• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak dengan Berkesulitan Belajar sebuah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Anak dengan Berkesulitan Belajar sebuah"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak miliki perbedaan dalam perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun setiap anak mempunyai perpedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu sebagai seorang anak. Oleh karena itu jika kita berhadapan dengan seorang arang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak, bukan label kesulitannya semata-mata yang dilihat. Dengan kata lain pendidikan melihat anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat adanya harapan bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.

Pendidikan memposisikan anak sebagai pusat aktivitas dalam pembelajaran. Ketika pembelajaran dilakukan maka pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa yang menjadi hambatan belajar dan kebutuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui maka aktivitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang anak, bukan pada apa yang diinginkan oleh orang lain. Pendirian seperti itu menganggap bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasilitasi agar anak berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya.

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Hal ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada dalam sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarga sendiri. Oleh sebab itu, ketika seseorang anak mengalami suatu hambatan belajar maka pencapaian tujuan pembelajaran untuk mencapai hasil maksimal akan sulit tercapai. Sehingga, mulai dari awal pembelajaran seorang pendidikan

(2)

harus lebih tahu kondisi anak apakah anak mempunyai hambatan pembelajaran atau tidak dan seperti apakah hambatan tersebut. Untuk membantu kondisi tersebut, maka kami menyusun Makalah ini yang berjudul Anak yang Mengalami Hambatan Belajar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari Makalah ini diantaranya:

1. Bagaimana konsep dan definisi anak yang mengalami kesulitan belajar? 2. Apa saja terminologi yang digunakan untuk anak yang mengalami

kesulitan belajar?

3. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perkembangan kognitif?

4. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perkembangan bahasa?

5. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perkembangan social-emosi?

6. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perilaku kehidupan sehari-hari?

7. Bagaimana dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam kegiatan pembelajaran?

8. Bagaimana penanganan anak yang mengalami kesulitan belajar?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari Makalah ini diantaranya:

1. Untuk mengetahui konsep dan definisi anak yang mengalami kesulitan belajar.

2. Untuk mengetahui terminologi yang digunakan untuk anak yang mengalami kesulitan belajar.

(3)

4. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perkembangan bahasa.

5. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perkembangan social-emosi.

6. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

7. Untuk mengetahui dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam kegiatan pembelajaran.

8. Untuk mengetahui penanganan anak yang mengalami kesulitan belajar.

D. Manfaat

Adapun manfaat dari Makalah ini diantaranya: 1. Manfaat Teoritis

Untuk menyumbang khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan di Indonesia. Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pendidikan terutama dikaitkan dengan anak yang mengalami kesulitan belajar.

2. Manfaat Praktis a. Penulis

1) Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis serta tambahan pengetahuan sekaligus untuk mengembangkan pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam menjalankan dan memahami suatu penelitian atau studi kasus khususnya mengenai kesulitan belajar pada siswa.

2) Sebagai tugas mata kuliah Perkembangan Anak dengan Disabilitas dan Keberbakatan 2.

b. Pembaca

(4)

A. Konsep dan Definisi Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar

Istilah yang digunakan untuk menyebut Anak Berkesulitan Belajar (ABB) cukup beragam. Keragaman istilah ini disebabkan oleh sudut pandang ahli yang berbeda-beda. Kelompok ahli bidang medis menyebutnya dengan istilah brain injured dan minimal brain dysfunction, kelompok ahli psikolinguistik menggunakan istilah language disorders, dan selanjutnya dalam bidang pendidikan ada yang menyebutnya dengan istilah educationally handicaped. Namun istilah umum yang sering digunakan oleh para ahli pendidikan adalah learning disabilities (Donald, 1967:1) yang diartikan sebagai "Kesulitan Belajar". Karena sifat kelainannya yang spesifik, kelompok anak yang mengalami kesulitan belajar ini, disebut Specific Learning Disabilities yaitu Kesulitan Belajar Khusus (Painting, 1983: Kirk, 1989).

Dalam dunia pendidikan digunakan istilah educationally handicapped karena anak-anak ini mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pendidikan, sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan secara khusus (special education) sesuai dengan bentuk dan derajat kesulitannya (Hallahan dan Kauffman, 1991). Layanan pendidikan khusus yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan kesulitan yang dihadapinya, tetapi juga dalam strategi atau pendekatan bantuannya.

Istilah yang digunakan oleh para medis adalah brain injured, minimal brain dysfunction, dengan alasan bahwa dari hasil deteksi secara medis anak-anak berkesulitan belajar mengalami penyimpangan dalam perkembangan otaknya yang diakibatkan oleh adanya masalah pada saat persalinan atau memang sejak dalam kandungan mengalami penyimpangan. Penyimpangan perkembangan otak biasanya tidak menimbulkan kelainan struktural, akan tetapi penyimpangan tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi pada otak (Dikot, Y., 1992:6)

(5)

Sementara itu para ahli bahasa menyebutnya dengan istilah language disorders karena anak-anak berkesulitan belajar mengalami gangguan dalam berbahasa. Gangguan bahasa yang dimaksud meliputi berbahasa ekspresif yaitu kemampuam mengemukakan ide atau pesan secara lisan, dan berbahasa reseptif yaitu kemampuan menangkap ide atau pesan orang lain yang disampaikan secara lisan.

Adapun pengertian tentang anak berkesulitan belajar khusus, sebagaimana dijelaskan oleh Canadian Association for Children and Adults with Learning Disabilities (1981) adalah mereka yang tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah meskipun kecerdasannya termasuk rata-rata, sedikit di atas rata-rata-rata, atau sedikit di bawah rata-rata-rata, dan apabila kecerdasannya lebih rendah dari kondisi tersebut bukan lagi termasuk learning disabilities. Keadaan ini terjadi sebagai akibat disfungsi minimal otak (DMO) yaitu karena adanya penyimpangan dalam perkembangan otak yang dapat berwujud dalam berbagai kombinasi gejala gangguan seperti: gangguan persepsi, pembentukan konsep, bahasa, ingatan, kontrol perhatian atau gangguan motorik. Keadaan ini tidak disebabkan oleh gangguan primer pada penglihatan, pendengaran, gangguan motorik, gangguan emosional, retardasi mental, atau akibat lingkungan (Wright, dkk., 1985).

(6)

The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah istilah umum yang digunakan untuk kelompok gangguan yang heterogen yang berupa kesulitan nyata dalam menggunakan pendengaran, percakapan, membaca, menulis, berfikir, dan kemampuan matematika. Gangguan ini terdapat didalam diri seseorang dan dianggap berkaitan dengan disfungsi sistem syaraf pusat. Sekalipun kesulitan belajar mungkin berdampingan dengan kondisi-kondisi hambatan lain (misalnya perbedaan budaya, kekurangan pengajaran, faktor penyebab psikogen), kesulitan belajar bukan akibat langsung dari kondisi atau pengaruh tersebut.

Memperhatikan ketiga pengertian tentang anak berkesulitan belajar khusus tersebut, tergambar bahwa sumber penyebabnya yaitu pada "disfungsi sistem syaraf pusat". Kondisi "disfungsi" menunjukkan adanya gangguan fungsi dari sistem syaraf sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya. Gangguan yang terjadi pada aspek organis, dan pada proses psikologis dasar berupa gangguan berbahasa, artikulasi, membaca, menulis ekspresif dan berhitung tidaklah bersifat permanen, sehingga memungkinkan kembali berfungsi optimal manakala memperoleh layanan yang sesuai.

Berdasarkan gambaran di atas, kita dapat membuat batasan yang lebih ringkas sebagai berikut. “Anak berkesulitan belajar adalah anak yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademiknya, yang disebabkan oleh adanya disfungsi minimal otak, atau dalam psikologis dasar, sehingga prestasi belajarnya tidak sesuai dengan potensi yang sebenarnya, dan untuk mengembangkan potensinya secara optimal mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus”.

1. Karakteristik Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar

Mencermati definisi dan uraian di atas tampak bahwa kondisi kesulitan belajar memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu:

(7)

Penyebab kesulitan belajar berasal dari faktor internal, yaitu yang berasal dari dalam anak itu sendiri. Anak ini mengalami gangguan pemusatan perhatian, sehingga kemampuan perseptualnya terhambat.

Kemampuan perseptual yang terhambat tersebut meliputi persepsi visual (proses pemahaman terhadap objek yang dilihat), persepsi auditoris (proses pemahaman terhadap objek yang didengar) maupun persepsi taktil-kinestetis (proses pemahaman terhadap objek yang diraba dan digerakkan). Faktor-faktor internal tersebut menjadi penyebab kesulitan belajar, bukan faktor eksternal (yang berasal dari luar anak), seperti factor lingkungan keluarga, budaya, fasilitas, dan lain-lain.

b. Kesenjangan antara Potensi dan Prestasi

Anak berkesulitan belajar memiliki potensi kecerdasan/inteligensi normal, bahkan beberapa diantaranya di atas rata-rata. Namun demikian, pada kenyataannya mereka memiliki prestasi akademik yang rendah. Dengan demikian, mereka memiliki kesenjangan yang nyata antara potensi dan prestasi yang ditampilkannya. Kesenjangan ini biasanya terjadi pada kemampuan belajar akademik yang spesifik yaitu pada kemampuan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), atau berhitung (diskalkulia).

c. Tidak Adanya Gangguan Fisik dan/atau Mental

Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang tidak memiliki gangguan fisik dan/atau mental. Kondisi kesulitan belajar berbeda dengan kondisi masalah belajar berikut ini:

1) Tunagrahita (Mental Retardation). Anak tunagrahita memiliki inteligensi antara 50-70. Kondisi tersebut menghambat prestasi akademik dan adaptasi sosialnya yang bersifat menetap.

(8)

bawah rata- rata dengan IQ antara 80-90. Kelambanan belajar mereka merata pada semua mata pelajaran. Slow learner disebut anak border line (“ambang batas”), yaitu berada di antara kategori kecerdasan rata-rata dan kategori mental retardation (tunagrahita).

3) Masalah Belajar (Learning Problem). Anak dengan problem belajar (bermasalah dalam belajar) adalah anak yang mengalami hambatan belajar karena faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut berupa kondisi lingkungan keluarga, fasilitas belajar di rumah atau di sekolah, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersifat temporer atau sementara dan mempengaruhi prestasi belajar.

2. Faktor Penyebab Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar

Ada beberapa penyebab kesulitan belajar yang terdapat pada litelatur dan hasil riset (Harwell, 2001), yaitu:

a. Faktor keturunan/bawaan.

b. Gangguan semasa kehamilan, saat melahirkan atau premature. Kondisi janin yang tidak menerima cukup oksigen atau nutrisi dan atau ibu yang merokok, menggunakan obat-obatan (drugs), atau meminum alcohol selama masa kehamilan.

c. Trauma pasca kelahiran, seperti demam yang sangat tinggi trauma kepala atau pernah tenggelam.

d. Infeksi telinga yang berulang pada masa bayi dan balita.

e. Anak dengan kesulitan belajar biasanya mempunyai system imun yang lemah.

f. Awal masa kanak-kanak yang sering berhubungan dengan aluminium, arsenik, merkuri/raksa, dan neurotoksin lainnya.

(9)

mendengar lagu, berbicara kepadanya, atau membacakannya cerita. Pada beberpa kondisi, interaksi ini kurang dilakukan, yang bisa saja berkontribusi terhadap kurangnya kemampuan fonologi anak yang dapat membuat anak sulit membaca (Harwell, 2001).

Sementara Kirk & Ghallager (1986) menyebutkan faktor penyebab kesulitan belajar sebagai berikut:

a. Faktor Disfungsi Otak

Penelitian mengenai disfungsi otak dimulai oleh Alfred Strauss di Amerika Serikat pada akhir tahun 1930-an, yang menjelaskan hubungan kerusakan otak dengan bahasa, hiperaktivitas dan kerusakan perceptual. Penelitian berlanjut ke area neuropsychology yang menekankan adanya perbedaan pada hemisfer otak. Menurut Wittrock dan Gordon, hemisfer kiri otak berhubungan dengan kemampuan sequential linguistic atau kemampuan verbal; hemisfer kanan otak berhubungan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan auditori termasuk melodi, suara yang tidak berarti, tugas visual-spasial dan aktivitas nonverbal. Temuan Harness, Epstein dan Gordon mendukung penemuan sebelumnya bahwa anak-anak dengan kesulitan belajar menampilkan kinerja yang lebih baik daripada kelompoknya ketika kegiatan yang mereka lakukan berhubungan dengan otak kanan, dan buruk ketika melakukan kegiatan yang berhubungan dengan otak kiri. Gaddes mengatakan bahwa 15% dari anak yang termasuk underachiever, memiliki disfungsi system syaraf pusat (dalam Kirk & Ghallager, 1986).

b. Faktor Genetik

(10)

kembar identik lebih banyak daripada kembar tidak identik sehingga ia menyimpulkan bahwa ketidakmampuan membaca, mengeja dan menulis adalah sesuatu yang diturunkan.

c. Faktor Lingkungan dan Malnutrisi

Kurangnya stimulasi dari lingkungan dan malnutrisi yang terjadi di usia awal kehidupan merupakan dua hal yang saling berkaitan yang dapat menyebabkan munculnya kesulitan belajar pada anak. Cruickshank dan Hallahan (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa meskipun tidak ada hubungan yang jelas antara malnutrisi dan kesulitan belajar, malnutrisi berat pada usia awal akan mempengaruhi sistem syaraf pusat dan kemampuan belajar serta berkembang anak.

d. Faktor Biokimia

Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulant dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang sebaliknya.

(11)

disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama problema belajar adalah factor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi faktor neurologis yakni:

1) Faktor genetik

2) Luka pada otak (kekurangan oksigen) 3) Faktor biokimia

4) Pencemaran lingkungan

5) Gizi yang tidak memadai (nutrisi)

6) Pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan anak.

3. Klasifikasi Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar a. Kesulitan Belajar Perkembangan (Praakademik)

Kesulitan yang bersifat perkembangan meliputi: 1) Gangguan Perkembangan Motorik

Gangguan perkembangan motorik disebut dispraksia, mencakup gangguan pada motorik kasar, motorik halus, penghayatan tubuh, pemahaman keruangan dan lateralisasi (arah) gerak.

Dispraksia atau sering disebut clumsy adalah keadaan sebagai akibat adanya gangguan dalam intelegensi audiotori-motorik. Anak tidak mampu melakukan gerakan anggota tubuh dengan benar walaupun tidak ada kelumpuhan anggota tubuh. Manifestasinya dapat berupa disfasia verbal (bicara) dan non verbal (menulis, bahasa isyarat, dan pantomim). Ada beberapa jenis dispraksia, yaitu:

(12)

luwes. Dispraksia ini sering merupakan kendala bagi perkembangan bicara.

b) Dispraksia ideosional ditandai anak dapat melakukan gerakan kompleks tetapi tidak mampu menyelesaikan secara keseluruhan terutama dalam kondisi lingkungan yang tidak tenang. Kesulitannya terletak pada urutan gerakan, anak sering bingung mengawali suatu aktivitas, misalnya mengikuti irama musik.

c) Dispraksia konstruksional ditemukan pada anak yang mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan-gerakan kompleks yang berkaitan dengan bentuk, seperti menyusun balok dan menggambar. Kondisi ini dapat mempengaruhi gangguan menulis (disgrafia). Hal ini disebabkan karena kegagalan dalam konsep visiokonstuktif.

d) Dispraksia oral sering ditemukan pada anak yang mengalami disfasia perkembangan (gangguan perkembangan bahasa). Anak mempunyai gangguan dalam bicara karena adanya gangguan dalam konsep gerakan motoric di dalam mulut. Berbicara dipandang sebagai bentuk gerakan halus dan terampil dalam rongga mulut sehingga anak kurang mampu jika diminta menirukan gerakan, misalnya menjulurkan atau menggerakan lidah, menggembungkan pipi, menarik bibir kedepan dan sebagainya.

2) Gangguan Perkembangan Bahasa (Disfasia)

Disfasia adalah ketidakmampuan atau keterbatan kemampuan anak menggunakan simbol linguistik dalam rangka berkomunikasi secara verbal. Gangguan pada anak yang terjadi pada fase perkembangan ketika anak belajar berbicara disebut disfasia perkembangan (developmental dysphasia).

(13)

pemahaman dalam penerimaan bahasa. Anak dapat mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi tidak mengerti apa yang didengar karena mengalami gangguan dalam memproses stimulus yang masuk. Pada disfasia ekpresif, anak tidak mengalami gangguan pemahaman bahasa. Tapi ia sulit mengekspresikan kata secara verbal. Anak dengan gangguan perkembangan bahasa akan berdampak pada kemampuan membaca dan menulis.

3) Gangguan Perkembangan Sensorik (Penginderaan)

Gangguan pada kemampuan menangkap rangsang dari luar melalui alat-alat indera. Gangguan tersebut mencakup pada proses penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecap.

4) Gangguan Perkembangan Perseptual (Pemahaman atau apa yang diinderai)

Gangguan pada kemampuan mengolah dan memahami rangsang dari proses penginderaan sehingga menjadi informasi yang bermakna. Bentuk-bentuk gangguan tersebut meliputi:

a) Gangguan dalam Persepsi Auditoris, berupa kesulitan memahami objek yang didengarkan.

b) Gangguan dalam Persepsi Visual, berupa kesulitan memahami objek yang dilihat.

c) Gangguan dalam Persepsi Visual Motorik, berupa kesulitan memahami objek yang bergerak atau digerakkan.

d) Gangguan Memori, berupa ingatan jangka panjang dan pendek. e) Gangguan dalam Pemahaman Konsep.

f) Gangguan Spasial, berupa pemahaman konsep ruang. g) Gangguan Perkembangan Perilaku

(14)

perhatian, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan perhatian yang disertai hiperaktivitas.

b. Kesulitan Belajar Akademik

Kesulitan Belajar akademik terdiri atas: 1) Disleksia atau Kesulitan Membaca

Disleksia berasal dari kata dys yang bermakna “kesulitan”. Dan lexis yang berarti “bahasa”. Jadi, disleksia secara harfiah berarti kesulitan dalam berbahasa. Anak disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca, tetapi menulis, dan beberapa aspek bahasa yang lain. Kesulitan pada anak disleksia tidak sebanding dengan tingkat inteligensi ataupun motivasi yang dimiliki untuk kemampuan membaca dengan lancar dan akurat. Sebab, anak disleksia biasanya mempunyai level inteligensi normal atau bahkan sebagian diantaranya di atas rata-rata.

(15)

Pertama, masalah fonologi. Maksud dari fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya, seorang anak mengalami kesulitan membedakan kata paku dengan "palu"; atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi cukup mirip, misalnya "lima puluh dengan "lima belas" Kesulitan ini bukan disebabkan masalah pendengaran, melainkan terkait proses pengolahan input di dalam otak.

Kedua, masalah mengingat perkataan. Kebanyakan anak disleksia mempunyai level inteligensi normal atau bahkan di atas rata-rata. Akan tetapi, mereka mempunyai kesulitan dalam hal mengingat perkataan. Seorang anak yang mengidap disleksia mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya sehingga memilih untuk memanggilnya dengan sebutan "temanku di sekolah" atau "temanku laki-laki yang itu". Boleh jadi, ia dapat menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban untuk suatu pertanyaan sederhana.

(16)

Misalnya, ia merasa ragu uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.

Keempat, masalah ingatan jangka pendek. Anak disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi panjang dalam waktu pendek. Sebagai contoh, ibu menyuruh anak dengan kalimat berikut. "Simpan tas di kamarmu di lantai atas! Setelah itu, segera ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama lbu, tetapi jangan lupa bawa buku PR matematikanya." Kemungkinan besar, anak disleksia tidak mampu melakukan seluruh instruksi tersebut secara sempurna. Sebab, ia tidak mengingat seluruh perkataan ibunya.

Kelima, masalah pemahaman sintaksis. Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa terutama jika dalam waktu bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai struktur dan kaidah berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa kedua apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia dikenal susunan diterangkan-menerangkan (contohnya tas merah, buku biru, dan sebagainya). Namun, dalam bahasa Inggris, pola yang digunakan adalah menerangkan-diterangkan (red bag, blue book, dan sebagainya).

(17)

ataupun kata yang dibaca, lalu diterjemahkan menjadi suatu makna. Tanda-tanda anak mengalami diseleksia:

a) Kesulitan mengenali ataupun mengeja huruf

b) Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya esai.

c) Sering tertukar dalam menuliskan huruf, misalnya "b" tertuka tertukar dengan "d", "p" tertukar dengan "q”, “m” dengan "w", serta "s" tertukar dengan "z”

d) Daya ingat jangka pendek buruk

e) Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau didengar f) Bentuk tulisan tangan buruk.

g) Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung.

h) Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek. i) Kesulitan mengingat kata-kata.

j) Kesulitan dalam diskriminasi visual k) Kesulitan dalam persepsi spasial. l) Kesulitan mengingat nama-nama.

m) Mengalami kesulitan atau lambat dalam mengerjakan pekerjaan rumah.

n) Kesulitan memahami konsep waktu.

o) Sulit membedakan huruf vokal dengan konsonan. p) Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol. q) Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari. r) Kesulitan membedakan kanan kiri.

s) Membaca lambat, terputus-putus, serta tidak tepat. Perhatikan beberapa contoh berikut ini,

(1) Menghilangkan atau salah membaca kata penghubung, seperti"di", "ke", pada", dan sebagainya.

(2) Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca misalnya "menulis" hanya dibaca "tulis".

(18)

(4) Kata saling tertukar, misalnya "dia" dengan ada". "sama" dengan "masa", "lagu" dengan "gula", "batu" dengan "buta”, tanam dengan “taman", "dapat" dengan “padat”. “mana" dengan "nama", dan sebagainya.

Kesulitan belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar membaca yang berat dinamakan aleksia. Disleksia atau kesulitan membaca adalah kesulitan untuk memaknai simbol, huruf, dan angka melalui persepsi visual dan auditoris. Hal ini akan berdampak pada kemampuan membaca pemahaman. Adapun bentuk-bentuk kesulitan membaca di antaranya berupa:

a) Penambahan (Addition)

Menambahkan huruf pada suku kata.

Contoh: suruh  disuruh; gula  gulka; buku  bukuku b) Penghilangan (Omission)

Menghilangkan huruf pada suku kata.

Contoh: kelapa  lapa; kompor  kopor; kelas  kela c) Pembalikan kiri-kanan (Inversion)

Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik kirikanan.

Contoh: buku  duku; palu  lupa; 3  µ; 4  ¼ d) Pembalikan atas-bawah (ReversalI)

Membalikkan bentuk huruf, kata, ataupun angka dengan arah terbalik atas-bawah.

Contoh: m  w; u  n; nana  uaua; mama  wawa; 2  5; 6  9 e) Penggantian (Substitusi)

Mengganti huruf atau angka.

Contoh: mega  meja; nanas  mamas; 3  8

(19)

a) Kesulitan dalam diskriminasi audiotoris dan persepsi sehingga mengalami kesulitan dalam analisis fonestik, contohnya anak tidak dapat membedakan kata ‘kakak, katak, kapak’.

b) Kesulitan analisis dan sintesis audiotoris, contohnya ‘ibu’ tidak dapat diuraikan menjadi ‘i-bu’ atau problem sintesa ‘p-i-ta’ menjadi ‘pita’. Gangguan ini dapat menyebabkan kesulitan membaca dan mengeja.

c) Kesulitan reaudiotoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak dapat mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau kalau melihat kata tidak dapat mengungkapkannya walaupun mengerti arti kata tersebut.

d) Membaca dalam hati lebih baik dari pada membaca lisan. e) Kadang-kadang disertai gangguan urutan audiotoris. f) Anak cenderung melakukan aktivitas visual.

Gejala-gejala disleksia visual adalah sebagai berikut:

a) Tendensi terbalik, misalnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi n, m menjadi w, dan sebagainya.

b) Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yang mirip.

c) Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Jika diberi huruf cetak untuk menyusun kata mengalami kesulitan, misalnya ‘ibu’ menjadi ubi atau iub.

d) Memori visual terganggu. e) Kecepatan presepsi lambat.

f) Kesulitan analisis dan sintesis visual. g) Hasil tes membaca buruk.

h) Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas audiotori.

2) Disgrafia atau Kesulitan Menulis

(20)

yang berat disebut agrafia. Menurut Feldmen, disgrafia berasal dari bahasa Yunani dengan makna kesulitan khusus yang membuat anak sulit menulis atau mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan dan menyusun huruf-huruf.

Disgrafia disebabkan oleh faktor neurologis, yakni gangguan pada otak kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan menulis. Kelainan neurologis ini berwujud hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun hasil tulisantangan yang buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sejatinya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak otot secara otomatis saat menulis huruf dan angka.

Kesulitan menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar terutama pada anak yang berada di tingkat sekolah dasar (SD). Kesulitan dalam menulis sering kali juga disalah artikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, seorang anak yang bersangkutan merasa frustrasi karena pada dasarnya ia sangat ingin mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuannya dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, ia memiliki hambatan untuk melakukan hal itu. Sebagai langkah awal dalam menghadapi anak yang mengalami disgrafia, orang tua dan guru harus memiliki pemahaman yang tepat. Disgrafia bukan disebabkan tingkat inteligensi yang rendah, kemalasan, sikap asal-asalan, ataupun keengganan dalam belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap anak ataupun keterlambatan proses visual motorik.

(21)

anak, sekitar 7-15 persen dari jumlah tersebut diketahui mengalami gangguan baca-tulis semasa duduk di bangku sekolah. Persentase ini bervariasi karena bergantung pada kriteria yang dipakai untuk mendiagnosis masalah. Dalam hal ini, anak laki-laki memiliki kecenderungan 2-3 kali lebih beresiko terdiagnosis tidak mampu membaca dibanding perempuan-apapun jenis kriteria yang digunakan.

Secara spesifik, penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, apabila kelainan tersebut terjadi secara tiba-tiba, baik pada anak maupun orang yang telah dewasa maka disgrafia diduga disebabkan oleh trauma kepala, entah akibat kecelakaan, penyakit, dan sebagainya. Selain itu, para ahli juga menemukan bahwa anak yang menderita disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga dengan gejala serupa. Dengan demikian, ada kemungkinan faktor herediter ikut berperan dalam disgrafia. Sebagaimana telah diuraikan, disgrafia sering disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesulitan dalam harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot saat menuliskan huruf dan angka. Kesulitan ini tidak terkait dengan masalah kemampuan intelektual, kemalasan, sikap asal serta kemauan belajar.

Feldmen menyatakan bahwa ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan disgrafia. Untuk lebih jelasnya perhatikan ciri ciri berikut ini:

a) Terdapat inkonsistensi bentuk huruf dalam tulisannya.

b) Saat menulis, penggunaan huruf capital (besar) dan kecil masih tercampur.

c) Ukuran dan bentuk huruf pada tulisannya tidak proporsional. d) Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan

(22)

e) Sulit memegang pulpen ataupun pensil dengan maantap. Caranya memegang alat tulis sering terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas.

f) Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis. Jika tidak demikian, bisa juga anak tersebut terlalu memerhatikan tangannya yang sedang menulis.

g) Penulisan tidak mengikuti alur garis yang tepat dan serta kurang proporsional. 8. Tetap mengalami kesulitan sekalipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

Disgrafia adalah kesulitan yang melibatkan proses menggambar simbol-simbol bunyi menjadi symbol huruf atau angka. Kesulitan menulis tersebut terjadi pada beberapa tahap aktivitas menulis, yaitu:

a) Mengeja, yaitu aktivitas memproduksi urutan huruf yang tepat dalam ucapan atau tulisan dari suku kata/kata. Kemampuan yang dibutuhkan aktivitas mengeja antara lain (1) Decoding atau kemampuan menguraikan kode/simbol visual; (2) Ingatan auditoris dan visual atau ingatan atas objek kode /symbol yang sudah diurai tadi; untuk (3) Divisualisasikan dalam bentuk tulisan.

(23)

Kesulitan yang kerap muncul dalam proses menulis permulaan antara lain:

(1) Ketidakkonsistenan bentuk/ukuran/proporsi huruf. (2) Ketiadaan jarak tulisan antar-kata.

(3) Ketidakjelasan bentuk huruf.

(4) Ketidakkonsistenan posisi huruf pada garis.

Dalam disgrafia terdapat bentuk-bentuk kesulitan yang juga terjadi pada kesulitan membaca, seperti:

(1) Penambahan huruf/suku kata. (2) Penghilangan huruf/suku kata. (3) Pembalikan huruf ke kanan-kiri. (4) Pembalikan huruf ke atas-bawah. (5) Penggantian huruf/suku kata

c) Menulis Lanjutan/Ekspresif/Komposisi merupakan aktivitas menulis yang bertujuan mengungkapkan pikiran atau perasaan dalam bentuk tulisan. Aktivitas ini membutuhkan kemampuan (1) berbahasa ujaran; (2) membaca; (3) mengeja; (4) menulis permulaan.

3) Diskalkulia atau Kesulitan Berhitung

(24)

memori (memory deficits). Mereka yang sulit mengingat benda-benda/ angka akan mengalami masalah dalam mengingat urutan operasi (order of operations) yang harus diikuti atau langkah-langkah pengurutan tertentu untuk memecahkan soal-soal matematika. Diskalkulia juga dikenal dengan istilah math difficulty. Sebab, gejala ini menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terjadi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengalkulasi (calculating). Anak yang menderita diskakulia akan menunjukan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematika.

Kesulitan berhitung adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah. Kemampuan berhitung sendiri terdiri dari kemampuan yang bertingkat dari kemampuan dasar sampai kemampuan lanjut. Oleh karena itu, kesulitan berhitung dapat dikelompokkan menurut tingkatan, yaitu kemampuan dasar berhitung, kemampuan dalam menentukan nilai tempat, kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan dan pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini:

a) Kemampuan dasar berhitung, terdiri atas:

(25)

mengklasifikasi, anak tersebut kesulitan menentukan bilangan ganjil dan genap, bilangan cacah, bilangan asli, bilangan pecahan, dan seterusnya.

(2) Membandingkan (comparation), yaitu kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas dari dua buah objek. Misalnya: Penggaris A lebih panjang dari penggaris B, Bola X lebih kecil dari Bola Y, Bangku Merah lebih banyak dari Bangku Biru, dan seterusnya.

(3) Mengurutkan (seriation), yaitu kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas lebih dari dua buah objek. Pola pengurutannya sendiri bisa dimulai dari yang paling minimal ke yang paling maksimal atau sebaliknya. Contohnya: Penggaris A paling pendek, Penggaris B agak panjang, dan Penggaris C paling panjang; Bola X paling besar, Bola Y lebih kecil, dan Bola Z paling kecil; Bangku Merah paling banyak, Bangku Biru lebih sedikit, dan Bangku Hijau paling sedikit;

5 – 4 – 3 atau 20 – 40 – 70 – 80 –100; dan seterusnya. (4) Menyimbolkan (simbolization), yaitu kemampuan membuat

symbol atas kuantitas yang berupa angka bilangan (0-1-2-3-4-5-6-7-8-9) atau simbol tanda operasi dari sebuah proses berhitung seperti tanda + (penjumlahan), - (pengurangan), x (perkalian), atau ÷ (pembagian), < (kurang dari), > (lebih dari), dan = (sama dengan) dan lain-lain. Penguasaan simbol-simbol tanda ini akan berguna saat anak melakukan operasi hitung.

(26)

berbeda. Misalnya dengan memahami konsep penjumlahan anak akan tahu bahwa 2+5 adalah 7 dan 4+9 adalah 13; karena meskipun jumlah angkanya berbeda tetapi pola hitungannya sama. Anak akan mengalami kesulitan saat menterjemahkan kalimat bahasa menjadi kalimat matematis pada soal cerita.

b) Kemampuan dalam menentukan nilai tempat

Dalam berhitung/matematis, pemahaman akan nilai tempat adalah sesuatu yang penting, karena bilangan ditentukan nilainya oleh urutan atau posisi suatu angka di antara angka lainnya. Dalam matematika, bilangan yang terletak di sebelah kiri nilainya lebih besar dari bilangan di sebelah kanan. Misalnya pada bilangan 15; angka “1” nilainya adalah 1 puluhan sedangkan angka “5” adalah “5 satuan”. Konsep nilai puluhan dan satuan melekat pada posisi/tempatnya masing-masing. Begitu juga nilai ratusan, ribuan, puluh ribuan, dan seterusnya. Pemahaman mengenai konsep nilai tempat juga penting dalam operasi hitung. Pada operasi penjumlahan konsep ini akan mengarahkan penentuan berapa nilai yang disimpan, sedangkan operasi pengurangan konsep nilai tempat akan mengarahkan penentuan berapa nilai yang dipinjam. Contoh: Menjumlah semua bilangan tanpa melihat makna nilai tempat.

c) Kemampuan melakukan operasi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan; dan pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam

(27)

kesulitan dalam proses operasi hitung penjumlahan dengan menyimpan atau pengurangan dengan meminjam.

d) Kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian Konsep perkalian merupakan lanjutan dari konsep operasi penjumlahan. Perkalian pada dasarnya adalah penjumlahan yang berulang (sebanyak angka pengalinya). Sedangkan konsep pembagian adalah lanjutan dari konsep operasi pengurangan. Pembagian pada dasarnya adalah pengurangan yang berulang (sebanyak angka pembaginya). Kedua konsep operasi hitung ini akan bisa dikuasai anak hanya bila anak telah

menguasai konsep penjumlahan dan

pengurangan. Pada anak yang kesulitan mengalikan atau membagi akan cenderung menebak-nebak jawaban atau tidak cermat melakukan proses penghitungan. Contoh: Perkalian dijadikan penjumlahan= 2x5=7; Perkalian yang tidak cermat= 2x5=8; Pembagian dijadikan pengurangan= 12:3=9; Pembagian yang tidak cermat = 12:3=6. Dan seterusnya.

e) Kemampuan Menjumlah dan Megurangi Bilangan Bulat

(28)

Contoh: 6–10=...; Pengurangan bilangan bulat positif dengan negative. Contoh: 7–(-10)=...; Pengurangan bilangan bulat negative dengan positif. Contoh: -4–8=...; Pengurangan bilangan bulat negative dengan negative. Contoh: -3–(-5)=...

Dari uraian di atas, tampak bahwa kemampuan berhitung merupakan kemampuan yang sifatnya bertingkat. Dimulai dari tingkat yang paling sederhana, yaitu kemampuan dasar (seperti klasifikasi, komparasi, seriasi, serta simbolisasi dan konservasi) sampai kemampuan yang kompleks (yang sifatnya operasional seperti nilai tempat, operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian).

Menurut Kirk & Gallagher (1986), kesulitan belajar dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu developmental learning disabilities dan kesulitan belajar akademis. Komponen utama pada developmental learning disabilities antara lain; perhatian, memori, gangguan persepsi visual dan motorik, berpikir dan gangguan bahasa. Sedangkan kesulitan belajar akademis termasuk ketidakmampuan pada membaca, mengeja, menulis, dan aritmatik.

a. Developmental Learning Disabilities

1) Perhatian (attention disorder). Anak dengan attention disorder akan berespon pada berbagai stimulus yang banyak. Anak ini selalu bergerak, sering teralih perhatiannya, tidak dapat mempertahankan perhatian yang cukup lama untuk belajar dan tidak dapat mengarahkan perhatian secara utuh pada sesuatu hal.

(29)

pada ingatan auditorinya yang mempengaruhi perkembangan bahasa lisannya.

3) Gangguan persepsi visual dan motorik. Anak-anak dengan gangguan persepsi visual tidak dapat memahami rambu-rambu lalu lintas, tanda panah, kata-kata yang tertulis, dan symbol visual yang lain. Mereka tidak dapat menangkap arti dari sebuah gambar atau angka atau memiliki pemahaman akan dirinya. Contohnya seorang anak yang memiliki penglihatan normal namun tidak dapat mengenali teman sekelasnya. Dia hanya mampu mengenal saat orang tersebut berbicara atau menyebutkan namanya. Pada anak dengan gangguan persepsi motorik, mereka tidak dapat memahami orientasi kanan-kiri, bahasa tubuh, visual closure dan orientasi spasial serta pembelajaran secara motorik.

4) Thinking disorder. Thinking disorder adalah kesulitan dalam operasi kognitif pada pemecahan masalah pembentukan konsep dan asosiasi. Thinking disorder berhubungan dekat dengan gangguan dalam berbahasa verbal. Dalam penelitian oleh Luick terhadap 237 siswa dengan gangguan dalam berbahasa verbal yang parah, menemukan bahwa mereka memperlihatkan kemampuan yang normal dalam tes visual dan motoric namun berada di bawah rata-rata pada tes persepsi auditori, ekspresi verbal, memori auditori sekuensial dan grammatic closure.

5) Language Disorder. Merupakan kesulitan belajar yang paling umum dialami pada anak prasekolah. Biasanya anak-anak ini tidak berbicara atau berespon dengan benar terhadap instruksi atau pernyataan verbal.

(30)

B. Terminologi yang Digunakan untuk Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar

Attention deficit disorder Clumsy child syndrome

Perceptual handicap Brain injury

Minimal brain dysfunction Dyslexia

Dyslogic syndrome Learning disorder Learning disabilities Educational handicap

Mild handicap Neurological impairment

Hyperactivity Hyperkinesis Language disorders Specific learning disability

Learning difficult

C. Dampak Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar dalam Perkembangan Kognitif

(31)

Kesadaran yang membentuk strategi dan kemampuan yang diperlukan bagi keberhasilah tugas yang harus diselesaikan ini disebut kesadaran metakognisi. Sebagian peneliti berpendapat tidak adanya kesadaran tersebut merupakan ciri utama sebagian penyandang kesulitan belajar. Mereka berpendapat bahwa “kurangnya akses spontan terhadap kemampuan ini dan memfungsikannya, beserta kemampuan untuk mengoordinasikannya” adalah masalah yang sangan fundamental bagi sebagian anak penyandang kesulitan belajar (Reid dan Hresko, 1981, hlm.81). Pengajaran kemampuan metakognitif bagi siswa yang tidak bisa mengembangkannya dengan spontan adalah subyek yang telah menarik minat dan antusias dalam bidang kesulitan belajar.

Menurut penelitian, anak-anak dengan hambatan belajar seringkali kesulitan dalam mengingat fakta, instruksi dan aturan. Berkurangnya fungsi memori pada siswa yang mengalami hambatan belajar berkaitan dengan tidak adanya strategi memori yang efektif. Hal ini dikarenakan cara ini tidak bisa dimengerti dengan baik, anak-anak dengan hambatan belajar kadang tidak bisa secara spontan melakukan strategi-strategi tersebut untuk membantu mereka mengingat (Torgensen, 1989). Mereka harus diajarkan secara langsung untuk melakukannya.

D. Dampak Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar dalam Perkembangan Bahasa

Dalam suatu penelitian pada siswa sekolah dasar, ditemukan bahwa hampir 90% dari 242 siswa yang telah diklasifikasikan sebagai berkesulitan belajar ternyata mempunyai kesulitan bahasa pada tingkat ringan sampai dengan sedang (Gibbs dan Cooper, 1989).

(32)

Masalah-masalah bahasa seringkali terjadi yaitu kesulitan dalam memahami orang lain, berbicara dengan jelas, menemukan kata yang benar untuk mengungkapkan ide dan kebutuhannya, serta kurang kemampuan dalam mengatur bahasa untuk mendapatkan komunikasi yang efektif.

Anak LD yang belum berusia sekolah mungkin memiliki banyak masalah auditori dan atau visual (Johnson & Myklebust, 1967). Sedangkan anak LD usia sekolah mungkin memiliki penglihatan dan pendengaran yang normal, namun otak mereka tidak mampu menerjemahkan dengan benar apa yang mereka dengar dan/ataupun lihat. Kurangnya keberfungsian visual dan auditori mungkin dihasilkan karena adanya masalah orientasi ruang, pengurutan dan pemisahan informasi. Anak LD mungkin juga memiliki kesulitan dalam membayangkan sesuatu, memahaminnya, lalu melakukannya (Wiig & Semel, 1980).

Anak LD seringkali mengalami kesulitan dalam mengulang kembali informasi (Wiig & Semel, 1980). Agar supaya dapat melakukan percakapan, kita harus mampu untuk menarik kata-kata dari kepala kita. Tidak efisiennya bagian ini mengganggu komunikasi interaksi dasar dan berdampak pada proses belajar bahasa. Hal ini cukup membuat frustasi.

Anak LD mungkin memiliki sistem neurophysiological yang tidak efisien atau tidak dewasa (Myklebust & Boshes, 1960). Untuk dapat memahami apa yang orang katakan kepada kita sama halnya dengan pemahaman kita, tubuh kita harus berkoordinasi. Tubuh anak LD tidak dapap berkoordinasi dengan mereka, dan mereka mungkin menunjukan kemampuan mendenngarkan yang kurang baik, hyper-atau hypoactivity, fikiran yang teralihkan, ketekunan, disinhibition, dan hal lainnya yang berpengaruh pada pola bahasa anak-anak. Banyak anak LD membutuhkan waktu tambahan untuk dapat menguasai dasar dari bahasa lisan sebelum merea siap untuk menempuh kurikulum TK. Kebanyakan akan tetap memiliki masalah dasar bahasa.

E. Dampak Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar dalam Perkembangan Sosial-Emosi

(33)

di mana si anak mengembangkan kepercayaan dirinya yang mengarah pada prilaku adaptasi yaang salah (maladptive behavior).

Kesulitan yang memungkinkan lainnya bagi masalah-masalah sosial dan emosi yang dihadapi siswa berkesulitan belajar adalah kurangnya “kecerdasan sosial”. Menurut Bryan (1977), siswa ini salah membaca isyarat sosial yang biasanya difahami oleh orang lain. Mereka salah menafsirkan komunikasi emosional dan sosial dari orang lain. Mereka mungkin juga tidak memahami dampak dari sikapnya sendiri pada orang lain. Sebagimana dijelaskan oleh Hallahan dan Kauffman; aspek tantangan-tantangan yang dihadapi oleh siswa penyandang hambatan adalah, “mereka mempunyai kesulitan mengambil perspektif orang lain, meletakkan dirinya pada keadaan orang lain” (Hallahan dan Kauffman, 1994, hlm. 177).

Dua karakteristik yang sering diangkat sebagai karakteristik sosial-emosional anak berkesulitan belajar ialah: kelabilan sosial-emosional dan keimplusifan. Kelabilan emosional ditunjukkan oleh sering berubahnya suasana hati dan temperamen ke-impulsif-an merujuk kepada lemahnya pengendalian terhadap dorongan-dorongan berbuat.

Salah satu perkembangan emosi adalah belajar. Dengan belajar, anak diharapkan dapat mengalami proses sehingga anak bisa mengontrol emosinya. Ketika seorang anak mengalami kesulitan belajar, maka anak akan menjadi lebih emosional. Anak yang mengalami gangguan emosi menyebabkan keseluruhan prestasinya kurang atau mundur, terutama dalam pelajaran-pelajaran yang membutuhkan konsentrasi, perhatian, dan daya ingat. Itu dapat menyebabkan anak menjadi pasif, apatis, dan emosinya tak dapat dikendalikan.

(34)

Konsep diri yang telah tertanam pada diri anak menyebabkan kesulitan belajar. Ketika orang tua menanamkan konsep diri yang buruk pada anak, maka ia akan menjadi sosok yang tak berharga. Konsep diri yang buruk akan menyebabkan anak menerima sesuatu yang tidak baik dari orang tuanya. Anak akan belajar meniru yang tidak baik sehingga anak mengalami kesulitan belajar. Ini dapat menyebabkan anak frustasi karena orang tuanya tidak menghargai dirinya dengan menanamkan konsep diri yang buruk dan menyebabkan dia dapat melakukan emosi yang negatif. Selain itu, ketika faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar itu tidak terpenuhi atau terlaksana, maka anak akan cenderung sulit atau bermasalah dalam belajar yang akan mengakibatkan anak bertingkah laku tidak baik karena anak melampiaskannya dalam bentuk emosi.

F. Dampak Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar dalam Perilaku Kehidupan Sehari-hari

Para psikolog perkembangan telah lama mencatat bahwa kemampuan anak-anak memfokuskan perhatiannya akan bertambah seiring dengan usianya. Sebagian anak yang terus-menerus tidak dapat memusatkan perhatiannya akan dianggap mempunyai masalah-masalah perhatian (attention problem). Mereka digambarkan memiliki rentang perhatian pendek (short attention span), mudah sekali terganggu perhatian, atau mempunyai kemunduran perhatian.

Hiperaktivitas seringkali dihubungkan dengan masalah perhatian. Istilahnya sendiri menunjukan pada gerakan fisik yang dapat dibarengi masalah perhatian. Berlari-lari, menggeliat, banyak bicara, tidak dapat duduk ditempatnya merupakan sikap-sikap hiperaktivitas yng sangat mengganggu guru, orang tua dan anak lainnya. Gangguan-gangguan perhatian dan hiperaktivitas diberi kategori tunggal, yaitu attentation-deficit/hyperactivity disorders (ADHD) oleh American Psychiatric Association, 1987).

(35)

Secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan frustasi atau cemas yang berlebihan karena dia selalu mengalami kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar. Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.

Bagi keluarga, kondisi anak seperti itu dapat menimbulkan kekhawatiran orang tua. Apalagi jika orang tua tidak memahami masalah yang dialami anaknya. Kekecewaan, perasaan dan pikiran aneh bisa muncul pada orang tua dan tak mustahil menimbulkan frustasi orang tua atau keluarga. Orang tua yang belum dapat menerima kondisi anaknya yang demikian ini, cenderung masih menyangkal dan semakin menuntut anak itu dengan memberinya berbagai macam les setiap hari. Anak seakan-akan hidup hanya untuk belajar, walau demikian ia selalu gagal dan sering dimarahi, diejek dan dibandingkan dengan anak lain.

Akibatnya ia semakin malas untuk berusaha dan belajar terus, rasa benci dan marah timbul dalam dirinya, baik terhadap teman, guru, dan orang tuanya. Perasaan emosinya itu lalu di dekskripsikan dalam bentuk tingkah laku yang mengganggu. Hal ini semakin membuat lingkungan tidak menyukai dan terjadilah kondisi yang semakin merugikan perkembangan anak itu. Bakat-bakat yang lain potensial ia memiliki juga menjadi terhambat perkembangannya.

(36)

layanan dan konsultasi bagi guru kelas dimana anak berkesulitan belajar ada. Melalui kegiatan bersama antara guru kelas dan guru khusus tadi, rancangan layanan pendidikan dan psikologis dikembangkan.

G. Dampak Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar dalam Belajar

Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif.

Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain:

1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.

2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. 3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu

tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.

4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.

5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.

6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

(37)

juga tampak bahwa anak memiliki dua karakteristik sekaligus, yaitu karakteristik sebagai anak yang memiliki keunggulan intelektual dan karakteristik sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam belajar.

Sedangkan pemilikan sikap negatif dalam belajar, seperti malas dan sebagainya diduga kuat muncul sebagai dampak negatif dari keungulan intelektualnya dan atau dampak dari kesulitan belajarnya. Karena itu diduga kuat pula bahwa sikap belajar yang negatif dan ketidakmampuan dalam belajar akademik tertentu, dapat saja muncul pada anak-anak kelompok LD yang lain, yaitu yang memiliki inteligensi rata ataupun di bawah rata-rata.

Secara umum kegagalan di atas dicirikan dengan munculnya gejala penggantian, penambahan, pengurangan huruf atau kata, dan menebak kata. Munculnya gejala ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kemampuannya dalam memahami isi bacaan dan sikapnya dalam membaca. Namun, perlu ditegaskan bahwa kegagalan-kegagalan membaca dan sikap-sikap tertentu di atas dapat saja muncul pada anak berkesulitan belajar kelompok lain, di luar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata.

Dalam hal menulis, kesulitan yang dihadapi cukup bervariasi tergantung pada faktor yang melatarbelakanginya. Gejala menulis yang dilatarbelakangi oleh aspek motorik halus cenderung gagal dalam diskriminasi huruf dan aspek keterbacaan. Sedangkan yang disertai dengan gangguan persepsi, juga mengalami kegagalan dalam analisis struktural. Gejala-gejala umum yang sering ditemukan adalah pengulangan, penggantian, penambahan, dan pengurangan huruf atau kata, tulisan jelek sulit dibaca.

Di samping itu mereka mampu menulis dengan cepat, kecuali disertai dengan tremor pada otot jari. Namun, dilakukan dengan tarikan yang asal, tak terkendali, terburu-buru, kurang konsentrasi, bahkan penolakan.

(38)

baik. Gangguan dalam satu atau lebih aspek di atas, cenderung berpengaruh terhadap kualitas proses menulis, sehingga hasil atau produknya juga beragam.

Satu hal diduga kuat cukup membedakan antara mereka yang memiliki keunggulan intelektual dan tidak, adalah kenyataan bahwa mereka dapat melakukan aktivitas menulis dengan cepat, walaupun kurang cermat dan teliti.

Dalam berhitung ditemukan bahwa sekalipun anak LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata sudah menguasai konsep-konsep dasar bilangan, lambang operasi bilangan, hitungan, dan operasi hitung, namun cenderung gagal dalam soal-soal operasi hitung yang berbentuk transformasi, serta ketidakmampuan untuk mengerjakan soal-soal berhitung tersebut dalam waktu yang relatif lama.

Sebenarnya, temuan di atas kurang mampu memberikan gambaran yang akurat dan representatif tentang karakteristik mereka dalam berhitung. Namun demikian, temuan di atas cukup memberikan gambaran bahwa sekalipun memiliki keunggulan intelektual, namun ada kecenderungan kurang memiliki fleksibilitas dalam berpikir dalam menghadapi persoalan yang dihadapi, mampu menguasai dengan baik suatu pendekatan tertentu tetapi bingung ketika harus menyelesaikan melalui pendekatan lain.

H. Penanganan Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar

Penangan yang diberikan pada kasus anak dengan kesulitan belajar tergantung pada hasil pemeriksaan yang komprehensif dari tim kerja. Penanganan yang diberikan pada anak dengan kesulitan belajar meliputi: 1. Penatalaksana dibidang Medis

a. Terapi Obat

Pengobatan yang diberikan adalah sesuai dengan gangguan fisik atau psikiatrik yang diderita oleh anak, misalnya:

1) Berbagai kondisi depresi dapat diberikan dengan obat golongan antidepresan.

2) GPPH diberikan obat golongan psikostimulansia, misalnya Ritalin dan lain-lain.

b. Terapi Perilaku

(39)

dapat memenuhi suatu tugas atau tanggung jawab atau perilaku positif tertentu. Di lain pihak, ia akan mendapatkan peringatan jika jika ia memperlihatkan perilaku negative. Dengan adanya penghargaan dan peringatan langsung ini maka diharapkan anak dapat mengontrol perilaku negatif yang tidak dikehendaki, baik di sekolah maupun di rumah.

c. Psikoterapi Suportif

Dapat diberikan pada anak dan keluarganya. Tujuannya adalah untuk memberi pengertian dan pemahaman mengenai kesulitan yang ada, sehingga dapat menimbulkan motivasi yang konsisten dalam usaha untuk memerangi kesulitan ini.

d. Pendekatan Psikososial Lainnya 1) Psikoedukasi orang tua dan guru

2) Pelatihan keterampilan social bagi anak

2. Penatalaksana di bidang Pendidikan

(40)

A. Simpulan

Anak berkesulitan belajar adalah anak yang mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademiknya, yang disebabkan oleh adanya disfungsi minimal otak, atau dalam psikologis dasar, sehingga prestasi belajarnya tidak sesuai dengan potensi yang sebenarnya, dan untuk mengembangkan potensinya secara optimal mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus.

Terminology yang digunakan pada anak yang mengalami kesulitan belajar diantaranya attention deficit disorder, lumsy child syndrome, perceptual handicap, brain injury, minimal brain dysfunction, dyslexia, dyslogic syndrome, learning disorder, learning disabilities, educational handicap, mild handicap, neurological impairment, hyperactivity, hyperkinesis, language disorders, specific learning disabilite, learning difficult.

Menurut penelitian, anak-anak dengan hambatan belajar seringkali kesulitan dalam mengingat fakta, instruksi dan aturan. Berkurangnya fungsi memori pada siswa yang mengalami hambatan belajar berkaitan dengan tidak adanya strategi memori yang efektif. Hal ini dikarenakan cara ini tidak bisa dimengerti dengan baik, anak-anak dengan hambatan belajar kadang tidak bisa secara spontan melakukan strategi-strategi tersebut untuk membantu mereka mengingat (Torgensen, 1989). Mereka harus diajarkan secara langsung untuk melakukannya.

Masalah-masalah bahasa seringkali terjadi yaitu kesulitan dalam memahami orang lain, berbicara dengan jelas, menemukan kata yang benar untuk mengungkapkan ide dan kebutuhannya, serta kurang kemampuan dalam mengatur bahasa untuk mendapatkan komunikasi yang efektif.

Sebagimana dijelaskan oleh Hallahan dan Kauffman; aspek tantangan-tantangan yang dihadapi oleh siswa penyandang hambatan adalah, “mereka mempunyai kesulitan mengambil perspektif orang lain, meletakkan dirinya pada keadaan orang lain” (Hallahan dan Kauffman, 1994, hlm. 177). Dua

(41)

karakteristik yang sering diangkat sebagai karakteristik sosial-emosional anak berkesulitan belajar ialah: kelabilan emosional dan keimplusifan.

Secara umum perilaku bermasalah yang muncul dari kesulitan belajar terutama akan terkait dengan masalah penyesuaian diri maupun akademik anak, hubungan sosial, dan stabilitas emosi. Bagi anak sendiri kondisi seperti ini dapat menimbulkan frustasi atau cemas yang berlebihan karena dia selalu mengalami kegagalan dalam memenuhi tuntutan dan tugas belajar. Dengan kata lain dalam banyak hal anak tidak mampu menguasai tugas-tugas perkembangan yang harus dicapainya.

Beberapa dampak anak yang mengalami kesulitan belajar dalam proses pembelajaran akan menimbulkan perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain: menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya, hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan, lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan, menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya, menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya, dan menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Depdikbud RI.

Andriani, Asti. 2010. Anak berkesulitan belajar [online]. Tersedia http://astriplb2010.blogspot.co.id/2010/12/anak-berkesulitan-belajar.html [22 September 2016]

Feldmen, William. 2002. Mengatasi Gangguan Belajar pada Anak. Jakarta: Prestasi Putra.

Lerner, Janet. 2000. Learning Disabilities-9th Edition, Boston:

Houghton Mifflin Company.

Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Putranto, Bambang. 2015 Tips Menangani Siswa Yang Membutuhkan Perhatian Khusus. Yogyakarta: DIVA Press.

Somantri, Sutjihati T. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Suryani, Yulianda E. 2010. “Kesulitan Belajar” dalam Magistra Article [online]. Tersedia:

http://journal.unwidha.ac.id/index.php/magistra/article/viewFile/96/56

Tanpa Nama. 2013. Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar (online). Tersedia: https://cryzthine.wordpress.com/2013/03/30/pendidikan-anak-berkesulitan-belajar-tugas-kuliah/ [25 eptember 2016]

Trii Wijayanti. Tanpa Tahun. Kesulitan Belajar dan Faktor yang

Mempengaruhinya [online]. Tersedia:

http://www.academia.edu/9400506/Kesulitan_Belajar_dan_Faktor_yang_Me mpengaruhinya [25 September 2016].

Wahyono, Bundi. 2015. Pengertian Kesulitan Belajar dan Faktor-Faktor yang

Mempengaruhinya [online]. Tersedia:

(43)

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi LSM PPAP Seroja dalam pelaksanaan program Kota Layak Anak (KLA) pada lingkungan pendidikan anak jalanan di Kota

Sekolah merupakan tempat yang tepat bagi anak dalam hal perkembangan sosial anak autis, mengingat hambatan yang dialami berkaitan dengan interaksi sosial dan komunikasi serta

Pertama yaitu hambatan internal yaitu hambatan yang berasal dari pengasuh adalah minimnya pendidikan yang dimiliki pengasuh, terbatasnya waktu yang dimilki pengasuh atau

Dari berbagai hambatan yang dialami anak tunagrahita ringan salah satunya adalah hambatan membaca sesuai dengan pendapat Astati, (2001: 10-11) ”Kesulitan belajar umumnya

Karena pendidikan yang pernah dialami oleh para pendidik sekarang adalah pendidikan yang masih terjebak dalam dikotomi ilmu pengetahuan, maka penting bagi semua guru

Dari hasil pengamatan peneliti ketika di lapangan menunjukkan bahwa ketiga anak berkesulitan belajar menerima layanan pendidikan inklusi yang cukup, hal ini dapat

Dalam implementasi pendidikan karakter pada pendidikan non formal di bimbingan belajar Be Star tidak terlepas dari hambatan-hambatan yang dihadapi yaitu a). Terbatasnya waktu

Dalam layanan pendidikan untuk anak autis harus disesuaikan dengan usia dari anak tersebut, kemampuan yang dia miliki, hambatan yang dimilki anak ketika belajar, serta gaya belajarnya