• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estetika dan Etika dalam Seni Islam dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Estetika dan Etika dalam Seni Islam dan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Estetika dan Etika dalam Seni Islam dan Seni Barat Oleh : Aditya Rahman Yani, ST., M.Med.Kom

(Lecturer in Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jatim) saimuslim@gmail.com

+62 857 332 65655

Abstraksi

Tidak ada suatu masyarakat yang tidak memiliki budaya visual (visual culture). Hidup dalam budaya mana pun berarti hidup dalam budaya visual. Citraan visual (visual imagery) dan kegiatan visual bersifat sangat sosial, kultural dan politis. Yang membedakan satu dunia sosial dari dunia sosial lainnya sebagian berupa perbedaan cara citraan-citraan dibuat, diolah, dan dialami di setiap dunia sosial itu.

Islam dan umat Islam sering digambarkan oleh para orientalis sebagai agama dan umat yang nirikon (menghindari citraan), ikonofobi (takut oleh citraan), dan ikonoklastik (mengutuk dan menghancurkan citraan), khususnya yang terkait dengan seni visual atau penggambaran makhluk bernyawa seperti manusia, hewan atau sosok tertentu yang lain. Ditambah lagi dengan respon kemarahan umat Islam saat munculnya kartun Nabi Muhammad Saw di Denmark oleh surat kabar Jyllen Posten, tindakan Taliban dalam penghancuran patung Budha di Bamiyan serta peledakan kantor Kedutaan Besar Amerika di Libya dalam aksi penolakan film The Innocent of Muslim, semakin memperkuat anggapan bahwa budaya Islam di mana pun pasti menentang keindahan seni dan pembuatan visual image yang representasional.

Seni membentuk dimensi utama dalam peradaban Islam. Peninggalan seni khat Arab dan seni hiasan yang ditemukan disetiap daerah-daerah bekas pemerintahan Islam terdahulu merupakan bukti bahwa seni dianggap sebagai fenomena penting dalam kebudayaan umat Islam. Peradaban Islam sendiri sudah berinteraksi dengan seni visual sejak lama dengan landasan bahwa estetika, keindahan dan setiap kecenderungan terhadapnya merupakan fitrah dari setiap manusia.

Disisi lain, seni Islam juga bukanlah seni yang bebas tanpa adanya batasan-batasan syariat. Seni Islam berbeda dengan seni dari Barat yang liberal dan jauh dari nilai-nilai adab. Islam melarang keras menggambar sesuatu dengan niat untuk diagung-agungkan, dikultuskan atau disembah, dan berusaha menandingi ciptaan Allah Swt dengan menggambar makhluk bernyawa. Meskipun begitu, seni Islam terbukti mampu menjadi salah satu style yang khas dan fenomenal di dunia seni tanpa harus melanggar batasan-batasan syariat.

Lalu bagaimana konsep dasar seni dalam Islam? Apakah yang membedakan secara mendasar antara seni Islam dengan seni di Barat? Bagaimana seni Islam mampu menghasilkan karya-karya visual yang memiliki estetika tinggi namun tidak menyalahi aturan syariat Islam?

(2)

PENDAHULUAN

Visual Culture Sebagai Produk Peradaban

Suatu masyarakat pasti memiliki budaya visual (visual culture). Menurut W.J.T. Mitchell manusia yang hidup dalam lingkungan budaya mana pun dapat diartikan dia hidup dalam suatu budaya visual tertentu (2005:349). Sebagaimana Sturken dan Cartwright mendefiniskannya; visual culture sebagai aspek budaya yang dimanifestasikan dalam bentuk visual (Sturken & Cartwright, 2001:4). Singkatnya, setiap karya visual yang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial dan kebudayaan tertentu disebut sebagai budaya visual (visual culture).

Citraan visual (visual imagery) dan kegiatan visual bersifat sangat sosial, kultural dan politis. Seperti yang katakan Kenneth M. George (2012:15) bahwa kita juga harus mempertimbangkan konstruksi visual dunia yang kita diami, dimana disitu kita akan melihat citraan, pembuatan citraan, dan penglihatan telah membentuk bidang pengalaman politik, ekonomi, religius dan kultural kita.

Sturken & Cartwright (2004:2) juga menganggap bahwa budaya visual yang muncul saat ini muncul sebagai perkembangan peradaban manusia di mana melibatkan visual/ gambar di luar konteks keilmuan seni dan hiburan, juga diadopsi karena sifat adaptif dan fleksibilitas masyarakat dan menjadi tradisi yang diaplikasikan meluas ke dalam ilmu dan teknologi.

Peradaban Islam dan Seni Islam

Peradaban Islam sering digambarkan oleh para peneliti populer di Barat sebagai peradaban yang menentang dan memberangus seni dan citraan, sehingga kemajuan-kemajuan Islam dalam bidang seni sering tidak diakui oleh Barat. Sebagian orientalis justru mengklaim bahwa seni Islam yang berkembang selama ini bukanlah hasil dari kemajuan peradaban Islam. Bahkan Blair dan Bloom (2003: 152-184) mengatakan:

(3)

sebagai terminologi yang digunakan untuk mengidentifikasi-kannya.”1—Blair & Bloom

Bukan hanya klaim itu saja yang dilakukan Barat kepada masyarakat Islam, tetapi Barat juga berusaha memperkuat anggapannya bahwa Islam merupakan agama yang anti-citraan (ikonofobi), menghindari citraan (nirikon) bahkan mengutuk dan menghancurkan citraan (ikonofobi) khususnya menyangkut sosok dan penggambaran manusia, atau gambar makhluk hidup. Christian Snouck Hugronje (1906: 65), seorang orientalis asal Belanda yang sangat berpengaruh di Indonesia mengatakan bahwa dirinya melihat umat Islam hampir sama sekali tidak memiliki sense of art, dan menyatakan bahwa Islam tidak begitu sesuai dengan kebangkitan atau perkembangan perasaan artistik. Sejarahwan seni Oleg Grabar (1983: 31) juga menuliskan bahwa kebudayaan Islam bukanlah budaya visual, melainkan budaya mendengar:

“Budaya Islam menemukan sarana representasi dirinya dengan mendengar ketimbang dengan melihat”—Oleg Grabar.

Dalam kajian-kajian tentang pemikiran Islam memang tidak banyak yang memperhatikan dan mementingkan citraan dan peristiwa secara luas yang direpresentasikan melalui media-media Barat. Seperti misalnya respon yang berlebihan ketika Nabi Muhammad Saw digambarkan kartun oleh Jyllen Posten di Denmark, atau tindakan penghancuran Buddha oleh Taliban di Bamiyan, serta melarang unjuk fotografi dan gambar didepan umum, yang semua itu, menurut Kenneth M. George (2012:16) lebih memperkuat anggapan bahwa peradaban dan kebudayaan Islam di mana pun menentang seni dan penciptaan gambar yang representasional. Hal ini menyebabkan Barat melihat umat Islam secara

stereotype, yaitu kolot, represif, dan miskin seni.

PEMBAHASAN

Seni Visual Islam dan Peradaban Islam

Peninggalan peradaban Islam adalah bukti empirik yang paling nyata untuk membantah tuduhan Barat terhadap umat Islam yang dikatakan sebagai masyarakat nirikon (menghindari citraan), ikonofobi (takut oleh citraan) dan iconoclastik (mengutuk dan menghancurkan citraan). Peradaban Islam secara nyata telah menghasilkan seni visual Islam yang menjadi ciri khas peradaban dan masyarakat Islam sejak Islam ada di muka bumi ini.

(4)

Namun seni visual Islam jelas berbeda dengan seni Islam Barat. Seperti yang dikatakan oleh Kenneth M. George, sesuatu yang membedakan satu dunia sosial dari dunia sosial lainnya sebagian berupa perbedaan cara citraan-citraan dibuat, diolah, dan dialami di setiap dunia sosial itu (George, 2012:15). Maka seni-seni visual yang dilahirkan oleh suatu peradaban Islam pasti memiliki perbedaan secara mendasar dengan seni-seni visual yang dihasilkan oleh peradaban yang lainnya. Perbedaan Islam memandang estetika dan etika seni visual tentu akan mengahasilkan kaidah-kaidah yang berbeda pula dalam menciptakan karya seninya. Misalnya dalam aspek syariat Islam yang melarang penggambaran makhluk bernyawa membuat kaidah-kaidah estetika yang jauh berbeda dengan Barat yang mengagungkan realisme dalam kesenian visualnya, sehingga wajar adanya jika estetika dan etika seni Islam sering tidak dipahami oleh Barat.

Seni Visual di Masa Kejayaan Islam

Seni Islam dinilai sebagai salah satu ekspresi dari bentuk-bentuk peradaban Islam yang paling bersih dan paling teliti. Bahkan menurut Raghib As-Sirjani (2009: 670), seni Islam menjadi cermin yang terang terhadap peradaban manusia dikarenakan seni Islam dinilai sebagai seni yang paling agung di antara seni-seni yang dihasilkan oleh peradaban dunia lainnya pada zaman dulu hingga saat ini.

Berbagai macam seni Islam menjadikan peradaban Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradaban lainnya. Di antara seni-seni tersebut adalah Seni Bangunan, Seni Hiasan dan Seni Khat Arab. Dari ketiga jenis seni yang menjadi ciri khas seni Islam, dua diantaranya yang merupakan kategori seni visual adalah Seni Hiasan dan Seni Khat Arab, meskipun Seni Bangunan yang selama ini dihasilkan oleh peradaban Islam juga tidak pernah lepas dari sentuhan seni visual seperti penggunaan Ornamen Timbul pada interior maupun eksterior bangunan, dan juga Seni Jendela Rumah yang juga sering memakai bentukan visual ornament geometris khas Islam.

A. Seni Hiasan

(5)

Para visual artist muslim di masa itu menggunakan garis-garis hiasan yang merepresentasikan pemandangan dan bentuk yang sangat indah. Dari kumpulan-kumpulan hiasan mereka membuat sebuah pola yang di situ imajinasi mereka bekerja tanpa batas, terus menampilkan pembaruan dan keserasian, menciptakan bangun bintang yang bersegi banyak, bentuk-bentuk dari kertas hias, dan gaya-gaya penampilan khusus Arab. Seni model ini dikenal oleh orang Eropa dengan istilah Arabesque.

Seni Hiasan khas Islam yang pertama kali muncul pada masa kekhilafahan Fathimiyah yaitu di masjid Al-Azhar pada pertengahan abad keempat Hijriah (10 Masehi). Para ahli seni hiasan bangunan sangat mahir dalam mendesain segala macam pahatan di kayu, batu, dan marmer/ pualam. Mereka juga ahli dalam memanfaatkan bahan-bahan pewarna dan ukiran.2

Bentuk dasar yang diadopsi dari tumbuh-tumbuhan dan bangunan sangat mendominasi seni hiasan di masa kejayaan Islam. Pada sebagian karya tertentu terdapat penggabungan kedua bentuk dasar tersebut, namun adakalanya juga keduanya muncul dalam penempatan yang terpisah atau dibuat secara tersendiri. Oleh karena itu, jika dilihat dari unsur bentuk dasarnya, seni hiasan khas Islam dapat dibagi menjadi dua macam: hiasan dengan unsur tumbuhan dan hiasan dengan unsur bangunan.3

a. Hiasan Tumbuhan

Seni hiasan tumbuhan didesain dengan berbagai variasi bentuk daun tumbuhan dan bunga. Teknik penggambarannya juga menggunakan beraga gaya. Dalam karya seni hiasan tertentu terdiri dari bermacam-macam unsur tumbuhan dalam berbagai macam desain pula (Sirjani, 2009: 680).

Gambar 1. Hiasan Tumbuhan

(6)

Melalui segala daya kreatifitasnya, seniman visual muslim juga mengkombinasikan hiasan dengan white space4. Bahkan terkadang white space menjadi unsur yang dominan di dalamnya.

Penggunaan hiasan jenis ini biasanya untuk mendekorasi tembok, kubah, berbagai macam karya seni yang terbuat dari tembaga, kaca, keramik, dan digunakan pada halaman buku beserta cover -nya (Sirjani, 2009: 681).

b. Hiasan Bangun

Seni Hiasan Bangun juga merupakan bentuk lain dari hiasan Islam. Para seniman muslim sangat ahli dalam mengkomposisikan garis-garis dan membentuknya menjadi berbagai bentukan yang bernilai estetis yang tinggi. Sehingga berbagai macam bentuk bangun geometris yang kesemuanya bisa didesain dalam satu kesatuan karya seni visual. Hiasan-hiasan bangun ini digunakan untuk mendekorasi permukaan bangunan-bangunan arsitektur Islam, handycraft yang berbahan dasar kayu dan tembaga, pintu-pintu dan atap-atap bangunan. Suatu bukti nyata majunya ilmu dibidang arsitektur praktis.

Para seniman muslim sudah mampu menciptakan bentuk-bentuk geometris seperti segi tiga, segi empat dan seterusnya dengan desain-desain yang menarik dan artistik. Lalu dari penggabungan satu bentuk dengan bentukan lainnya, memenuhi satu sisi dan mengosongkan sisi yang lain. Seniman muslim telah berhasil menciptakan ragam hiasan yang memiliki kreatifitas tanpa batas. Semuanya karya-karya tersebut tampak indah dan menarik pandangan secara bertahap jika diperhatikan dari keseluruhan menuju bagian-bagian detailnya maupun sebaliknya, dari bagian-bagian detailnya menuju keseluruhan desain.

Setiap seniman akan berusaha untuk menciptakan karya seni yang baru, unik, menarik, dan bernilai estetis yang tinggi. Satu hal yang dipikirkan oleh para seniman muslim dahulu adalah mencari bentukan-bentukan hiasan bangun yang baru yang berasal dari persinggungan garis-garis geometris atau keserasian bentuk bangun untuk menambah keindahan yang kuat. Salah satu contohnya adalah bentuk-bentuk bangun yang saling bersentuhan dan berdampingan, garis-garis yang berpencar, dan garis-garis yang membentuk sulaman (As-Sirjani, 2009: 682).

(7)

Gambar 2. Hiasan Bangun dalam Seni Visual Islam

Bentuk bangun segi banyak yang membentuk visual bintang bertingkat adalah satu bentuk hiasan bangun yang paling dikenal di dunia seni Islam. Hiasa jenis tersebut banyak digunakan sebagai hiasan-hiasan yang berbahan dasar kayu, tembaga, buku-buku dan atap.

B. Seni Kaligrafi

Seni kaligrafi Arab (khat) merupakan seni Islam yang murni diciptakan oleh umat Islam karena sangat erat kaitannya dengan penulisan kitab suci Al-Qur’an. Menurut DR. Raghib As-Sirjani (2009: 684), tulisan tidak menjadi seni yang bisa dinikmati estetikanya oleh pengelihatan dalam bangsa-bangsa kecuali setelah Al-Qur’an turun kepada bangsa Arab. Jika setiap bangsa memiliki bahasa dan tulisannya sendiri, maka bahasa dan tulisan tersebut tetap dengan fungsi utamanya, yaitu mengungkapkan sesuatu yang diinginkan dalam hati. Akan tetapi tidak pernah menjadi seni yang menampilkan nilai-nilai artistik sebagaimana yang dimiliki bahasa Arab setelah Al-Qur’an diturunkan.5

Dr. Ismail Faruqi6 mengatakan bahwa tidak pernah ditemui bangsa-bangsa didunia ini yang

memiliki peradaban-peradaban, yakni bangsa di antara dua sungai, bangsa Ibrani, India, Yunani, Romawi dan lain sebagainya memiliki seni tulisan. Tulisan bagi mereka hanya sebagai simbol untuk mengungkapkan makna dan tidak mengandung unsur seni. Di India, Bizantium, dan Barat,

5 Al-Fann Al-Islami Iltizam wa Ibda’, karya Shaleh Ahmad Asy-Syami, hlm.196

(8)

tulisan hanya digunakan untuk simbol ungkapan kalimat. Perannya hanya pelengkap saja dibidang seni-seni yang dapat dilihat. Hal ini berarti tulisan hanya sebatas media untuk mendeskripsikan keindahan karya seni tertentu dan ia bukan seni itu sendiri. Namun sejak kemunculan Islam, Seni Islam mampu membuka prespektif baru dibidang kata-kata sebagai sarana untuk ekspresi seni.7

Salah satu bukti yang jelas dalam menunjukkan perhatian kaum muslimin di bidang seni ini adalah adanya macam-macam khat. Di antara khat Al-Kufi, khat An-Naskhi, khat Ats-Tsulus, khat Al-Andalusi, khat Ar-Riq’ah, khat Ad-Diwani, khat At-Ta’liq (Al-Farisi) dan khat Al-Ijazah. Masing-masing khat tersebut memiliki cabang-cabang sehingga menjadikan seni kaligrafi kaya akan nilai seni dan mampu mengikuti perkembangan zaman.

Etika dan Estetika Seni Islam

Pokok persoalan yang dikaji dalam filsafat pada pokoknya mencakup tiga segi, yaitu apa yang disebut benar dan apa yang dianggap salah (epistimologis), mana yang dapat dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan mana yang termasuk buruk (estetika) (Sony & Ganda, 2004: 34). Dalam seni Islam ketiga cakupan tersebut berada dibawah pandangan hidup kaum Muslimin, yaitu tauhid. Hal ini sejalan dengan pendapat Seyyed Hossein Nasr (1993:18) yang memberikan ciri-ciri pada seni Islam yaitu seni yang merupakan hasil pengejawantahan Ke-Esaan pada bidang keanekaragaman yang merefleksikan Ke-Esaan Illahi.

Seni visual Islam sejatinya tidak terbatas pada Seni Hiasan dan Seni Kaligrafi (khat) saja, meskipun kedua jenis seni visual tersebutlah yang menjadi peninggalan paling bernilai dari peradaban Islam. Dalam seni Islam, objek dan penampilan seni dapat berkembang lebih luas lagi dari waktu ke waktu asalkan tidak bertentangan dengan ‘fitrah’ atau pandangan Islam. Pada saat digunakan untuk media dakwah, atau bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar, maka seni tersebut dapat disebut sebagai seni Islam. Menurut Nanang Rizali, Seni Islam adalah seni yang dapat mengungkap keindahan dan konsep tauhid sebagai esensi aqidah, tata nilai dan norma Islam, yaitu menyampaikan pesan Ke-Esaan Tuhan.8

Karakteristik tertentu yang membentuk hasil perwujudan seni Islam diantaranya adalah estetika dan kreatifitas. Menurut Islam, setiap hasil karya seni adalah karya ibadah (pengabdian kepada Allah) sekaligus mengandung dan mengungkapkan keindahan estetis. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ismail R. Al-Faruqi (1986: 163) dalam ‘The Cultural Atlas of Islam’ bahwa estetika dalam seni Islam tidak dapat

7 Majjalah Al-Muslim Al-Muashir, edisi 25, tahun 1401 H.

(9)

dicapai melalui penggambaran manusia dan alam. Estetika hanya bisa disadari melalui perenungan terhadap kreasi artistik yang akan mengarahkan pemerhati kepada suatu intuisi kebenaran yang hakiki bahwa Allah juga seluruh ciptaan-Nya sebagai sesuatu yang tak tergambarkan dan terkatakan.

Kaidah estetika Islam merujuk pada penelitian dan hukum Islam tertinggi –Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena seni Islam pada satu segi dibatasi oleh nilai-nilai azasi, etis dan norma-norma Illahi yang umum serta pada segi lain dibatasi oleh kedudukan manusia sendiri sebagai abdi Allah.9 Ketika peradaban

Islam berkembang dan meluas ke berbagai wilayah didunia, seni Islam juga mengalami perkembangan pesat melalui pengenalan bahan, teknik, dan motif yang khas dari peradaban sebelum Islam (seperti Byzantium atau Sassanide) kemudian dikembangkan sesuai dengan koridor nilai-nilai dan norma Islami.

Dalam tradisi seni Islam, yang dikedepankan adalah creatio. Hal ini berarti seni dalam Islam adalah suatu ciptaan, atau arti penuangan dan pengungkapan secara artistik gagasan dan pengalaman keruhanian seniman muslim. Jadi, didalam Seni Islam yang disalin adalah gagasan, cita rasa, pengalaman dan wawasan keruhanian. Menurut Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. (dalam George: 2012: xxvii), potensi keruhanian dalam suatu karya seni visual sangatlah utama dalam seni Islam. Oleh karenanya, seniman-seniman muslim tidak mengejar dan mengagungkan realisme dan naturalisme dalam karya-karya seninya. Meniru penampakan rupa lahir dari objek-objek tidak menjadi obsesi seniman Muslim, karena jika itu dilakukan berarti seniman tersebut kurang berupaya menggali potensi keruhaniannya yang terpandam. Ditambah lagi Al-Qur’an juga mengajarkan agar manusia lebih menghargai hasil dari pencapaian akal budinya dibandingkan dengan hasil pengamatan inderanya.

Terakhir, satu hal lagi yang menjadi bagian dari estetika Islam yang terkait dengan pemilihan tone

warna, pencahayaan (gelap-terang) dan visualisasi cahaya. Dalam tradisi estetik Islam, warna cerah dan cahaya menegaskan akan keberadaan Sang Cahaya (Abdul Hadi dalam George, 2012: xxviii). Selain itu cahaya dapat mengesankan harapan, optimisme dan hidayah.

(10)

Asal kata Estetika diambil dari bahasa Inggris, yaitu ‘aesthetics’. Pertama kali diperkenalkan pada sekitar abad 17 oleh filosof bernama Alexander Baumgarten (1714-1762), seorang filosof Mazhab Leibnitio-Wolfian Jerman dalam karyanya, Meditationes (1735).10

Istilah estetik biasanya dikaitkan dengan arti 'citarasa yang baik’, ‘keindahan’ dan ‘artistik’. Estetika merupakan kajian yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Dalam tradisi intelektual, biasanya estetika dipahami sebagai satu dari banyak cabang ilmu filsafat yang membahas tentang seni dan objek lainnya yang memiliki nilai estetik.

Pendekatan estetika filosofis menurut pemahaman seniman Barat bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Estetika filosofis ala Barat juga tidak membatasi objek permasalahan seperti halnya estetika keilmuan yang membatasi objek penelitiannya pada kenyataan-kenyataan yang dapat diindera. Dengan kata lain, hal mendasar yang harus dipahami mengenai estetika di Barat adalah bahwa estetika filosofis mencoba mencari jawaban tentang hakekat dan asas dari keindahan atau fenomena estetik.

Para filosof Barat dapat dikelompokkan dalam dua aliran besar, yaitu golongan filsafat Idealistis

dan golongan filsafat Materialistis.11 Jawaban-jawaban para filosof tentang estetika dapat ditelusuri

berasal dari gambaran-gambaran pemikiran atau konsep-konsep. Seperti misalnya, Plato yang dikenal sebagai tokoh filosof ldealisme, mengatakan tentang konsep hakekat kenyataan itu adalah Idea (Bentuk). Konsep yang dicetuskan Plato ini didasari oleh anggapan bahwa alam merupakan suatu kenyataan yang tidak sempurna, dapat rusak dan musnah, sehingga menurut Plato alam bukan kenyataan yang sesungguhnya, karena Realitas mestinya bersifat sempurna dan abadi, dan itu hanya ditemui pada kenyataan Idea.

Dalam pemahaman Plato, seni adalah tiruan atau imitasi dari kenyataan Idea. Sebagai contoh Plato menunjuk tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu dan pelukis melukis tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu. Dalam hal ini lukisan merupakan tiruan dari tiruan, karena tukang kayu membuat tempat tidur berdasar pada Idea tentang tempat tidur yang merupakan Realitas Pertama, sedangkan pelukis justru meniru objek tempat tidur yang dibuat oleh tukang kayu yang merupakan Realitas Kedua. Tidak

10 T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ' dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No_ 1, January,1995

(11)

mengherankan Plato memberikan status yang rendah tentang posisi seni dalam hubungannya dengan Realitas. Menurut Plato seni tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan Realitas.12

Pandangan Plato tentang seni agak berbeda dengan pemahaman Aristoteles yang juga meyakini bahwa seni adalah imitasi, tetapi karena proses imitasi itu melibatkan kemampuan akal dan roh manusia maka hasil karya seni memiliki keandalan yang sama sebagai sumber pengetahuan sebagaimana halnya kenyataan alam. Lebih jauh, Plotinus menafsirkan bahwa karya seni memiliki posisi yang lebih tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding alam karena dalam proses penciptaannya karya seni melibatkan unsur roh ketuhanan yang dimiliki manusia. Dalam tradisi seni Barat, ajaran seni sebagai Imitasi memiliki dampak yang luas dan panjang, seperti nampak pada dominasi gaya Realisme.

Gambar 3. Realisme dalam seni Barat

Peran Orientalis Barat dalam Seni Islam

Seni visual Islam mulai mendapat campur tangan orientalis Barat mulai akhir abad ke-19 (Blair & Bloom, 2003: 153-154). Perkembangan seni Islam setelah itu diklaim oleh Barat sebagai jasa dan hasil karya seniman Orientalis Barat. Bahkan, Islam dituduh tidak pernah menganggap seninya sebagai seni Islam dan gagasan tentang tradisi khas Islam di berbagai bidang seni dan arsitektur merupakan produk kesarjanaan Barat.

“Seni Islam sebagaimana yang ada pada awal abad ke-21 sebagaian besar merupakan ciptaan budaya Barat”—Sheila S. Blair & Jonathan M. Bloom

(12)

Namun dalam bagaimanapun juga para Orientalis Barat memiliki pemahaman yang berbeda melihat seni Islam. Mereka tidak mampu menjaga batasan-batasan yang ada dalam kaidah estetika dan etika dalam seni Islam sebagaimana karya para seniman Islam di masa kejayaan peradaban Islam. Bagaimanapun juga, Orientalis Barat tidak pernah menjadikan Islam sebagai subyek, namun sebagai objek. Sehingga ilmu yang mereka kuasai tidak berlandaskan keimanan, padahal dalam seni Islam terdapat kaidah-kaidah estetis dan etis yang tidak boleh keluar dari koridor hukum tertinggi, Al-Qur’an dan As-Sunnah.

(13)

Gambar 4. Karya-karya seni Orientalis yang diklaim sebagai Seni Islam

KESIMPULAN

Seni Islam dinilai sebagai salah satu ekspresi dari bentuk-bentuk peradaban Islam yang paling bersih dan paling teliti. Berbagai macam seni Islam menjadikan peradaban Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan peradaban lainnya, seperti Seni Bangunan, Seni Hiasan dan Seni Khat Arab. Ketiga macam seni Islam tersebut merupakan representasi dari bagaimana Islam memahami etika dan estetika. Memahami kedua hal tersebut berada dibawah pandangan hidup kaum Muslimin, yaitu tauhid.

Menurut Islam, setiap hasil karya seni adalah karya ibadah (pengabdian kepada Allah) sekaligus mengandung dan mengungkapkan keindahan estetis. Estetika hanya bisa disadari melalui perenungan terhadap kreasi artistik yang akan mengarahkan pemerhati kepada suatu intuisi kebenaran yang hakiki bahwa Allah juga seluruh ciptaan-Nya sebagai sesuatu yang tak tergambarkan dan terkatakan.

Kaidah estetika Islam merujuk pada penelitian dan hukum Islam tertinggi –Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena seni Islam pada satu segi dibatasi oleh nilai-nilai azasi, etis dan norma-norma Illahi yang umum serta pada segi lain dibatasi oleh kedudukan manusia sendiri sebagai abdi Allah.

Etika dan estetika seni Islam bertolak belakang dengan pemahaman Barat. Pendekatan estetika filosofis menurut pemahaman seniman Barat bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental. Oleh karenanya, Barat mengagungkan Realisme dan Naturalisme dalam karya-karya seninya.

(14)

ala Barat. Demikian yang mengakibatkan sebagian besar representasi Islam dalam seni visual Barat bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA Books:

As-Sirjani, Raghib, 2009, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

George, Kenneth M., 2012, Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia, Bandung: Mizan

Grabar, Oleg, 1983, Symbols and Signs in Islamic Architecture, dalam Architecture and Community: Building in the Islamic World Today, Renata Holod, Peny., Millerton, New York: Aperture

Kartika, Dharsono S., 2004, Pengantar Estetika, Bandung: Rekayasa Sains.

Mitchell, W.J.T., 1986, What Do Pictures Want? The Lives and Loves of Images, Chicago: University of Chicago Press.

Sturken & Cartwright, 2004, Practices of Looking: An Introduction to Visual Culture, London : Oxford University Press.

Other Publications:

Blair, Sheila S. Dan Jonathan M. Bloom, 2003, The Mirage of Islamic Art: Reflections on the Study of an Unwieldy Field, Art Bulletin 85

Majjalah Al-Muslim Al-Muashir, edisi 25, tahun 1401 H.

Nanang Rizali, Kedudukan Seni Dalam Islam, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2012.

T.J. Diffey, A Note on Some Meaning of The Term `Aesthetic ' dalam `British Journal of Aesthetics Vol. 35, No.1, January,1995

Website

(15)

Gambar

Gambar 1. Hiasan Tumbuhan
Gambar 2. Hiasan Bangun dalam Seni Visual Islam
Gambar 3. Realisme dalam seni Barat
Gambar 4. Karya-karya seni Orientalis yang diklaim sebagai Seni Islam

Referensi

Dokumen terkait

Kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, sehingga kebudayaan menjadi ciri khas dari manusia, karena tidak bisa diciptakan oleh binatang

Penelitian ini juga menyimpulkan, bahwa visualisasi kaligrafi Arab pada lukisan karya Hendra Buana dibangun dari kehendak untuk mengolah kekayaan artistik dan maknawi seni

Unsur akademik dan content creator merupakan unsur utama yang dapat mendorong untuk memiliki (ciri khas) brand image seni warisan leluhur sebelum dipublis ke

berbentuk buaya yang menjadi ciri khas golok Galonggong. Dari tinjauan visual estetika media, bentuk, dan hiasan, golok

Berbalik kepada permasalahan pelajar tidak mengenali huruf hijaiyah Arab, team penyelidik dan tenaga pengajar Seni Khat telah mewujudkan satu sistem instruksi bagi

16 Nanang Rizali, Kedudukan Seni Dalam Islam, TSAQAFA, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam Vol. Indera tersebut meneriama keindahan ‘dunia dalam’ yang bersifat rohani, moral,

Kaligrafi dengan menggunakan Huruf Arab di Indonesia menjadi seni yang benar-benar baru karena tidak berpijak pada bentuk seni tradisi lokal dari

Dalam bidang seni rupa, perkembangan foto seni/ ekspresi semakin dapat mensejajarkan diri dengan seni lainnya?. Mereka yang tidak memahami hal ini, menganggap bahwa