• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Yasmeen binti Mohammed Akram Tempat / Tanggal Lahir : Sarawak / 24 Nopember 1992 Agama : Islam

Alamat : No.1, Srikandi House, Jl Sei Padang, Medan Riwayat Pendidikan : 1. Sekolah Kebangsaan St. Anthony, Sarawak 2. Sekolah Menengah Kebangsaan K. Kubu Bharu, Selangor

3. Maktab Rendah Sains MARA Merbok, Kedah 4. President College, K.Lumpur

(2)

DATA INPUT DAN HASIL OUTPUT

1. Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUPH.Adam Malik pada tahun 2011

Statistics

Jenis SKA

N Valid 1273

Missing 0

Jenis SKA

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid APTS 795 62.5 62.5 62.5

NSTEMI 331 26.0 26.0 88.5

STEMI 147 11.5 11.5 100.0

Total 1273 100.0 100.0

2. Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi di RSUP.H.Adam Malik pada tahun 2011

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis SKA * Hipertensi 1273 100.0% 0 .0% 1273 100.0%

Jenis SKA * Hipertensi Crosstabulation

(3)

- +

3. Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi menurut kelompok usia di RSUP.H.Adam Malik pada tahun 2011

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis SKA * Hipertensi *

Kel.Usia 1273 100.0% 0 .0% 1273 100.0%

Jenis SKA * Hipertensi * Kel.Usia Crosstabulation

(4)
(5)

% within Jenis SKA 69.9% 30.1% 100.0%

% of Total 69.9% 30.1% 100.0%

>60-70 Jenis SKA APTS Count 115 58 173

% within Jenis SKA 66.5% 33.5% 100.0%

% of Total 41.4% 20.9% 62.2%

NSTEMI Count 46 18 64

% within Jenis SKA 71.9% 28.1% 100.0%

% of Total 16.5% 6.5% 23.0%

STEMI Count 27 14 41

% within Jenis SKA 65.9% 34.1% 100.0%

% of Total 9.7% 5.0% 14.7%

Total Count 188 90 278

% within Jenis SKA 67.6% 32.4% 100.0%

% of Total 67.6% 32.4% 100.0%

>70 Jenis SKA APTS Count 29 17 46

% within Jenis SKA 63.0% 37.0% 100.0%

% of Total 37.7% 22.1% 59.7%

NSTEMI Count 10 11 21

% within Jenis SKA 47.6% 52.4% 100.0%

% of Total 13.0% 14.3% 27.3%

STEMI Count 8 2 10

% within Jenis SKA 80.0% 20.0% 100.0%

% of Total 10.4% 2.6% 13.0%

Total Count 47 30 77

% within Jenis SKA 61.0% 39.0% 100.0%

(6)

4. Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi menurut jenis kelamin di RSUP.H.Adam Malik pada tahun 2011

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin * Hipertensi *

Jenis SKA 1273 100.0% 0 .0% 1273 100.0%

Jenis SKA * Hipertensi * Jenis Kelamin Crosstabulation

(7)

STEMI Count 21 4 25

% within Jenis SKA 84.0% 16.0% 100.0%

% of Total 6.5% 1.2% 7.8%

Total Count 233 88 321

% within Jenis SKA 72.6% 27.4% 100.0%

(8)

DAFTAR PUSTAKA

ACC/AHA. 2004. ACC/AHAGuidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial

Infarction

April 2013)

Alwi, I., 2007. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1615-1625.

Amber, A., et al, 2012. Frequency of modifiable risk factors in patients with acute

coronary syndrome.Rawal Medical Journal: Vol. 37. No. 3.

Anderson, R.D., 2007. Gender Differences in the Treatment for Acute Myocardial Infarction. Hal: 823-826

Andra, 2006.Sindrom Koroner Akut: Pendekatan Invasif Dini atau

Konservatif

. (Accesed pada 29 April 2013)

Braunwald, E., 2008. Braunwald’s Heart Disease. Edisi Kelapan. Philadelphia: Saunders Elsevier. Hlm: 1207-31.

Brunner dan Suddarth, 2002. Medical Surgical Nursing. Jakarta: ECG

Claudio, P., Chiara, L., et al, 2011.The Impact of Hypertension on Patients with

Acute Coronary Syndromes.2011;20(1):

(9)

Departemen Kesehatan RI, 2005. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT). Depkes RI, Jakarta

Göran, K., dan Hansson, 2005. Inflammation, Atherosclerosis, and Coronary Artery Disease. N Engl J Med. Hal: 1685-1695

Kleinschmidt, K.C., 2006. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482.

( Accesed pada 29 April 2013)

Kristen, J., 2009. Acute Coronary Syndrome. AJN: Vol. 109, No. 5

Kumar, A. dan Cannon, C.P., 2007.Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management Part1

pada 27 April 2013)

Lanny, S., dkk. 2004. Hipertensi. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama.

Rilantono, dkk., 1996. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), 2003. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia. Jakarta: PERKI

Santoso, M., dan Setiawan, T., 2005. ‘Penyakit Jantung Koroner’ Cermin Dunia Kedokteran. Hal: 5-9

(10)

Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7

Express)

(Accessed pada 5th Mei 2013).

Sjaharuddin, H.,Alwi, I.,dkk, 2006.Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.Edisi 4.Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: hal 1626-1632

Soemantri, dan Nugroho, J., 2006. Standar Diagnosis dan Terapi Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Edisi 4. Surabaya: Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga. Hal.24.

Sofia,S.L., 2012. Management and Outcome inST-Elevation Myocardial Infarctionfrom a Gender Perspective. Sweden:LiU Tryck. Hal: 13

Till, K., Felix,P., Stergios, T., et al, 2009.Improved outcome in acute coronary syndrome by establishinga chest pain unit.Clin Res Cardiol 98:171–178

Trisnohadi, H., 2006. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1606-1610.

Wasid , 2007. Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut

WHO, 2003. Hypertension Study Group. Prevalence, awareness, treatment and control of hypertension among the

elderl

( Accesed pada 29 April 2013)

(11)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1 : Kerangka konseptual penelitian

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah rumusan pengertian variabel yang akan dipakai sebagai pegangan dalam pengumpulan data. Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain:

Tabel 3.1 : Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat ukur Cara ukur Skala

(12)

tanpa elevasi ST (NSTEMI), infark miokard dengan elevasi

ST (STEMI)

Hipertensi Apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140mmHg atau lebih atau tekanan

diastoliknya 90mmHg atau lebih atau sedang

memakai obat antihipertensi.

Rekam Medis

Data sekunder dari

rekam medis

(13)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional study dari pasien yang terdiagnosa menderita Sindroma Koroner Akut dengan menggunakan data sekunder yaitu melihat rekam medis pasien.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik.

4.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2013 hingga Oktober 2013.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien Sindroma Koroner Akut di RSUP Haji Adam Malik, Medan selama satu tahun ( Januari 2011 – Desember 2011). Jumlahnya adalah 1273 pasien rawat inap.

4.3.2 Sampel Penelitian

(14)

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa rekam medis di RSUP H.Adam Malik. Teknik pengumpulan data dirumuskan dengan langkah-langkah seperti berikut:

1) Meminta rekam medis pasien Sindroma Koroner Akut pada tahun 2011 di RSUP H.Adam Malik.

2) Data yang diambil merupakan jenis Sindroma Koroner Akut yang diderita oleh pasien dan dilakukan perhitungan sehingga angka kejadian Sindroma Koroner Akut dapat diperoleh.

3) Kemudian diambil juga data pasien yang terdiagnosa dengan Sindroma Koroner Akut dengan riwayat hipertensi dan dilakukan perhitungan untuk menilai angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan riwayat hipertensi sekaligus menilai apa ada hubungan diantara kejadian Sindroma Koroner Akut dengan hipertensi.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

(15)

BAB 5

HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian

Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 18 September sampai 10 Oktober 2013 di RSUP Haji Adam Malik, Medan dengan total sampel sebanyak 1273 orang. Berdasarkan hasil data rekam medis yang telah dikumpulkan dan dianalisa, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5.1.1 Deskripsi lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik, Medan di kecamatan Medan Sunggal. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit kelas A sesuai SK Menkes No.335/Menkes/SK/ VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK Menkes No.502/Menkes/SK/ IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I Aceh, Sumatera Barat dan Riau.

5.1.2 Karakteristik Sampel

(16)

5.1.3 Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

Tabel 5.1. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi

Tabel 5.1 menunjukkan distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut (SKA) dengan atau tanpa hipertensi.Berdasarkan data rekam medis, jumlah penderita SKA adalah sebanyak 1273 orang. Dari jumlah tersebut 385 (30.2%) orang turut dijumpai menderita hipertensi dimana penderita terbanyak adalah dari kasus SKA jenis APTS yaitu 257 dari 795 orang (32.3%). Seterusnya NSTEMI yaitu 92 dari 331 orang (27.8%) dan diikuti STEMI sebanyak 36 dari 147 orang (24.5).

(17)

tanpa Hipertensi Menurut Kelompok Usia di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

Tabel 5.2 Distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa hipertensi menurut kelompok usia

Tabel 5.2 menunjukkan distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa hipertensi menurut usia. Persentase penderita SKA dengan hipertensi paling banyak adalah pada kelompok usia 51- 60 tahun yaitu sebanyak 157 orang (12.3%). Seterusnya diikuti kelompok usia 40-50 tahun yaitu sebanyak 100 orang (7.8%). Untuk kelompok usia 61-70 tahun dan >70 tahun pula, masing-masing sebanyak 90 orang (7.1%) dan 30 orang (2.4%). Sedangkan kelompok usia dibawah 40 tahun paling sedikit dengan jumlah penderita 8 orang (0.6%).

5.1.5 Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan

(18)

atau tanpa Hipertensi Menurut Jenis Kelamin di RSUP H. Adam Malik pada Tahun 2011

Tabel 5.3 Distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa hipertensi menurut jenis kelamin

Tabel 5.3 menunjukkan distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa hipertensi menurut jenis kelamin.Dari tabel 5.3 dapat diketahui bahwa penderita SKA dengan hipertensi lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu sebanyak 297 (23.3%) dibanding perempuan yaitu 88 orang (6.9%).

5.2 Pembahasan

Jenis SKA Total

APTS NSTEMI STEMI

Jenis H(+) H(-) H(+) H(-) H(+) H(-) H(+) H(-) T

Kel. N(%) N(%) N(%) N(%) N(%) N(%) N(%) N(%) N(%)

Lk

Pr

TOTAL

192 (34.7) 362 (65.3) 73 (26.4) 203 (73.6) 32 (26.2) 90 (73.8) 297 (23.3) 655 (51.5) 952 (74.8)

65 (27.0) 176 (73.0) 19 (34.5) 36 (65.5) 4 (16.0) 21 (84.0) 88 (6.9) 233 (18.3) 321 (25.2)

(19)

5.2.1. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi di RSUP.H.Adam Malik pada tahun 2011

Hasil penelitian ini mendapatkan pada tahun 2011, sebanyak 1273 orang menderita SKA di RSUP.H.Adam Malik, Medan. Jenis SKA yang paling sering dihidapi adalah APTS yaitu sebanyak 62.5%, diikuti NSTEMI sebanyak 26.0%, dan akhirnya STEMI sebanyak hanya 11.5%. Menurut Santoso (2005), hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya SKA. Dalam penelitian ini, 30.2% dari kasus SKA menderita hipertensi sebagai penyakit penyerta.Jenis SKA dengan penderita hipertensi terbanyak adalah APTS (32.3%) di ikuti NSTEMI (27.8%) dan seterusnya STEMI (24.5%). Hal ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh ACSIS (2008), dimana penderita APTS yang terdiagnosa hipertensi adalah sebanyak 68.7%, diikuti NSTEMI sebanyak 66.6% dan akhirnya STEMI sebanyak 48.8%. Dalam studi epidemiologi yang dilakukan oleh Claudio Picariello et al (2011), pada pasien NSTEMI, hipertensi kronis merupakan faktor resiko yang paling umum yang terdeteksi dalam hampir dua pertiga dari seluruh populasi. Ini lebih tinggi dibanding pasien STEMI ( 70-75% banding 30-40%). Pada penelitian ini juga didapati pasien NSTEMI lebih banyak menderita hipertensi yaitu 27.8% jika dibanding STEMI yaitu sebanyak 24.5%.

(20)

aktivitas fisik, pola makan yang tidak teratur maupun berlebihan.Hal ini berpengaruh terhadap kejadian hipertensi dan SKA.

5.2.3. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi menurut jenis kelamin di RSUP.H.Adam Malik pada tahun 2011 Berdasarkan tabel 5.3, menunjukkan bahwa penderita SKA di RSUP.H.Adam Malik, Medan lebih banyak pada laki-laki (23.3%). Hal ini sejalan dengan penjelasan T. Keller et al (2009) yang menyatakan laki-laki yang mengalamisindroma koroner akut lebih banyak daripada perempuan (73.9%) di

mana kebanyakan penderita berusia lanjut dan memiliki komorbiditas lebih tinggi

seperti diabetes mellitus (24.1%), dislipidemia (63.0%), dan juga hipertensi

(79.5%). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sofia S.L. (2012), perempuan

lebih banyak menghidap APTS dibanding STEMI dan NSTEMI.Menurut Kristen

J. (2009) pula, laki-laki mempunyai faktor resiko lebih tinggi untuk menghidap

SKA dibanding perempuan. Antara faktor resiko lain termasuk laki-laki >45

tahun, perempuan >55 tahun, dan mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit

jantung sebelum usia 55 – 65 tahun. Menurut hasil penelitian Claudia Picariello et

al, 2011, pasien hipertensi dengan SKA lebih cenderung terjadi pada perempuan.

(21)

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan penelitian ini adalah:

1. Pasien rawat inap Sindroma Koroner Akut dengan hipertensi di RSUP H. Adam Malik adalah sebanyak30.2%.

2. Berdasarkan dari data yang diperoleh, angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan hipertensi di RSUP H.Adam Malik terbanyak adalah dari kasus APTS (32.3%).

3. Berdasarkan data yang diperoleh, penderita SKA dengan hipertensi di RSUP H.Adam Malik lebihbanyak pada kelompok usia51-60 tahun (12.3%).

4. Berdasarkan data yang diperoleh, penderita SKA dengan hipertensi di RSUP.H.Adam Malik lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki. (23.3%)

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian maka saran yang dapat disampaikan adalah:

(22)

2. Penderita hipertensi perlunya pemeriksaan tekanan darah, pengobatan secara rutin, dan menjalani pola hidup yang sehat untuk mencegah timbulnya komplikasi lebih lanjut seperti SKA.

3. Diharapkan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya yang bertanggung jawab dalam kelengkapan data rekam medis seperti dokter dan paramedis untuk mencantumkan semua hasil pemeriksaan pasien dan interpretasinya sehingga tidak ada data yang hilang serta mengisi rekam medis dengan rapi dan jelas sehingga pembaca dapat memahami dengan benar dan tepat.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut

2.1.1 Definisi Sindroma Koroner

Istilah SKA banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindroma Koroner Akut merupakan satu sindrom yang terdiri beberapa penyakit koroner yaitu, angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), infark miokard dengan elevasi ST (STEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindroma Akut merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawat-daruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007).

Andra (2006) mengatakan Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari Angina Pektoris Tidak Stabil yang disertai Infark Miokard Akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) atau Infark Miokard dengan elevasi ST (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tidak stabil.

2.1.2 Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

(24)

a) Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.

b) Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.

c) Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.

Secara Klinis:

a) Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.

b) Kelas B: Primer.

c) Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati dengan obat anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium) dan nitrogliserin intravena.

2.1.3 Etiologi Sindroma Koroner Akut

Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh empat hal, meliputi:

a) Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi kolesterol tinggi.

b) Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).

c) Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.

d) Infeksi pada pembuluh darah.

(25)

a) Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan b) Stres emosi, terkejut

c) Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.

2.1.4 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut

Faktor resiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor resiko konvensional dan faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis (Braunwald, 2007).

Faktor resiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi (Santoso, 2005).

Di antara faktor resiko konvensional, ada empat faktor resiko biologis yang tidak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik. (Braunwald, 2007)

Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen.

Faktor-faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori .

(26)

atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda. (Santoso, 2005)

2.1.5 Penyakit Yang Termasuk Dalam SKA

Yang termasuk kedalam Sindroma Koroner Akut adalah Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI), dan Infark Miokard tanpa Elevasi ST (NSTEMI).

2.1.5.1 Angina Pektoris Tidak Stabil

2.1.5.1.1 Definisi Angina Pektoris Tidak Stabil

Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil (Kumar, 2007).

Angina pektoris tidak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina tidak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini dipicu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis parsial dan embolisasi distal. Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).

2.1.5.1.2 Patogenesis Angina Pektoris Tidak Stabil

(27)

Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tidak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tidak stabil (Trisnohadi, 2006).

2) Trombosis dan agregasi trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tidak stabil.Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil.Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).

(28)

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tidak stabil.Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tidak stabil.Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tidak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus (Trisnohadi, 2006).

4) Erosi pada plak tanpa ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia

(Trisnohadi, 2006).

2.1.5.1.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Angina Pektoris Tidak Stabil

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang bertambah dari biasa.Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal.Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.

Pemeriksaan penunjang: • Elektrokardiografi (EKG) • Pemeriksan laboratorium

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima sebagai petanda paling penting.

(29)

Tindakan umum:

Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).

Terapi medikamentosa :

• Obat anti iskemia

• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium. • Obat anti agregasi trombosit

• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa • Obat anti trombin

• Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin • Direct trombin inhibitors

Tindakan revaskularisasi pembuluh darah:

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di ventrikel kiri atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif.Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi pembedahan, Percutaneous Coronary Intervention (PCI) merupakan pilihan utama. Pada angina tidak stabil perlu dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif tergantung dari stratifikasi resiko pasien: Pada resiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi, 2006).

(30)

2.1.5.2.1 Definisi NSTEMI

NSTEMI mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Secara klinis infark akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina tidak stabil. Yang membedakan adalah adanya enzim petanda jantung yang positif. (Brunner dan Sudarth, 2002)

2.1.5.2.2 Patofisiologi NSTEMI

NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati (Sjaharuddin, 2006).

2.1.5.2.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang NSTEMI

(31)

daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada pasien dengan infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu (Sjaharuddin, 2006).

2.1.5.2.4 Penatalaksanaan NSTEMI

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:

• Terapi antiiskemia

• Terapi anti platelet/antikoagulan

• Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)

• Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.\

2.1.5.3 Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI) 2.1.5.3.1 Definisi STEMI

Infark miokard menunjukkan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total. Infark miokard akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan penyebab tunggal tersering kematian dinegara dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju (Kumar, 2007).

2.1.5.3.2 Patofisiologi STEMI

(32)

arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran

patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

2.1.5.3.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang STEMI

(33)

variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur mid sistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006). Selain itu diagnosis STEMI ditegakkan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang lebih 2 mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih 1 mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).

2.5.1.3.4 Penatalaksanaan STEMI

ICCU: Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium. Penggunaan narkotik sering menyebabkan efek konstipasi sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan secara rutin. Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk mempertahankan periode inaktivasi dengan penenang (Alwi, 2006).

Terapi farmakologis:

• Fibrinolitik

• Antitrombotik

• Inhibitor ACE

• Beta-Blocker

(34)

Wasid (2007) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien Sindroma Koroner Akut adalah :

1. Oksigenasi : Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung.

2. Nitrogliserin (NTG) : Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard, menurunkan kebutuhan oksigen di miokard, menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel, dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral, serta menghambat agregasi platelet.

3. Morfin : Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan

(35)

efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pektoris.

5. Antitrombolitik lain (Clopidogrel, Ticlopidine) : Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III. Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya resiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari.

Penanganan SKA Lebih Lanjut:

(36)

2. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH) : Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama, high bioavailabiliy, dose–independent clearance, mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat

aktivasi platelet, tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand, kejadian trombositopenia sangat rendah, tidak perlu pemantauan aPTT, rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi, lebih banyak menghambat alur faktor jaringan, dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxiparin.

3. Warfarin : Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tidak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja sehingga tidak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.

4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I) : Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan PercutaneousCoronary Intervention (PCI). Pada STEMI , bila diberikan bersama

trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak pada tindakan PCI. Namun, tetap perlu diamati ukomplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml.

(37)

1. Penghambat Beta Andrenergik : Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar jantung sehingga menyebabkan waktu diastolik lebih lama, menurunkan kontraktilitas miokard dan beban jantung, menghambat stimulasi katekolamin; serta menurunkan pemakaian oksigen miokard. Obat ini baik untuk APTS / NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark, reinfark, serta mortalitas. Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV, asma bronkial, atau edema paru akut.

2. Antagonis Kalsium : Dapat digunakan pada APTS/NSTEMI jika ada kontraindikasi penghambat Beta adrenergik. Diltiazem jangan diberikan pada disfungsi ventrikel kiri dan atau gagal jantung kongestif (GJK).

3. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin : Boleh diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi < 40%) maupun GJK. Dalam jangka pendek, tidak banyak perubahan, namun akan banyak berarti dalam jangka panjang. Efeknya ialah membatasi perluasan infark, menurunkan sistem neurohumoral, dan meningkatkan aliran darah kolateral.

4. Magnesium : Tidak dianjurkan secara rutin. Mempunyai efek menurunkan risiko aritmi ventrikel sehingga menurunkan mortalitas.

5. Penurunan Kadar Lipid : Terutama golongan statin yang dalam jangka lama dapat membantu memperbaiki pasien setelah infark miokard akut dan APTS. Statin mempunyai manfaat lebih, selain penurun kadar Lipid (LDL/TG) juga mempunyai efek antitrombotik dan antiagregasi platelet melalui mekanisme hambatan terhadap eNOS (endothelial cell Nitric Oxide Synthase), sehingga mencegah disfungsi endotel dan disebut sebagai efek "pleiotropic".

6. Recombinan Human Erythropoeitin : Digunakan pada anemia dengan

penyakit arteri koroner, namun dapat memperberat penyakit jantung iskemik itu sendiri.

(38)

dibandingkan terapi trombolitik yang 7,2 % dan resiko stroke. Hasil memuaskan telah dicoba dengan PCI bersama stenting dan terapi GPIIb/IIIa-I. PCI sendiri sebenarnya dapat menyebabkan disrupsi plak koroner, namun telah dicoba dengan GPIIb/IIIa-I dapat menurunkan risiko tersebut. PCI harus dipertimbangkan pada pasien STEMI usia lanjut ( >75 tahun), sebab resiko kematian cukup tinggi dengan trombolitik.

2.1.7 Komplikasi Sindroma Koroner Akut 1. Hipotensi  Syok Kardiogenik

2. Aritmia malignant  Kematian mendadak

3. Disfungsi ventrikel  Gagal jantung

4. Mechanical rupture, VSD

5. Gangguan hantaran

6. Perikarditis

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi hipertensi

Hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya (Lanny Sustrani, dkk, 2004).

2.2.2 Klasifikasi hipertensi

(39)

Tabel 2.1 : Klasifikasi Hipertensi

2.2.3 Etiologi hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.

1) Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik.Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000).

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).

Kategori Tekanan

Pra-Hipertensi 120-139 atau 80-89 Hipertensi:

Tahap 1 140-159 atau 90-99

(40)

2.2.4 Gejala Klinis hipertensi

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. (Julius, 2008).

2.2.5 Diagnosis hipertensi

Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia) (2003), terdiri atas:

1. Riwayat penyakit

a. Lama dan klasifikasi hipertensi

b. Pola hidup

c. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular (Tabel 2.3)

d. Riwayat penyakit kardiovaskular

e. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi

f. Target organ yang rusak

g. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan

2. Pemeriksaan fisik

a. Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit

b. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral

c. Tinggi badan dan berat badan

d. Pemeriksaan funduskopi

e. Pemeriksaan leher, jantung, abdomen dan ekstemitas

(41)

3. Pemeriksaan laboratorium

a. Urinalisa

b. Darah : platelet, fibrinogen

c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat

4. Pemeriksaan tambahan

a. Foto rontgen dada

b. EKG 12 lead

c. Mikroalbuminuria

d. Ekokardiografi

2.2.6 Penatalaksanaan hipertensi

Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah adalah : 1. Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan dieresis dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah pada akhirnya.

a) Thiazide

Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah.

b) Diuretik Hemat Kalium

Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan tunggal. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya.

(42)

Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6 minggu dengan spironolakton).

2. Beta Blocker

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat baik reseptor β1 daripada reseptor β2.Hasilnya agen tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih aman dari non selektif β bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi pulmonari kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik simpatomimetik atau sebagian aktivitas agonis reseptor β.

3. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)

Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada penderita dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE yang penting dalam hipertensi.

2.3 Hubungan Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dan Hipertensi

(43)

Hipertensi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan aterosklerosis dan pengembangan plak-plak yang tidak stabil dan rentan ruptur (yang seterusnya menyebabkan trombosis dan oklusi pembuluh darah) dan bertanggung jawab untuk pengembangan sindroma koroner akut (SKA).

Pada GUSTO-1 trial, 41,021 pasien STEMI yang hadir dalam waktu 6 jam onset gejala secara acak menerima rejimen trombolitik yang berbeda. Pada populasi ini, prevalensi riwayat hipertensi sebelumnya adalah 38,1%. Pada penelitian terkini yang difokuskan pada pasien dengan STEMI dengan primary PCI di mana riwayat hipertensi hadir dalam rentang 30-33%. Sebuah lagi penelitian yaitu, SYMPHONY TRIAL menunjukkan prevalensi hipertensi pada pasien STEMI lebih dari 50% , dan registri baru di Spanyol (PRIMVAC) melaporkan prevalensi 46% dari hipertensi pada pasien STEMI (Claudio Picariello et al,2011).

Dari hasil registrar dan data yang tersedia sampai saat ini, pasien hipertensi dengan STEMI lebih cenderung pada usia lebih tua, wanita, etnis non-putih, dan memiliki komorbiditas seperti diabetes, hiperkolesterolemia, gagal ginjal kronis, riwayat gagal jantung, infark miokard sebelumnya, dan pernah menlakukan revaskularisasi miokard. (Claudio Picariello et al,2011)

Dalam studi epidemiologi yang dilakukan pada pasien infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), hipertensi kronis merupakan faktor risiko yang paling umum yang terdeteksi dalam hampir dua pertiga dari seluruh populasi. Ini lebih tinggi danding pasien STEMI (sekitar 70-75% dibandingkan 30-40%) karena biasanya pasien NSTEMI lebih tua dan memiliki lebih banyak komorbiditas dibanding pasien STEMI.

(44)

1. Terjadinya influx kolesterol LDL pada bahagian tunica intima pembuluh darah yang melebihi kadar normal.

2. Kolesterol LDL akan teroksidasi apabila bereaksi dengan molekul oksigen bebas yang terbentuk dari pelbagai reaksi enzimatik dan non-enzimatik.

3. Kolesterol LDL yang teroksidasi akan memicu perlengketan dan masuknya monosit dan limfosit T kedalam tunika intima pembuluh darah melalui permukaan endothelium.

4. Makrofag terbentuk dari monosit dan akan memfagosit kolesterol LDL yang teroksidasi, sehingga membentuk foam cell.

5. Foam cell yang terbentuk akan memicu perlepasan sitokin-sitokin seperti interferon-γ, tumor necrosis factor-α, dan interleukin-1 sehingga terjadinya aterosklerosis.

6. Lumen pembuluh darah mengecil, menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular sistemik total dan sehingga terjadi hipertensi.

Oleh karena itu, dengan tingginya kadar kolesterol dalam darah, maka ini akan terjadi peningkatan tekanan darah. Semakin tinggi kadar kolesterol, maka lebih banyak terjadinya aterosklerosis dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan semakin tinggi resistensi vascular sistemik dan memicu kepada peningkatan tekanan darah yang lebih berat.

(45)

Gambar 2.1: Hubungan Aterosklerosis, SKA dan Hipertensi Ateroskleloris

Sindroma Koroner Akut • APTS

• STEMI • NSTEMI

(46)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Istilah Sindroma Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner (Andra, 2006). SKA merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard tanpa Elevasi ST (NSTEMI) dan juga Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI). Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis serta atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli.

Saat ini, angka kejadian masuk ke rumah sakit akibat Sindrom Koroner Akut (SKA) berupa Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) maupun infark miokard akut semakin meningkat disertai dengan angka mortalitas yang masih tinggi (Anderson et al., 2007). Data statistik American Heart Association (AHA) 2008 melaporkan bahwa dalam tahun 2005, penderita yang menjalani perawatan medis di Amerika Serikat akibat SKA hampir mencapai 1,5 juta orang, Laporan tersebut menyebutkan, kira-kira 1,1 juta orang (80%) menunjukkan kasus APTS atau Infark Miokard tanpa Elevasi ST (NSTEMI), sedangkan 20% kasus tercatat menderita Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI). (Kleinschmidt, 2006)

(47)

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko major SKA selain merokok, hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas (Santoso, 2005).Hipertensi adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan curah jantung dan/atau kenaikan pertahanan perifer (Soemantri dan Nugroho, 2006).Menurut The Joint National Commitee of Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of The

Blood Pressure (2004) dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik yang lebih

besar atau sama dengan 140 mmHg atau peningkatan tekanan darah diastolik yang lebih besar atau sama dengan 90mmHg atau orang sedang memakai obat antihipertensi.

Hipertensi (tekanan darah tinggi) sering dikatakan sebagai silent killer atau penyakit yang dapat menimbulkan kematian tanpa disertai dengan gejala-gejala terlebih dahulu sebagai peringatan korbannya.Hal ini dikarenakan hipertensi merupakan faktor resiko utama pada penyakit stroke, gagal jantung, penyakit arteri koroner, dan gagal ginjal.Penyakit-penyakit tersebut adalah kontributor utama mortalitas dan morbiditas masyarakat.

Angka kejadian hipertensi di seluruh dunia mungkin mencapai 1 milyar orang dan sekitar 7,1 juta kematian akibat hipertensi terjadi setiap tahunnya (WHO, 2003). Di Indonesia, menurut data SKRT (Survai Kesehatan Rumah Tangga, 2000), dikatakan bahwa penyebab kematian terbanyak (16,4%) disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh darah yang diantaranya adalah hipertensi, sedangkan kematian terbanyak akibat penyakit ini dijumpai pada usia 45 tahun keatas.

(48)

disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade) dan juga kelainan kongenital jantung.

Dari hasil registrasi dan data yang tersedia sampai saat ini, pasien hipertensi dengan infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) lebih cenderung pada orang lebih tua, wanita, etnis non-putih, dan memiliki komorbiditas seperti diabetes, hiperkolesterolemia, gagal ginjal kronis, riwayat gagal jantung, infark miokard sebelumnya, dan pernah melakukan revaskularisasi miokard (angioplasti dan stent implantation atau coronary artery bypass graft) (Claudio Picariello et al,2011).

Dalam studi epidemiologi yang dilakukan pada pasien Infark Miokard tanpa Elevasi ST (NSTEMI), hipertensi kronis merupakan faktor risiko yang paling umum yang terdeteksi hampir pada dua pertiga dari seluruh populasi. Ini lebih tinggi dibanding pasien STEMI (sekitar 70-75% dibandingkan 30-40%) karena biasanya pasien NSTEMI lebih tua dan memiliki lebih banyak komorbiditas dibanding pasien STEMI.(D. Hasdai, S. Behar, L. Wallentin et al.,2002)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan tingginya penderita Sindroma Koroner Akut dengan riwayat hipertensi, maka rumusan masalah bagi penelitian ini adalah:

1. Berapa angka kejadian Sindroma Koroner Akut yang berhubungan hipertensi?

2. Apakah ada hubungan di antara kejadian Sindroma Koroner Akut dengan Hipertensi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui angka kejadian Sindroma Koroner Akut yang berhubungan dengan hipertensi di RSUP H. Adam Malik, Medan.

(49)

1. Mengetahui angka kejadian hipertensi pada penderita Sindroma Koroner Akut di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2011.

2. Mengetahui hubungan jenis Sindroma Koroner Akut dengan hipertensi.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan akan mendapat ilmu, dapat menambahkan wawasan dan pengalaman sehingga dapat mengetahui dengan lebih dalam tentang Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan hipertensi.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Sebagai masukan dan informasi pada masyarakat agar memperhatikan cara hidup sehat sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya hipertensi dan kejadian sindroma koroner akut.

1.4.3 Bagi Petugas Kesehatan dan Pemerintah

(50)

ABSTRAK

Sindroma Koroner Akut menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner yang terdiri beberapa penyakit koroner yaitu, angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi baik di negara maju maupun negara berkembang.Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah dimana apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140mmHg atau lebih, atau tekanan diastoliknya 90mmHg atau lebih, atau sedang memakai obat antihipertensi.Diketahui bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian Sindroma Koroner Akut (SKA) dimana hipertensi dikaitkan dengan perkembangan aterosklerosis yang seterusnya memicu terjadinya SKA.Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan desain Cross Sectional.Data diperoleh dari catatan rekam medik di RSUP H. Adam Malik, Medan selama periode Januari 2011 sampai Desember 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian Sindroma Koroner Akut yang berhubungan dengan hipertensi di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2011.Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah total sampling dimana pada penelitian ini didapatkan sejumlah 1273 orang pasien SKA yang dirawat di RSUP H. Adam Malik selama periode bulan Januari 2011 – Desember 2011.

Dari penelitian ini diperoleh hasil angka kejadian pasien SKA dengan hipertensi terbanyak pada tipe APTS (32.3%), diikuti NSTEMI (27.8%) dan paling sedikit pada STEMI (24.5%), sementara kelompok usia yang tersering adalah > 70 tahun (39%) dan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (31.2%).

(51)

ABSTRACT

Acute Coronary Syndrome is adisorder of the coronary arteries which comprises of unstable angina pectoris (UAP), non- ST elevation myocardial infarction(NSTEMI), and ST elevation myocardial infarction (STEMI) and is one of the leading causes of death in both developed and developing countries. Hypertension or high blood pressure is a vascular disorder in which a person's blood pressure is 140 mmHg or more for systolic pressure, or a diastolic pressure of 90 mmHg or more, or anyone who is on antihypertensive medication. It is known that hypertension is one of the risk factors for the incidence of Acute Coronary Syndrome (ACS) where hypertension is associated with the progression of atherosclerosis which in the long term leads to ACS. This study is a descriptive study with a design study that is cross-sectional. The data were obtained from the medical record at RSUP H. Adam Malik during the period of January 2011 to December 2011.

The purpose of this study is to determine the incidence of acute coronary syndrome associated with hypertension in RSUP H. Adam Malik, Medan in 2011. The method used in this study is total sampling where a number of 1273 ACS patients were obtained being treated in RSUP H. Adam Malik during the period of January 2011 - December 2011.

From this study, the results obtained are, for the incidence of ACS associated with hypertension patients, the most cases are from UAP (32.3%), followed by NSTEMI (27.8 %) and least in STEMI (24.5 %), while the most common age group was > 70 years (39 %) and most gender is male (31.2 %) .

(52)

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN

HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

YASMEEN BINTI MOHAMMED AKRAM 100100270

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(53)

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN

HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

YASMEEN BINTI MOHAMMED AKRAM 100100270

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(54)

ABSTRAK

Sindroma Koroner Akut menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner yang terdiri beberapa penyakit koroner yaitu, angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) dan merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi baik di negara maju maupun negara berkembang.Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah dimana apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140mmHg atau lebih, atau tekanan diastoliknya 90mmHg atau lebih, atau sedang memakai obat antihipertensi.Diketahui bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian Sindroma Koroner Akut (SKA) dimana hipertensi dikaitkan dengan perkembangan aterosklerosis yang seterusnya memicu terjadinya SKA.Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan desain Cross Sectional.Data diperoleh dari catatan rekam medik di RSUP H. Adam Malik, Medan selama periode Januari 2011 sampai Desember 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian Sindroma Koroner Akut yang berhubungan dengan hipertensi di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2011.Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah total sampling dimana pada penelitian ini didapatkan sejumlah 1273 orang pasien SKA yang dirawat di RSUP H. Adam Malik selama periode bulan Januari 2011 – Desember 2011.

Dari penelitian ini diperoleh hasil angka kejadian pasien SKA dengan hipertensi terbanyak pada tipe APTS (32.3%), diikuti NSTEMI (27.8%) dan paling sedikit pada STEMI (24.5%), sementara kelompok usia yang tersering adalah > 70 tahun (39%) dan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (31.2%).

(55)

ABSTRACT

Acute Coronary Syndrome is adisorder of the coronary arteries which comprises of unstable angina pectoris (UAP), non- ST elevation myocardial infarction(NSTEMI), and ST elevation myocardial infarction (STEMI) and is one of the leading causes of death in both developed and developing countries. Hypertension or high blood pressure is a vascular disorder in which a person's blood pressure is 140 mmHg or more for systolic pressure, or a diastolic pressure of 90 mmHg or more, or anyone who is on antihypertensive medication. It is known that hypertension is one of the risk factors for the incidence of Acute Coronary Syndrome (ACS) where hypertension is associated with the progression of atherosclerosis which in the long term leads to ACS. This study is a descriptive study with a design study that is cross-sectional. The data were obtained from the medical record at RSUP H. Adam Malik during the period of January 2011 to December 2011.

The purpose of this study is to determine the incidence of acute coronary syndrome associated with hypertension in RSUP H. Adam Malik, Medan in 2011. The method used in this study is total sampling where a number of 1273 ACS patients were obtained being treated in RSUP H. Adam Malik during the period of January 2011 - December 2011.

From this study, the results obtained are, for the incidence of ACS associated with hypertension patients, the most cases are from UAP (32.3%), followed by NSTEMI (27.8 %) and least in STEMI (24.5 %), while the most common age group was > 70 years (39 %) and most gender is male (31.2 %) .

(56)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah S.W.T. Tuhan Pemilik alam semesta dan ilmu pengetahuan yang ada didalamnya. Berkat rahmat dan kunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan proposal penelitian ini sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum.Proposal dengan judul “Angka kejadian Sindroma Koroner Akut dan hubungannya dengan Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, Medan pada tahun 2011” ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing saya Prof. dr. A.Afif Siregar, Sp.A(K), Sp.JP(K), untuk dukungan dan bimbingan yang telah diberikan, dan juga dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu untuk saya dalam proses penyusunan proposal penelitian ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, keluarga dan teman-teman seperjuangan saya, dan pihak-pihak yang telah membantu saya.

(57)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN………....….…………. i

ABSTRAK ……….…...…… ii

ABSTRACT……….………. iii

KATA PENGANTAR………...…..……….... iv

DAFTAR ISI ………...……….. v

DAFTAR TABEL ………...………….. viii

DAFTAR GAMBAR ………..………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ……….……….….. x

BAB 1 PENDAHULUAN………...………..………... 1

1.1.Latar Belakang……….………..………….. 1

1.2.Rumusan Masalah……....………..…….……. 3

1.3.Tujuan Penelitian……….………..………….. 3

1.4.Manfaat Penelitian………...………..………….. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………...………...………... 5

2.1. Sindroma Koroner Akut………...…..……... 5

2.1.1. Definisi ………….………...……...……... 5

2.1.2. Klasifikasi ……….………. 5

2.1.3. Etiologi…………..……….……… 6

2.1.4. Faktor Resiko..……….……. 7

2.1.5. Penyakit yang termasuk SKA……….…….. 8

2.1.5.1 Angina pektoris tidak stabil……….……… 8

2.1.5.1.1.Definisi……….……….. 8

2.1.5.1.2.Patogenesis………. 8

2.1.5.1.3.Diagnosis……….. 10

(58)

2.1.5.2 Infark Miokard tanpa Elevasi ST……….. 12

2.1.5.2.1.Definisi……… 12

2.1.5.2.2.Patofisiologi……… 12

2.1.5.2.3.Diagnosis………..………….… 12

2.1.5.2.4.Penatalaksanaan………..……….. 13

2.1.5.3 Infark Miokard dengan Elevasi ST...……… 13

2.1.5.3.1.Definisi……… 13

2.1.5.3.2.Patofisiologi……… 13

2.1.5.3.3.Diagnosis………. 14

2.1.5.3.4.Penatalaksanaan……….. 15

2.1.6. Jenis Obat SKA dan mekanisme kerja………...….…. 16

2.1.7. Komplikasi ………….……….. 20

2.2. HIPERTENSI………. 20

2.2.1. Definisi ……….... 20

2.2.2. Klasifikasi……….… 21

2.2.3. Etiologi ……… 21

2.2.4. Gejala Klinis ……..……….. 22

2.2.5. Diagnosis ……….. 22

2.2.6. Penatalaksanaan……… 23

2.3. HUBUNGAN ANGKA KEJADIAN SKA DAN HIPERTENSI……. 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……….. 28

3.1. Kerangka Konsep ………..…………. 28

3.2. Definisi Operasional ……….. 28

BAB 4 METODE PENELITIAN ……….………. 30

(59)

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ……..……… 30

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ……..………. 30

4.4. Teknik Pengumpulan Data ………..………. 31

4.5. Pengolahan dan Analisa Data …………..………. 31

BAB 5 HASIL PENELITIAN……… 32

5.1. Hasil Penelitian………..……… 32

5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian……….. 32

5.1.2. Karakteristik sampel……… 32

5.1.3.Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi……….……….. 33

5.1.4. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi Menurut Kelompok Usia……….. 34

5.1.5. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi Menurut Jenis Kelamin……… 35

5.2. Pembahasan……….. 36

5.2.1. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi……….……….. 36

5.2.2. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi Menurut Kelompok Usia……….. 36

5.2.3. Distribusi Angka Kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau tanpa Hipertensi Menurut Jenis Kelamin………..….……… 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 38

6.1 Kesimpulan……… 38

6.2 Saran………...……… 38

(60)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 21 3.1 Definisi Operasional 28 5.1 Distribusi Angka Kejadian SKA dengan atau 33 tanpa Hipertensi

5.2 Distribusi Angka Kejadian SKA dengan atau 34 tanpa Hipertensi menurut kel. usia

(61)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(62)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar riwayat hidup 2. Lembar Ethical Clearence 3. Surat Izin Penelitian

Gambar

Gambar 3.1 : Kerangka konseptual penelitian
Tabel 5.1 menunjukkan distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut (SKA)
Tabel 5.2 Distribusi angka kejadian Sindroma Koroner Akut dengan atau
Tabel 2.1 : Klasifikasi Hipertensi
+2

Referensi

Dokumen terkait

SKA yang merupakan keadaan gawat darurat dari Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang terdiri dari: infark miokard akut dengan elevasi segment ST (STEMI), infark miokard akut

Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA), infark miokard akut dengan elevasi ST dan infark miokard akut tanpa elevasi ST merupakan bagian dari sindrom koroner akut (acute

Rata-rata kadar kolesterol total darah pada pasien sindroma koroner akut. Rata-rata kadar trigliserida pada pasien sindroma

Hasil penelitian didapatkan 86 penderita sindrom koroner akut dimana jumlah penderita angina pektoris tidak stabil adalah 47 orang, jumlah penderita infark miokard akut tanpa

PENYAKIT YANG TERMASUK DALAM SINDROM KORONER AKUT Sindrom koroner akut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu; angina pektoris tidak stabil, infark miokard

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan jantung yang terjadi karena adanya ruptur atau erosi dari plak aterosklerosis yang memiliki gambaran berupa angina pektoris

&#34; Hubungan Antara Kadar Histamin dan Tryptase Plasma dengan Kejadian Infark Miokard Akut ST Elevasi Pada Pasien Dengan Sindroma Koroner Akut” beserta perangkat yang

Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan