• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2_ _BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor : 54PID.BTPK2012 PN.JKT.PST, Putusan PT Jakarta Nomor : 11PIDTPK2013PT.DKI dan Putusan MA NOMOR : PID.SUS2013 Dikaitkan Tujuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2_ _BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Hakim dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor : 54PID.BTPK2012 PN.JKT.PST, Putusan PT Jakarta Nomor : 11PIDTPK2013PT.DKI dan Putusan MA NOMOR : PID.SUS2013 Dikaitkan Tujuan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya.1 Hukum pidana adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman).2

Berat ringannya hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang yang mempertanggungjawabkan perbuatannya itu tergantung dari penilaian masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan baik atau tidak sesuai dengan ukuran rasa keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan

1 L & J Firm, Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan

Dipenjara, Forum Sahabat, Jakarta, 2009, h. 1

2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, RajaGrafindo Perkasa, Yogyakarta, 2010, h. 2

(2)

dalam pidana yang menjadi tolak ukurnya adalah kepentingan masyarakat secara umum.3

Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan objek beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni hukum pidana (hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).4 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.5

Pada sidang pengadilan, sebelum hakim memulai pemeriksaan perkara, lebih dulu memahami secara mantap semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Atas landasan inilah ketua sidang mengarahkan jalannya pemeriksaan sehingga terhindar memeriksa hal-hal yang berada di luar jangkauan surat dakwaan. Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.6

3Ibid, h. 4

4Ibid, h. 25

5 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 2-3

(3)

Salah satu isu hukum yang tengah marak menjadi perbincangan di masyarakat adalah kasus korupsi, dalam benak masyarakat ada keinginan yang kuat untuk menghukum pelaku korupsi dengan hukuman pidana yang berat, karena korupsi merupakan penyakit yang membebani negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa penyakit korupsi telah melebar ke segala lapisan dalam strukur pemerintahan. Korupsi telah menjadi isu sentral bahkan sangat populer melebihi isu apapun yang muncul di Indonesia.

Trend perilaku korupsi tampak semakin endemis yang merambah dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan suatu yang biasa dan seakan-akan telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.7

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai pasca-reformasi dihadapkan pada persoalan korupsi yang telah mengakar dan membudaya. Bahkan di kalangan para pejabat publik menganggap korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang apabila tidak dilakukan, akan membuat stres para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasaan, yang akhirnya menjadi kebiasaan yang berujung pada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Itulah sebabnya, masyarakat begitu pesimis dan putus asa terhadap penegakan hukum dalam menumpas koruptor negara kita.8

7 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, h. 146

(4)

Dewasa ini permasalahan korupsi telah menjadi perhatian dan sorotan dunia internasional. Hal ini dikarenakan korupsi bukan merupakan masalah suatu negara saja, namun telah menjadi isu global dan terjadi tidak hanya di negara-negara berkembang saja tetapi sudah melanda negara-negara maju di dunia. 9

Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput karena memberantas korupsi adalah layaknya mencegah dan menumpas virus suatu penyakit, yaitu penyakit masyarakat. Perkembangan korupsi sampai saat inipun sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang dipergunakan juga mengandung banyak kelemahan-kelemahan dalam implementasinya.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-Pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerugian keuangan negara;

(5)

2. Suap-menyuap;

3. Penggelapan dalam jabatan; 4. Pemerasan;

5. Perbuatan curang;

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan; 7. Gratifikasi.

Walaupun demikian biasanya core perbuatan korupsi tidak lepas dari beberapa perbuatan berikut, yaitu perbuatan penyuapan, penggelapan dan gratifikasi. Tindak pidana korupsi suap yang berasal dari tindak pidana suap

(omkoping) yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHP

sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap yakni tindak pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap.10

Salah satu kasus korupsi yang sempat mencuat dan menarik perhatian masyarakat adalah kasus Angelina Sondakh di mana di dalam di antara Putusan Pengadilan Negeri, Putusan Banding di Pengadilan Tinggi dan Putusan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung terdapat perbedaan di dalam pemidanaannya.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor .54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 10 Januari 2013 dalam amar putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH, dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.

(6)

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Sedangkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 dalam amar putusannya Majelis Hakim menerima permintaan banding dari Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 yang dimintakan banding. Sedangkan di tingkat Kasasi yakni di Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013, Majelis Hakim Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 10 Januari 2013 dan Majelis Hakim berpendapat untuk mengadili sendiri perkara tersebut dengan Putusan yang menyatakan Terdakwa ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”KORUPSI SECARA BERLANJUT” dan menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

(7)

12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat), dengan ketentuan jika Terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal Terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.

Memang undang-undang telah memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam Pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP yang menyebutkan macam-macam pidana yakni:

1. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu;

2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima berlas tahun berturut-turut;

3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan oleh pasal 52 KUHP;

4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

(8)

yang pantas dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.

Putusan pemidanan terhadap terdakwa Angelina Sondakh pada tingkat Kasasi ternyata lebih berat daripada Putusan Pemidanaan di tingkat bawahnya yakni putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Majelis Hakim Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Artidjo Alkotsar tentu memiliki pertimbangan tersendiri sehingga menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa lebih berat daripada peradilan tingkat bawahnya. Oleh karena itu, pertimbangan hakim dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung memiilki pertimbangan yang dapat ditinjau dari aspek yuridis, filosofis, maupun sosiologis yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang serta putusan Hakim yang memberikan vonis pemidanaan yang berbeda pada perkara yang sama dengan terdakwa Angelina Sondakh dalam kasus korupsi di atas, maka kami sebagai penulis tertarik untuk meneliti mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :

54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung

Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 (TerdakwaAngelina Sondakh) dikaitkan

(9)

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa

Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Putusan Mahkamah Agung untuk terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan pemidanaan.

D. Keaslian Penelitian

(10)

pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi dan usaha pengembalian uang negara hasil tindak pidana korupsi. Pengkajian dimaksud antara lain:

1. Kadek Krisna Sintia Dewi, Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Denpasar), 2014, Universitas Udayana Denpasar Bali (Tesis).

2. Iskandar Supatmo Ika, Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata, 2008, Universitas Airlangga Surabaya (Disertasi).

Di dalam tesis ini, penulis bermaksud untuk menjawab problematika yang belum tercakup dalam dua pengkajian tersebut di atas.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa pada umumnya, akademisi dan praktisi hukum yakni dengan tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Praktis

(11)

F. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana Korupsi

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.11

Korupsi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau

corruptus yang artinya merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga mengandung arti kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan. Korupsi diartikan pula sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi artinya buruk, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi), penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan), untuk kepentingan pribadi dan orang lain.12

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan yaitu :

(12)

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”. Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam jabatannya juga masuk dalam ranah Korupsi bila perbuatannya itu merugikan keuangan Negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.

Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diatur di dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) yang menyebut bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana (1) mereka yang melakukan, menyuruh, melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan dan (2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Sanksi Pidana Tindak Pidana Korupsi

(13)

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu miliyar rupiah).

Pasal 3 Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu orporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

(14)

c. Merugikan keuangan negara atau perekonomian;

d. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Menurut Shed Husein Alatas ada beberapa ciri korupsi yakni sebagai berikut:

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penggelapan;

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya, namun motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang;

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengarugi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat);

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.13

3. Putusan Hakim

Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan14. Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).

Dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah hukum. Mengenai kata

13 Shed Husein Alatas dalam Evi Hartanti, Op Cit, h. 11

(15)

putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan

interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dalam preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.

Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.15

Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: ”Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.

Putusan adalah hasil atau kesimpuan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

(16)

berbentuk tertulis ataupun lisan16. Ada juga yang mengartikan putusan

(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).

Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.17

Macam-macam putusan dalam sidang perkara pidana adalah 18:

a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili;

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum; c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima; d. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala

tuntutan hukum; e. Putusan bebas.

4. Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan

sebagai penghukuman.

Selama ini, tujuan pidana dan pemidanaan tidak pernah dirumuskan. Perumusan tujuan ini hanya termaktub di dalam konsep KUHP Nasional, dan yang terakhir ini konsep Tahun 2012 Buku I Bab III tentang “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan” pada Bagian Kesatu

(17)

“Pemidanaan” dan Paragraf Satu “Tujuan pemidanaan” yang dirumuskan dalam Pasal 54 ayat (1), yaitu:19

Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;

5. Pertimbangan Hakim

Mengenai proses pengambilan putusan secara singkat diawali dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang menyatakan bahwa pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), maka Hakim mengadakan musyawarah yang dipimpin Ketua Sidang/Ketua Majelis yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana pendapat dan penilaian hakim yang bersangkutan terhadap perkara yang dihadapi

Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat dakwaan penuntut umum.

Hal-hal formil yang dimaksud misalnya hal-hal sebagai berikut. a. Apakah pengadilan negeri di mana majelis hakim bersidang

berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak.

(18)

b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat.

c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan

nebis in iden dan verjaring.

Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan pendapat atau pertimbangan-pertimbang dan keyakinannya atas perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan diambil dengan suara terbanyak20. Adakalanya para hakim

masing-masing berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa seperti yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan (proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.

G. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach) untuk menganalisis kajian yuridis mengenai tindak pidana korupsi suap pasif penerima gratifikasi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah teori tanggung jawab hukum dan teori keadilan.

(19)

1. Teori Tanggung Jawab Hukum

Teori tanggung jawab hukum yang ada dalam bahasa Inggris disebut dengan the theory of legal liability, bahasa Belandanya disebut de theorie van wetteleijke aansprakeelijkheid, sedangkan di dalam bahasa Jerman disebut dengan die theorie der haftung merupakan teori yang menganalisis tentang tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian atau cacat atau matinya orang lain. Ada tiga unsur yang terkandung dalam teori tanggung jawab hukum yang meliputi: teori; tanggung jawab; hukum.21

Bahasa Indonesia kata tanggung jawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Menanggung diartikan sebagai bersedia memikul biaya (mengurus, memelihara), menjamin, menyatakan keadaan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban.22

Pengertian tanggung jawab secara rinci disajikan berikut ini, Algra dkk mengartikan tanggung jawab atau verantwoordelijkeheid

adalah Kewajiban memilkul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi.23

21 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian

Disertasi dan Tesis, Buku Kedia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 207

22 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, h. 899

(20)

Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana sehingga yang bersangkutan dapat dituntut membayar ganti rugi dan atau menjalankan pidana. Sedangkan tanggung jawab administrasi adalah suatu tanggung jawab yang dibebankan kepada orang yang melakukan kesalahan administrasi seperti misalnya dokter yang telah melakukan pelanggaran administrasi, maka yang bersangkutan dapat dicabut izin prakteknya.24

2. Teori Keadilan

Teori hukum alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan “the search for justice”25. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.

a. Keadilan menurut Aritoteles

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya

24 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit, h. 208

(21)

ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”26.

b. Keadilan menurut John Rawls

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.27

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.28

26 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, h. 24

27 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 1 (April 2009), h. 135

(22)

c. Keadilan menurut Hans Kelsen

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.29

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.30

d. Keadilan Bermartabat menurut Teguh Prasetyo

Pada hakikatnya penngertian teori keadilan bermartabat itu dapat diketahui dengan jalan memahami teori keadilan bermartabat

29 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, 2011, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 7

(23)

adalah suatu ilmu hukum. Sebagai suatu ilmu hukum, cakupan atau scope dari teori keadilan bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu hukum.

Teori keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki sesuatu skopa atau cakupan antara lain; dapat dilihat dari susunan atau lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum atau

philosophy of low di tempat pertama. Pada lapisan kedua, terdapat teori hukum (legal theory). Sementara dokmatik hukum atau ilmu hukum positif berada di temapat yang ketiga. Hukum dan praktik hukum berada pada susunan atau lapisan ilmu hukum keempat.

Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu hukum dalam teori keadilan bermartabat itu adalah lapisan saling terpisah anatara lapisan satu dengan lapisan yang lainnya, namun prinsifnya lapisan-lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistemik, mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu dengan lainnya, bahu membahu (shoulder to shoulder), gotong-royong sebagai sistem; bekerja mencapai tujuan yaitu keadilan bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia, atau yang nge wong ke wong.

(24)

sistem atau kesatuan yang terdiri dari beberapa bagian yang saling namun saling kait-mengkait. Gambar ilustrasi ikatan-ikatan yang saling bahu-membahu.

Bagan lapisan-lapisan dalam ilmu hukum

Lapisan-lapisan ilmu hukum dalam dalam persepektif teori keadilan bermartabat itu bekerrja atau berfungsi sebagai sumber, atau tempat dimana hukum itu ditemukan.31 Kerangka kerja teori keadilan

bermartabat dapat dilihat pada bagan berikut:

31 Teguh Prasetyo. Keadialan Bermartabat Persektif Teori Hukum, Nusa Media Bandung, 2015, h. 1-3

Filsafat Hukum

(Philosophy of Law)

Teori Hukum

(Legal Theory)

Dokmatik Hukum

(Jurisprudence)

Hukum dan Praktek Hukum

(25)

Sebagai hasil dari proses kegiatan berfikir yang berdisiplin, menaati kaidah-kaidah keilmuan sebagai kerangka kerja; teori keadilan bermartabat dapat disebut sebagai suatu pemikiran. Pemikiran adalah proses dan hasil dari kegiatan berfikir yang secara meta teoritis; suatu pemahaman yang didominasi dengan abstraksi, konsepsi dan preposisi. Tujuan filasat ialah mengumpulkan pengetahuan, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya di dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kepada tindakan yang lebih layak32.

Sebagai suatu hasil atau output dari kegiatan berfikir, teori keadilan bermartabat tidak datang secara kebetulan dan tidak jauh dari realitas kehidupan. Issues atau persoalan-persoalan itu misalnya: apakah ada perbedaan antara pertanggungjawaban moral dan pertanggungjawaban legal (abaut moral and responsibilities); pembenaran apakah yang dapat dipakai untuk menjustifikasi sanksi hukuman dalam sistem hukum (justification of punishments); fungsi-fungsi lembaga kehakiman dan hakim (the judicial function); hukum

32Ibid, h. 7

Dikte Hukum sebagai Masukan

Proses Legislasi dan Diskresi, serta proses peradilan menurut hukum acara sebagai konversi

Keluaran (output): Peraturan, Keputusan dan Peraturan

Feedbeck atau loloh balik

(26)

acara menurut hukum (due proces) dan masih banyak lagi yang tidak dapat dirinci satu-persatu.33

Teori keadilan bermartabat menganut prinsip untuk memahami doktrin dan ketentuan-ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama atau kesepakatan peertama yang menjadi sasaran kajian dan penyelidikan teori keadilan bermartabat. Atas dasar itu, maka pemenuhan hukum berlaku pula dalam penyelidikan dan analisa terhadap kasus-kasus kongkret, dalam hal ini hukum yang masuk dalam kategori hukum dan praktek hukum ketika diajukan ke pengadilan.

Penemuan hukum harus dilakukan manakala ditemukan bahwa terhadap kasus-kasus itu pengaturannya belum ada, kurang jelas, atau tidak lengkap diatur di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ajaran pemenuhan hukum dalam sistem hukum berasarkana Pancasila mengajarkan bahwa hakim harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum (rechtsforming). Hanya saja, kekuatan berlaku dari hukum yang digali dari dalam jiwa bangsa atau hukum hasil penemuan hakim tersebut adalah bersifat persuasif, kecuali undang-undang menentukan lain.34

Teori keadilan bermartabat berisi suatu sistem hukum yang mengemban empat fungsi:

33Ibid., h.8

(27)

1) Sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individu maupun masyarakat;

2) Sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa; 3) Untuk melakukan rekayasa sosial;

4) Sebagai memelihara sosial atau memelihara status dari sistem hukum itu sendiri sebagai suatu status quo, tidak menginginkan perubahan, dalam pengertian hal-hal yang mengancam eksistensi hukum.35

Mengingat teori keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat itu dibangun dalam konteks untuk memahami, menjelaskan dan menerapkan hukum terutama memahami, menjelaskan dan menerapkan suatu sistem hukum positif tertentu, maka teori keadilan bermartabat itu adalah filsafah hukum, teori hukum, ilmu hukum, jurisprudence.36

Keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat hukum tidak hanya merupakan suatu bentuk kongkret dari penyelarasan nilai-nilai yang dipahami ada di dalam setiap kaidah dan asas hukum yang mengatur setiap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keputusan hakim maupun semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam hubungan hukum keperdataan, dan perbuatan hukum publik, maupun para pihak itu adalah subyek hukum internasional.

Sebagai suatu filsafat, teori keadilan bermartabat menggambarkan tujuan hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum, terutama tujuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penekanannya dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang adil dan beradap, yang mendasari konsepsi memanusiakan manusia; disamping keadilan sosial dan sila-sila yang lainnya. Teori keadilan bermartabat juaga menjelaskan

(28)

tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan yang ada dalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu sama yang lain di dalam sistem tersebut. Keadilan bermartabat berpendirian bahwa baik keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum adalah merupakan satu kesatuan yang terhimpun di dalam keadilan. 37

Suatu hal yang relevan dengan konsep martabat dalam teori keadilan bermartabat adalah preposisi bahwa, suatu refleksi dilakukan atau dikerjakan secara penuh kesadaran dan aktif dari, oleh dan untuk manusia dan/atau masyarakat (the spectators) itu sendiri. Sekalipun, dalam hal penilaian atas hasil refleksi, sebagai umpan balik (feedback) masih ada satu syarat yang penting. Syarat penting itu, yaitu bahwa refleksi dimaksud harus obyektif. Dimaksudkan obyektif dan dilawankan dengan sifat subyektif adalah bahwa penilaian itu datang dari manusia dan/atau masyarakat yang lain atau benda yang diamati; datang dari luar diri manusia dan/atau masyarakat yang mengamati; tetapi merupakan bagian dari masyarakat itu.38

Lebih lanjut keadilan bermartabat menurut Teguh Prasetyo dalam hukum positif sebagai suatu sistem dipandang tersusun dengan struktur yang berisi tiga komponen sub sistem tertentu. Dimaksudkan dengan tertentu adalah memiliki identitas dan batas-batas yang relatif jelas saling berkaitan. Adapun unsur-unsur sebagai berikut. Unsur pertama disebut dengan unsur idiil. Unsur idiil meliputi seluruh aturan, kaidah, pranata

(29)

dan asas hukum. Semua unsur ideal ini dalam konsep sistem dikenal dengan sistem makna atau sistem lambang, simbulisasi atau sistem prefensi. Mengingat prefensi itu berada di dalam suatu sistem hukum makna sistem pemaknaan itu disebut dengan sistem makna yuridik.

Aturan adalah lambang yang memberikan kesatuan dan makna pada kenyataan majemuk dari perilaku manusia dan masyarakat. Lambang yang diwakili oleh aturan-aturan itu maka individu dan masyarakat akan dapat mengerti dan memahami kemajemukan perilaku individu dan masyarakat.

(30)

Unsur yang ketiga dalam sistem hukum sebagaimana dipahami di atas dan juga penting diperhatikan dalam teori keadilan bermartabat ini yaitu unsur aktual yang mencakup keseluruhan keputusan dan tindakan (perilaku) baik itu perilaku para pejabat maupun para warga masyarakat, sejauh keputusan dan tindakan itu berkaitan atau dapat ditempatkan dalam kerangka sistem mana yuridis sebagaimana dimaksud di atas. Keseluruhan keputusan primer untuk diperhatikan adalah berupa Undang-Undang dan Keputusan-Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.39

3. Teori Pemidanaan

Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu

a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)

b. Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)

Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

(31)

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant bahwa “Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum40”.

Menurut Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut :41

a. Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat

b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam:

1) Penganut teori retributif tidak murni (the limiting retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.

40 Pompe. WPJ., Handboek van het Nedelands Strafrecht, NV Uitgeversmaatchapij WEJ, Tjeenkwillinmk. Zwolle. 1959. h. 62

(32)

2) Penganut teori retributis yang distributif (Retribution in distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan dihormati tetapi dimungkinkan adanya pengecualian midalnya dalam hal “strict liability”.

Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.42 Menurut Van Hamel,

(dalam Lamintang), arti pidana atau straf, adalah:43

“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan oIeh Negara”.

Menurut Muladi, dalam pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut44 :

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang

Ketiga unsur tersebut pada umumnya terlihat dari definisi-definisi di atas, namun Alf Ross menambahkan bahwa pidana itu harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri di pelaku. Pernyataan ini

42 Leden Marpaung. Op,Cit., h. 138 43 F. Lamintang, Op.Cit, h. 47

(33)

dimaksudkan untuk membedakan secara jelas antara pidana dengan tindakan perlakuan (treatment).

Menurut Alf Ross, ‘concept of punishment’ bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:

a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (Punishment is aimed at inflecting suffering upon the person upon whom it is imposed).

b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression disapproval of the action for which it is impossed).

Dengan demikian, menurut Alf Ross tidaklah dapat dipandang sebagai ‘punishment’ hal-hal sebagai berikut:45

a. Tindakan-tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan tetapi tidak merupakan pernyataan pencelaan, misalnya pemberian electric shock, pada binatang dalam suatu penelitian agar tingkah lakunya dapat diamati atau dikontrol.

b. Tindakan-tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan. Misalnya teguran, peringatan atau penyingkiran oleh masyarakat.

c. Tindakan-tindakan yang disamping tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan, juga tidak merupakan pernyataan pencelaan. Misalnya langkah-langkah yang diambil untuk mendidik atau merawat/mengobati seseorang untuk membuatnya tidak berbahaya bagi masyarakat atau tindakan dokter gigi yang mencabut gigi seorang pasien.

Menurut Alf Rossperbedaan antara ‘punishment’dan ‘treatment

tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (unsur penderitaan), tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsur kedua (unsur pencelaan). Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : 46

(34)

a. Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan;

b. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;

c. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam Pasal 2 sebagai berikut.47

a. Maksud tujuan pemidanaan ialah:

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk;

2) Membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

3) Menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia. c. Pemidanaan bertujuan untuk:

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

3) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

46 Barda Nawawi Arief dalam Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan

dalam Rancangan KUHP(Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3), ELSAM, Jakarta, 2005, hl. 6

(35)

H. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah pendekatan perundang-undangan (statue Approach)48 yaitu pendekatan menggunakan Pasal-Pasal yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan seperti Pasal-Pasal yang ada dalam KUHP dan KUHAP, namun peneliti juga tidak hanya melihat kepada bentuk perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi-materi muatan yang ada di dalamnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan melihat norma-norma/ketentuan hukum yang berlaku yang berhubungan dengan penelitian mengenai pertimbangan hakim dalam putusan tindak pidana korupsi berdasarkan tujuan pemidanaan.

Selain itu peneliti juga menggunakan pendekatan kasus (Case Approach) yang dikaitkan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

2. Karakteristik Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dan penelitian preskriptif. Bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau

(36)

gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka penyusunan kerangka baru49.

Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan pertimbangan hakim di dalam pemidanaan terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor .54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan sumber Data Sekunder. Pengertian data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum penulis.

Sumber-sumber penelitian hukum terdiri atas dasar bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.

a. Bahan hukum primer50 merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas, dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum primer adalah :

(37)

1) KUHP; 2) KUHAP;

3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST;

5) Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI;

6) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi yang digunakan adalah berupa buku, jurnal-jurnal hukum berkaitan. 1) Buku-buku teks.

2) Jurnal-jurnal hukum berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

3) Dokumen-dokumen.

c. Bahan non hukum berupa bahan yang diperoleh selain bahan hukum.

(38)

4. Pengumpulan Bahan Penelitian

Untuk data yang lengkap dan relevan dengan pokok-pokok masalah yang akan dibahas, maka dalam pengumpulan data ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Dokumen

Mengambil data dari perundang-undangan yang berlaku yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana serta dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI.dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013. b. Studi Kepustakaan

(39)

5. Analisis Bahan Penelitian

Analisa data dilakukan secara kualitatif yang disajikan secara deskriptif analitis. Sifat deskriptif dari data penelitian ini karena ingin menggambarkan keadaan hukum ataupun fenomena hukum dari bahan penelitian yang menyangkut bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, berkaitan dengan pelaksanaan di dalam prakteknya.

Analisa kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan selektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna51.

Hasil analisis mampu mengemukakan dan menemukan kategori-kategori yang berkaitan dengan suatu disiplin, tetapi juga dikembangkan dari suatu kategori yang dikemukakan dan hubungan-hubunganya dengan data yang didapat. Hasil analisis data tersebut dapat diperlakukan kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara berpikir dari hal sifatnya umum di dasrkan atas fakta-fakta dan gejala kepada sifat yang khusus.

(40)

Dengan demikian, teknik analisis data yang dilakukan adalah analisis hukum. Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan di atas dan juga analisis hukum yaitu menganalisis pertimbangan hakim di dalam pemidanaan terhadap Terdakwa tindak pidana Korupsi dalam Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

.54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

I. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, lan-dasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang menjadi acuan analisia penelitian adalah mengenai Filosofi Pemidanaan, Tindak Pidana Korupsi, Pertimbangan Hakim dan Keadilan Bermartabat.

Bab III Hasil Penelitian dan Analisis

(41)

dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dan 2) Analisis terhadap pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 yang menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya dikaitkan dengan tujuan pemidanaan

Bab IV Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Nilai koefisien determinasi ditunjukkan oleh nilai R yang menunjukkan korelasi berganda, yaitu faktor pola komunikasi keluarga, percaya diri, introversi, dan harga

Covey dalam Suryana (2000:35), bahwa kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik yaitu mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri

Algoritma K-Nearest Neighbor dapat diterapkan dalam sistem pendukung keputusan seleksi Paskibraka untuk melakukan klasifikasi dalam menentukan status diterima atau tidak

Implikasi Penelitian adalah berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan kepada pihak yang berkaitan dengan bidang pendidikan antara lain, guru dituntut

Saran kelanjutan pengembangan dari video pembelajaran berbasis Virtual Field Trip (VFT) ini adalah yang pertama mengkaji lebih dalam pada saat pemilihan materi dan

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan ijin dan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar

Bibit kubis bunga satu per satu ditanam pada lubang tanam yang telah dibuat dengan menggunakan tugal, kemudian lubang tanam ditutup kembali dengan tanah dan sedikit

Proseding Seminar Bisnis & Teknologi ISSN : 2407-6171 SEMBISTEK 2014 IBI DARMAJAYA Lembaga Pengembangan Pembelajaran, Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, 15-16