Menalar Problem Atribusi dan Eksistensi pada Struktur Logika Proposisi
Hisyam Ikhtiar MuliaProgram Studi Ilmu Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Abstrak:
Proposisi adalah ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan kebenarannya. Proposisi dibangun atas terma-terma tertentu yang setidaknya memiliki dua macam struktur. Struktur yang membangun proposisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu struktur gramatikal dan struktur logika. Struktur gramatikal mengandung persoalan tata bahasa sedangkan struktur logika mempersoalkan sahih/tidak sahih serta benar/salah dari suatu proposisi. kendati dua macam struktur tersebutlah yang membangun proposisi, keduanya memiliki perbedaan. Dua proposisi dengan struktur gramatikal yang sama dapat menunjukkan struktur logika yang berbeda. Bertrand Russell adalah filsuf yang mengangkat problem perbedaan struktur gramatikal dan struktur logika proposisi yang mana diteruskan dan dijawab oleh AJ Ayer. Keduanya akan menunjukkan bagaimana problematika struktur logis proposisi yang secara gramatikal tak bermasalah. Makalah ini secara spesifik akan menunjukkan bagaimana problem atribusi dan eksistensi pada struktur logika suatu proposisi. pada kasus tersebut, yang dipermasalahkan adalah problem bermakna atau tidaknya suatu proposisi pada struktur logis tertentu.
Kata Kunci: eksistensi, atribusi, struktur gramatikal, struktur logika, konten faktual, special non-empirical sense, truth value, literal significance, emotional significance, work of art.
Pendahuluan
Pada awal abad ke-20 kelompok positivisme logis yang berasal dari lingkaran wina banyak melayangkan kritik terhadap metafisika. Secara umum, bagi kalangan penganut positivism logis, metafisika hanyalah omong kosong belaka. Kalangan positivis memiliki kecenderungan kuat untuk pada sains, maka dari itu, mereka secara umum menganggap proposisi harus memenuhi kriteria saintifik untuk dapat diuji kebenarannya.
Bertrand Arthur William Russell adalah seorang filsuf positifis yang lahir dalam keluarga aristokrat dan dibesarkan oleh neneknya yang konservatif dan religius. Ia memiliki ketertarikan pada matematika hingga menjadi mahasiswa matematika di Trinity Collage, Cambridge, pada tahun 1890. Pada tahun 1893, Ia mulai tertarik pada diskursus fondasi filosofis pada matematika dan menjadi advokat serta praktisi filsafat analitik Ia menulis beberapa karya, yang mana berjudul Description. Dalam karyanya yang bertajuk Description, Russell mengangkat problem dari struktur logika proposisi. Ia menunjukkan bahwa dalam struktur gramatikal [subjek + predikat] terdapat struktur logika dimana predikat adalah atribut terhadap subjek. Pada hal ini, Russell mengangkat persoalan bahwa atribusi dari predikat terhadap subjek sekaligus menyatakan eksistensi subjek tersebut. Dengan kata lain, dalam suatu proposisi, subjek harus terlebih dahulu eksis sebelum dapat teratribusi oleh predikat. Demikian, Russell menganggap proposisi dimana subjek tidak memiliki nilai eksistensial membuat keseluruhan proposisi menjadi tidak memiliki makna atau omong kosong.
Dasar Teori
Dalam teori filsafat analitiknya yang bertajuk “Description” Russell mengembangkan teorinya mengenai deskripsi definite dan indefinite. Deskripsi definite mengacu pada makna yang benar-benar spesifik dengan bentuk formal “the so-and-so”, sedangkan sebaliknya, deskripsi indefinite tidak memiliki acuan yang begitu jelas, general, atau ambigu dengan bentuk formal “a so-and-so”.1
Dengan pernyataan demikian, Russell ingin menjelaskan ada dua jenis deskripsi, yaitu yang sifatnya indefinite yang maknanya general dan kabur, seperti proposisi “I met a man” yang tidak mengacu pada hal spesifik, makna dari “a man” di sini tidak mengacu pada sesuatu yang spesifik (mengacu pada all), kendati merujuk pada “a man” atau manusia secara general, namun tidak jelas siapa yang sebenarnya dirujuk proposisi tersebut. Sebaliknya, proposisi definite seperti “I met Jones” merujuk pada makna yang sangat spesifik, yaitu “jones”. Russel ingin menjelaskan bahwa ada perbedaan antara struktur gramatikal dengan struktur logis suatu proposisi, kendati proposisi “I met a man” dengan “I met Jones” secara gramatikal memiliki struktur yang sama yaitu S-P, namun pada tataran logis, keduanya memiliki perbedaan dalam formasi S-P, yang mana hal tersebut tidak banyak yang menyadari, bahkan di kalangan logikawan masa itu, yang menganggap bentuk gramatikal bisa menjelaskan bentuk logis proposisi. Permasalahan pada struktur logis yang didapati adalah kedudukan predikat “met a man” dengan “met Jones” tidaklah berada pada kelas yang sama, dimana proposisi “I met Jones” merujuk pada actual person bernama Jones, sedangkan proposisi lainnya yaitu “I met a man” adalah termasuk propositional function yang jika dieksplisitkan menjadi “I met X and X is a human” yang mana benar pada saat tertentu.2
1 J. J. Lindberg. (2001). Analytical Philosophy. California: Mayfield Publishing Company. Hal. 76
Russell juga menyebutkan adanya “the concept that enters into propotition” dimana yang dimaksudkan adalah adanya konsep-konsep yang tidak memiliki “constituent” atau mudahnya hanya berupa konsep semata seperti “a unicorn” yang hanya berada pada pikiran kita sebagai konsep tanpa ada pada realita yang sesungguhnya. Dengan ini, Russell dengan ini membedakan antara “real object” dan “unreal object” dimana real objek, secara objektif ada di luar sana kendati tidak ada orang yang memikirkannya, sebaliknya, “unreal object” yang kendati dapat secara objektif berada di pikiran orang-orang, namun akan sirna tanpa ada yang memikirkannya.3
Pada tataran logis, proposisi “I met a unicorn” mengandung term “a unicorn” adalah deskripsi indefinite yang tidak menjelaskan apapun. Tetapi, jika a unicorn diubah dalam bentuk formal menjadi X dan dimasukkan dari proposisi “X is unreal”, tetap memiliki signifikansi dan kadang benar.4
Selanjutnya, Russel menjelaskan hubungan proposisi yang equivalen tetapi tidak sama. Contoh yang diambil adalah equivalensi antara proposisi “Socrates is a man” dan “Socrates is human”. Pada proposisi pertama, “a man” adalah suatu ekspresi indentitas terhadap subjek Socrates. Pada proposisi kedua, “human” adalah adalah sebuah predikat yang mengatribusi subjek Socrates, atau dengan kata lain, hubungannya dengan subjek adalah S-P dimana predikat menerangkan/mendeskripsikan subjek. Pada proposisi “Socrates is a man” kita telah singgung bahwa term “a man” di sini adalah ekspresi identitas yang secara ambigu teratribusi pada “Socrates” (sebagai suatu yang dijelaskannya). Relasi yang akan terjadi adalah Socrates ≠ a man dalam arti, “a man” mempunyai cakupan yang general dan luas, tetapi di samping itu juga ambigu karena tetap bisa mengatribusi ke dalam subjek, kendati subjeknya diganti. Hal ini berarti “a man” tersebut adalah indefinite man yang tidak ada bentuk partikularnya.5
Pada proposisi “Socrates is human” kita tahu bahwa proposisi semacam itu mengandung definite description yang mana human sebagai definite description mengatribusi atau menjelaskan Socrates yang merupakan sebuah nama. Pada contoh lain dalam proposisi “Scott is the author of Waverley” terlihat jelas antara “Scott” sebagai nama, yaitu a simple symbol whose meaning is something that can only occur as subject dan “the author of Waverley” sebagai definite description yang bukan simple symbol karena merupakan frasa yang tersusun dari kata-kata yang
merupakan simbol.6 Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika subjek atau nama yang
dideskripsikan dalam proposisi diganti dengan sesuatu yang lain. Hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan makna dari proposisi kendati subtitusi atas nama yang digunakan merujuk pada objek yang sama. Contohnya adalah ketika “air” sebagai subjek diganti dengan H2O, atau ketika “matahari” diganti dengan “bintang pusat tata surya” maka sebagian orang akan memahami keduanya sebagai hal yang berbeda. Hal ini terjelaskan dalam kutipan “a proposition containing a description is not identical with what that proposition becomes when a name is substituted, even if the name names the same object as the description it describe”7. Dari
teori deskripsi ini secara general Russell membahas mengenai bagaimana proposisi yang secara struktur gramatikal memiliki unsur subjek dan unsur predikat, ditelaah pada level struktur logikanya, yaitu bagaimana suatu predikat mengatribusi subjeknya. Hal ini diteruskan dan dikembangkan oleh Alfred Jules Ayer.
Ayer mempertanyakan mengenai tujuan dan metode penelitian filosofis. Bagi Ayer, penelitian filosofis seharusnya menunjang sains, atau dengan kata lain, penelitian filosofis akan pertanyaan yang tersisa dari jawaban yang telah disediakan sains, seharusnya menunjang penemuan sains di masa mendatang. Dengan ini, Ia mengritik metafisika yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang realitas bertransendensi dari dunia sains dan common sense atau dapat juga disebut dunia fenomena jika menggunakan diksi dari Kant. Ayer mempertanyakan bagaimana ahli metafisika mendapatkan deduksi atas klaimnya tentang pengetahuan yang bertransendensi atas dunia fenomena itu.8 Bagi Ayer, premis empirical tidak dapat menghasilkan hal-hal seperti properti atau
eksistensi dari yang sifatnya super-empirikal atau bisa dibilang what lies beyond the sensible seperti ungkapannya “Surely from empirical premises nothing whatsoever concerning the properties, or even the existence, of anything super-empirical can legitimately be inferred.”9
Menghasilkan deduksi atas super-empirical existence dari premis-premis empirikal merupakan sesuatu yang tidak terjustifikasi secara logis, namun demikian, bagi Ayer, kritik terhadap metafisika tidak cukup didasarkan pada hal tersebut.
Bagi Ayer, kritik terhadap metafisika lebih tepat ditujukan pada statement yang membentuknya. Dalam ungkapan “no statement which refers to a “reality” transcending the limits of all possible
sense-experience can possibly have any literal significance”10 terlihat bahwa bagi Ayer,
proposisi-proposisi metafisik adalah omong kosong yang tidak memiliki signifikansi literal, atau lebih tepatnya, signifikansi literal secara kebahasaan. Dalam menanggapi hal ini, bagi Ayer terdapat kriteria tertentu yang digunakan untuk membedakan mana proposisi yang bermakna dan tidak bermakna, yaitu proposisi yang mengekspresikan/mengandung fakta (yang berbasis empiris) dan mana yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi bermakna. Kriteria ini dinamai Ayer sebagai the criterion of verifiability. Dalam kriteria ini, yang dimaksud Ayer adalah proposisi dapat dikatakan veriviable jika kita dapat mengetahui bagaimana melakukan observasi untuk mengujinya sehingga pertanyaan-pertanyaan dibaliknya dapat terjawab, atau dengan kata lain, proposisi yang diajukan dapat diuji.
Ayer sendiri membedakan antara verifiabilitas praktikal dengan verifiabilitas prinsipil. Dengan dikotomi ini, maka proposisi yang memenuhi syarat verifiabilitas pun dibedakan dua, yaitu proposisi yang memiliki “strong sense” yang termasuk kategori proposisi yang memiliki verifiabilitas praktikal (dan juga tentunya memenuhi prinsip verifiabilitas), yaitu proposisi yang kebenarannya bisa disimpulkan secara langsung lewat pengalaman. Kategori kedua yaitu proposisi yang hanya memenuhi prinsip-prinsip verifiabilitas pada level probabilitasnya untuk diuji, tetapi belum ada kemampuan untuk mengujinya, contohnya proposisi “bakteri steptococus berbentuk spiral” yang mana kita tahu bagaimana cara mengujinya yaitu dengan melihatnya melalui alat bantu yang dapat mengamati benda mikro seperti mikroskop, tetapi jika kita tak memiliki alatnya, proposisi itu tetap memenuhi kriteria verifiabilitas.11 Dengan demikian, kriteria
verifiabilitas sekaligus menjadi kriteria signifikansi proposisi.
Dengan prinsip tersebut, maka kita tahu bahwa proposisi-proposisi general seperti hukum alam yang tidak dapat disimpulkan kebenarannya dengan beberapa kali pengujian atau dengan kata lain memerlukan kasus yang tak terbatas untuk membuktikan kebenarannya, maka dari itu prinsip verifiabilitas ini menjadikan proposisi diluar proposisi tautologis sebagai probable hypothesis. Demikian hipotesis punya kemungkinan salah, tetapi bagi Ayer kendati hipotesis terbukti salah, tetapi tidak sepenuhnya salah karena proposisi tersebut berada di bawah situasi dan kondisi tertentu. Ayer menambahkan, pengindraan kita juga mungkin saja memiliki kesalahan ketika melakukan observasi tetapi itu juga tidak menunjukkan bahwa observasi
terhadap dunia yang dipersepsi indra mengarahkan kepada konklusi bahwa dunia ini tidak nyata.12 Bagi Ayer, adalah omong kosong untuk berkata bahwa realitas berbeda dari apa yang
nampak, hal ini karena kita selalu membuat premis-premis dari apa yang dapat dipersepsi indra secara empiris. Maka dari itu, bagi Ayer, filsafat harus membuang metafisika yang berupa omong kosong dan hanya menyisakan proposisi berupa hipotesa empirical yang mengandung konten faktual.13
Seperti yang telah disinggung, proposisi yang punya signifikansi literal atau bermakna hanya terdapat dua, yaitu proposisi tautologis yang sifatnya a priori, atau proposisi berupa probable hypostheses yang memenuhi syarat verifiabilitas yaitu dapat diobservasi pada dunia empiris. Kriteria-kriteria tersebut tidak dimiliki proposisi metafisik, demikian proposisi metafisik tidak termasuk proposisi bermakna. Ayer juga menunjukkan dimana letak kesalahan pada pembangunan proposisi metafisis dimana para ahli metafisika melakukan kesalahan dengan menyamakan proposisi eksistensial seperti “martyrs exist” dengan proposisi atributif seperti “martyrs suffer” yang secara gramatikal terlihat sama.14 Nyatanya, kedua proposisi tersebut tidak
sama karena “exist” di sana bukanlah atribut seperti “suffer” karena jika keduanya disamakan, artinya pemberian atribut sama dengan pemberian eksistensi. Demikian, bagi Ayer terdapat proposisi yang secara khusus eksis pada realitas non-empirikal seperti “unicorn is fictitious”. Demikian, maka mudah saja membuat proposisi tak bermakna yang terlihat bermakna seperti metafisika yang sudah selayaknya dibuang. Namun, Ayer tetap mengakui proposisi lain seperti proposisi sastra yang disebutnya sebagai proposisi yang berhubungan dengan the work of art selain proposisi yang berurusan dengan kebenaran.15 Dengan kata lain pengelompokan yang
dilakukan Ayer terhadap proposisi sedikit berbeda dengan Russell, bagi Ayer, suatu proposisi dengan subjek yang tidak eksis di dunia nyata atau tidak memenuhi kriteria verifiabilitas, tetap dapat bermakna sebagai karya seni atau hal lain yang memiliki emotional significance.
Pembahasan
Dalam kasus atribusi dan eksistensi pada proposisi, secara kategoris membagi proposisi menjadi dua, yaitu yang pertama adalah proposisi dapat diterima secara logis ketika subjek pada proposisi dapat terverifikasi, baik yang independen, maupun dependen terhadap mind manusia. Proposisi jenis kedua adalah yang tidak dapat diterima secara logis karena subjeknya tidak eksis atau dalam taraf ini tidak bisa diverifikasi atau dengan kata lain, proposisi tersebut gagal sebagai proposisi dan menjadi non-sense. Dengan begini, secara implisit menyatakan suatu proposisi yang tidak terverifikasi kendati dia dapat terbayangkan, maka tetap tidak logis. Dengan demikian, bagi Russell, suatu proposisi adalah nonsense ketika subjek tidak eksis dan sekaligus membatalkan atribusi dari predikat yang mengikuti subjek tersebut. Hal ini seperti mengatakan bahwa proposisi seperti “hantu itu seram” seolah omong kosong yang tidak memiliki signifikansi apapun.
Meminjam pemikiran Ayer, anggapan bahwa proposisi dengan subjek yang tidak eksis (unverifiable) adalah omong kosong tanpa signifikansi dapat ditolak. Bagi Ayer, problem atribusi predikat terhadap subjek yang dianggap oleh Russell bahwa subjek yang diatribusi oleh predikat hanyalah subjek yang eksis seharusnya tidak demikian. Ayer, seperti yang telah dijabarkan secara teoretis, membedakan antara atribusi dan eksistensi.
Dengan meminjam pemikiran Ayer, proposisi “hantu itu seram” tidak sekaligus menyatakan “hantu itu ada”. Maka dari itu, jika dijabarkan secara eksplisit tidaklah menjadi “hantu itu ada dan seram”. Keduanya dibedakan karena yang pertama, yaitu “hantu itu seram, hanya menyatakan “seram” sebagai predikat yang merupakan atribut dari subjek, yaitu “hantu” sedangkan proposisi kedua adalah pernyataan eksistensi dari hantu kendati secara gramatikal, “hantu” dan “ada” menempati posisi yang sama, yaitu sebagai predikat.
Dengan demikian didapati bahwa proposisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proposisi yang menyatakan atribusi predikat serta eksistensi subjek dan proposisi yang hanya menyatakan atribusi semata. Dengan ini maka secara kategoris keduanya berbeda, namun secara gramatikal keduanya memiliki struktur yang sama, yaitu subjek [S] + predikat [P]. Demikian, perbedaan kategoris ini hanya berlaku pada struktur logis proposisi.
yang termasuk kelompok dimana subjek eksis sehingga predikat mengatribusi sekaligus menyatakan eksistensi dari subjeknya, maka proposisi tersebut termasuk kategori proposisi yang memenuhi kriteria verifiabilitas, atau dalam terminasi Ayer disebut sebagai proposisi yang memiliki literal significance yang mana dengan kriteria ini, proposisi ditujukan sebagai seeking for truth. Sebaliknya, kategori lainnya berisi proposisi dimana predikat hanya menyatakan atribut atau dengan kata lain, hanya mengatribusi subjek tanpa pernyataan eksistensi. Proposisi jenis ini tentu tidak masuk kategori proposisi yang memenuhi kriteria verifiabilitas (unverifiable) sehingga proposisi pada kategori ini tidak memiliki literal significance, namun demikian bukan berarti tidak bernilai sama sekali. Bagi Ayer, proposisi jenis ini memiliki signifikansi lain yaitu signifikansi emosional. Hal ini sekaligus kritik terhadap Russell yang menyatakan bahwa subjek yang bereksistensi atau dengan kata lain punya kapasitas untuk terverifikasi, dapat berupa subjek yang eksistensinya berasal dari buah pikiran seperti tokoh di suatu novel hanya karena dia dipikirkan orang-orang.
Kesimpulan
Dengan penjabaran di atas, maka didapati bahwa terdapat problem dalam struktur logis proposisi kendati memiliki struktur gramatikal yang sama. Secara spesifik, problem tersebut terletak pada permasalahan atribusi predikat terhadap subjek. Pada logika konvensional seperti yang diusung Russell, proposisi dimana subjek tidak eksis membuat predikat gagal mengatribusi subjek dan sekaligus menjadikan proposisi tersebut tidak bermakna. Hal yang demikian diangkat oleh Ayer dimana pada gagasannya, proposisi tetap dapat bermakna kendati subjek tidak eksis (non-verifiable) sehingga predikat dalam mengatribusi subjek tidak dapat menyatakan eksistensi subjek, tetapi proposisinya tetap bermakna. Beranjak dari hal tersebut, secara kategoris, proposisi dibedakan menjadi dua, yaitu proposisi yang memiliki signifikansi literal, dan proposisi yang memiliki signifikansi emosional. Kategori pertama merujuk pada proposisi-proposisi yang memenuhi kriteria verifiabilitas, sedangkan kategori kedua adalah proposisi yang tidak memenuhi kriteria verifiabilitas. Demikian maka, kendati suatu proposisi tidak memenuhi kriteria verifiabilitas, bukan berarti ia tidak memiliki makna, melainkan hanya tidak bersignifikansi secara literal, tetapi lebih kepada makna yang memiliki signifikansi secara emosional. Hal ini sekaligus sebagai bantahan bahwa proposisi yang gagal secara logis –dalam arti tidak memenuhi kriteria untuk menjadi proposisi dengan signifikansi literal –adalah proposisi yang tidak bermakna.
Daftar Pustaka