• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku dan Krisis Dunia Islam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku dan Krisis Dunia Islam (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Buku dan Krisis Dunia Islam

Buku melambangkan peradaban. Hampir tidak ada peradaban tanpa buku. Peradaban Mesir kuno pun digerakkan oleh buku-buku yang ditulis para pendeta dan cendekiawannya. Konon, Fir’aun mempunyai perpustakaan yang berisi perkamen yang sangat banyak jumlahnya. Peradaban Yunani Kuno yang terkenal dengan para filsufnya juga menuliskan sejarah dan pemikiraan tokoh-tokoh besar mereka dalam buku-buku yang tak terhitung banyaknya.

Peradaban China kuno mempunyai khazanah yang tak kalah luasnya. Pada masa dahulu masyarakat China menggunakan lembaran-lembaran bambu untuk menyimpan kekayaan sastra dan budayanya. Sampai Tsai Lun membuat kertas yang terbuat dari kulit pohon murbei. Penemuan kertas menandai sebuah revolusi di dunia ilmu pengetahuan. Peradaban Islam kemudian mencuri teknologi pembuatan kertas ini dan mengembangkannya di dunia Islam dan Eropa.

Apa arti buku bagi peradaban Islam kini? Ketika kita membicarakan peradaban Islam, jangan terjebak hanya pembicaraan di masa lampau, tetapi juga di masa kini. Peradaban Islam belum mati, hanya mati suri. Peradaban Islam masih menunggu saat yang tepat untuk bangkit. Di sini buku memegang peranan yang penting. Buku mendokumentasikan sejarah pergerakan umat Islam dari masa ke masa. Buku mewariskan pengetahuan dan kearifan yang tak kan ada habis-habisnya dari segala masa.

(2)

mewah. Menjadi sarjana pada masa kejayaan peradaban Islam merupakan kedudukan dan status sosial yang tinggi.

Kini perpustakaan-perpustakaan tersebut telah musnah. Baitul Hikmah dihancurkan tentara Mongol pada abad pertengahan. Buku-buku Islam dibuang ke sungai Tigris hingga airnya menghitam. Etos ilmiah di dunia Islam kemudian meredup akibat munculnya fanatisme (ta’ashub) dalam beragama dan aliran teologi yang tidak menghargai kemerdekaan akal. Memang masih ada beberapa perpustakaan di dunia Islam seperti yang didirikan di Arab Saudi namun etos ilmiah di dunia Islam belum bersinar kembali akibat kondisi politik yang tidak memungkinkan.

Namun buku-buku klasik Islam tetap abadi. Buku-buku tersebut masih ada dan menerangi pemikiran umat. Islam dimulai dari sebuah buku suci, Al-Qur’an yang daripadanya muncul buku-buku lain. Tuhan sendiri di dalam al-Qur’an mewartakan kehadiran dan kata-kata-Nya dalam kitab suci itu. Pada mulanya Tuhan menciptakan akal dan daripaadanya muncul sejumlah buku dan kemudian perpustakaan.

Buku dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang ‘ilm (ilmu) yang sering diterjemahkan sebagai pengetahuan. ‘Ilm merupakan kata ketiga yang sering disebut al-Qur’an selain Allah dan Rabb. Ini artinya Tuhan juga dapat dicapai dengan pengetahuan. Menurut Ziauddin Sardar, bagi umat Islam klasik, Islam sinonim dengan ‘ilm, dan tanpanya sebuah peradaban Islam tidak akan terbayangkan.

‘Ilm berarti lebih dari sekadar pengetahuan. Di dalam terkandung gagasan tentang komunikasi. ‘Ilm tidak bisa menjadi monopoli kelas, kelompok, atau jenis kelamin tertentu. Ia harus bisa diakses secara bebas oleh semua anggota masyarakat. Jadi, komunikasi pengetahuan, gagasan, dan informasi dalam segenap aktivitas manusia merupakan bagian integral dari konsep ‘ilm. Ia merupakan upaya mencari pengetahuan dan menyebarkan serta mentransmisikannya. Ia juga merupakan data, informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang berkelindan menjadi satu. Dengan kata lain, ‘ilm merupakan tenaga penggerak utama budaya Islam. (Ziauddin Sardar, “Kertas, Percetakan, “Compac Disc”: Penciptaan dan Penggusuran Budaya Islam” dalam Kembali ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, Serambi, 2010).

(3)

menulis, tapi juga simbol penyampaian ilmu dengan berbagai sarana teknologi. Pena sebagai simbol komunikasi -merupakan alat guna memenuhi seruan Al-Qur’an kepada komunitas muslim untuk “membaca”.

Penelitian dan penemuan dinilai penting dalam rangka membaca –meminjam istilah Al-Qur’an- “ayat-ayat” (tanda-tanda) kebesaran Tuhan”, dan kemampuan berkomunikasi serta menyampaikan pikiran, pengalaman, dan pemahaman, dengan alat tulis, dari generasi ke generasi, dan dari satu lingkungan budaya ke lingkungan budaya lainnya, dipandang sangat penting jika setiap manusia ingin memetik manfaat dari akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan.

Ayat-ayat pertama Al-Qur’an (Surah al-Alaq 1-5) telah meletakkan fondasi bagi sebuah budaya dan masyarakat di atas budaya membaca dan menulis, penelitian dan seni tulis, serta penyampaian dan penyebaran pengetahuan dan informasi. Setiap masyarakat yang tidak memperlihatkan karakteristik-karakteristik tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat menjunjung cita-cita Islam.

Al-Qur’an menggunakan kata ‘ilm lebih dari 800 kali, meluangkan sekitar sepertiga kandungannya untuk memuji gagasan-gagasan seperti akal, perenungan, penelitian, pengkajian, kesarjanaan, perjalanan (mencari ilmu) –yang semuanya pada akhirnya bergantung pada ssemacam komunikasi. Dalam beberapa kasus, dorongan Al-Qur’an bersifat umum, seperti “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Q.S Thaha [20]: 114).

Dalam kasus lainnya, Al-Qur’an memberikan perintah yang spesifik. Ia mengatakan kepada para penulis agar mereka “tidak enggan menuliskannya” (Q.S al-Baqarah [2]: 282), karena jika tidak, maka hal ini berarti penolakan terhadap anugerah Tuhan yang diberikan kepada mereka. Ia meminta umat Islam untuk menuliskan semua kontrak yang melibatkan transaksi bisnis, mencatat semua hal yang berkaitan dengan warisan, wasiat, dan kesaksian, serta mendokumentasikan sejarah generasi masa lalu dan sekarang. Dengan kata lain, sampaikanlah pemikiran, keinginan, dan aktivitas generasimu dan generasi masa lalu (Sardar, 2010)

(4)

mengapa. Akan tetapi budaya membaca dan menulis adalah budaya unggul. Tradisi membaca dan menulis telah mentransformasi masyarakat Islam di gurun pasir menjadi peradaban yang disegani dunia.

Ketika ayat-ayat pertama al-Qur’an diturunkan, yakni surat al-Alaq 1-5 terasa ada yang aneh. Pertama, masyarakat jahiliyyah tidak menganggap penting budaya membaca dan menulis. Mereka sangat menekankan pada hafalan. Membaca dan menulis dianggap sebagai pekerjaan tukang tenung dan sihir. Seorang penyair Arab Kuno, Dzu Ar-Rummah pernah kepergok sedang menulis di atas batu. Lalu meminta agar peristiwa itu tidak diberitahukan kepada kaum lainnya. Menulis dianggap sebuah aib karena mereka yang menulis dianggap tidak mempunyai hafalan yang kuat. Kedua, masyarakat Arab kuno tidak mempunyai peradaban yang maju padahal mereka dikelilingi dua super power kerajaan besar yang sedang berkonflik, yakni Romawi dan Persia. Mereka hidup relatif sederhana tanpa keinginan untuk menciptakan peradaban yang terkemuka.

Oleh karena itu buku memegang peranan penting dalam sejarah Islam. Buku pertama yang dijilid dalam sejarah Islam adalah al-Qur’an yang pertama kali dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Kemudian disempurnakan kembali pada masa Khalifah Umar dan kemudian disempurnakan lagi pada masa Khalifah Utsman bin Affan yang kemudian dikenaal dengan mushaf ‘Utsmani. Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dilakuakan dengan mengecek hafalan Al-Qur’an dari para sahabat yang masih hidup. Kemudian dengan mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang ditulis di pelepah kurma, kulit kambing, papirus, dan perkamen.

Tak lama kemudian, saat tentara Islam mulai membebaskan Syiria, Irak, Persia, hingga ke perbatasan China, para penguasa memperlakukan rakyat taklukannya dengan hormat. Para penguasa Islam memerintahkan penerjemahan karya-karya ilmuwan terdahulu dalam berbagai bahasa seperti Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab. Terjemahan ini kemudian mewarnai tradisi intelektual Islam. Peradaban Islam menjadi kaya dengan jutaan buku-buku baik terjemahan dari masa lampau maupun buku-buku yang ditulis pada zamannya.

(5)

kitab masih terus dijalankan umat Islam dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Banyak buku-buku Islam masa lampau yang masih kita baca hingga masa kini. Buku-buku peninggalan abad lampau tersebut disebut sebagai “al-turats” atau warisan dari masa lampau terutama para ulama yang hidup pada abad 13 dan 14.

Buku dan Krisis Dunia Islam

Dunia pemikiran Islam kontemporer kini tampak meredup dibandingkan beberapa dekade lampau. Tuduhan terorisme menyebabkan umat Islam tidak mampu mengembangkan pemikiran seperti beberapa dasawarsa sebelumnya. Islam kini sinonim dengan gerakan teror. Para tokoh Islam sedang berusaha mati-matian untuk menjelaskan kepada dunia, khususnya Barat, bahwa umat Islam bukan teroris. Hal ini menyebabkan dunia pemikiran Islam tampak sendu. Para pemikir tidak tumbuh lagi.

Hal ini berbeda jauh dengan beberapa dekade lalu ketika dunia pemikiran Islam sempat semarak dengan tampilnya pemikir-pemikir alternatif. Sejak era 80-an, gerakan Islam di kalangan anak-anak muda dan mahasiswa menunjukkan kegairahan yang luar biasa. Islam menjadi wacana yang didiskusikan dalam banyak forum. Dinamika pemikiran Islam dimulai sejak terbitnya buku-buku Islam secara masif. Para penulis dari berbagai negara Muslim ramai diperbincangkan pada waktu itu. Buku-buku yang ditulis oleh Sayyid Quthb, Abu A’la Maududi, Muhammad Natsir Muhammad Quthb, Muhammad Ghazali, Yusuf al-Qardhawi, Hasan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani, Mustafa As-Siba’i dan Hamka dan para pemikir progresif seperti Hasan Hanafi, Nasr Muhammad Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Abdul Karim Soroush, Ali Syariati, Murtadha Muttahhari mewarnai gejolak pemikiran di dunia Islam. Gerakan-gerakan Islam yang muncul membawa pencerahan bagi umat, walaupun tidak sedikit dari mereka yang bersuara keras. Banyak pakar mengatakan Islam tengah bangkit.

(6)

yang sudah dimulai sejak awal abad ke-20 pun bergema di mana-mana. Di Asia Tenggara, para cendekiawan seperti Mukti Ali, Munawwir Sjadzali, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Abdurrahman Wahid, Ulil Abshar Abdalla, Azyumardi Azra, Chandra Muzaffar, dan Anwar Ibrahim menyemarakkan diskusi tentang Islam dalam konteks modernisasi dan ke-Melayu-an. Ribuan judul buku Islam terbit dan laris dibeli masyarakat Muslim, khususnya kelas menengah.

Hal ini tidak lepas dari kemunculan print culture (budaya cetak) di dunia Islam. Transmisi dan penyebaran buku-buku menyebar dengan cepat berkat mesin cetak yang berasal dari Barat. Padahal beberapa dekade sebelumnya, ulama-ulama Usmani mengharamkan mesin cetak. Membaca buku-buku Islam bukan lagi monopoli pelajar agama dan ulama. Buku-buku Islam bebas dibaca siapa saja, bahkan oleh orang awam, pelajar dan mahasiswa di perguruan tinggi sekular

Dalam hal ini, terjadi demokratisasi pengetahuan di dunia Islam. Para cendekiawan dan penulis-penulis Islam bermunculan. Mereka menyemarakkan musyawarah buku-buku Islam. Banyak di antara mereka tidak memiliki ijazah pendidikan Islam secara formal. Berbekal belajar secara otodidak, pemikiran keislaman mereka turut meramaikan diskusi publik. Sedangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lebih tradisional, kitab-kitab kuning karangan ulama masa lampau masih terus dipelajari. Para santri meneruskan tradisi menyimak kitab-kitab kuning tersebut dan menyampaikan kepada umat. At-Turats atau warisan Islam masa lampau terus dilestarikan hingga kini. Bahkan ada upaya untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam masa lampau.

Para orientalis turut pula menulis buku-buku tentang Islam. Orientalis di era modern tak selamanya mengkritik dan menjelek-jelekkan Islam, banyak di antaranya yang simpati terhadap Islam seperti Annemarie Schimmel, Karen Amstrong, John O. Voll, dan John L. Esposito. Kritik terhadap tradisi Islam tradisional dilancarkan oleh para cendekiawan Muslim khususnya berkaitan dengan isu-isu seperti demokratisasi, hak-hak perempuan, ortodoksi Islam, kemerdekaan berpikir, dan modernisasi. Para umumnya para cendekiawan Islam ini berpendidikan Barat dan berusaha melakukan otokritik terhadap kebudayaan yang membesarkannya.

(7)

menjadi hidup kembali. Berkat keberadaan buku-buku, Islam menjadi kembali baru menghadapi tantangan zaman.

Gerakan-gerakan Islam bermunculan bak cendawan di musim hujan. Gelombang Islamisasi berkembang di mana-mana. Tradisi membaca buku Islam di negara-negara berkembang hidup kembali. Hal ini tidak lepas dari kemunculan kelas menengah Muslim yang memiliki pendidikan tinggi.

Semarak keislaman pada era 80-90an ini tiba-tiba redup sejak kejadian penabrakan World Trade Center (WTC) di New York pada 2001. Sejak itu gaung keislaman tiba-tiba padam. Umat disibukkan dengan gerakan teror yang menyebar ke seluruh dunia. Berbagai buku tentang terorisme banyak diterbitkan. Akan tetapi dunia tetap mengalami krisis akut. Kebangkitan Islam belum cukup untuk menyelesaikan krisis tersebut. Berbagai buku telah menjelaskan krisis yang dihadapi oleh umat. Tapi krisis tersebut masih berlangsung hingga kini di abad millenium ini. Tradisi berpikir kritis dan bebas belum menjadi tradisi intelektual Islam, khususnya yang berbasis di lembaga-lembaga tradisional. Budaya abad pertengahan masih dipertahankan dengan kukuh. Sedangkan gerakan pembaharuan Islam dicurigai dan dituding sebagai agen zionis atau Barat oleh sebagian ulama-ulama tradisional. Akibat terjadi ketegangan antara kaum modernis dan tradisionalis.

Perdebatan ini tidak hanya terjadi secara terbuka di depan publik, tetapi juga di media-media Islam seperti majalah, koran, dan buletin. Saling serang pun terjadi. Pertentangan ini sungguh tidak menyehatkan. Seharusnya yang terjadi adalah ketegangan kreatif yang saling membangun. Dengan semangat saling mengingatkan dan saling menasehati. Saling kritik dan berdebat dalam Islam tidak diharamkan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman keemasan Islam. Namun etika atau adab saling mengkritik dan debat tidak diperhatikan lagi. Semua berlangsung dengan kasar.

(8)

Namun kini, ada upaya untuk memberangus dinamika pemikiran umat yang mencerahkan itu. Gerakan-gerakan radikal di dunia Islam sangat tidak suka dengan gerakan pembaharuan Islam. Mereka menganggapnya lebih berbahaya dari pemerintahan thagut. Ulama-ulama konservatif berupaya menghancurkan tradisi intelektual Islam modern. Mereka selalu merujuk kepada ulama-ulama klasik. Namun penafsiran mereka sangat tidak toleran dan terlalu keras. Gerakan Islam konservatif ini sebenarnya dipelihara oleh rezim-rezim otoriter dan totaliter di dunia Islam karena menguntungkan mereka.

Sementara di lapis bawah, umat Islam dilanda obskurantisme atau kemasabodohan intelektual. Islam kembali menjadi agama yang beku dan dinamika pemikiran umat tidak terjadi lagi karena larangan mereka yang dianggap rijaluddin (tokoh-tokoh agama). Mereka melarang umat membaca buku-buku tertentu yang mereka anggap sebagai racun. Gerakan Islam radikal membungkam tradisi berpikir di dunia Islam. Mereka tanpa menstigma siapa saja yang berusaha menjalankan tradisi berpikir di dunia Islam. Mereka dilabel sebagai agen Barat, sekular, agen zionis, sampai murtad. Para tokoh agama konservatif ini terbatas bacaannya. Mereka tidak membaca buku-buku Islam kontemporer. Rujukan mereka hanya kitab-kitab karangan ulama klasik di masa lampau. Mereka berusaha menyebarkan paham mereka lewat buku-buku, internet, facebook, youtube, maupun media-media konvensional lainnya.

Seorang pemikir Islam progresif dari Mesir, Nasr Muhammad Abu Zaid, menulis buku At-Takfir fi zamani Tafkir (Pengkafiran di zaman Pemikiran). Beberapa –hanya sebagian kecil sebenarnya- tokoh agama berusaha mengkafirkan para intelektual muslim, sementara negara-negara lain berlomba-lomba meningkatkaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktis, umat Islam di seluruh dunia tertinggal dalam ilmu dan teknologi dibanding negara India, China, dan Barat. Ini jelas kondisi yang tidak sehat.

Umat Islam harus disadarkan akan konspirasi global yang melanda mereka. Jelas ada pihak-pihak yang tak ingin Islam bangkit menjadi kekuatan peradaban global. Islam progresif lebih ditakuti daripada Islam radikal. Untuk membasmi Islam radikal cukup dengan tindakan represif. Tapi untuk membasmi sebuah gagasan adalah sebuah hal yang tidak mudah.

(9)

Peranan kaum intelektual amat penting dalam merumuskan jalan keluar dari kebuntuan yang dialami peradaban Islam masa kini. Peradaban Islam masih hadir di masa kini walaupun terkesan compang-camping dan lusuh. Dalam hal ini, buku-buku karangan intelektual muslim perlu dibaca oleh generasi muda Islam untuk memecahkan persoalan yang meliliti peradaban Islam masa kini. Intelektual Islam sering dibedakan dengan ulama yang terkesan lebih tradisional. Seorang ulama boleh jadi seorang intelektual, yaitu orang yang menggunakan inteleknya atau daya nalar. Di dunia Islam, pembedaan ini sering terjadi. Bisa jadi seorang intelektual Islam berpendidikan Barat tetapi mempunyai dasar-dasar pemikiran Islam yang kuat. Muhammad Iqbal, adalah salah-satu contohnya. Pemikir Islam ini menempuh pendidikan sarjana hingga doktoralnya dalam bidang hukum dan filsafat di Oxford, Inggris, namun sejak kecil ia dididik dalam tradisi Islam yang kuat dalam keluarganya. Muhammad Iqbal sering menulis mengenai kebangkitan Islam dalam karya-karyanya. Iqbal menulis bahwa umat Islam harus merebut obor ilmu pengetahuan dari Barat agar Islam jaya kembali.

Muhammad Iqbal adalah seorang tokoh intelektual Muslim paripurna. Ia menganalisis sebab-sebab kejatuhan Islam dan memberikan resep-resep bagaimana Islam harus bangkit. Puisi-puisi dan tulisannya menginspirasi kaum muda Muslim di berbagai wilayah. Di Indonesia, kita mengenal banyak tokoh intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, Syafi’i Maarif, Jalaluddin Rakhmat, Malik Fajar, Ulil Abshar Abdalla, Azyumardi Azra, dan lain sebagainnya.

Sebenarnya kalau kita mau mencermati sudah banyak cendekiawan Muslim yang berhasil lulus dari universitas-universitas terkemuka di berbagai belahan dunia. Namun gaung mereka tidak terdengar di kalangan muslim awam. Sudah banyak di antara mereka yang menulis buku mengenai dunia Islam. Namun ada jarak antara mereka dengan masyarakat muslim kebanyakan. Gagasan mereka hanya mengena di kalangan segelintir mahasiswa dan kelas menengah muslim. Masyarakat muslim hanya mengenal guru-guru agama lokal atau ustadz untuk mempelajari agama. Mereka tidak terbiasa membaca buku. Keberadaan kaum intelektual Muslim ini terasa elitis dan ekslusif. Menurut Toety Heradi dari Universitas Indonesia bahwa komunikasi antargolongan tersekat akibat penggunaan bahasa semu (meta-language). Karena komunikasi tersekat, maka timbullah budaya kekerasan (violence culture).

(10)

birokrat saja, seperti pemakaian istilah diamankan bagi tindakan menangkap. Sedangkan bahasa ketiga digunakan antargolongan rakyat atau kelompok masyarakat umum.

Menurut Ziauddin Sardar, mengutip Syed Hussein Alatas intelektual adalah seseorang yang terlibat memikirkan gagasan-gagasan dan persoalan nonmaterial dengan menggunakan rasio. Sardar mengatakan bahwa keberadaan kaum intelektual yang berdedikasi di dunia Islam sangat sedikit. Memang banyak sekali doktor, magister, dan sarjana tapi mereka bukan intelektual dan tidak terlibat dalam diskusi-diskusi keislaman.

Keberadaan intelektual sebenarnya sangat untuk melontarkan kritik atau otoritik, analisis dan solusi terhadap permasalahan umat sekarang secara logis. Sardar melanjutkan bahwa kaum intelektual merupakan satu-satunya kelompok masyarakat yang secara sistematis dan berkelanjutan berusaha melihat segala sesuatu dari perspektif yang lebih luas. Itulah sebabnya kaum intelektual selalu berada di barisan terdepan dalam setiap pemikiran dan sistesisi baru.

Di setiap peradaban, pasti kelompok intelektual yang menjadi penopangnya. Renaissance Barat tidak akan muncul tanpa keberadaan intelektual seperti Montesquieu, Fontenelle, Diderot, dan Voltaire.

Budaya baca dan menulis di dunia Islam sangat rendah. Dalam daftar Most Literate Nations yang dirilis Connecticut State University, AS, hanya Malaysia dan Indonesia yang masuk daftar. Budaya membaca dan menulis di Malaysia lebih baik daripada di Indonesia yang hanya menempati urutan 60 dari 61 yang diteliti. Sedang peringkat pertama, menurut survey itu, ditempati Finlandia diikuti oleh negara-negara Eropa Skandinavia lainnya, seperti Norwegia, Denmark, dan Swedia.

Budaya membaca dan menulis di dunia terhalang olen rezim-rezim otokratik yang melarang penerbitan buku-buku jenis tertentu, khususnya yang ditulis oleh intelektual progresif. Rezim-rezim ini bahkan menyensor buku-buku tersebut. Mereka tidak ingin kondisi status-quo berubah. Buku dapat membahayakan suatu rezim.

(11)

banyak beredar di internet. Internet memang menyajikan informasi tanpa batas. Banyak buku Islam, baik klasik maupun kontemporer dapat diunduh dari internet.

Internet menjadi forum diskusi, tempat menyalurkan aspirasi yang ampuh. Banyak wacana bertebaran di internet.. Diskusi, debat, bahkan caci-maki pun bertebaran di dunia maya. Kondisi ini jelas tidak sehat. Penyebaran Islam di internet berjalan secara masif. Namun saling caci-maki dan saling serang tanpa adanya netiket jelas membuat internet tidak nyaman dibaca.

Internet telah menurunkan budaya baca secara keseluruhan. Orang lebih suka membaca internet yang informasinya sepotong-potong itu karena lebih murah dan mudah. Tak perlu membeli buku yang harganya mahal. Namun belajar di internet ada konsekuensinya, yakni tidak ada kedalaman. Informasi di internet cenderung dangkal. Membaca informasi di internet tidak sama dengan membaca buku yang penuh keheningan dan penginsafan.

Internet bagai buah simalakama. Di satu sisi, ia memberikan informasi tanpa batas, namun di sisi lain berbagai konten negatif dapat ditemui di internet seperti hoax (berita bohong), caci-maki, dan pornografi. Memang di satu sisi, internet dapat menumbuhkan tradisi menulis. Kini tradisi membaca di internet lebih disukai daripada membaca buku-buku berbobot.

Buku dan Peranan Kaum Intelektual

Buku jelas merupakan sarana bagi kaum intelektual untuk menyebarluaskan pemikiran dan gagasannya. Buku merupakan puncak karya seorang intelektual. Seorang intelektual akan lebih dihargai kalau ia menulis buku yang memuat jejak rekam hidupnya. Di situ, ia bisa menularkan kegelisahan dan kegusarannya melihat kondisi masyarakat.

(12)

Walaupun pada dekade 1980 sampai 1990-an, penjualan buku-buku Islam menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun demikian hal itu belum mencukupi. Penerbitan buku-buku Islam tidak sebanding dengan jumlah masyarakat muslim. Artinya penerbitan buku-buku Islam jumlah masih amat kecil dibandingkan dengan jumlah buku yang diterbitkan di dunia Barat. Walaupun dunia Islam sempat bergairah dengan penerbitan buku-buku Islam, minat baca dan menulis di dunia Islam masih lebih rendah dibandingkan di Barat. Banyak masyarakat yang tidak memiliki akses ke dunia penerbitan. Budaya intelektual dan ilmiah belum berkembang di dunia Islam masa kini.

Dunia Islam masih terus membutuhkan buku-buku yang mencerahkan. Baik ditulis oleh intelektual muslim sendiri maupun bukan. Khazanah keilmuan Islam pada zaman keemasan diwarnai oleh banyak cendekiawan, baik Muslim maupun Yahudi dan Nasrani. Umat Islam membutuhkan banyak buku ilmu pengetahuan modern yang membebaskan umat dari kegelapan menuju cahaya benderang.

Keberadaan buku-buku amat penting untuk membangkitkan kreativitas umat, terutama generasi muda, untuk menelurkan gagasan-gagasan baru yang brilian. Hendaknya kita tak usah membatasi pada buku-buku Islam tetapi juga buku-buku yang ditulis oleh para cendekiawan dari berbagai bangsa. Peradaban Islam membutuhkan suntikan segar berupa gagasan dari generasi muda, khususnya para intelektual. Gagasan-gagasan brilian itu tak mesti datang dari para santri, tetapi juga para pelajar dan mahasiswa Islam yang belajar di perguruan tinggi non-agama.

Dunia Islam kini krisis buku. Jumlah buku mengenai Islam yang diterbitkan semakin sedikit. Umat Islam tidak terbiasa membaca. Kontribusi dari kaum intelektual Muslim amat penting dalam hal ini. Mereka harus menghidupkan Islam kembali. Terorisme telah mencederai wajah Islam. Namun kita tidak bisa mengingkari bahwa umat Islam ditindas oleh banyak rezim otoriter. Tradisi intelektual Islam harus kita bangkitkan lagi. Hal ini tidak mudah. Diperlukan kerja ekstra keras untuk menghidupkan kembali peradaban Islam.

Menghidupkan Kembali Tradisi Membaca dan Menulis di Dunia Islam

(13)

Muslim lebih mementingkan membeli senjata atau peralatan militer dari mendukung tradisi intelektual ini. Di Timur Tengah, misalnya, negara-negara Muslim dilanda peperangan yang dahsyat seperti Syiria, Irak, dan Libya. Sedangkan di negara-negara muslim lainnya, gejolak politik sangat keras. Pemerintah tidak mendukung gerakan-gerakan Islam garis keras, bahkan memberangusnya. Situasi politik tidak kondusif bagi pengembangan intelektualitas. Maroko, misalnya, dilanda gelombang demonstrasi dan protes dilakukan warga negaranya. Maroko yang dipimpin rezim Monarki ini tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya.

Di negara Timur Tengah tidak ada kebebasan yang intelektual. Ada negara-negara yang dipimpin oleh rezim kerajaan yang anti-kritik, anti-demokrasi, dan otokratik. Dan ada rezim-rezim yang mengaku demokratis namun dipimpin penguasa militer yang otoriter. Mesir yang dulu dianggap sebagai pusat intelektual Timur Tengah kini dipimpin rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Fatah al-Sisi setelah menggulingkan pemerintahan demokratis sebelumnya yang dipimpin Presiden Mursi. Sejak era Presiden Hosni Mubarak berkuasa banyak aktivis dan intelektual yang dipenjara. Tidak hanya, pemerintah Mesir pun ikut campur dalam kurikulum Universitas Al-Azhar.

Rezim-rezim otokratik ini berusaha melarang dan membatasi penggunaan internet di kalangan muda. Rezim-rezim tersebut tahu bahwa internet merupakan saluran yang efektif untuk mengorganisasi massa dan menyebarkan gagasan tentang demokrasi dan kebebasan. Internet bisa mengancam keberadaan rezim-rezim status-quo ini.

Dalam revolusi semi Arab (Arab Springs) peranan internet sangat kentara. Internet menjadi saluran komunikasi dan informasi bagi rakyat untuk berdiskusi mengenai ide-ide politik. Rezim-rezim otokratik itu tidak ingin rakyatnya cerdas. Mereka tahu arus informasi yang masuk dapat menstimulasi pemikiran masyarakat. Perubahan sosial dan politik inilah yang tidak diinginkan.

Rezim-rezim ini tidak tertarik untuk membangun riset dan teknologinya. Untuk membangun riset dan teknologi dibutuhkan situasi politik yang kondusif serta dana yang besar. Sedangkan mereka lebih suka mengimpor peralatan militer mahal yang disediakan sekutu-sekutu Barat mereka.

(14)

Tengah masih mengikuti model pendidikan abad pertengahan yang mementingkan hafalan dan menolak dialog di ruang-ruang kelas. Kebebasan akademik tidak ada. Mahasiswa tidak diberi kebebasan untuk mengembangkan pemikiran kritis di dalam kelas.

Sistem pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam harus direformasi. Sebenarnya usaha ini pernah dilakukan oleh Muhammad Abduh lebih dari seabad lampau. Namun kini reformasi itu seakan tidak ada gaungnya lagi. Pemerintah tidak tertarik untuk mengembangkan pendidikan lebih lanjut karena tidak bernilai politis.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara, konsumen mahasiswa melakukan transaksi di media sosial karena akses yang mudah dalam melakukan transaksi sehingga tidak perlu keluar

Islam dalam kitab Manhajut Tarbiyatil Islamiyah karya Syaikh

“ANALISIS EFISIENSI FAKTOR PRODUKSI PADA INDUSTRI MAKANAN (Implementasi Data Envelopment Analysis (DEA ) D alam Menganalisis Efisiensi Industri Makanan Di

Namun CMV- satRNA juga tidak menunjukkan adanya reksi antagonis dengan TMV maupun PVY karena infeksi masing-masing virus tidak menghambat perkembangan virus lain yang diamati

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Surabaya angkatan 2011 – 2014 yang berbelanja pakaian wanita

Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan- tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh

Sa pagpili ng paggamit ng code-switching, mayroong iba‟t ibang kadahilanan ang mga tagatugon at ito ay dahil sa hindi naman nila intensyong gamitin ang code-switching, ito na

Finally, we discuss the design of our virtual lab, both hardware and software, and how we use it to support the academic needs of 400+ students while having little or