 mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan

atau kurang lebih 1 mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung,

terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).

2.5.1.3.4 Penatalaksanaan STEMI

ICCU: Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko

muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya

minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30%

kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat,

kalium, magnesium, dan rendah natrium. Penggunaan narkotik sering

menyebabkan efek konstipasi sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan

secara rutin. Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk

mempertahankan periode inaktivasi dengan penenang (Alwi, 2006).

Terapi farmakologis:

• Fibrinolitik

• Antitrombotik

• Inhibitor ACE

• Beta-Blocker

(12)

Wasid (2007) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien Sindroma

Koroner Akut adalah :

1. Oksigenasi : Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan

oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya

ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3

liter/menit secara kanul hidung.

2. Nitrogliserin (NTG) : Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula

secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap

ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10

ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang

dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard,

menurunkan kebutuhan oksigen di miokard, menurunkan beban awal (preload)

sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel, dilatasi arteri koroner besar dan

memperbaiki aliran kolateral, serta menghambat agregasi platelet.

3. Morfin : Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;

mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance;

menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah

juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard

berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil

memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan

4. Aspirin : Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada

kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat

siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2.

Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial. Dosis

yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable"

dari pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat

diberikan pada pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan bersama

(13)

efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina

pektoris.

5. Antitrombolitik lain (Clopidogrel, Ticlopidine) : Derivat tinopiridin ini

menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan

menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine

diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.

Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal

infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan

iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner.

Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat

dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama

Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Perlu diamati efek samping netropenia dan

trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik

trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II

– III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan

Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi

gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya

resiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan

Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari

peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2

jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari.

Penanganan SKA Lebih Lanjut:

1. Heparin : Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru

yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah

pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak

langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet.

Dosis UFH yang dianjurkan terakhir ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan

infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam

(14)

2. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH) : Diberikan pada APTS

atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding

dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama, high bioavailabiliy,

dose–independent clearance, mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat

aktivasi platelet, tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand,

kejadian trombositopenia sangat rendah, tidak perlu pemantauan aPTT, rasio

antifaktor Xa / IIa lebih tinggi, lebih banyak menghambat alur faktor jaringan, dan

lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk

dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxiparin.

3. Warfarin : Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa

pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini.

Tidak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja

sehingga tidak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.

4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I) : Obat ini perlu diberikan pada

NSTEMI dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan

PercutaneousCoronary Intervention (PCI). Pada STEMI , bila diberikan bersama

trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah

menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe

stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada 3 perparat, yaitu

Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga

secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara

intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian

peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan

mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat

digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak pada tindakan PCI. Namun,

tetap perlu diamati ukomplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah

platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut

trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml.

(15)

1. Penghambat Beta Andrenergik : Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar

jantung sehingga menyebabkan waktu diastolik lebih lama, menurunkan

kontraktilitas miokard dan beban jantung, menghambat stimulasi katekolamin;

serta menurunkan pemakaian oksigen miokard. Obat ini baik untuk APTS /

NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark, reinfark, serta mortalitas.

Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV, asma bronkial,

atau edema paru akut.

2. Antagonis Kalsium : Dapat digunakan pada APTS/NSTEMI jika ada

kontraindikasi penghambat Beta adrenergik. Diltiazem jangan diberikan pada

disfungsi ventrikel kiri dan atau gagal jantung kongestif (GJK).

3. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin : Boleh diberikan pada pasien

dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi < 40%) maupun GJK. Dalam

jangka pendek, tidak banyak perubahan, namun akan banyak berarti dalam

jangka panjang. Efeknya ialah membatasi perluasan infark, menurunkan

sistem neurohumoral, dan meningkatkan aliran darah kolateral.

4. Magnesium : Tidak dianjurkan secara rutin. Mempunyai efek menurunkan

risiko aritmi ventrikel sehingga menurunkan mortalitas.

5. Penurunan Kadar Lipid : Terutama golongan statin yang dalam jangka lama

dapat membantu memperbaiki pasien setelah infark miokard akut dan APTS.

Statin mempunyai manfaat lebih, selain penurun kadar Lipid (LDL/TG) juga

mempunyai efek antitrombotik dan antiagregasi platelet melalui mekanisme

hambatan terhadap eNOS (endothelial cell Nitric Oxide Synthase), sehingga

mencegah disfungsi endotel dan disebut sebagai efek "pleiotropic".

6. Recombinan Human Erythropoeitin : Digunakan pada anemia dengan

penyakit arteri koroner, namun dapat memperberat penyakit jantung iskemik

itu sendiri.

7. PCI (Percutaneus Coronary Intervention) : Tindakan ini akan memperbaiki

(16)

dibandingkan terapi trombolitik yang 7,2 % dan resiko stroke. Hasil

memuaskan telah dicoba dengan PCI bersama stenting dan terapi GPIIb/IIIa-I.

PCI sendiri sebenarnya dapat menyebabkan disrupsi plak koroner, namun

telah dicoba dengan GPIIb/IIIa-I dapat menurunkan risiko tersebut. PCI harus

dipertimbangkan pada pasien STEMI usia lanjut ( >75 tahun), sebab resiko

kematian cukup tinggi dengan trombolitik.

2.1.7 Komplikasi Sindroma Koroner Akut

1. Hipotensi  Syok Kardiogenik

2. Aritmia malignant  Kematian mendadak

3. Disfungsi ventrikel  Gagal jantung

4. Mechanical rupture, VSD

5. Gangguan hantaran

6. Perikarditis

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi hipertensi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh

darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.Hipertensi sering

kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit

yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai

peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk, 2004).

2.2.2 Klasifikasi hipertensi

Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committe on Prevention,

(17)

Tabel 2.1 : Klasifikasi Hipertensi

2.2.3 Etiologi hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi

renal.

1) Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,

disebut juga hipertensi idiopatik.Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf

simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan

Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,

alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur

30 – 50 tahun (Schrier, 2000).

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab

spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,

feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan

kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).

Kategori Tekanan

Pra-Hipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi:

Tahap 1 140-159 atau 90-99

(18)

2.2.4 Gejala Klinis hipertensi

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin

tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi

perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila

terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing.

Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga

berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang.

Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan

kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal.

(Julius, 2008).

2.2.5 Diagnosis hipertensi

Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis

Kardiovaskular Indonesia) (2003), terdiri atas:

1. Riwayat penyakit

a. Lama dan klasifikasi hipertensi

b. Pola hidup

c. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular (Tabel 2.3)

d. Riwayat penyakit kardiovaskular

e. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi

f. Target organ yang rusak

g. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan

2. Pemeriksaan fisik

a. Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit

b. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral

c. Tinggi badan dan berat badan

d. Pemeriksaan funduskopi

e. Pemeriksaan leher, jantung, abdomen dan ekstemitas

(19)

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Urinalisa

b. Darah : platelet, fibrinogen

c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat

4. Pemeriksaan tambahan

a. Foto rontgen dada

b. EKG 12 lead

c. Mikroalbuminuria

d. Ekokardiografi

2.2.6 Penatalaksanaan hipertensi

Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah adalah :

1. Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis.

Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan

dieresis dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah

pada akhirnya.

a) Thiazide

Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan

lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah.

b) Diuretik Hemat Kalium

Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan

tunggal. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium

yang disebabkan oleh diuretik lainnya.

(20)

Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih

berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6 minggu

dengan spironolakton).

2. Beta Blocker

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada

dosis rendah dan mengikat baik reseptor β1 daripada reseptor β2.Hasilnya agen tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih aman

dari non selektif β bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi pulmonari kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.Acebutolol, carteolol,

penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik simpatomimetik atau

sebagian aktivitas agonis reseptor β.

3. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)

Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada penderita

dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE

yang penting dalam hipertensi.

2.3 Hubungan Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dan Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu faktor resiko major bagi perkembangan

aterosklerosis. Untuk menjelaskan hubungan antara hipertensi dan sindroma

koroner akut, faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan faktor resiko yang

menyebabkan penyakit, seperti resiko genetik, resistensi insulin, hiperaktif

simpatik, dan zat vasoaktif (yaitu, angiotensin II), dan hipertensi yang dikaitkan

dengan perkembangan aterosklerosis (yang seterusnya berkontribusi untuk

perkembangan infark miokard). Dari semua pendaftar dan data yang tersedia

sampai saat ini, pasien hipertensi dengan SKA lebih cenderung terjadi pada usia

yang lebih tua, perempuan,dan memiliki prevalensi komorbiditas yang lebih

(21)

Hipertensi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan

aterosklerosis dan pengembangan plak-plak yang tidak stabil dan rentan ruptur

(yang seterusnya menyebabkan trombosis dan oklusi pembuluh darah) dan

bertanggung jawab untuk pengembangan sindroma koroner akut (SKA).

Pada GUSTO-1 trial, 41,021 pasien STEMI yang hadir dalam waktu 6 jam

onset gejala secara acak menerima rejimen trombolitik yang berbeda. Pada

populasi ini, prevalensi riwayat hipertensi sebelumnya adalah 38,1%. Pada

penelitian terkini yang difokuskan pada pasien dengan STEMI dengan primary

PCI di mana riwayat hipertensi hadir dalam rentang 30-33%. Sebuah lagi

penelitian yaitu, SYMPHONY TRIAL menunjukkan prevalensi hipertensi pada

pasien STEMI lebih dari 50% , dan registri baru di Spanyol (PRIMVAC)

melaporkan prevalensi 46% dari hipertensi pada pasien STEMI (Claudio

Picariello et al,2011).

Dari hasil registrar dan data yang tersedia sampai saat ini, pasien hipertensi

dengan STEMI lebih cenderung pada usia lebih tua, wanita, etnis non-putih, dan

memiliki komorbiditas seperti diabetes, hiperkolesterolemia, gagal ginjal kronis,

riwayat gagal jantung, infark miokard sebelumnya, dan pernah menlakukan

revaskularisasi miokard. (Claudio Picariello et al,2011)

Dalam studi epidemiologi yang dilakukan pada pasien infark miokard tanpa

elevasi ST (NSTEMI), hipertensi kronis merupakan faktor risiko yang paling

umum yang terdeteksi dalam hampir dua pertiga dari seluruh populasi. Ini lebih

tinggi danding pasien STEMI (sekitar 70-75% dibandingkan 30-40%) karena

biasanya pasien NSTEMI lebih tua dan memiliki lebih banyak komorbiditas

dibanding pasien STEMI.

Salah satu penyebab terjadinya hipertensi pada pasien Sindroma Koroner Akut

adalah terjadinya aterosklerosis pada pembuluh darah. Sudah diketahui dari

patofisiologi sindroma koroner akut sendiri bahwa aterosklerosis memainkan

peran yang terpenting atas terjadinya angina tidak stabil seterusnya STEMI dan

NSTEMI. Menurut Göran (2005), aterosklerosis merupakan salah satu penyakit

inflamasi pada pembuluh darah. Secara patofisiologinya, hubungan terjadinya

(22)

1. Terjadinya influx kolesterol LDL pada bahagian tunica intima pembuluh darah

yang melebihi kadar normal.

2. Kolesterol LDL akan teroksidasi apabila bereaksi dengan molekul oksigen

bebas yang terbentuk dari pelbagai reaksi enzimatik dan non-enzimatik.

3. Kolesterol LDL yang teroksidasi akan memicu perlengketan dan masuknya

monosit dan limfosit T kedalam tunika intima pembuluh darah melalui permukaan

endothelium.

4. Makrofag terbentuk dari monosit dan akan memfagosit kolesterol LDL yang

teroksidasi, sehingga membentuk foam cell.

5. Foam cell yang terbentuk akan memicu perlepasan sitokin-sitokin

seperti interferon-γ, tumor necrosis factor-α, dan interleukin-1 sehingga terjadinya

aterosklerosis.

6. Lumen pembuluh darah mengecil, menyebabkan meningkatnya resistensi

vaskular sistemik total dan sehingga terjadi hipertensi.

Oleh karena itu, dengan tingginya kadar kolesterol dalam darah, maka ini akan

terjadi peningkatan tekanan darah. Semakin tinggi kadar kolesterol, maka lebih

banyak terjadinya aterosklerosis dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan

semakin tinggi resistensi vascular sistemik dan memicu kepada peningkatan

tekanan darah yang lebih berat.

Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak

stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner

yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Secara klinis infark

miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina tidak stabil.

Yang membedakan adalah adanya enzim petanda jantung yang positif. Yang

membedakan NSTEMI dan STEMI adalah tempo gejala berlangsung dan elevasi

(23)

Gambar 2.1: Hubungan Aterosklerosis, SKA dan Hipertensi Ateroskleloris

Sindroma Koroner Akut

• APTS

• STEMI

• NSTEMI

Gambar

Tabel 2.1 : Klasifikasi Hipertensi
Gambar 2.1: Hubungan Aterosklerosis, SKA dan Hipertensi

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi adiponektin plasma pada pasien sindroma koroner akut lebih rendah bermakna dibandingkan pada penderita angina stabil dan kelompok kontrol.. 39 Juga kadar adiponektin

penelitian yang berkaitan antara prevalensi diabetes melitus pada pasien sindroma koroner akut dalam judul “Prevalensi Diabetes Mellitus pada pasien Sindroma Koroner Akut

Ada hubungan antara nilai Neutrophil-Lymphocyte Ratio dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien sindroma koroner akut. 1.4

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Prevalensi Faktor Resiko Mayor Pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari – Desember 2013 yang Rawat Inap di RSUP Haji Adam Malik”,

Furqan, A., Faktor Yang Dapat Dimodifikasi Dan Tidak Dapat Dimodifikasi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSUP.. Heitman, J., “Acute

sindroma koroner akut yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, NSTEMI,

Gambaran Tekanan Darah pada Pasien Sindroma Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011- 2012.. Jurnal

&#34; Hubungan Antara Kadar Histamin dan Tryptase Plasma dengan Kejadian Infark Miokard Akut ST Elevasi Pada Pasien Dengan Sindroma Koroner Akut” beserta perangkat yang