BANK SYARIAH NEGARA DAN MASLAHAT
UMMAT
Lucky Nugroho S.E, M.M, M.Ak, M.C.M* dan Tengku Chandra, S.E, M.E* (*Praktisi Perbankan Syariah dan Doctor Candidate pada IEF Trisakti University)
Jumlah penduduk Indonesia yang menempati peringkat terbesar ke-4 di Dunia dengan
jumlah sebesar 253,60 juta jiwa dan didukung dengan mayoritas penduduknya kalangan kelas
menengah, menjadikan Indonesia sebagai negara emerging market. Emerging market adalah
istilah bagi negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, negara-negara tesebut pada
umumnya berada di belahan timur dunia yang berkarakteristik memiliki jumlah populasi yang
tinggi seperti: Brasil, Rusia, India, Cina dan Indonesia. Selanjutnya, Indonesia merupakan negara
yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sehingga sudah sepantasnya Indonesia
dapat dijadikan contoh bagi keuangan syariah dunia. Pertumbuhan populasi pemeluk Islam di
Indonesia sudah selayaknya direspons secara positif, yang salah satunya dengan meningkatkan
keunggulan diri dibidang ekonomi, sebab dengan meningkatnya populasi umat muslim, berarti
terjadi peningkatan permintaan seperti untuk kebutuhan pokok, yaitu makanan halal, busana
muslim, pendidikan syariah dan sebagainya.
Untuk menjadikan Indonesia sebagai financial hub bagi keuangan syariah baik di pasar
domestik, ASEAN maupun Global, tentunya diperlukan suatu sistem keuangan syariah yang
baik. Salah satu komponen sistem keuangan syariah adalah perbankan, dalam konteks ini
perbankan syariah. Perbankan syariah sebagai lembaga intermediary memiliki peran yang vital
bagi terwujudnya kemaslahatan ummat atau kesejahteraan penduduknya. Selain itu, peran
pemerintah/intervensi pemerintah sebagai lokomotif yang mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara harus terlibat aktif untuk mewujudkan sistem ekonomi syariah yang berkeadilan bagi
segenap lapisan masyarakat.
Perkembangan Bank syariah di dunia
Perkembangan perbankan syariah pada setiap negara di belahan dunia berbeda antara satu
negara dengan negara lainnya. Secara garis besar perkembangan perbankan syariah pada
Perbankan syariah di negara-negara Timur Tengah, tumbuh karena adanya booming petrodollars pada tahun 1970-1980 , yang artinya negara-negara Timur Tengah tersebut
mendapat kekayaan atau dollars yang didapat dari penjualan minyak ke negara-negara Barat.
Perbankan syariah di Eropa berkembang, dan tumbuh dikarenakan adanya dampak dari pesatnya pertumbuhan industri perbankan syariah di Timur Tengah. Dimana pada saat itu
terdapat gejala investor Timur Tengah secara besar-besaran memulangkan dana petrodollars
dari perbankan konvensional di Eropa ke perbankan syariah di negeri mereka sendiri yang
nota bene adalah negara Timur Tengah, sehingga pemerintah Eropa, khususnya negara
Inggris mendukung langkah perbankan konvesional untuk mempertahankan investor dan
sebagai hub investor Timur Tengah dengan memberikan insentif dan kemudahan untuk
membuka layanan syariah di negaranya. Munculnya perbankan syariah di Eropa diawali
dengan berdirinya The Islamic Bank International of Denmark di Kota Copenhagen pada
tahun1982
Perkembangan perbankan syariah di Malaysia didorong oleh intervensi pemerintah melalui kebijakan politiknya. Intervensi tersebut mengakibatkan perbankan syariah di Malaysia
berkembang cepat (government driven). Perbankan syariah di Malaysia berkembang karena
memiliki keinginan menjadi hub atau pusat bagi dana-dana syariah internasional. Apabila
dibandingkan dengan perkembangan perbankan syariah di Timur Tengah, munculnya
perbankan syariah Malaysia lebih terlambat dibandingkan negara-negara Timur Tengah,
karena Malaysia bukan negara yang terkena dampak berkah petrodollars. Kebijakan dan
peraturan pemerintah Malaysia berupa insentif kelonggaran pajak, dan permudahan
perizinan, serta penempatan dana pemerintah di bank syariah menjadi daya tarik bagi para
investor untuk membuka perbankan syariah di Malaysia. Tonggak berdirinya perbankan
syariah adalah berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1984
Di Indonesia industri perkembangan perbankan syariah di gerakkan oleh masyarakat (society driven/market driven) ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada
tahun 1992 atas gagasan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Namun demikian pada saat itu BMI belum memberi warna atas
pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia karena assetnya yang relatif kecil. Industri
No.10 tahun 1998 tentang perbankan, sehingga di Indonesia terdapat dua bentuk perbankan
syariah, yaitu Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).
Kondisi Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Kondisi perkembangan ekonomi syariah 2 tahun belakangan ini mengalami penurunan,
hal tersebut dibandingkan dengan pertumbuhan ditahun 2012 yang mencapai angka 34.1%,
sedangkan pertumbuhan pada tahun 2013 hanya mencapai 24.2%, dan ditahun 2014 hanya
tumbuh 12,4%. Kondisi tersebut berdampak padamarket sharebank syariah di tahun 2014 yang
hanya mencapai 4,85%. Merujuk rencana pemerintah Indonesia yang memiliki ambisi
menjadikanmarket sharebank syariah menjadi di atas 5% pada tahun 2015, sepertinya agak sulit
untuk diraih dikarenakan dilihat dari analisa pertumbuhan historis bank syariah mengalami
penurunan yang cukup tajam di tahun 2013 dan 2014, sehingga diperlukan recovery, yang
tentunya membutuhkan waktu. Beberapa indikator fundamental dari perbankan syariah seperti
NPF, dan penyaluran pembiayaan juga mengalami tekanan, hal tersebut ditunjukkan dengan
naiknya NPF perbankan syariah selama 2 tahun terakhir, yaitu pada tahun 2014 menjadi 4,87%
yang sebelumnya ditahun 2013 NPF perbankan syariah 4,33%, dan posisi NPF 2012 sebesar
2,62%.
Eksistensi perbankan syariah di Indonesia bukanlah kepentingan dari segelintir golongan
saja, namun adalah milik ummat atau seluruh masyarakat Indonesia. Tujuan bank syariah adalah
menciptakan perkonomian yang memberikan maslahat bagi ummat. Keberadaan perbankan
syariah yang menjadikan MAGHRIB, Maysir (spekulasi), Gharar (ketidakjelasan transaksi/tidak
transparan), dan Riba (bunga bank) yang menjadikan perbankan syariah sebagai benteng
terjadinya krisis moneter, dan perbankan syariah turut berperan dalam mengentaskan
kemiskinan, karena Islam juga mewajibkan ummatnya untuk mengeluarkan zakat dari harta yang
diperolehnya. Sebagai tambahan, dengan menerapkan sistem keuangan syariah, maka persoalan
naik turunnya mata uang, dan kesenjangan ekonomi masyarakat dapat diantisipasi. Selanjutnya
eksitensi kinerja perbankan syariah yang baik juga tidak terlepas dari tata kelola perusahaan yang
baik, serta bebas fraud, karena sebaik apapun sistemnya apabila terjadi miss management, dan
frauddari pengelola, maka organisasi tersebut akancollapsejuga.
Indonesia sebagai negara muslim terbesar didunia sudah selayaknya menjadi pelopor dan
kiblat keuangan syariah di dunia. Hal ini didasarkan oleh potensi yang dimiliki Indonesia untuk
1) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah,
2) Prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
(kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang dengan oleh fundamental ekonomi yang solid,
3) Peningkatan sovereign credit rating sehingga Indonesia menjadi investment grade yang
menarik para investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri
keuangan syariah, dan
4) Memiliki sumber daya alam yang melimpah dan dapat dijadikanunderlyingtransaksi industri
keuangan syariah.
5) Besarnya porsi kelas menengah Indonesia, yang menurut Boston Consulting Group (BCG)
pada 2020 golongan menengah ini akan bertambah dua kali lipat menjadi lebih 141 juta
orang. Jumlah kelas menengah tersebut merefleksikan bahwa 56,6% penduduk Indonesia
merupakan kalangan kelas menengah yang memiliki purchasing buying yang relatif tinggi
dibandingkan negara-negara lain di ASEAN. Hal tersebut pula yang akan menjadikan
Indonesia sebagai pasar potensial ekonomi syariah internasional.
Implementasi Bank Syariah Negara dan Peran Pemerintah dalam perspektif Islam
Selama perjalanannya, perbankan syariah di Indonesia yang diawali dengan berdirinya
Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 sampai dengan saat ini, intervensi pemerintah masih
bersifat pasif, yaitu masih seputar pada penerbitan regulasi, dan edukasi perbankan yang
mendorong masyarakat untuk menabung di Bank syariah, seperti kebijakan terakhir yang
mewajibkan seluruh tabungan haji masyarakat berada di Bank syariah. Namun demikian dampak
intervensi pemerintah tersebut dirasakan masih sangat kecil dampaknya terhadap market share
bank syariah pada saat ini yang masih di bawah 5%. Berdasarkan teori Ibnu Khaldun,
komponen-komponen atau variabel-variabel yang saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya dalam penbangunan berkelanjutan dalam perspektif Islam adalah; Syariah
(S=Sharia), Masyarakat (N=Nation), pemerintah (G=Government), kesejahteraan (W=Wealth),
pembangunan (g=growth), dan keadilan (j=justice) menjadi satu kesatuan, sehingga formula
pembangunan yang berdasarkan perspektif Islam menjadi: G=f(S,N,W,g dan j).
Berdasarkan persamaan tersebut, maka (G) adalah sebagai variabel terikat karena
pemerintah/penguasa/pemimpin wajib menjamin kesejahteraan (W) bagi masyarakat (N) dengan
menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan (g), dan menciptakan keadilan (j)
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memiliki ultimate goal adalah kemaslahatan yang hakiki,
termasuk di dalamnya dalam bidang muamalah (bisnis). Tujuan utama ketentuan syariah
(maqhosid as-syariah) adalah menjaga dan menegakkan agar pilar-pilar yang dapat mewujudkan
kesejahteraan (maslahat) ummat yang hakiki. Pilar-pilar maqhasid syariah meliputi; menjaga
agama atau iman, menjaga kehidupan, menjaga akal, menjaga keturunan, menjaga harta, dan
menjaga lingkungan.
Implementasi peran pemerintah dalam maslahat ummat pada situasi dan kondisi bank
syariah saat ini adalah membentuk Bank Syariah Negara yang dapat dijadikan lokomotif
Indonesia untuk menjadi pusat peradaban Islam dan financial hub bagi keuangan syariah. Saat
ini masyarakat telah berperan aktif melalui organisasi, media, aktifitas bisnis, dll, yang
berkontribusi terhadap eksitensi perbankan syariah nasional (society driven). Namun demikian,
sesuai dengan teori Ibnu Khaldun tersebut di atas. tanpa adanya dukungan dan peran pemerintah
secara aktif untuk mewujudkan bank syariah negara (government driven), tentunya pertumbuhan
dan perkembangan syariah di Indonesia akan berjalan lambat dan tertinggal dengan negara lain
yang memiliki populasi muslim yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Pentingnya peran
pemerintah dalam kemaslahatan juga tertuang dalam QS An Nisa, 59: ”Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ”
Sehubungan dengan rencana merger beberapa bank umum syariah, dan unit usaha syariah
milik BUMN serta memperhatikan kompleksitas politik dan kepentingan siapa yang menjadi
leader dalam pembentukan bank syariah negara, seharusnya hal tersebut menjadi prioritas
terakhir, karena dalam maqashidu al-syari’ah (tujuan syariah) kemaslahatan ummat menjadi
prioritas utama, sehingga proses pembentukan Bank Syariah Negara harus mengacu pada prinsip
dan asas kemudahan (keinginan bersama untuk diwujudkan menjadi kenyataan) demi
kemaslahatan ummat. Hal tersebut selaras dengan QS Al Baqarah 185, yaitu Allah menginginkan
kemudahan dan tidak menginginkan kesukaran bagimu, dengan prinsip tersebut diharapkan seluruh pihak
terkait, baik pemenrintah, pelaku pasar, praktisi dan regulator dapat saling mendukung untuk terwujudnya
Akhir kata penulis berharap akan ada lahir Bank Syariah Negara yang bukan hanya besar
di domestik tapi dapat menjadi Financial Hub terutama bagi keuangan syariah di global, yaitu
dengan mengkonversi salah satu bank konvensional BUMN milik pemerintah. Dengan
momentum integrasi keuangan syariah menuju stabilitas keuangan dan pembangunan ekonomi