BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian, peneliti diwajibkan menggunakan sebuah
metode untuk mempermudah penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah
dan tertata rapi. Menurut Endraswara (2008:8) “Metode dalam penelitian sastra adalah
cara yang dipilih oleh peneliti dengan mempertimbangkan bentuk, isi, dan sifat sastra
sebagai subjek kajian.”
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang berhubungan dengan nilai atau
kesan dari sebuah objek yang diteliti. Menurut Semi (2012:11) “Metode penelitian
kualitatif yang diutamakan bukan kuantifikasi berdasarkan angka-angka, tetapi yang
diutamakan adalah kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang
dikaji secara empiris.”
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006:4) “Metode penelitian
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” Oleh sebab itu,
metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif umumnya
3.2 Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata atau kalimat-kalimat
dan bukan angka-angka. Dalam penelitian kualitatif, data formal adalah kata-kata, kalimat,
dan wacana (Ratna, 2004:47). Data yang dimaksud adalah kata-kata, kalimat, dan wacana
yang terdapat dalam novel SP.
Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek penelitian (Djojosuroto dan
Sumaryati, 2000:10). Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui sumber lain
dan tidak langsung dari objek penelitian (Djojosuroto dan Sumaryati, 2000:10).
Data primer berupa novel SP, selanjutnya data sekunder diperoleh dari
sumber-sumber tertulis berupa buku, kamus, ataupun dari sumber-sumber internet yang berisi tentang
informasi yang berkaitan dengan penelitian.
Dalam perkembangan selanjutnya, penulis menemukan tiga cover atau warna
sampul novel SP yang beredar luas di pasaran. Novel SP yang pertama sampulnya
berwarna biru, novel SP yang kedua sampulnya berwarna merah, sedangkan novel SP
yang ketiga sampulnya berwarna hijau. Secara lebih rinci, penulis membuat gambar
Novel SP yang pertama (sampul biru) :
Judul Sang Pemimpi
Pengarang Andrea Hirata
Penerbit Bentang
Jumlah Halaman x+292 Halaman
Ukuran 13 cm x 20,5 cm
Cetakan Ke-25
Tahun 2009
Warna Sampul Biru Langit dan Putih Awan
Gambar Sampul Seorang Lelaki yang Duduk di
Dermaga
Novel SP yang kedua (sampul merah) :
Judul Sang Pemimpi
Pengarang Andrea Hirata
Penerbit Bentang
Jumlah Halaman x+247 Halaman
Ukuran 13 cm x 20,5 cm
Cetakan Ke-28
Tahun 2010
Warna Sampul Merah, dan sedikit warna biru laut di
Dermaga
Desain Sampul Kuswanto
Novel SP yang ketiga (sampul hijau) :
Judul Sang Pemimpi
Pengarang Andrea Hirata
Penerbit Bentang
Jumlah Halaman x+247 Halaman
Ukuran 13 cm x 20,5 cm
Cetakan Ke-3
Tahun 2012
Warna Sampul Hijau, dan sedikit warna biru langit
Gambar Sampul Seorang Pemuda di Tengah Ladang
Secara substansi atau isinya, ketiga novel SP tersebut hampir tidak ada
perbedaanya atau tidak terlalu signifikan. Perbedaannya hanya pada sampul, edisi dan
tahun cetakan, serta jumlah halamanya. Novel SP yang pertama (sampul biru) lebih
banyak jumlah halamannya karena dilengkapi dengan glosarium dibandingkan dengan
novel SP yang kedua (sampul merah) dan yang ketiga (sampul hijau) yang memiliki
jumlah halaman yang sama. Oleh sebab itu, penulis memilih novel SP yang pertama
(sampul biru) sebagai sumber data primer.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik studi
kepustakaan, yaitu memanfaatkan referensi buku yang ditulis oleh pakar sastra khususnya
psikologi sastra. Studi pustaka sangatlah penting karena dapat memberikan gambaran awal
yang kuat untuk menyelesaikan penelitian ini. Referensi buku akan menambah
pengetahuan peneliti dan juga akan berfungsi sebagai pembuka pintu untuk memahami
dan menyelesaikan masalah di dalam penelitian ini.
Novel SP menjadi data primer dalam penelitian ini. Pengumpulan data yang
dibutuhkan, diperoleh dengan cara membaca dan menghayati data primer. Membaca
dilakukan secara berulang-ulang terhadap data primer dan kemudian menghayati secara
mendalam apa yang menjadi sumber informasi penting di dalam data primer. Selanjutnya
dilakukan teknik simak dan catat.
Teknik simak dilakukan dengan cermat, teliti, dan terarah terhadap data primer
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Dari hasil penyimakan yang dilakukan
terhadap seluruh teks novel SP kemudian dilakukan pencatatan data beserta kode sumber
3.4 Teknik Analisis Data
Dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode kualitatif, maka secara
otomatis penelitian dilakukan secara deskriptif. Menurut Endraswara (2008:5) “Penelitian
secara deskriptif artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar yang diperlukan,
bukan berbentuk angka.”
Menurut Kuntjara (2006:99) ”Dalam paradigma penelitian kualitatif, data dilihat
bukan sebagai informasi mentah yang didapat dari lapangan tetapi didapat dari hasil
interaksi antara peneliti dan sumber data baik dari manusia maupun diperoleh dari sumber
data.”
Adapun teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan data yang diperoleh dari hasil membaca dan mengahayati data primer
dan data sekunder, kemudian melakukan pemahaman dan penafsiran terhadap data yang
sudah ada serta mendeskripsikan bentuk-bentuk perjuangan tokoh utama untuk meraih
impian dengan menggunakan psikologi individual yang dikemukakan oleh Adler.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data:
1. Memahami secara mendalam objek yang dikaji atau diteliti.
2. Menyajikan data yang diperlukan lewat membaca berulang-ulang objek yang akan
diteliti.
3. Melakukan penafsiran secara sistematis terhadap data.
4. Menyimpulkan hasil analisis sehingga diperoleh bentuk-bentuk perjuangan tokoh
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Perjuangan Tokoh Utama
Perjuangan merupakan proses yang panjang dengan pengorbanan yang besar untuk
mencapai suatu impian atau tujuan yang diinginkan. Pengorbanan yang besar tersebut
dapat berupa waktu, tenaga, dan pikiran. Perjuangan terjadi karena adanya dorongan atau
motivasi untuk mengubah keadaan. Keadaan yang dimaksud adalah keterbatasan secara
ekonomi, atau dengan kata lain, yaitu kemiskinan.
Kemiskinan tidak menjadi suatu alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Selama kita terus berusaha, maka selalu ada jalan untuk melanjutkan pendidikan tersebut.
Apapun kita lakukan demi mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Demikianlah yang
dilakukan oleh Ikal, Arai, dan Jimbron dalam novel SP. Hal ini tergambar dalam kutipan
berikut ini.
“Karena di kampung orangtuaku tak ada SMA, setelah tamat SMP aku, Arai, dan Jimbron merantau ke Magai untuk sekolah di SMA Bukan Main. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps. Gelombang besar karyawan di-PHK. Ledakan PHK itu memunculkan gelombang besar anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan tak punya pilihan selain
bekerja membantu orang tua.” (SP:67)
Dari kutipan di atas, tergambar bahwa Ikal, Arai, dan Jimbron berjuang untuk
melanjutkan pendidikannya dengan merantau ke Magai karena di kampung mereka tidak
ada SMA. Setelah tamat SMP, mereka sudah berpisah atau jauh dengan orang tua dan
kerabatnya. Pada saat situasi sulit, PN Timah Belitong terancam kolaps, menimbulkan
Gelombang besar karyawan yang di-PHK ini, memunculkan gelombang besar
anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah dan bekerja membantu orang tua. Hal ini tidak
membuat Ikal, Arai, dan Jimbron untuk berhenti melanjutkan pendidikannya. Apapun
mereka lakukan agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Mereka yang masih bersemangat sekolah umumnya bekerja di warung mi rebus. Mencuci piring dan setiap malam pulang kerja harus mengerus tangan tujuh kali dengan tanah karena terkena minyak babi. Atau menjadi buruh pabrik kepiting. Berdiri sepanjang malam menyiangi kepiting untuk dipaketkan ke Jakarta dengan risiko dijepiti hewan nakal itu. Atau, seperti aku, Arai, dan Jimbron, menjadi kuli ngambat.” (SP:68)
Ngambat berasal dari kata menghambat yang merupakan suatu pekerjaan untuk
menunggu perahu nelayan yang tambat, kemudian memikul ikan-ikan hasil tangkapan
nelayan ke pasar ikan. Pekerjaan yang demikian itu dinamakan dengan kuli ngambat.
Bahkan pekerjaan ini sudah cukup lama mereka lakukan.
“Aku hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, Arai, tinggal di salah satu los di pasar kumuh ini. Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi kuli ngambat –tukang pikul ikan-di dermaga.” (SP:3-4)
Pekerjaan seperti ini mereka lakukan untuk membantu keluarga yang tidak mampu
untuk membiayai semua keperluan sekolah. Sejak PN Timah Belitong terancam kolaps
dan menimbulkan gelombang besar karyawan di-PHK, sehingga memunculkan
gelombang besar anak-anak terpaksa berhenti sekolah. Mereka yang mempunyai
keinginan dan semangat yang tinggi untuk tetap bisa bersekolah, maka mau tidak mau
mereka harus mandiri dan bekerja keras untuk membiayai sekolahnya.
Seperti yang dilakukan oleh Ikal, Arai, dan Jimbron, mereka hidup secara mandiri
dan bekerja keras demi membiayai semua keperluan sekolahnya. Mereka bekerja setiap
hari, mulai dari pukul dua pagi sampai subuh. Meskipun mereka bekerja pada pagi buta,
mereka selalu disiplin dalam membagi waktu untuk bekerja dengan membagi waktu untuk
“Setiap pukul dua pagi, berbekal sebatang bambu, kami sempoyongan memikul berbagai jenis makhluk laut yang sudah harus tersaji di meja pualam stanplat pada pukul lima, sehingga pukul enam sudah bisa diserbu. Artinya, setelah itu kami
leluasa untuk sekolah.” (SP:70)
Apapun dilakukan oleh Ikal, Arai, dan Jimbron agar tetap bisa bersekolah. Bahkan
sebelum mereka bekerja sebagai kuli ngambat, mereka bekerja sebagai penyelam di
padang golf.
“Sebelum menjadi kuli ngambat kami pernah memiliki pekerjaan lain yang juga
memungkinkan untuk tetap sekolah, yaitu sebagai penyelam di padang golf.” (SP: 68-69)
Ikal, Arai, dan Jimbron bekerja sebagai penyelam di padang golf. Padang golf ini
merupakan milik para petinggi PN Timah Belitong. Penjaga padang golf akan membayar
untuk setiap bola golf yang dapat diambil pada kedalaman hampir tujuh meter di dasar
danau. Danau tersebut merupakan danau bekas galian kapal keruk di tengah padang golf
tersebut.
Setelah Ikal, Arai, dan Jimbron berhenti bekerja sebagai penyelam di padang golf,
mereka beralih bekerja menjadi part time office boy.
“Lalu kami beralih menjadi part time office boy di kompleks kantor pemerintahan. Mantap sekali judul jabatan kami itu dan hebat sekali job description-nya: masuk kerja subuh-subuh dan menyiapkan ratusan gelas teh dan kopi untuk para abdi
negara.” (SP:69)
Setelah berhenti bekerja sebagai part time office boy, Ikal, Arai, dan Jimbron
bekerja sebagai kuli ngambat tersebut. Sudah dua tahun mereka menekuni pekerjaan
sebagai kuli ngambat ini. Karena pekerjaan ini, mereka mampu untuk menyewa sebuah los
Bahkan ketika masih SMP, Ikal, Arai, dan Jimbron sudah terbiasa mencari uang
sendiri. Mereka bekerja karena keadaan ekonomi orang tua. Karena keadaan ekonomi
inilah yang memaksa mereka untuk bekerja.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual kepada penjual ikan.” (SP:32)
Keadaan ekonomi atau kemiskinan yang membuat Ikal, Arai, dan Jimbron harus
bekerja untuk mencari uang sendiri. Ditambah lagi dengan kolapsnya PN Timah Belitong
yang merupakan perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan
periuk belanganya. Ikal, Arai, dan Jimbron bekerja sebagai pencari akar banar. Akar banar
merupakan akar yang digunakan oleh penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah
ditenteng oleh pembeli.
Bukan hanya itu saja yang di lakukan oleh Ikal, Arai, dan Jimbron, mereka juga
mencari akar purun.
“Dia juga yang mengajakku mengambil akar purun (perdu yang tumbuh di rawa-rawa) yang kami jual kepada pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi.” (SP:32)
Akar purun merupakan perdu yang tumbuh di rawa-rawa yang digunakan oleh para
pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi. Untuk menebas akar purun, harus
berendam dalam rawa setinggi dada. Begitulah perjuangan yang dilakukan oleh Ikal, Arai,
dan Jimbron untuk mendapatkan akar purun tersebut.
Tidak hanya sampai di situ saja perjuangan Ikal, Arai, dan Jimbron, kerap kali
mereka berubah profesi atau pekerjaan. Dari pencari akar banar sampai pencari akar
rumpun purun, hingga menjadi penjual kue.
“Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya
Berjualan kue merupakan ide dari Arai. Arai mengajak Mak Cik Maryamah untuk
bekerja sama dengan mereka. Mak Cik Maryamah adalah seorang ibu yang mempunyai
dua orang anak perempuan yang masih kecil. Ia merupakan wanita yang tidak beruntung
dan tak berdaya karena tak lagi dipedulikan oleh suaminya.
Oleh karena tidak lagi dipedulikan oleh suaminya, maka Mak Cik Maryamah
sering meminjam beras kepada tetangga untuk kebutuhan dia dan anak-anaknya yang
masih kecil. Melihat hal itu, maka atas inisiatif Arai, ia mengajak Ikal untuk membantu
Mak Cik Maryamah. Mereka membeli terigu, gandum, dan gula dari hasil uang tabungan
mereka selama bekerja sebagai pencari akar banar dan akar rumpun purun, dan kemudian
meminta Mak Cik Maryamah membuat kue dengan bahan-bahan tersebut, dan mereka
yang akan menjualnya.
“Dan sejak itu, kami naik pangkat dari penebas akar banar dan pencabut rumpun purun menjadi penjual kue basah. Karena sasaran pasar kami adalah orang-orang bersarung, maka kami berjualan dari perahu ke perahu. Jika ada pertandingan sepak bola, kami berjualan di pinggir lapangan bola. (SP:52)
Dengan demikian, Mak Cik Maryamah sudah mempunyai pekerjaan dan tak perlu
lagi untuk meminjam-minjam beras kepada tetangganya. Hasil dari penjualan kue basah
yang dibuatnya, akan mendapatkan bagian atau komisi. Apalagi penghasilan dari kue
basah yang dibuatnya lumayan, maka Mak Cik Maryamah sudah punya penghasilan
sendiri untuk ia dan anak-anaknya.
Perjuangan Ikal, Arai, dan Jimbron tidak hanya sampai di situ saja. Setelah tamat
SMA, Ikal dan Arai mencoba untuk merantau ke Jawa. Dengan uang tabungan selama
bekerja di Magai, mereka yakin untuk merantau ke Jawa.
“Merantau, kita harus merantau, berapa pun tabungan kita, sampai di Jawa urusan
Ikal dan Arai sangat ingin mengunjungi pulau Jawa, tanpa ada keluarga dan
sahabat yang dituju di sana. Dengan uang tabungan selama bekerja keras di Magai, mereka
bisa bertahan hidup selama di Jawa dan sambil mencari pekerjaan. Mereka berangkat dari
dermaga Olivir ke Tanjung Priok, dengan naik kapal barang yang mereka tumpangi secara
gratis.
Ikal dan Arai belum terbiasa dengan perjalanan panjang dan lama. Selama
perjalanan empat hari dari dermaga Olivir menuju dermaga Tanjung Priok, mereka
mengalami mabuk secara terus menerus. Demikianlah perjuangan mereka untuk sampai ke
pulau Jawa.
“Pelayaran kami takkan pernah kulupakan karena itulah empat hari, secara terus menerus, detik demi detik, kami didera siksaan. Siksaan pertama karena kami telah
mabuk ketika baru beberapa jam berlayar.” (SP:222)
Sesampai di Jawa, prioritas utama Ikal dan Arai adalah bagaimana agar bisa dapat
pekerjaan, berpenghasilan, dan dapat makan tiga kali sehari, kemudian baru memikirkan
kuliah.
“Saat ini kami hanya memiliki dua tas kulit buaya, sedikit uang untuk bertahan
hidup, dan dua celengan kuda. Tapi walaupun terbatas keadaan kami, kami yakin dapat kuliah. Sekarang satu persatu saja dulu, yaitu bagaimana agar segera dapat
pekerjaan, berpenghasilan, dan dapat makan tiga kali sehari.” (SP:235)
Setelah hampir lima bulan menetap di Jawa, Ikal dan Arai baru mendapatkan
pekerjaan untuk bertahan hidup. Pekerjaan tersebut adalah sebagai penjual wajan teflon
serta berbagai peralatan dapur. Mulai dari pagi, Ikal dan Arai sudah berkeliling diberbagai
perumahan yang ada di Bogor.
Akan tetapi, pekerjaan tersebut tidak menguntungkan bagi Ikal dan Arai. Sebulan
penuh bekerja, mereka tak berhasil menjual satu barang pun. Karena hal tersebut, maka
Ikal dan Arai dipecat. Setelah dipecat dari pekerjaan sebagai penjual wajan teflon, Ikal dan
Arai bekerja di pabrik tali.
“Lalu kami mendapat pekerjaan di pabrik tali. Pabrik ini memproduksi berbagai jenis tali” (SP:237)
Belum lama bekerja di pabrik tali, Ikal dan Arai harus berhenti bekerja karena
pabriknya mengalami kebangkrutan. Selama di Jawa, mereka kerap kali berganti
pekerjaan. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Hingga akhirnya, dari pekerjaan
tersebut, Ikal dan Arai bisa kuliah.
4.2 Bentuk-bentuk Perjuangan Tokoh Utama
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab II, penelitian ini menggunakan pendekatan
psikologi individual yang dikembangkan oleh Adler. Psikologi individual yang
dikembangkan Adler ini dapat menganalisis dan mendeskripsikan bentuk-bentuk
perjuangan tokoh utama untuk meraih impiannya. Tokoh utama yang secara ekonomi,
dapat dikatakan dari keluarga yang tidak mampu, tetapi mempunyai semangat dan
perjuangan yang sangat besar untuk meraih impiannya.
Adler menjabarkannya dalam empat bentuk, yaitu:
1. Berjuang mencapai tujuan akhir
2. Daya juang sebagai kompensasi
3. Berjuang meraih superioritas pribadi
4. Berjuang meraih keberhasilan
Keempat bentuk yang dijabarkan dalam psikologi individual Adler ini akan dihubungkan
Melalui psikologi individual Adler tersebut, akan dapat menentukan perjuangan
Ikal, Arai, dan Jimbron. Perjuangan dari SMP sampai tamat SMA hingga ke bangku
kuliah. Dalam keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung, mereka mampu
berjuang, bekerja keras, dan hidup mandiri. Arti perjuangan hidup dalam kemiskinan yang
membelit dan cita-cita atau impian yang gagah berani, dengan penuh optimis.
4.2.1 Berjuang Mencapai Tujuan Akhir
Manusia berjuang demi sebuah tujuan akhir, entah itu superioritas pribadi atau
keberhasilan untuk semua umat manusia. Pada masing-masing kasus atau masalah,
berjuang mencapai tujuan akhir tersebut sifatnya fiksional dan tidak ada bentuk
objektifnya (Feist, 2010:82).
Manusia mempunyai tujuan atau impian yang harus diperjuangkan untuk
meraihnya. Tujuan tersebut sudah direncanakan secara matang dengan prinsip
masing-masing. Visi manusia berjuang mencapai tujuan akhir adalah untuk melawan perasaan
lemah (inferior) dan mencapai keberhasilan (superior).
Dalam novel SP ini, terdapat kutipan yang berhubungan dengan berjuang
mencapai tujuan akhir, seperti pada kutipan berikut:
“Pada saat itulah aku, Arai, dan Jimbron mengkristalisasikan harapan agung kami
dalam satu statement yang sangat ambisius: cita-cita kami adalah kami ingin sekolah ke Perancis! Ingin menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika.” (SP:73)
Impian dan tekad Ikal, Arai, dan Jimbron sangat besar. Daya juang yang dimiliki
oleh mereka serta sikap optimis yang ditunjukkannya, merupakan bukti bahwa mereka
akan mencapai tujuan akhir, yaitu ingin sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kakinya
“...,atau tentang cita-cita kita merantau ke Jawa, naik perahu barang, dan tentang rencana kita sekolah ke Prancis!! Menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne!! Menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Kita akan menjadi orang Melayu pedalaman pertama yang sekolah ke Prancis!! Bukan main hebatnya, Bron!!.” (SP: 137)
Ikal mengingatkan tentang ambisi atau keinginan mereka untuk mencapai tujuan
akhir yang selama ini diimpikannya. Mereka ingin membuktikan bahwa mereka mampu
untuk meraihnya, meskipun dalam keadaan ekonomi keluarga yang lemah. Keadaan
ekonomi bukanlah halangan untuk mencapainya. Ikal, Arai, dan Jimbron selalu bekerja
keras, pantang menyerah, dan selalu bersikap optimis.
“Kita lakukan yang terbaik di sini!! Dan kita akan berkelana menjelajahi Eropa
sampai ke Afrika!! Kita akan sekolah ke Prancis!! Kita akan menginjakkan kaki di
altar suci almamater Sorbonne! Apa pun yang terjadi!!.” (SP:154)
Ikal sangat optimis dan sangat bersemangat. Buktinya, mereka sangat yakin dan
percaya diri. Ia melakukan usaha yang maksimal untuk meraih semuanya. Dengan
melakukan hal yang terbaik, dan menghadapi semua hal yang terjadi, serta tetap optimis
tanpa rasa ragu atau bimbang.
“Maka sekarang aku adalah orang yang paling optimis. Jika kuibaratkan semangat
manusia sebuah kurva, sebuah grafik, maka sikap optimis akan membawa kurva itu terus menanjak.” (SP: 208)
Dengan semangat yang tak pernah surut dan padam, Ikal, Arai, dan Jimbron selalu
menggantungkan cita-cita itu. Apa pun telah mereka lakukan untuk bisa meraihnya.
“Betapa kami adalah para pemberani, para patriot nasib. Dengan kaki tenggelam di
dalam lumpur sampai ke lutut kami tak surut menggantungkan cita-cita kami di bulan: ingin sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki-kaki miskin kami di atas
altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika.”
Sesuai dengan istilah, usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Maka, itulah
yang terjadi pada Ikal, Arai, dan Jimbron. Apa yang mereka impikan selama ini terwujud.
Usaha dan kerja keras mereka selama ini tak pernah sia-sia.
“Hanya itu kalimat yang dapat menggambarkan bagaimana sempurnanya Tuhan
telah mengatur potongan-potongan mozaik hidupku dan Arai, demikian indahnya Tuhan bertahun-tahun telah memeluk mimpi-mimpi kami, telah menyimak harapan-harapan sepi dalam hati kami, karena di kertas itu tertulis nama universitas yang menerimanya, sama dengan nama universitas yang menerimaku, di sana jelas
tertulis: Univesite de Paris, Sorbonne, Perancis.” (SP:272)
4.2.2 Daya Juang sebagai Kompensasi
Manusia berjuang meraih superioritas atau keberhasilan sebagai cara untuk
mengganti perasaan inferior atau lemah. Manusia secara terus menerus didorong oleh
keinginannya untuk menjadu utuh (Feist, 2010:83).
Manusia tidak pernah lepas dari kekurangan, tetapi hal itu bisa menjadi dorongan
atau motivasi untuk mencapai tujuan. Manusia akan berjuang meraih superioritas atau
keberhasilan sebagai cara untuk mengganti perasaan inferior atau lemah. Kelemahan ini
menjadi pemicu untuk meraih sesuatu yang lebih baik.
Daya juang ini ditentukan oleh perasaan inferior atau lemah dan tujuan
mendapatkan keunggulan. Tanpa sebuah kelemahan, manusia tidak akan pernah
mendapatkan kesempurnaan yang ingin dicapainya. Keberhasilan merupakan konsep yang
dibuat oleh setiap individu, serta bagaimana ia mencapainya.
Dalam daya juang sebagai kompensasi juga terbentuk oleh faktor keturunan dan
faktor lingkungan. Faktor keturunan menentukan potensi untuk memperbaiki dan
mengubah keadaan yang terus berjalan, sedangkan faktor lingkungan terbentuk oleh minat
“Namun, sampai di sekolah, semua kelelahan kami serta-merta lenyap, sirna tak ada bekasnya, menguap diisap oleh daya tarik laki-laki tampan ini, kepala sekolah sekaligus guru kesusastraan kami: Bapak Drs. Julian Ichsan Balia. Sebagai anak-anak yang sejak sekolah dasar diajarkan untuk menghargai ilmu pengetahuan dan seni, aku, Arai, dan Jimbron sungguh terpesona pada pak Balia.” (SP:70)
Ikal, Arai, dan Jimbron merasa sangat bersemangat apabila sampai di sekolah.
Semua kelelahan mereka bekerja sebagai kuli ngambat terbayar sudah oleh pesona pak
Balia. Setiap pukul dua pagi, mereka sudah sempoyongan memikul berbagai jenis
makhluk laut sampai pukul enam pagi. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk berangkat ke
sekolah.
Pak Balia merupakan kepala sekolah sekaligus guru kesusastraan mereka. Beliau
selalu tampil prima, menyenangi ilmu, serta sangat menghargai murid-muridnya. Kreatif
merupakan daya tarik utama kelasnya. Ia tak pernah mau kelihatan letih dan jemu dalam
menghadapi murid-muridnya.
Di hadapan pak Balia, semua murid-muridnya menjadi bersemangat dan selalu
optimis dalam mengejar cita-cita. Mereka semakin bergairah untuk belajar oleh entakan
semangat pak Balia dengan menyebut muridnya sebagai para pelopor.
“Mengingat keadaan kami yang amat terbatas, sebenarnya lebih tepat cita-cita itu disebut impian saja. Tapi di depan tokoh karismatik seperti pak Balia, semuanya
seakan mungkin.” (SP:73-74)
Untuk mengejar semua impian, Arai selalu mengingatkan agar selalu berjuang total,
pantang mundur dan selalu optimis, serta mengerahkan semua daya dan upaya.
Ikal, Arai, dan Jimbron sadar bahwa tanpa mimpi, mereka tidak akan pernah hidup,
tanpa mimpi mereka tidak akan pernah berjuang. Dan tanpa itu semua, mereka tidak akan
pernah bertempur habis-habisan. Dimulai dari sekolah mereka akan mengejar semua
cita-cita yang ingin diraih.
“Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati...
Mungkin setelah tamat SMA kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli,
tapi di sini Kal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita!!.” (SP: 153)
Arai menegaskan bahwa mereka tidak akan pernah menyerah pada keadaan.
Mereka selalu optimis dan ingin mengubah hidup menjadi lebih baik. Sikap pesimis
merupakan sikap takabur yang mendahului nasib.
4.2.3 Berjuang Meraih Superioritas Pribadi
Pada umumnya, manusia berjuang meraih superioritas atau keberhasilan tanpa
memikirkan orang lain. Tujuannya bersifat personal dan dimotivasi oleh perasaan inferior
atau lemah. Oleh sebab itu, timbul usaha yang berlebihan untuk mendapatkan kepuasan
pribadi (Feist, 2010:84)
Manusia berjuang meraih keberhasilan dengan tujuannya sendiri. Tujuan ini timbul
karena adanya perasaan lemah. Secara sadar atau tidak sadar menyembunyikan
kecenderungan untuk memikirkan diri sendiri di balik keprihatinan dalam kehidupan
sosialnya.
Ikal tidak peduli dengan masalah apa yang terjadi di luar masalah mereka. Mereka
hanya peduli pada masalah keadaan hidupnya.
“Sahabatku, banyak hal lain yang lebih positif di dunia ini. Banyak hal lain yang
amat menarik untuk dibicarakan, misalnya tentang...mengapa kita, orang Melayu, yang hidup di atas tanah timah kaya raya tapi kita semakin miskin hari demi
Bahkan Arai rela meninggalkan pekerjaannya sementara untuk pekerjaan yang
lebih menjanjikan. Pekerjaan ini adalah pekerjaan borongan dengan upah atau gaji harian.
“Ada kerja borongan sebentar di Gedong, tak kan lama, bisa kerja setiap pulang sekolah. Orang staf di sana mau membayar harian, bagus pula bayarannya itu...,tak
kan lama, hanya dua bulan, nanti kita ngambat lagi...”(SP:176)
Setelah tamat SMA, Ikal dan Arai mempunyai rencana untuk merantau ke Jawa.
Dengan uang tabungan mereka selama bekerja di Magai, uang tersebut untuk biaya
mereka sementara di sana, sebelum mendapatkan pekerjaan. Tujuan mereka merantau
adalah untuk mencari pekerjaan dan kuliah. Dengan kepergian mereka ke Jawa tersebut,
maka mereka telah meninggalkan kampung halaman, kelurga dan kerabat-kerabatnya.
“Merantau, kita harus merantau, berapa pun tabungan kita, sampai di Jawa urusan belakangan, Arai yakin sekali dengan rencana ini.” (SP: 216)
Sesampai di Jawa, Ikal dan Arai langsung mencari pekerjaan yang dapat
mendukung kelangsungan hidup mereka. Tetapi di Jawa mereka mendapatkan pekerjaan
yang berbeda. Ikal bekerja di jawatan pos sedangkan Arai bekerja ke Kalimantan. Arai
meninggalkan Ikal sendiri di Jawa.
“Sebulan penuh aku menjalani pendidikan dasar militer agar nanti di Jawatan Pos
dapat disiplin melayani masyarakat. Setelah sebulan aku pulang ke Bogor. Tapi di kamar kosku tak ada siapa-siapa. Aku melihat sepucuk surat di bawah pintu. Lututku bergetar dan hatiku hampa membaca pesan di surat itu. Dengan sahabatnya dari pabrik tali, naik Kapal Lawit, Arai telah berangkat ke
4.2.4 Berjuang Meraih Keberhasilan
Manusia yang sehat secara psikologi adalah manusia yang dimotivasi oleh minat
sosial dan keberhasilan untuk sesama. Individu yang sehat peduli dengan tujuan-tujuan
ataupun cita-citanya. Keberhasilannya tidak diperoleh dengan cara mengorbankan orang
lain (Feist, 2010:85)
Manusia berjuang untuk meraih keberhasilan daripada superioritas pribadi akan
mampu mempertahankan keadaan dirinya, tetapi mereka lebih melihat masalah sehari-hari
dari sudut pandang sosial daripada pribadi.
“Untuk menyokong keluarga, sudah dua tahun kami menjadi kuli ngambat-tukang pikul ikan-di dernaga.” (SP:4)
Karena mayoritas masyarakat di kampung Ikal, Arai, dan Jimbron adalah
masyarakat yang secara ekonomi dapat dikatakan kurang mampu atau miskin. Sehingga,
untuk mengurangi beban keluarga, maka mau tak mau mereka harus berjuang untuk
memenuhi kebutuhannya. Mulai dari beranjak remaja, mereka sudah terbiasa mencari
uang sendiri.
“Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku
mencari akar banar untuk dijual kepada penjual ikan.” (SP:32)
Untuk mencari uang sendiri, dan membantu beban orangtua, sering kali Ikal, Arai,
dan Jimbron berubah profesi atau pekerjaan. Setelah berhenti bekerja mencari akar
banar, mereka berjualan kue. Kue ini dibuat oleh Mak Cik Maryamah yang tidak
mempunyai pekerjaan, sehingga Mak Cik Maryamah terbantu. Dari mereka modal untuk
membuat kuenya. Modal ini didapat dari hasil penjualan akar banar.
“Penghasilan sebagai penjual kue rupanya jauh lebih baik dari penjual akar banar.
Bahkan Ikal, Arai, dan Jimbron bekerja bukan hanya semata untuk kebutuhan
sendiri. Mereka bekerja untuk bisa sekolah dan membantu keluarga.
“Pada momen ini kami memahami bahwa persahabatan kami yang lama dan lekat
lebih dari saudara, berjuang senasib sepenanggungan, bekerja keras bahu-membahu sampai titik keringat terakhir untuk sekolah dan keluarga, tidur sebantal makan sepiring, susah senang bersama, ternyata telah membuahkan maslahat yang
tak terhingga bagi kami.” (SP:139)
Bukan hanya membantu keluarga, Ikal juga membantu orang lain yang
membutuhkannya. Ketika merantau di Jawa dan saat bekerja di jawatan pos.
“Yang menghiburku hanya jika menyortir aku menemukan surat dan wesel dari
Belitong untuk beberapa mahasiswa Belitong di IPB. Sering mereka datang ke kantor pos jika bermasalah dengan KTP sehingga susah mencairkan wesel. Maka dengan sebuah cap karet berukiran nama dan nomor induk pegawaiku, aku memberi otoritas di belakang wesel itu: DIKENAL PRIBADI. Bangga minta ampun aku dengan privilege sebagai pegawai pos itu, selain senang dapat memberikan bantuan kecil untuk rekan sekampung.” (SP: 245)
Selama di Jawa, ketika Ikal diterima bekerja di jawatan pos, Arai pergi mencari
kerja ke Kalimantan. Selama itu Ikal sangat merindukan Arai dan ingin membantunya jika
ingin kuliah bersamanya.
“Aku mengatur jadwal shift meyortir surat sesuai dengan kesibukan kuliah. Aku merindukan Arai setiap hari dan ingin kukirimkan kabar padanya bahwa jika ia kembali ke Bogor ia dapat kuliah karena aku telah berpenghasilan tetap. Walaupun sangat pas-pasan tapi jika ia juga bekerja part time, aku yakin kami dapat
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Perjuangan tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron dalam novel SP karya Andrea Hirata
merupakan perjuangan tiga tokoh utama yang ingin sekolah ke Prancis. Dimulai dari
sebuah SMA, cita-cita itu sudah tertanam di dalam pikiran mereka. Apa pun mereka
lakukan demi terwujudnya cita-cita tersebut. Mereka mulai bekerja keras dari pagi hingga
malam.
Semangat dan rasa optimis mereka datang dari sosok yang sangat karismatik, yaitu
pak Balia. Beliau merupakan kepala sekolah sekaligus guru kesusastraan mereka. Ia sering
memberikan semangat kepada murid-muridnya untuk terus berjuang meraih semua impian
yang kita inginkan.
Perjuangan mereka dimulai dari bekerja sebagai pencari akar banar, pencari akar
rumpun purun, penyelam di padang golf, part tme office boy di kompleks kantor
pemerintahan, hingga menjadi kuli ngambat yang harus sempoyongan memikul ikan pada
pukul dua pagi.
Bentuk-bentuk perjuangan tokoh utama tersebut dibagi ke dalam empat bentuk,
yaitu berjuang mencapai tujuan akhir, daya juang sebagai kompensasi, berjuang meraih
5.2 Saran
1. Novel SP merupakan novel yang menggugah semangat, oleh sebab itu sangat bagus dan
layak untuk dibaca oleh siapa pun.
2. Novel SP perlu untuk diteliti lebih lanjut dengan pendekatan yang berbeda sehingga
memperkaya cakupan penelitian yang ada di dalam novel ini.
3. Mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari nilai-nilai positif yang terkandung di