• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Beastudi Etos

Beastudi Etos merupakan sebuah beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa. Beasiswa ini berdiri sejak tahun 2005 hingga sekarang dengan jumlah penerima manfaat lebih dari 2000 orang. Beastudi Etos merupakan beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa dengan syarat umum adalah berasal dari keluarga kurang mampu dan berprestasi. Seleksi untuk mendapatkan beasiswa ini dimulai sejak masih di bangku sekolah SMA/sederajat.

Saat ini Beastudi Etos telah tersebar di 14 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit di Indonesia antara lain : Universitas Andalas, Universitas Syahkuala, Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Mulawarwan. Bentuk beasiswa yang diberikan adalah biaya masuk kuliah, biaya kuliah tahun pertama, uang saku selama 4 tahun, akomodasi tempat tinggal dan pelatihan pengembangan diri.

Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

Setiap individu mengkonsumsi makanan dalam jumlah dan jenis yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah umur. Konsumsi makanan biasanya terkait dengan jumlah energi yang diperlukan oleh individu untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pada masa anak-anak, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan pada masa remaja atau dewasa. Dengan bertambahnya umur, jumlah energi tersebut meningkat dan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Namun, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat usia lanjut. Hal ini terkait dengan kebudayaan dan pangan lokal yang tersedia di suatu daerah (Suhardjo 1989). Selanjutnya Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil untuk melakukan kegiatan fisik yang sama. Wanita dengan ukuran tubuh yang lebih kecil umumnya memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.

(2)

Uang Saku

Uang saku merupakan banyaknya uang yang diterima seseorang setiap bulan baik dari beasiswa, orangtua ataupun lainnya yang digunakan untuk keperluan baik makanan maupun non makanan. Seseorang yang telah diberi kepercayaan mengelola uang saku secara sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri keuangannya, tidak terkecuali dalam hal memilih makanan. Menurut Mardayanti (2008) besarnya uang saku yang diterima tidak mempengaruhi jumlah konsumsi energi dan zat gizi lainnya. Rata-rata uang saku yang diterima dialokasikan untuk makanan sebesar 34.7%, untuk bukan makanan 60.7% serta untuk lainnya sebesar 4.6%.

Karakteristik Keluarga Pekerjaan dan Pendapatan

Pekerjaan berhubungan dengan tingkat pendapatan seseorang. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan seseorang dalam mengkonsumsi makanan baik kualitas maupun kuantitas. Apabila penghasilan keluarga meningkat, biasanya penyediaan mutu lauk pauk meningkat. Golongan ekonomi kuat cenderung boros dan tingkat konsumsinya melampaui kebutuhan sehari-hari, akibatnya berat badan terus bertambah sehingga sering ditemukan beberapa penyakit yang disebabkan kelebihan gizi (Suhardjo 1989).

Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih jumlah dan jenis makanan yang bermutu. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa dengan meningkatnya pendapatan seseorang, maka akan terjadi perubahan dalam susunan menu makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragam dan bermutunya konsumsi pangan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan adalah pangan yang dimakan memiliki harga yang lebih mahal. Berg (1986) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan. Walaupun banyak pengeluaran untuk pangan, belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik.

Besar Keluarga

Pada skala keluarga, tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan pangan yang diperlukan. Terutama pada keluarga yang

(3)

miskin, pemenuhan kebutuhan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan berjumlah sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian jelas tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar (Suhardjo 1989).

Besar anggota keluarga akan sangat mempengaruhi belanja pangan keluarga, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga dan konsumsi zat gizi setiap anggota keluarga. Seperti yang dikatakan Sanjur (1982) bahwa banyaknya anggota keluarga dapat mempengaruhi pembagian di antara anggotanya sehingga dapat terjadi kurangnya konsumsi zat gizi dari jumlah yang dibutuhkan. Berg (1986) menyatakan bahwa kelaparan dapat terjadi pada keluarga yang mempunyai jumlah anggota empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang anggotanya sedikit. Keluarga dengan status ekonomi rendah dan memiliki banyak anak akan mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak termasuk kebutuhan makan.

Pengeluaran Pangan

Pengeluaran pangan merupakan cerminan dari pendapatan. Martianto (1994) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi (pengeluaran). Sesuai dengan hukum Bennet, bahwa semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas gizi yang lebih baik. Menurut Harper et al

(1986) salah satu faktor utama yang menentukan konsumsi pangan adalah pengeluaran pangan. Pengeluaran merupakan indikator yang baik digunakan untuk memperkirakan pendapatan tetapi karena pengeluaran merupakan faktor yang dominan dalam menentukan konsumsi rumah tangga atau individu. Konsumsi komoditi tertentu dapat diukur melalui pola pengeluaran pangan.

Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut digunakan untuk membeli buah, sayur mayur, dan berbagai jenis pangan lainnya (Berg 1986). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Banyak pengeluaran untuk pangan belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik.

(4)

Pola Konsumsi Pangan

Menurut Suhardjo (1989) pola konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat pada waktu tertentu. Menurut Sukandar (2007) pola konsumsi pangan pada penelitian yang dilakukan di petani Banjar Jawa Barat mencakup jumlah frekuensi makan bersama serta prioritas dalam pembagian makan. Menurut Junaidi (1997) pola konsumsi merupakan banyaknya pangan yang dikonsumsi, ada tidaknya makanan pantangan, serta frekuensi makan seseorang. Kesanggupan menyusun hidangan tidaklah diturunkan dalam pengertian hereditas, tetapi merupakan kepandaian yang diajarkan dari leluhur melalui orangtua ke generasi yang lebih muda. Jadi susunan hidangan adalah hasil manifestasi proses belajar. Ini berarti bahwa susunan hidangan suatu masyarakat dapat diubah dengan jalan pendidikana gizi, penerangan dan penyuluhan meskipun harus diakui bahwa usaha mengubah suatu hidangan yang telah terjadi sangat sulit dilakukan. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makan terjadi seumur hidup. Itulah sebabnya mengapa kebisaan makan dan susunan hidangan sangat kuat bertahan terhadap berbagai pengaruh yang mungkin dapat mengubahnya. Kebiasaan makan seseorang merupakan kebiasaan keluarganya, selama individu tersebut tinggal di dalam bersama keluarga.

Kebiasaan Makan

Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan seperti tata krama makan, frekuensi makan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Khumaidi (1989) menyatakan, bahwa kebiasaan erat kaitannya dengan penyediaan makanan karena akan mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi untuk mencukupi kebutuhan gizi. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar diri manusia) dan faktor instrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia). Faktor ekstrinsik tersebut adalah lingkungan alam, sosial, budaya, ekonomi dan agama. Faktor instrinsik antara lain asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan.

(5)

Makanan Pantangan. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap siapa yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis, yaitu adanya kekuatan super power yang berbau mistik, yang akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut. Kita harus membedakan pantangan atau tabu makanan yang berdasarkan agama dan yang bukan agama atau kepercayaan. Pantangan atau tabu yang berdasarkan agama bersifat absolut tidak dapat ditawar lagi bagi penganutnya. Sedangkan pantangan atau tabu yang lainnya masih dapat dihilangkan jika diperlukan. Tabu makanan ini ada yang dapat merugikan terhadap pemeliharaan bahan makanan yang dikonsumsi. Dengan adanya tabu ini, maka jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas. Walaupun tidak berakibat fatal yaitu hanya merugikan saja. Sehingga penting untuk dicermati bahwa tidak semua tabu itu merugikan atau jelek bagi kondisi gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989).

Frekuensi Makan. Menurut berbagai kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari. Secara kuantitas dan kualitas akan sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila hanya makan satu atau dua kali sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan seseorang tidak dapat makan sekaligus dalam jumlah banyak. Itulah sebabnya makan dilakukan secara frekuentif yaitu tiga kali makan dalam sehari. Frekuensi makan dapat menjadi tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya dengan semakin tinggi frekuensi makan peluang untuk mencukupi kebutuhan gizi akan semakin besar (Khomsan 2002).

Penekanan waktu dan komitmen terhadap aktivitas memberi pengaruh negatif terhadap kebiasaan makan remaja. Mengabaikan sarapan atau mengkonsumsi sarapan yang kualitas nutrisinya kurang, sering kali menjadi masalah. Makanan ringan yang biasanya dipilih berdasarkan kemudahan untuk mendapatkan makanan tersebut daripada kandungan gizinya yang bermanfaat, semakin menjadi bagian dari kebiasaan pola makan selama masa remaja (Wong

et al 2002). Makan larut malam merupakan salah satu kebiasaan makan yang kurang baik karena akan meningkatkan berat badan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa konsumsi makan larut malam akan meningkatkan asupan kalori hingga 15%. Ketika hal tersebut dilakukan terus menerus, maka peningkatan berat badan akan terjadi.

(6)

Kebiasaan Sarapan. Menurut Khomsan (2002) menyatakan bahwa makan pagi adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik. Paling tidak ada dua manfaat yang dapat diambil jika melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan gula darah. Dengan kadar gula darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, pada dasarnya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses fisiologi dalam tubuh.

Melewatkan makan pagi akan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa dan hal ini menyebabkan tubuh lemah dan kurang konsentrasi karena tidak adanya suplai energi. Sarapan pagi menyumbang gizi sekitar 25%. Ini jumlah yang cukup signifikan. Sisa kebutuhan enegri dan protein lainnya dipenuhi oleh makan siang, makan malam dan selingan di antara waktu makan (Khomsan 2002).

Makanan Jajanan. Makanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat semakin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat. Kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi pada remaja di perkotaan menyumbang 21% energi dan 16% protein. Kontribusi terhadap konsumsi anak usia sekolah menyumbang 5.5% energi dan 4.2% protein (Cahanar & Suhanda 2006). Jajan kue-kue hanya member tambahan energi sedangkan zat pembangun dan zat pengatur sangat sedikit (Suhardjo 1989). Penelitian yang dilakukan Paeratakul (2003) menyebutkan bahwa remaja yang banyak mengkonsumsi snack dan makanan jajanan memiliki asupan karbohidrat dan protein yang rendah tetapi tinggi lemak.

Konsumsi Air Putih. Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Air sebagai salah satu zat gizi makro mempunyai fungsi dalam berbagai proses penting dalam tubuh manusia, seperti metabolisme, pengangkutan dan sirkulasi zat gizi dan non gizi, pengendalian suhu tubuh, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, pengaturan keseimbangan elektrolit, dan

(7)

proses pembuangan zat tak berguna dari tubuh. Berdasarkan WKNPG (2004), jumlah kecukupan air bagi orang indonesia usia 19-29 tahun adalah 2 liter untuk laki-laki dan 2.5 liter untuk perempuan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Hydration Regional Study (THIRST) mengungkap bahwa 46.1% subyek yang diteliti mengalami kurang air. Kejadian ini lebih tinggi pada remaja (49.5%) dibanding pada orang dewasa (42.5%).

Susunan Menu Makan. Menu adalah suatu susunan beberapa macam hidangan yang disajikan pada waktu tertentu. Menu dapat terdiri dari satu macam hidangan yang lengkap atau tidak lengkap, juga dapat berupa hidangan untuk makan atau sarapan pagi, untuk makan siang atau makan malam saja ataupun hidangan makan untuk satu hari penuh dengan atau tanpa makan selingan. Susunan menu makanan yang baik adalah hidangan yang terdiri dari berbagai jenis atau saat ini biasa dikenal dengan slogan 3B (Beragam, Bergizi, Berimbang). Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beranekaragam maka kekurangan zat gizi pada jenis pangan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis pangan yang lain. Dengan demikian, diperoleh masukan zat gizi yang seimbang. Terdapat tiga kata kunci dalam makanan (menu) berbasis gizi seimbang, yaitu 1) seimbang antara asupan (konsumsi) zat gizi dengan kebutuhan setiap orang sehari; 2) seimbang jumlah antar kelompok pangan dan fungsi yaitu sebagai sumber tenaga (pangan sumber karbohidrat dan lemak mencakup pangan pokok yaitu serealia, umbi-umbian, makanan berpati; gula; buah/biji berminyak; lemak & minyak), sebagai sumber pembangun (pangan sumber protein hewani, yang dikenal sebagai lauk yaitu daging, telur, susu, ikan serta pangan sumber protein nabati, yang dikenal sebagai pauk yaitu berasal dari kacang-kacangan), sebagai sumber pengatur (pangan sumber vitamin mineral yang berasal dari sayur dan buah); serta 3) serimbang jumlah antar waktu makan berdasarkan kebiasaan frekuensi makan sehari.

Konsumsi Pangan

Menurut UU Pangan No. 7 Tahun 1996, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah ataupun tidak diolah, yang digunakan sebagai makanan atau minuman bagi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan dan minuman.

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari

(8)

konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan, terutama dalam jangka waktu dapat membahayakan kesehatan bahkan bisa sampai pada tahap kematian (Hardinysah & Martianto 1989).

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan oleh seorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardiansyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan (food intake) seseorang meliputi jenis, waktu, tempat, cara) dan jumlah pangan yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi sosial ekonomi, politik dan budaya. Kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan akan berpengaruh terhadap asupan zat gizi yang diperoleh. Konsumsi yang terbentuk dari waktu kecil dan dimulai pertama kali di rumah akan menjadi dasar untuk konsumsi pangan seseorang merupakan suatu proses yang saling terkait dan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif lama (Sanjur 1982).

Tingkat konsumsi akan menentukan kecukupan gizi seseorang. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh di dalam susunan hidangan. Kuantitas hidangan menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi di dalam susunan hidangan. Jika hal ini dapat dipenuhi baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka akan tercapai keadaan gizi yang sebaik-baiknya (Sediaoetama 1991).

Energi. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi dan zat gizi diperlukan oleh seseorang sesuai dengan kebutuhan berdasarkan jenis kelamin, berat badan, lama dan berat ringannya aktivitas fisik. Variasi bahan makanan sangat penting karena kandungan gizi tiap-tiap jenis makanan berbeda-beda, dan tidak satupun bahan makanan di alam ini dapat mengandung seluruh zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dalam satu hari.

Tubuh memerlukan energi untuk keperluan-keperluan seperti memenuhi kebutuhan energi basal, aktivitas tubuh dan keperluan khusus (ibu hamil dan menyusui serta orang yang baru sembuh dari sakit). Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan. Selanjutnya Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa semakin aktif

(9)

kegiatan fisik seseorang, makin banyak energi yang dibutuhkan. Tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil.

Karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah. Produk yang dihasilkan terutama dalam bentuk gula sederhana yang mudah larut dalam air dan mudah didistribusikan ke seluruh sel-sel guna penyediaan energi (Almatsier 2001). Fungsi utama dari karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal. Sebagian dari karbohidrat disimpan dalam tubuh sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan dalam otot dan hati sebagai glikogen, sebagian lagi diubah menjadi lemak sebagai cadangan energi. Seseorang yang mengkonsumsi karbohidrat berlebih akan menjadi gemuk.

Protein. Protein dapat diperoleh dari dua sumber yaitu protein hewani dan protein nabati. Fungsi utama dari protein adalah sebagai zat pembangun. Protein diperlukan untuk pertumbuhan, pembentukan sel/jaringan, pengganti jaringan yang rusak. Protein juga berfungsi dalam pembentukan enzim dan hormon yang berperan dalam proses pencernaan dan metabolisme serta pembentukan hemoglobin dan antibodi. Kualitas protein hewani lebih baik dari protein nabati. Protein hewani mengandung semua asam amino esensial, sedangkan protein nabati umumnya kurang lengkap. Selain itu, daya cerna dan proses penyerapan protein hewani lebih cepat daripada protein nabati.

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan dengan mengetahui riwayat pola makan serta frekuensi makan. Penilaian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya metode inventaris, cara pendaftaran, recall, dan penimbangan. Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menilai status gizi. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei (Suhardjo 1989). Survei diet atau penilaian konsumsi makananadalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supriasa et al 2001).

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode kulaitatif yaitu dengan mengetahui frekuensi makan.

(10)

Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggal informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supriasa et al 2001).

Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Menurut Powell (2010), penggunaan metode recall 24 jam merupakan salah satu metode yang mudah dan dapat menggambarkan jumlah makanan yang dikonsumsi responden. Prinsip dari metode recall 24 jam yaitu dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall

24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan sekali, maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supriasa et al

2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal dua kali recall 24 jam tanpa berturut-turut dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu.

Selain recall terdapat juga metode food frequency. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu dan bulan. Frekuensi pangan digunakan untuk menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (Supriasa et al 2001). Selain itu, dengan metode ini dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking konsumsi zat gizi. Kuesionernya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan.

Angka Kecukupan Gizi

Kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan. Kecukupan gizi dipengaruhi umur, jenis kelamin, aktifitas, berat dan tinggi badan serta genetika. Menurut energi yang tercantum dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 yang dianjurkan per orang per hari untuk pria usia 19-29 tahun adalah 2550 kkal dan 1900 kkal untuk

(11)

wanita. Perbedaan antara laki-laki dan wanita disebabkan kebutuhan zat gizi antara laki-laki dan wanita berdasarkan pengeluaran energi berbeda, bukan berdasarkan konsumsi (Hardinsyah & Martianto 1992).

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan zat-zat gizi makanan (Almatsier 2001). Status gizi merupakan hasil masukan zat gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan gizi yang ditentukan oleh berbagai faktor antara lain umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan, tinggi badan, keadaan fisiologis dan keadaan kesehatan.

Menurut Riyadi (2003), penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis, biokimia dan dietary. Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri dengan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sebagai ukuran antropometri yang banyak diterapkan. Menurut Supariasa et al (2001), penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Sementara itu, penilaian secara tidak langsung ada tiga, yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, faktor ekologi. Upaya perbaikan gizi dapat memperbaiki status gizi dan kesehatan yang kemudian akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pertumbuhan ekonomi.

Referensi

Dokumen terkait

a) Berdasarkan uji koefisien korelasi diperoleh kesimpulan bahwa laba bersih ( LB), arus kas dari aktivitas operasi (AKO), dan arus kas dari aktivitas investasi (AKI)

Tipe mineralisasi di Sungai Keliyat dicirikan oleh mineral pirit dan arsenopirit yang mengisi rekahan berasosiasi dengan kuarsa dan epidot pada batuan

Sikap nasionalisme dalam berbahasa berarti, setiap mahasiswa memiliki kesadaran sepenuhnya bahwa, BI merupakan bahasa resmi Negara atau bahasa yang digunakan untuk keseluruhan

Solehhudin (1997:56) bahwa pendidikan prasekolah (sekarang dikenal dengan PAUD) memiliki karakteristik dan cara belajar tersendiri, program pendidikannya tampak tidak

Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberhasilan proses pembelajaran yang telah diberikan oleh guru pelajaran bahasa indonesia, oleh karena itu perlu

Karena peneliti ingin mengetahui tingkat kepatuhan membayar pajak di daerah tempat tinggalnya dengan empat variabel independen yang mungkin mempengaruhi, yaitu

Sebagai instansi yang bergerak di bidang jasa pelayanan, Rumah Sakit melibatkan seluruh tenaga dari berbagai disiplin ilmu dalam pemberian pelayanan kepada pasien yaitu

AL MAWADDAH WARRAHMAH KOLAKA UIN ALAUDDIN MAKASSAR KEPERAWATAN 137 170425754384 NURUL MAGFIRAH SUPU PESANTREN HUBULO UIN ALAUDDIN MAKASSAR KEPERAWATAN 138 170427755112