• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pembaharuan Pendidikan untuk M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Pembaharuan Pendidikan untuk M"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Pembaharuan Pendidikan untuk Meningkatkan Pemerataan

dan Relevansi pendidikan

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Kependidikan

Oleh

Nama : Muhammad Irham NIM : 0401514050

Rombel : A2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

MATEMATIKA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

“…sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sampai kaum itu merubah diri mereka sendiri…” (Ar-ra’d:13, 11)

UNESCO menggalakkan pembaharuan pendidikan pada tahun 1998 dengan

mengemukakan dua basis landasan: pertama, pendidikan harus disandarkan pada empat pilar

yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar hidup dalam kebersamaan dan belajar

menjadi diri sendiri; kedua, belajar seumur hidup. Oleh karena itu pembaharuan pendidikan

haruslah menuju kepada dua basis landasan tersebut, sehingga dibutuhkan pemerataan dan

relevansi pendidikan untuk mencapai keduanya.

Berdasarkan UUD pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak

memperoleh pendidikan, maka jelaslah pemerataan itu penting untuk memberikan

kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara. Adapun menurut UU No. 20 tahun 2003

pasal 1 ayat 1 bahwa pendidikan bertujuan untuk memberikan keterampilan yang bermanfaat

bagi diri peserta didik, masyarakat dan bangsanya, maka diperlukan relevansi pendidikan

untuk mengarahkan pendidikan itu kepada tujuan pendidikan tersebut.

Menurut Mulyasa (2013) pembangunan nasional difokuskan kepada enam hal,

diantaranya adalah peningkatan pemerataan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh

pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan mutu. Bersamaan dengan upaya perluasan

dan pemerataan untuk memperoleh pendidikan, semakin kuat pula tuntutan masyarakat dan

pembangunan nasional akan perlunya pendidikan yang lebih bermutu, relevan, adil,

manusiawi, dengan menjangkau semua orang dalam semua lapisan dan golongan masyarakat.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) perlu menjadi acuan dalam melihat pemerataan

pendidikan, karena itu memperlihatkan kesempatan dari setiap orang dari setiap golongan

dalam memperoleh pendidikan. Adapun pendidikan yang relevan akan menghasilkan lulusan

yang optimal. Artinya pendidikan bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang cakap,

kreatif dan mandiri sebagaimana Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Setiap lulusan dari

setiap jenjang pendidikan bisa memanfaatkan ilmunya sesuai dengan bakat dan

keterampilannya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan

(3)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) menunjukkan bahwa Angka

Parsipasi Sekolah (APS) pada tahun 2013 mengalami penurunan yang signifikan pada setiap

jenjang pendidikan dan data Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) juga memperlihatkan

angka pengangguran terbuka tidak memandang jenjang pendidikan. Sehingga bisa dikatakan

bahwa pendidikan saat ini mempunyai masalah pemerataan dan relevansi dengan dunia kerja.

Oleh karena itu paper tentang “Kebijakan Pembaharuan Pendidikan Untuk Meningkatkan

Pemerataan dan Relevansi pendidikan” merupakan sumbangsih pemikiran sebagai insan

pendidik yang mengharap pendidikan negara tercinta lebih merata dan relevan dan semakin

membaik.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat disusun beberapa rumusan masalah, diantaranya:

- Bagaimana pemerataan pendidikan Indonesia ditinjau dari Angka Partispasi Sekolah?

- Bagaimana relevansi pendidikan Indonesia ditinjau dari daya serap tenaga kerja

berdasarkan tingkat pendidikan?

- Bagaimana kebijakan-kebijakan pembaharuan yang mungkin diupayakan untuk

mengatasi permasalah pemerataan dan relevansi pendidikan

1.3Tujuan dan manfaat

Paper ini bertujuan sebagai sarana penyaluran aspirasi dan pemikiran sebagai insan

pendidik yang melihat carut-marutnya dunia pendidikan negeri tercinta. Paper ini diharapkan

mampu memberikan pandangan dalam melihat dan membaca problematika pendidikan.

Tulisan ini juga menyajikan kebijakan-kebijakan pembaharuan pendidikan yang terkait

dengan pemerataan pendidikan dan relevansi pendidikan yang kiranya bisa menjadi titik

terang bagi pendidikan Indonesia kedepannya.

Paper ini diharapkan bisa memberikan manfaat untuk pribadi secara khusus dan pembaca

serta dunia pendidikan secara umum. Lewat tulisan ini diharapkan adanya tulisan-tulisan lain

yang kiranya bisa memberikan pemikiran-pemikiran tentang kebijakan-kebijakan

pembaharuan pendidikan yang lebih mengkaji banya hal dan berkontribusi untuk pendidikan

(4)

BAB II

KAJIAN TEORI 2.1Kebijakan Pembaharuan Pendidikan

Menurut Rivai dan Murni (2009) pendidikan nasional saat ini dihadapkan pada tiga

masalah yang menonjol yaitu (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan (2)

masih rendahnya relevansi pendidikan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan. Adapun

kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia di arahkan untuk mencapai beberapa hal,

diantaranya adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan memperoleh pendidikan yang

bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia bermutu

tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti (Rivai dan Murni, 2009:64).

Program pembangunan nasional pendidikan tinggi bertujuan untuk; (1) melakukan

penataan sistem pendidikan tinggi; (2) untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan

tinggi dengan dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan tinggi, khususnya bagi murid berprestasi yang berasal dari keluarga kurang

mampu. Sasaran yang ingin dicapai dari program pembangunan nasional pendidikan tingg i

diantaranya adalah meningkatkan jumlah lulusan yang terserap di dunia kerja dan

meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (Rivai dan Murni, 2009:69).

2.2Pemerataan Pendidikan

Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

pendidikan. UU No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga negara

mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pasal 1 ayat 2 juga

nenyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Undang-Undang

Dasar 1945 dan pancasila. Dengan demikian, pemerataan pendidikan merupakan bagian dari

amanat undang-undang dalam pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia.

Dalam penjelasan atas UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

dijelaskan bahwa misi pembaharuan sistem pendidikan nasional adalah mengupayakan

perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh

rakyat Indonesia. Namun pada praktiknya masih banyak daerah-daerah yang belum juga

tersentuh dalam hal pemerataan pendidikan, pemerintah terlalu terfokus dengan kondisi

pendidikan di kota-kota, mengabaikan pendidikan yang masih sangat jauh dari kata “layak”

(5)

2.3Indikator Pemerataan Pendidikan

Indikator pemerataan pendidikan digunakan untuk mengetahui seberapa besar cakupan

pelayanan pendidikan yang telah ada di tingkat provinsi/kabupaten/kota sekaligus untuk

mengetahui berapa banyak anak yang belum terlayani pendidikannya untuk setiap kelompok

usia sekolah dan setiap jenjang pendidikan. Akses dan pemerataan pendidikan dapat dilihat

dari 3 aspek, yaitu: Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan

Angka Partisipasi Kasar (APK).

Pada paper ini membatasi pada indikator APS di mana APS digunakan untuk mengetahui

cakupan pelayanan pendidikan untuk setiap kelompok usia sekolah dan menggambarkan

jumlah anak kelompok usia tertentu yang sedang sekolah tanpa membedakan jenjang

pendidikan yang ditempuh. APS dikategorikan berdasarkan empat tahapan usia yaitu APS

usia 7 - 12, usia 13 - 15, usia 16 - 18 dan usia 19 – 24 (http://lppm.uns.ac.id).

Formula untuk menghitung APS adalah;

jika seandainya masih terdapat siswa yang berusia 18 tahun ke atas sekolah di SD maka anak

tersebut tetap masuk ke dalam (http://lppm.uns.ac.id).

2.4Relevansi Pendidikan

Menurut Rusdiana (2014) relevansi yang tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan

adalah fokus utama yang harus diatasi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Berdasarkan empat pilar yang dikemukakan oleh UNESCO yaitu Learn to know (belajar

mengetahui), Learn to do belajar melakukan, Learn to life together (belajar hidup dalam

kebersamaan) dan Learn to be (belajar menjadi diri sendiri) (Mulyasa, 2013:2), maka

(6)

Menurut Iskandar (http://home.cbi.ac.id) Learn to know, yaitu hasil belajar yang dimanfaatkan untuk memahami kenyataan sosial dan belajar lebih lanjut guna meningkatkan

profesionalisme. Learn to do, yaitu hasil belajar dimanfaatkan untuk bekerja, baik kerja

mandiri (wirausaha) maupun kerja sebagai karyawan di perusahaan. Learn to be, yaitu hasil belajar dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari seperti etos kerja dan sopan santun / etika

baik di lingkungan masyarakat maupun di tempat kerja. Learn to life together, yaitu hasil

belajar yang dimanfaakan untuk hidup lebih baik dengan lingkungan sekitar, mandiri dan

produktif, yaitu manusia penuh manfaat sesuai dengan hakikat manusia sebagai khalifah di

muka bumi yang membawa misi risalah rahmat (rahmatan lil alamin). Masalah relevansi

pada prinsipnya cukup mendasar, sebab dalam kondisi sekarang ini sangat dibutuhkan output

pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, terutama hubungannya dengan kesiapan

kerja (Rusdiana, 2014:78).

Sehingga relevansi pendidikan erat kaitannya dengan dunia kerja atau ketenagakerjaan.

Artinya bahwa lulusan pendidikan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan ekonomi akan

pekerja sebagai pelaku pembangunan diberbagai sektor. Oleh karena itu pada paper ini

penulis mencoba memaparkan data tentang ketenagakerjaan dan lulusan satuan tingkat

(7)

BAB III PEMBAHASAN 3.1Kebijakan Pembaharuan Pemerataan Pendidikan

Berbicara tentang pemerataan pendidikan maka tidak akan terlepas dari APS.

Sebagaimana yang dikemukakan pada kajian teori bahwa paper ini mengkaji pemerataan

pendidikan melalui indikator APS, di mana APS menjadi tolok ukur tingkat pemerataan

pendidikan karena partisipasi dari peserta didik adalah bagian dari inti pendidikan, bagaimana

mungkin ada pendidikan tanpa adanya partisipasi peserta didik.

Berdasarkan data dari http://www.bps.go.id diperoleh data tentang Angka Pastisipasi Sekolah (APS) berikut:

Dari data tersebut terlihat dari tahun 2011 sampai 2013 terjadi peningkatan dalam setiap

tahunnya pada jenjang masing-masing. Apakah ini berarti angka partisipasi meningkat?

Belum tentu, karena kita belum membicarakan siswa yang dari jenjang satu ke jenjang yang

lain banyak yang tidak melanjutkan. Data tersebut memperlihatkan bahwa angka partisipasi

(8)

menjadi 90,81% dan pada jenjang SMA menjadi 63,84% bahkan sampai ke 20,14% pada

jenjang perguruan tinggi.

Ini menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah hanya tinggi pada jenjang Sekolah

Dasar kemudian tidak melanjutkan ke SMP dan banyak dari siswa SMP yang tidak

melanjutkan ke SMA. Sehingga angka putus sekolah menjadi tinggi. Oleh karena itu masalah

putus sekolah yang menjadi rendahnya Angka Partisipasi Pendidikan sehingga menyebabkan

belum meratanya pendidikan. Bahkan berdasarkan laporan Education for All Global

Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan

peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara

dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan

Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah (http://indonesiaberkibar.org).

Banyaknya angka putus sekolah disebabkan oleh banyaknya faktor diantaranya adalah

mahalnya biaya pendidikan, pembelajaran yang konvensional sehingga para siswa lebih

senang bekerja dari pada belajar, tidak menjaminnya pekerjaan ketika sudah selesai

pendidikan. Oleh karena itu pemerataan pendidikan akan terjadi manakala angka partisipasi

sekolah tinggi sehingga itu menunjukkan sedikitnya masyarakat usia sekolah yang tidak

sekolah.

Mahalnya biaya pendidikan seringkali menjadi alasan tidak melanjutkannya pendidikan,

walaupun pemerintah menggalakkan sekolah gratis akan tetapi berdasarkan Standar

Pembiayaan dijelaskan bahwa pembiayaan digolongkan menjadi tiga yaitu (1) biaya investasi

(2) biaya operasi (3) biaya personal (Mulyasa, 2013:32). Dari ketiga pembiayaan ini

pemerintah hanya menanggung biaya personal, sedangkan biaya lainnya diberikan wewenang

kepada sekolah untuk mengatur. Sehingga banyak sekolah yang tetap mematok “harga”

mahal untuk “jasanya” dan membuat masyarakat usia sekolah tidak bisa melanjutkan karena keterbatasan biaya.

Pembelajaran yang konvensional juga bisa menyebabkan tingginya angka putus sekolah.

Pembelajaran yang tidak pernah berubah akan membuat peserta didik menjadi bosan dan

tidak tertarik sehingga bagi peserta didik yang sudah mampu menghasilkan uang sendiri,

lebih memilih untuk bekerja daripada sekolah. Seperti halnya dalam pembelajaran

matematika guru tidak harus sebagai model utama, sehingga membuat peserta didik menjadi

bosan, tetapi siswa bisa diberikan kesempatan sehingga mereka bisa percaya diri dan lebih

tertarik. ZevenbergefJ (2004) mengemukakan “good pedagogy is about teachers developing

inclusive practices to build and extend their students’ knowledge and confidence in using and

(9)

Berangkat dari masalah tersebut, kebijakan pembaharuan untuk pemerataan pendidikan

seharusnya di fokuskan kepada bagaimana meminimalisir angka putus sekolah dan

ketersediaan lembaga sekolah lanjutan. Kebijakan-kebijakan yang mungkin dilakukan adalah;

- Mengoptimalkan dana sebesar 20% dari APBN untuk kepentingan pendidikan,

mengawasi setiap pengeluaran dan memaksimalkan setiap pengualaran adah untuk

kepentingan pendidikan itu sendiri.

- Menggalakkan dan mengontrol program sekolah gratis secara optima

- Menciptakan sistem pendidikan yang mampu menampung peserta didik sebanyak

mungkin di berbagai daerah.

- Memegang kendali terhadap biaya pendidikan sekolah sehingga tidak ada sekolah yang

mematok harga tinggi dengan alasan mutu.

- Menggalakkan pembangunan lembaga sekolah bagi daerah-daerah terpencil yang hanya

memiliki lembaga pendidikan dasar dan tidak ada lembaga pendidikan menengah.

- Mengontrol melalui sekolah tentang kegiatan pembelajaran, dengan menekankan kegiatan

pembelajaran yang kontemporer dan beralih dari pembelajaran konvensional dan

mengontrol dengan mengacu kepada standar proses.

- Sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya melanjutkan pendidikan dan menjamin

ketersediaan lapangan kerja atau pembekalan untuk bisa memciptakan lapangan

pekerjaan sendiri ketika tamat dari tingkat satuan pendidikan.

3.2Kebijakan Pembaharuan Relevansi Pendidikan

Pendidikan yang relevan adalah harapan semua pihak. Karena dengan pendidikan yang

relevan, pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang mempunyai skill dan

keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan sebagaimana yang menjadi tujuan

pendidikan nasional. Jika setiap lulusan mempunyai keterampilan yang merupakan bekal dari

satuan tingkat pendidikan maka angka pengangguranpun akan berkurang dan itu

menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia relevan dengan dunia kerja.

Berdasarkan Berita Resmi Statistik dari Badan Pusat Statistik No. 38/05/Th. XVII, 5 Mei

(10)

Dari tabel di atas terlihat bahwa angka pekerja pada tahun 2014 meningkat dari tahun

2013. Tamatan pekerja didominasi oleh tamatan SD ke bawah dengan 55,31 juta orang

kemudian semakin menurun sampai ke tamatan perguruan tinggi sebesar 8,85 juta orang.

Terlepas dari jenis pekerjaan yang ditekuni, terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan jumlah

angka penduduk yang bekerja semakin berkurang.

Kemudian adapun data tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan

adalah;

Dari tabel di atas terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka yang paling tinggi adalah

tamatan SMA dengan 9,10 juta orang dan yang paling rendah adalah tamatan SD sebanyak

3,69 juta orang. Adapun untuk tamatan perguruan tinggi berjumlah 5,70 juta orang.

Jika bercermin kepada tujuan program pembangunan nasional pendidikan tinggi yaitu

salah satunya adalah meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja

(Rivai dan Murni, 2009: 69), maka pendidikan Indonesia dengan 5,70 juta orang tamatan

perguruan tinggi menganggur, menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mengarah kepada

(11)

Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan pembaharuan relevansi pendidikan yang

akan meminimalisir angka pengangguran dari setiap tamatan tingkat pendidikan.

kebijakan-kebijakan yang bisa diusahakan oleh pemerintah adalah:

- Kurang relevansinya materi pendidikan bisa ditanggulangi dengan penyusunan kurikulum

baru atau dengan perbaikan pada standar isi.

- Pengadaan dana yang lebih optimal dalam pengembangan keterampilan dan bakat peserta

didik atau mahasiswa atau diupayakan adanya modal usaha bagi mahasiswa yang

berminat dengan dunia usaha.

- Membekali setiap peserta didik dengan keterampilan, jika di tingkat sekolah dasar dan

menengah pemerintah bisa bekerja sama dengen sekolaj untuk mengadakan ekstra

kurikuler yang kiranya bisa menjadi pengasah keterampilan bagi peserta didik. Dan untuk

perguruan tinggi pemerintah bisa mengusahakan terbentuknya forum-forum internal

kampus yang mengasah bakat dan keterampilan mahasiswa terutama tentang

enterprenuer/ wirausahawan.

- Menekankan pembelajaran bisa dilakukan dengan lebih interaktif dan bahan ajar

diusahakan terkait atau dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dan menekankan praktek

sehingga peserta didik tidak hanya mengerti teori tapi juga manfaat dalam kehidupannya.

- Menyediakan lapangan pekerjaan secara maksimal bagi setiap angkatan pada setiap

lulusan dengan cara menjalin kerjasama kemitraan antara perguran tinggi dan perusahaan

(12)

BAB IV PENUTUP 4.1Kesimpulan

Data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah untuk

jenjang SD pada tahun 2013 berjumlah 98,42% kemudian semakin menurun pada jenjang

SMP menjadi 90,81% dan pada jenjang SMA menjadi 63,84% bahkan sampai ke 20,14%

pada jenjang perguruan tinggi. Angka tersebut menunjukkan terjadinya penurunan angka

partisipasi dari masyarakat usia sekolah, yang disebabkan oleh banyaknya angka putus

sekolah. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang sesuai sebagai bentuk

pembaharuan dalam dunia pendidikan untuk memberikan pemerataan pendidikan bagi setiap

warga negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1.

Badan pusat statistik juga merilis berita Resmi Statistik dari Badan Pusat Statistik No.

38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014 yang memperlihatkan bahwa angka pekerja pada tahun 2014

meningkat dari tahun 2013. Tamatan pekerja didominasi oleh tamatan SD ke bawah dengan

55,31 juta orang kemudian semakin menurun sampai ke tamatan perguruan tinggi sebesar

8,85 juta orang. Terlepas dari jenis pekerjaan yang ditekuni, terlihat bahwa semakin tinggi

tingkat pendidikan jumlah angka penduduk yang bekerja semakin berkurang. Data tentang

pengangguran terbuka juga menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka yang paling

tinggi adalah tamatan SMA dengan 9,10 juta orang dan yang paling rendah adalah tamatan

SD sebanyak 3,69 juta orang. Adapun untuk tamatan perguruan tinggi berjumlah 5,70 juta

orang. Sehingga perlu dilahirkan kebijakan-kebijakan pembaharu untuk meminimalisir angka

pengangguran berdasarkan tingkan pendidikan dan di lain sisi meningkatkan angka pekerja

berdasarkan tingkat pendidikan terutama bagi pendidikan menengah dan tinggi.

4.2Saran

Besar harapan penulis kiranya setelah paper ini, maka akan lahir paper-paper berikutnya

yang membahas tentang kebijakan pembaharuan pendidikan dari aspek yang lain atau

membahas indikator yang sama akan tetapi lebih luas dan mendetail. Mengingat paper ini

hanya mengkaji kebijakan pembaharuan pendidikan di tinjau dari pemerataan pendidikan

yang didasarkan pada Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan relevansi pendidikan yang

(13)

DAFTAR PUSTAKA

indonesiaberkibar.org/id/fakta-pendidikan [diakses 14-122014]

lppm.uns.ac.id/Panduan%20Pendidikan%20Berprespektif%20Gender/index.php?option=com_content &view=article&id=109&Itemid=73[diakses 14-12-2014]

Iskandar, A.G. tersedia di http://home.cbi.ac.id/index.php/archives/150[diakses 14-12-2014]

Mulyasa, H.E. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rivai, V & S. Murni. 2009. Education Management. Jakarta: Rajawali Press.

Rusdiana, A. 2014. Konsep Inovasi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

www.bps.go.id/brs_file/naker_05mei14.pdf[diakses 14-122014]

ZevenbergefJ, R., S. Dole. & J. Wright. 2004. Teaching Mathematics in Primary

school. Malaysia: SRM Production Service.

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web untuk Promosi Kerajinan Gerabah Kasongan ini berfungsi sebagai media promosi bagi sejumlah pemilik perusahaan gerabah Kasongan yang

Maka dalam sila ke – 5 tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama ( kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai

Dalam rangka upaya peningkatan kinerja Inspektorat Utama yang berorientasi pada hasil (outcome) perlu ditetapkan rumusan Arah Kebijakan Pengawasan Tahun 2015-2019 sebagai pedoman

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Dari empat Bank Umum Syariah yang diteliti dapat dibuat analisis perbandingan sebagaimana yang tercantum dalam tabel 7 Dari tabel ini terlihat dengan menggunakan metode yang

Merupakan semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun yang sementara tidak ada.. Konsep/Definisi SP

Upaya perubahan harus didasarkan pada diagnosis yang baik dan harus konsisten dengan kondisi dalam organisasi. Manajemen harus berkomitmen dengan upaya perubahan pada

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja atau purposive, yaitu PG Tasikmadu dengan pertimbanganmasih ditemukan permasalahan terkait kualitas gula,