Antara Aksi Bela Islam, Orientasi Politik, Serta Kesiapan Mahasiswa
Mengawal Peralihan Zaman
Aksi 1998 Orde Baru To Reformasi
Teringat akan fakta sejarah tragedi 1998, masa peralihan atau bisa disebut juga penggulingan rezim Orde Baru ke era Reformasi seperti saat ini. Secara signifikan motor penggerak saat itu adalah mahasiswa. Kejadian penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi bara api yang bergulir dari rakyat, mahasiswa, hingga pemerintahan sebagai hubungan integral di negara Indonesia.
Hal ini justru dimanfaatkan oleh sejumlah kepentingan yang ingin menggulingkan presiden pada waktu itu. Lalu muncullah isu-isu selain penembakan mahasiswa Trisakti, mulai dari sistem otokrasi pada pemerintahan Orde Baru, kasus HAM, hingga krisis moneter yang mencekam masyarakat Indonesia.
Dari sudut pandang positif hal ini memang pantas dilakukan, akibat terlalu lamanya periode pemerintahan Orde Baru, menjadikan kekuasaan adalah segalanya. Terbukti sistem otoriter justru banyak melahirkan perpecahan karena kebebasan, adapun hak berpendapat dan menyuarakan aspirasi sangat terbatas. Dengan banyaknya tragedi penembakan misterius, dan yang paling miris sampai saat ini adalah kasus kematian Munir, aktivis HAM yang tak kunjung menemukan titik terang penyelesaiannya.
Pada era 1998 ini pula tak hanya kasus HAM terjadi pada penduduk pribumi, seperti penembakan empat mahasiswa Trisakti, dan kasus pembunuhan Munir. Namun ada penyulut api yang menyebabkan aksi, yang bisa dibilang banyak etnis Cina menjadi korban saat itu. Mulai dari penganiayaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan pada mereka. Terjadilah perpecahan antara pribumi dan etnis Cina yang berdommisili di Indonesia.
Selain kasus-kasus HAM tersebut, sistem pemerintahan Indonesia yang hegemonik-otoriter, kencendrungan melakukan praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Adanya krisis moneter sebelum 1998 merupakan akibat dari KKN itu. Bahkan, pinjaman dana yang sangat besar pada World Bank untuk mengatasi krisis, menambah carut-marut keadaan negara.
Dari sekian permasalahan tersebut maka terjadilah aksi besar-besaran mahasiswa pada 1998 menuntut turunnya Presiden Soeharto. Aksi yang berlangsung sejak Mei 1998 berbuah manis dengan mundurnya presiden yang tinggal setahun kepemimpinan dialihkan kepada wakilnya, BJ Habibie. Lahirlah era Reformasi seperti saat ini. Kebebasan berpendapat, kebebasan HAM, menjadi awal berjalannya era Reformasi.
Namun apa daya, motor penggerak peralihan rezim orde baru ke era reformasi tak jelas arah dan tujuannya. Justru orientasi politik, dan kepentingan pribadi serta golongan makin merajarela tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga makin banyak melahirkan perpecahan dan konflik di tubuh NKRI. Konflik Gerakan Aceh Merdeka, perpecahan muslim dan Kristen, hingga terlepasnya Pulau Timor-Timor menjadi deretan bencana di era ini.
Aksi Bela Islam 4 November 2016
Bermula dari video berdurasi 47 menit lebih, tentang kampanye calon gubenur DKI Jakartan, Ahok, di Kepulauan Seribu. Dialektika Ahok yang ditengarai menistakan surat Al-Maidah ayat 51, menyulut amarah umat muslim atas tindakannya terhadap penistaan agama.
Kejadian ini berdampak besar terhadap lika-liku pemerintahan Joko Widodo yang baru genap dua tahun. Mulai dari viralnya proses hukum Ahok yang tak kunjung terlaksana dan permintaan maaf yang tidak jelas, hingga saat ini berkumpulnya umat Islam dipusat pemerintahan untuk menuntut kejelasan permasalahan tersebut.
Tak hanya hal itu, permasalahan penistaan agama juga membuat pro-kontra dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Pertemuan NU, Muhammadiyah, dan MUI dengan presiden, beberapa waktu lalu, telah melahirkan pernyataan yang debatebel. Din Syamsuddin, misalnya, meminta agar Ahok dimaafkan dan dipasrahkan ke pihak berwenang. Pada titik ini, lahirlah pro-kontra antara golongan golongan muslim mayoritas (NU dan Muhammadiyah) dan minoritas (non Nu dan Muhammadiyah). Golongan muslim minoritas justru menolak kaum non muslim menjadi pemimpin, apalagi calon gubenur tersebut telah menghina Al-Qur’an. Meminta maaf, bagi mereka, tidak akan menyelesaikan kompleksitas persoalan. Rumus ini kiranya berlaku untuk semua kasus asusila, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan korupsi. Bila tidak begitu, di mana letak keadilan?
Maka terjadilah aksi 4 November 2016 untuk membela Islam (katanya) oleh golongan muslim minoritas. Sedangkan golongan muslim mayoritas telah menghimbau umatnya untuk tidak ikut aksi atau demo, kalaupun ikut aksi Bela Islam II, maka jangan memakai atribut institusi (NU dan Muhammadiyah). Justru hal ini menjadi ambigu: apakah Islam itu
rahmatan lil alamin atau hanya kepentingan golongan, bahkan hanya orientasi politik pribadi untuk merebut kekuasaan?
Benang Merah Mei 1998 dengan 4 November 2016
Namun kali ini tak hanya fokus pada hal itu, fakta seharusnya yang perlu diperhatikan adalah motor penggerak di balik permaslahan ini. Jika di-flashback, keadaan ekonomi Indonesia yang makin menurun, banyakya hutang pemerintahan Jokowi kepada pihak asing, serta banyaknya pekerja Cina yang mulai mendominasi lapangan pekerjaan di Indonesia akibat AFTA dan MEA yang membebaskan visa pengunjung, tampak korelatif dengan sejarah masa lalu.
Makin bertambahnya hutang negara kepada pihak asing, ditambah kekacauan yang menggerakkan salah satu elemen dominan di Indonesia—yaitu umat muslim—untuk demontrasi, ada kemungkinan-kemungkinan terburuk, yaitu peralihan era reformasi. Hal ini justru ada pihak-pihak luar yang akan memanfaatkan keadaan ini, sehingga negara ini makin tak jelas arah tujuannya. Sama seperti peralihan orde baru ke era reformasi, yang tak jelas tujuan arahnya, serta pengawalan signifikan yang dilakukan untuk kehidupan lebih baik.
Akankah mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control dapat mengawal permasalahan ini? Ataukah kejadian ini hanya sebagai uforia semata?