• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena

peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa. Pengertian anak itu sendiri jika

ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda

tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi

batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.1 Menurut hukum positif anak

diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang

yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau

biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige

under voordij).2

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Batasan umur

dewasa adalah apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan

tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku

hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata

belum dewasa. Anak yang telah berumur 17 tahun dan telah kawin maka tidak lagi

termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur

menurut Pasal 294 dan 295 KUHP adalah yang belum mencapai umur 21 tahun dan

1 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 50 2

(2)

belum kawin sebelumnya atau sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia

tidak kembali menjadi kedalam kategori belum cukup umur.

Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek

yuridis adalah sah keberadaannya. Narkotika sangat diperlukan dalam dunia

kesehatan untuk pengobatan dan studi ilmiah terhadap jenis-jenis penyakit tertentu.

Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh

undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran

empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan

pengobatan dan ilmu pengetahuan. Narkotika pada saat ini dijadikan ajang bisnis

yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada

rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda.3

Menyangkut penyalahgunaan narkoba, sindroma ketergantungan si pemakai

narkoba disebabkan karena beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor predeposisi

a. Dikarenakan gangguan (faktor intern) dari dalam diri pribadi si pelaku.

b. Karena kecemasan (faktor intern) yang ada dalam perasaan si pemakai

tersebut semisal beban hidup yang begitu berat sehingga si pemakai ingin lari dari kenyataan.

c. Karena depresi (faktor intern) atau tekanan batin yang mengakibatkan

turunnya gairah hidup si pelaku.

2. Faktor kontribusi

a. Dikarenakan hubungan interpersonal (intern/extern) yakni dengan adanya

interaksi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari yang bila hubungan tersebut membawa ke arah yang kurang baik, maka terjerumuslah orang tersebut.

b. Karena kebutuhan keluarga (faktor intern) yang apabila keutuhan keluarga

tersebut terganggu atau kurang harmonis.

3 Materi Advokasi, Pencegahan Narkoba (Handbook Narkotika Nasional), (Jakarta: Badan

(3)

c. Karena kesibukan keluarga (faktor intern) dapat mengakibatkan kurangnya perhatian dan pengawasan terhadap anak remaja mereka.

3. Faktor pencetus

a. Pengaruh teman (faktor extern atau lingkungan atau dari luar) yang telah

lebih dahulu sebagai pemakai, yang dapat membawa akibat negatif

b. Kelompok pemakai (faktor extern) yang dapat mempengaruhi remaja,

sehingga meniru apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, semisal idola dari remaja tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang dapat diakses melalui tayangan televisi, internet, dan lain sebagainya tanpa melalui sensor.

Ketiga faktor di atas termasuk factor demand yang akan menjadi suatu

perbuatan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika bila dibarengi dengan factor

supply.4 Menurut Ida Listyarini Handoyo bahwa pada umumnya para pengguna

narkoba pada awalnya hanya iseng, ingin mencoba dan sebagainya. Akan tetapi sifat

senyawa narkoba yang dapat mengakibatkan ketagihan membuat si pengguna tidak

lepas dari jerat narkoba.5

Hadiman menyatakan bahwa salah satu alasan meningkatnya penyalahgunaan

narkoba di kalangan anak-anak adalah kurangnya pendidikan dasar tentang narkoba

baik di kalangan orangtua dan anak-anak. Terutama banyak orangtua yang tidak

menyadari pengaruh narkoba yang ada di masyarakat dan bahaya yang dihadapi

anak-anak setiap harinya.6

Kalangan anak muda mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkoba,

terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami

4 Gatot Supramono, Hukum Na rkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 2-4 5

Ida Listryarini Handoyo, Narkoba Perlukah Mengenalnya, (Yogyakarta: Pakar Raya, 2004), hlm. 22

6 Hadiman, Pengawasan Serta Peran Aktif Orangtua Dan Aparat Dalam Penanggulangan

(4)

perubahan dengan cepat di segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan,

kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena dalam

dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung menimbulkan

perilaku yang nakal.7

Seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal

yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya

membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses

penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal

dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak

jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh

kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam

melakukan tindak kejahatan.8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana tentunya akan mendapatkan

sanksi pidana yang berupa hukuman, hal ini dapat berupa pidana mati, penjara,

kurungan, atau denda. Pemberian hukuman sangat erat kaitanya dengan

pertanggungjawaban pidana dimana orang yang dihukum harus mampu

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana harus sesuai

dengan asas hukum pidana tentang pertanggungjawaban pidana yang berbunyi tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld actus non facit reum nisi

7 Gatot Supramono, Loc. Cit.

8 M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif

(5)

mens sist rea).9 Hal-hal yang meringankan pemidanaan, terbagi juga menjadi tiga,

yaitu, percobaan (poeging), pembantuan (medeplictige), dan belum cukup umur

(minderjarig). Dengan pemahaman demikian, memang terhadap anak yang

melakukan kenakalan, Undang-Undang Tentang Peradilan Anak mengatur bahwa

bagi anak yang diancam pidana penjara, kurungan, dan denda, maka ancamannya

menjadi dikurangi ½ dari ancaman pidana pokok yang diperuntukkan pada orang

dewasa.10

Pidana penjara tidak berarti adalah sanksi yang paling tepat bagi anak. Bagi

anak seharusnya kebijakan untuk melihat permasalahan justru lebih dipentingkan,

apalagi apabila dilihat dari sudut ilmu kriminologi, bahwa anak-anak yang melakukan

kenakalan lebih dilatarbelakangi oleh pengaruh dari lingkungan. Teori yang paling

dekat adalah teori differential association11, yang pada intinya bahwa perilaku

kenakalan anak itu dilator belakangi oleh faktor belajar, selain itu juga teori motivasi

dari Romli Atmasasmita, yang artinya, lingkungan yang sehat dan kondusif untuk

perkembangan fisik, sosial dan mental anak harus diperhatikan sejak dini.

Masalah penyalahgunaan narkotika maupun psikotropika, baik dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika maupun Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, hanya menerapkan sanksi bagi pelaku

tindak pidana berdasarkan golongan narkotika dan psikotropika yang disalahgunakan.

Bagi sebagian orang, menjatuhkan pidana terhadap anak dianggap tidak bijak, akan

9 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Reneka Cipta, 2009), hlm. 165 10 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak 11

(6)

tetapi ada sebagian yang beranggapan bahwa pemidanaan terhadap anak adalah tetap

penting dilakukan, agar sikap buruk tidak terus menjadi permanen sampai ia dewasa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap tindak

pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak adalah dengan

menjatuhkan pidana atau tindakan kepada anak yang bersangkutan. Pertimbangan

hakim sangat berperan dalam memberikan putusan terhadap pelaku anak dalam

tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Hakim dalam putusannya haruslah tetap

berdasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian putusan tersebut merupakan

putusan yang terbaik bagi kepentingan si anak itu sendiri, dan untuk putusan hakim

yang berupa pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak, dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa:12

(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:

a. Pidana peringatan

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.

Sedangkan untuk putusan hakim yang berupa suatu tindakan bagi anak

disebutkan:13

12 Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 13

(7)

(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi:

a. Pengembalian kepada orang tua atau wali

b. Penyerahan kepada seseorang

c. Perawatan di rumah sakit jiwa

d. Perawatan di LKPS

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan

oleh pemerintah atau badan swasta

f. Pencabutan surat izin mengemudi, dan/atau

g. Perbaikan akibat tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak memberikan pengecualian

terhadap pelaku anak, namun terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim mengenai

hukuman apa yang dikenakan dan berat hukuman yang dijatuhkan haruslah

mempertimbangkan dari keadaan sosial mengenai fakta-fakta dari pelaku anak

tersebut. Hakim sebelum menjatuhkan putusan terhadap anak yang melakukan tindak

pidana, ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim. putusan

hakim akan mempengaruhi kehidupan si anak tersebut pada masa selanjutnya, oleh

karena itu hakim harus yakin benar bahwa putusan yang akan diambil adalah yang

paling tepat dan juga adil.14

Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar

kelak dapat berpartisipai secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Anak

berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah

dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang

dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan

wajar. Hal tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak

14 Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983),

(8)

bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai

kesejahteraan anak.15

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak

ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan

kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan

hukum yang berakibat hukum.16 Menyangkut anak yang melakukan kenakalan (anak

nakal), pada hakekatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana yang berarti

melingkupi pengertian anak nakal. Menurut Maulana Hasan Wadong pengertian anak

nakal meliputi dimensi pengertian sebagai berikut:17

a. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana.

b. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak

yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak.

c. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental

spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri.

d. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan.

e. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

menentukan bahwa:18

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.

15 Pasal 2 Ayat (3), (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak

16 Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 23 17 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:

Grasindo, Jakarta, 2000), hlm. 22

18

(9)

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan

hak-hak anak.

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini.

c. Penyedian sarana dan prasarana khusus.

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi

anak.

e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan hukum.

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang

tua atau keluarga.

g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga.

b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa

dan untuk menghindari labelisasi.

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi dan korban dan saksi ahli,

baik fisik, mental maupun sosial.

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.

Pasal ini menyebutkan bahwa seorang anak yang menjadi korban tindak

pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik secara fisik maupun secara

mental, spiritual dan sosial, selain itu privasinya wajib untuk dilindungi, nama

baiknya dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga sebagai saksi korban menjadi

tanggung jawab pemerintah, dan anak yang jadi korban tersebut berhak untuk

senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang dihadapinya.

Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa rehabilitasi seharusnya

diberikan kepada semua korban tindak pidana yang memerlukan pemulihan baik

(10)

merata kepada semua korban tanpa adanya diskriminasi, dalam hal ini

lembaga-lembaga perlindungan anak harus bersikap lebih aktif dalam memberikan bantuan

berupa rehabilitasi korban sesuai amanat dari undang-undang.

Suatu bagian penting dari hukum pidana yang tampaknya masih kurang

mendapat perhatian adalah bagian mengenai pemidanaan (sentencing atau

straftoemeting). Padahal segala pengaturan mengenai hukum pidana ini pada

akhirnya akan berpuncak kepada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan

seseorang, harta bendanya, bahkan jiwanya. Hakim dalam menjatuhkan putusan

pidana, bebas menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, akan

tetapi kebebasan ini dalam menentukan pidana harus dipahami benar makna

kejahatan, penjahat (pembuat kejahatan), dan pidana.19

Penyalahgunaan narkotika merupakan persoalan yang cukup kompleks mulai

dari proses hukum hingga proses pemulihan korbannya. Persoalan hukum karena

terkait dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di satu

sisi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut merupakan tindak pidana dan di

sisi lain korban ketergantungan terhadap narkotika wajib menjalani pengobatan dan

perawatan (rehabilitasi). Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses

pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani

rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi

terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang

19 Eddy Djunaedi Kamasudirdja, Bebarapa Pedoman Pemidanaan Dan Pengamatan

(11)

mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi

melakukan penyalahgunaan narkotika. Seharusnya sesuai dengan apa yang

diamanatkan undang-undang bahwa anak pecandu narkotika dan korban

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Perbedaan pandangan hakim dalam memberikan pertimbangan bagi anak

pelaku tindak pidana narkoba juga menjadi dasar diberikan atau tidak diberikannya

rehabilitasi kepada anak pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia. Hal ini dapat

dilihat lebih banyaknya putusan-putusan hakim yang lebih condong memberikan

hukuman penjara dibandingkan memberikan rehabilitasi bagi anak pelaku tindak

pidana narkotika. Kenyataan ini sangat disayangkan mengingat anak yang masih

dalam masa pertumbuhan dan perlu perhatian dari semua pihak, lebih condong di

berikan hukuman fisik dari pada memulihkan jiwa anak dari kecanduan dan

ketergantungan narkotika tersebut.

Pada dasarnya pemberian rehabilitasi merupakan jalan untuk menyelamatkan

jiwa generasi penerus bangsa dari ketergantungan narkoba, sebab pidana penjara bagi

anak bukan satu-satunya cara untuk mebuat efek jera bagi anak pelaku tindak pidana

narkoba. Rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika ini harusnya lebih

didukung oleh semua kalangan, mengingat narkotika adalah musuh bersama dan

harus diberantas secara bersama oleh semua pihak, dan bagi anak yang sudah menjadi

korban, sudah selayaknyalah diberikan rehabilitasi agar anak tersebut dapat

terpulihkan kondisi fisik dan jiwanya hingga dapat melanjutkan cita-cita penerus

(12)

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut diatas, maka penelitian ini

diberi judul “Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan).”

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang

akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor yang

terkait didalamnya. Pada penelitian ini adapun yang menjadi permasalahan adalah

sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi landasan hukum atas pemberian rehabilitasi terhadap anak

pelaku tindak pidana narkotika?

2. Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan rehabilitasi

terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam Penetapan Nomor

111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817 K/Pid.Sus/2011, dan

Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst?

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah

yang bermanfaat bagi semua kalangan baik civitas akademika, pemerintah,

masyarakat maupun para pihak yang terlibat langsung dalam setiap pemberian

rehabilitasi kepada anak pelaku tindak pidana narkoba. Selain itu tujuan penelitian ini

(13)

tentang perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika. Sesuai

permasalahan yang diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai landasan hukum atas pemberian

rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai pertimbangan hakim dalam

memberikan rehabilitasi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika dalam

Penetapan Nomor 111/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Sby, Putusan Nomor 1817

K/Pid.Sus/2011, dan Putusan Nomor 988/Pid.B/2011/PN.Jkt.Pst.

D. Manfaat Penelitian

Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritas

kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para

praktisi hukum.

1. Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat

menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan displin

ilmu hukum khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi anak yang

melakukan tindak pidana narkoba.

2. Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya

diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang

diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru

serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.20 Secara praktis diharapkan juga

20

(14)

agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak

yang berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan

perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak

anak yang tersangkut kasus pidana, mengingat faktor pengawasan internal dan

eksternal sangat dibutuhkan dalam mengawasi perkembangan anak.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul “Pemberian Rehabilitasi Terhadap Anak Pelaku

Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Tiga Putusan Pengadilan)” adalah hasil

pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang

membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini

dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian

keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan

fakultas hukum universitas sumatera utara khususnya dilingkungan magister

kenotariatan dan magister ilmu hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada

beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara

lain:

1. Nama : Anjan Pramuka Putra

Nim : 067005063

Judul : Analisis Yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku

(15)

2. Nama : Elizabeth Siahaan

Judul : Tinjauan Kriminologis terhadap Penyalahgunaan Narkoba Yang

Dilakukan Oleh Anak

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.21 Teori berguna untuk

menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi

dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat

menunjukkan ketidakbenarannya.

Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa keberlanjutan perkembangan

ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi

21

(16)

sosial sangat ditentukan oleh teori.22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang

diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka

kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha

untuk memahami mengenai konsep rehabilitasi yang diterapkan bagi anak pelaku

tindak pidana narkoba, dimana konsep rehabilitasi diharapkan dapat memberikan

perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana narkoba.

Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori treatment dan sosial

defence. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan

berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan

ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributive, deterrence, treatment, sosial

defence. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment dan sosial

defence.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan

secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai

dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk

memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada

pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah

orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan

perbaikan (rehabilitation).

22

(17)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku

kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini

adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)

kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan

adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan

perbaikan (rehabilitation).23 Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek

yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus

dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi

oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.

Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti

pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari

dalam kriminologi.24

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang

dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model

yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang

potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu

perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L.

Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan

23 C. Ray Jeffery Dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal

Policy Dan Non Penal Policy Dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 79

24

(18)

sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya.

Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih

baik.25

Setelah lahirnya teori treatment, maka lahirlah teori sosial defence.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga menganut teori sosial defence sebab

merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu

narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan

narkotika. Teori Sosial defence berkembang setelah Perang Dunia Ke II. Tokoh

terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi

yaitu konsepsi radikal (ekstrim), dan konsepsi yang moderat (reformist).26

Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica.

Menurut Gramatica, hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana

yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah

mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap

perbuatannya. Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc

Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat

peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan

bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya,

oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang

25 Herbert L. Packer, The Limits Of The Criminal Sanction, (California: Stanford University

Press, 1968), hlm. 54

26 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana , (Bandung: Alumni,

(19)

tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat

diantaranya:

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi

perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat

mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan

fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan

reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.27

Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penulisan tesis ini. Menurut

Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur

dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah

yang disebut hak.

Tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak,

melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada

seseorang.28 Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak

sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

27 Marc Ancel, Sosial Defence, Modern Approach To The Criminal Problem, (London:

Roatledge & Paul Keagen, 1965), hlm. 35

28 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000),

(20)

manusia.29Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah

yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban

dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.30

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.

Perlindungan hukum preventif yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada

rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum

suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk

mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan

dalam melakukan suatu kewajiban, sedangkan perlindungan hukum represif

merupakan perlindungan akhir berupa sanksi pidana. Penyelesaian sengketa melalui

peradilan seharusnya merupakan jalan terakhir (ultimum remedium).31 Fungsi teori

perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini adalah untuk melindungi hak-hak dari

anak pelaku tindak pidana narkoba mengingat anak masih dalam usia pengawasan

29

Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3

30 Muchsin, Perlindungan Dan Kepastia n Hukum Bagi Investor Di Indonesia , Tesis, Magister

Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14

31

(21)

dan pembelajaran dari orang tua kandungnya segingga diperlukan konsep rehabilitasi

untuk melindungi anak pelaku tindak pidana narkoba.

Teori dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori kepastian hukum.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif,

bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas,

dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian

menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma.

Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk

kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini dapat

dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih

melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum

harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan

multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga

menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak

diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.

Pada konsep ajaran prirotas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum

atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur

(22)

mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran

masyarakat.32

Keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni

kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas

menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang

mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di

mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.33

Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada

prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the

persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang

mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas.

Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada

putusan-putusan terdahulu.34 Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum

(rechszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain,

yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas

tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak

terjadi main hakim sendiri (eigenrichting).

Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah

untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan

(23)

perdamaian.35 Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan

kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:36

a. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan

putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

c. Peraturan tersebut tidak berlaku surut.

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan melindungi

hak-hak anak dari tuntutan hukum atas tindak pidana narkoba yang dilakukannya,

mengingat perlunya kepastian hukum atas sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan

kepada anak pelaku tindak pidana narkoba.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.37 Maka

dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang

akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:

35 Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),

hlm. 22

36 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294 37

(24)

a. Pemberian adalah upaya untuk memberikan sesuatu kepada seseorang dengan

maksud memberikan suatu manfaat kepada orang lain atas suatu pemberian

tersebut.

b. Rehabilitasi, menurut Pasal 1 angka 23 KUHAP adalah hak seseorang untuk

mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta

martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau pengadilan

karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi

adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar,

dilihat, atau dialaminya sendiri.

d. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban

adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh

tindak pidana.

e. Narkoba adalah adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya

(napza). Semua istilah ini, baik narkoba ataupun napza, mengacu pada kelompok

senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut

(25)

biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan

untuk penyakit tertentu. Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian

di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.

f. Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara

anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan

tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,

jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam

proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan

konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara

tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.38

Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis

penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.

Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang

mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang

ada.39

38 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

hlm. 42

39 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm.

(26)

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan

untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan

penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif

adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan

kewajiban).

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif

analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan

fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan

manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha

mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan

yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau

efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian

dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.40

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang

akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis

penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan

undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi

40

(27)

dan regulasi.41 Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan

antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam

praktek.

3. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data

sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang

bertujuan untuk mendapatkan konsep, teori dan informasi serta pemikiran

konseptual.42 Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan

oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab

Undang Hukum Pidana, Kitab Undang Hukum Acara Pidana,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotrofika, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang

relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya

tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang

41 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 93

42 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:

(28)

diteliti. Selain data sekunder penelitian ini juga di dukung oleh data primer

berupa penelitian lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan di bahas

dalam penelitian ini nantinya.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep

dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk

memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang

berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada

relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut

kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi

dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari

konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian.43

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat

dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian

43 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan

(29)

konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam

kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.44 Data yang

telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan prinsip pemberian rehabilitasi bagi anak pelaku tindak pidana narkotika.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya

melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk

menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan

teori sebagai pisau analisis.

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan

menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,

menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang

terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang

dirumuskan.45

44 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

hlm. 225

45

Referensi

Dokumen terkait

[r]

In this paper, the study is limited to Mode I fracture mode (opening mode) and consists of two targets; the first is to find out the typical finite element mesh arrangement

menanggulangi keberadaan imigran yang tidak relevan dengan kebijakan yang ada, maka akan dilakukan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku, seperti misalnya diberikan

The combined response due to the three modes from UMRHA, and the exact response from NLTHA for the pier’s top displacement of pier 7 are shown in Figure 9.. All peak values

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut (1) Guru dapat

ada beberapa masalah yang akan dipecahkan, yaitu bagaimana MTs Parmiyatu wassa’adah dapat memanfaatkan aplikasi web sebagi suatu sarana untuk menyajikan dan mengirimkan

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

Variable dalam penelitian ini adalah Strategi Coping stres adalah suatu cara individu mencoba dua yaitu Problem focused coping (coping yang berpusat pada