• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Beberapa Apotek di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Beberapa Apotek di Kota Medan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

PROFIL PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK KEFARMASIAN BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN

Oleh:

Wiryanto1), Juanita Tanuwijaya1), Gracia1), Sudewi2) 1)

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan 2)

Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan

Wiryanto_2510@yahoo.com

ABSTRAK

Latar Belakang: Praktik farmasi komunitas/apotek di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik

yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik, mencegah kemungkinan terjadinya drugs related problems dan medication error, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Obat dikelola lebih sebagai komoditas, obat keras dijual secara bebas tanpa resep dokter dan dilakukan oleh siapa saja.

Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui profil pemenuhan standar praktik kefarmasian

beberapa apotek di kota medan.

Metode: Penelitian dilakukan dengan metode survei, dengan membagikan kuesioner secara

langsung ke 100 apoteker penanggungjawab apotek sebagai responden di kota Medan, dengan pengambilan kuesioner langsung atau pengambilan kembali beberapa hari berikutnya. Data adalah identitas dan pilihan responden terhadap 2 atau 3 deskripsi tingkat pemenuhan elemen-elemen standar praktik dengan masing-masing skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4 pada setiap elemen standar. Profil pemenuhan standar praktik kefarmasian terdiri dari kriteria tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian, sangat baik: ≥150; baik: ≥130; cukup: ≥110; kurang: ≥80; bawah standar: ≥60; tidak layak: ≥40; dan sangat tidak layak: <40. Dan kriteria tingkat pemenuhan setiap aspek standar berdasarkan rerata poin hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, sangat baik: ≥3,75; baik: ≥3,25; cukup: ≥2,75; kurang: ≥2; bawah standar: ≥1,5; tidak layak: ≥1; dan sangat tidak layak: <1.

Hasil: Hasil survei menunjukkan bahwa rerata tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian

beberapa apotek di kota Medan termasuk dalam kriteria bawah standar (poin 72,4) dengan kisaran poin 14-148, terdiri dari kriteria bawah standar 25%, kurang 47%, cukup 14% dan baik 14%. Dan kriteria hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, aspek profesionalisme: bawah standar (poin 1,91), aspek manajerial: cukup (poin 2,78), aspek dispensing: sangat tidak layak (poin 0,94), aspek asuhan kefarmasian: sangat tidak layak (poin 0,81), dan aspek pelayanana kesehatan masyarakat: tidak layak (poin 1,38). Secara statistik faktor-faktor ada tidaknya pekerjaan lain dan besaran imbalan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P<0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik. Dan faktor-faktor jenis kelamin, jenis pekerjaan lain, pengalaman praktik, kepemilikan, dan omset tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P>0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik.

Kesimpulan: Tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti juga tingkat kepatuhan

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika profesi dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian di beberapa apotek di kota Medan masih sangat rendah. Situasi dan kondisi penyelenggaraan praktik kefarmasian menyangkut 5 aspek standar masih harus terus dibenahi melalui sebuah model pembinaan dan pengawasan secara sistematis, bertahap dan lebih profesional oleh seluruh jajaran Kementerian Kesehatan dan Organisasi Profesi IAI

(6)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

2

PENDAHULUAN

Praktik kefarmasian di apotek di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi (Ahaditomo, 2002; Anonim, 2002). Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian dan berperan mencegah kemungkinan terjadinya masalah terkait obat (drugs related problems) dan kesalahan pengobatan (medication error), lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuh puluh persen Apoteker di Sumatera Utara tidak berada di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian (Anonim, 2008) dan 62,5% apoteker di kota Medan hanya hadir 1 kali dalam sebulan (Wiryanto, 2009). Pelayanan kefarmasian yang ada lebih sebagai transaksi jual beli, di mana apotek tak ubahnya seperti toko yang sekedar menjual komoditas bernama obat tanpa standar mutu, tanpa standar SDM, tanpa standar sarana prasarana, dan tanpa standar proses (Rubiyanto, 2010). Menurut Bahfen (2006), peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur bidang kefarmasian selalu difokuskan pada komoditi, tenaga dan sarana, pelayanan kefarmasian belum dilakukan secara optimal karena berbagai standar yang perlu diterapkan hingga tahun 2003 belum ada.

Departemen Kesehatan RI bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia

(ISFI) telah berhasil menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Menkes RI, 2004), akan tetapi hasil penelitian tentang pelayanan kefarmasian di apotek di kota Medan 5 tahun kemudian menyimpulkan, bahwa praktik kefarmasian di apotek masih dilaksanakan sebagaiman tahun-tahun sebelumnya. Obat keras tetap dikelola sebagai komoditas ekonomi yang seolah tanpa risiko kepada penggunanya, lebih banyak dijual tanpa resep dokter, dan dilakukan oleh siapa saja (Wiryanto, 2009). Selanjutnya pemerintah menetapkan PP No.51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian (Presiden RI, 2009) yang utamanya mengatur tentang syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian. Dan melalui sebuah penelitian telah disusun standar praktik kefarmasian di apotek yang lebih bersifat komprehensif menyangkut 5 aspek standar (Wiryanto, dkk., 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil pemenuhan standar praktik kefarmasian beberapa apotek di kota Medan.

METODE

(7)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

3

dengan pengambilan kuesioner langsung atau pengambilan kembali beberapa hari berikutnya. Data adalah identitas dan pilihan responden terhadap 2 atau 3 deskripsi tingkat pemenuhan elemen-elemen standar praktik kefarmasian dengan masing-masing skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4 pada setiap elemen standar. Profil pemenuhan standar praktik kefarmasian terdiri dari kriteria tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian, sangat baik: ≥150; baik: ≥130; cukup: ≥110; kurang: ≥80; bawah standar: ≥60; tidak layak: ≥40; dan sangat tidak layak: <40. Dan kriteria tingkat pemenuhan setiap aspek standar berdasarkan rerata poin hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, sangat baik: ≥3,75; baik: ≥3,25; cukup: ≥2,75; kurang: ≥2; bawah standar: ≥1,5; tidak layak: ≥1; dan sangat tidak layak: <1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Tabel 1.1 di bawah ini adalah karakteristik dari 52 responden yang mengisi kuesioner secara lengkap:

Tabel 1.1 Karakteristik Responden

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 14 26,92

Perempuan 38 73,08

Ada-tidaknya Pekerjaan Lain Selain APA Jumlah %

Ada 41 78,85

Tidak ada 11 21,15

Jenis Pekerjaan Lain Selain APA Jumlah %

Dinkes/BPOM/RS 31 59,62

Perguruan Tinggi Farmasi 6 11,54

Lain-lain 4 7,69

Tidak ada 11 21,15

Pengalaman Sebagai APA Jumlah %

≤5 tahun 20 38,46

>5 tahun 32 61,54

Kepemilikan Apotek Jumlah %

Milik Apoteker 8 15,38

Milik Pemodal 41 78,85

Tidak ada data 3 5,77

Frekuensi Kehadiran di Apotek Jumlah %

1-3 kali sebulan 21 40,38

1 kali seminggu 8 15,39

2-3 kali seminggu 7 13,46

Tiap hari, pada jam tertentu 11 21,15

(8)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

4

Responden yang mengisi kuesioner penelitian sebanyak 52 orang dari 100 kuesioner yang dibagikan (angka respon = 52%). Pada pengumpulan data penelitian, kendala yang dihadapi adalah sangat sulitnya menjumpai responden di apotek, ketidakadaan waktu responden, dan ketidakbersediaan responden secara pribadi dalam mengisi kuesioner, sehingga angka respon relatif kecil. Merujuk pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa 73,08% responden adalah perempuan, 78,85% di antaranya mempunyai pekerjaan lain selain sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA), 69,23% tidak hadir setiap hari di apotek, 61,54% mempunyai pengalaman bekerja lebih dari 5 tahun, dan hanya 15,38% memiliki apotek sendiri.

2. Kinerja Bisnis Apotek

Tabel 2.1 di bawah ini adalah kinerja bisnis apotek yang digambarkan melalui kemampuan apotek mendapatkan omset per hari, dan kemampuan apotek untuk memberikan imbalan kepada apoteker

Tabel 2.1 Gambaran Kinerja Bisnis Apotek

Rerata Omset Per Hari (Rp.) Jumlah %

≤ 2.000.000 21 40,39

> 2.000.000 20 38,46

Tidak ada data 11 21,15

Besaran Imbalan APA Per Bulan (Rp.) Jumlah %

≤ 2.000.000 36 69,23

> 2.000.000 16 30,77

(9)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

5

3. Profil Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian

Kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian ditentukan berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian terhadap 40 elemen standar yang terbagi ke dalam 5 aspek standar: aspek profesionalisme terdiri dari 12 elemen standar, aspek manajerial terdiri dari 12 elemen standar, aspek dispensing terdiri dari 6 elemen standar, aspek asuhan kefarmasian terdiri dari 8 elemen standar, dan aspek pelayanan kesehatan masyarakat terdiri dari 2 elemen standar.

Tabel 3.1 berikut adalah kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan berdasarkan rerata poin kumulatif hasil penilaian.

Tabel 3.1 Rerata Poin Kumulatif dan Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dari 52 Apotek di Kota Medan

Aspek Standar Rerata Poin Kumulatif Kriteria 1 Profesionalisme 24,77

72,04 Bawah standar

2 Manajerial 33,35

3 Dispensing 4,69

4 Asuhan Kefarmasian 6,46 5 Pelayanan Kesmas 2,77

Merujuk pada Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian menghasilkan poin kumulatif sebesar 72,04 atau termasuk dalam kriteria bawah standar. Selanjutnya Tabel 3.2 berikut adalah distribusi kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan.

Tabel 3.2 Distribusi Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Berdasarkan Poin Kumulatif

Kriteria Jumlah %

Sangat Baik 0 0

Baik 4 7,69

Cukup 4 7,69

Kurang 13 25,00

Bawah Standar 7 13,46

Tidak Layak 0 0

(10)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

6

Merujuk pada Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa paling banyak (46,15%) dari 52 apotek di kota Medan mempunyai kriteria sangat tidak layak dan tidak ada satupun dari 52 apotek tersebut mempunyai kriteria sangat baik.

Tabel 3.3 berikut adalah kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian berdasarkan aspek standar dari 52 apotek di kota Medan.

Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dari 52 Apotek di Kota Medan Berdasarkan Aspek Standar Aspek Standar Rerata

Poin Kriteria 1. Profesionalisme 1,91 Bawah Standar

2. Manajerial 2,78 Cukup

3. Dispensing 0,94 Sangat Tidak Layak 4. Asuhan Kefarmasian 0,81 Sangat Tidak Layak 5. Pelayanan Kesmas 1,38 Tidak Layak

(11)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

7 0

1 2 3 4

1

2

3 4

5

IDEAL

NILAI

terjangkau.Selanjutnya Diagram 3.1 berikut adalah gambaran dari Tabel 3.3 dalam bentuk diagram jaring laba-laba (spider web), di mana garis warna merah merupakan poin hasil penilaian dan garis warna biru merupakan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian pada kriteria ideal. Melalui diagram ini dapat dilihat dengan mudah bahwa sepanjang garis warna merah belum berimpit dengan garis warna biru, maka tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian masih belum mencapai kriteria ideal.

Gambar 3.1 Gambaran Tingkat Pemenuhan Aspek Standar Kefarmasian Dari 52 Apotek di Kota Medan

4. Hubungan Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dengan Karaketeristik responden

Hubungan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan karakteristik responden dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS Statistics 17.0. Oleh karena variabel penelitian diukur dengan menggunakan skala pengukuran kategorik, maka sebagai instrumen uji dipilih Chi-Square dengan syarat sel yang mempunyai nilai ekspektasi (expected count) kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel. Apabila syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka digunakan alternatif uji Kolmogorov-Smirnov (Dahlan, 2004). Hasil analisis statitistik secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.1.

(12)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

8

praktik kefarmasian dengan kriteria baik, sebaliknya 53,90% responden dengan adanya pekerjaan lain menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria buruk.

Tabel 4.1 Analisis Statitistik Hubungan Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dengan Karakteristik Responden Jenis Kelamin Chi-Square 0,111 Tidak terdapat hubungan,

P > 0,05 Ada tidaknya

pekerjaan lain Chi-Square 0,042

Terdapat hubungan,

per bulan Chi-Square 0,000

Terdapat hubungan,

Omset apotek Chi-Square 0,087 Tidak terdapat hubungan, P > 0,05

Selanjutnya secara statistik variabel besaran imbalan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P < 0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. Data menunjukkan bahwa 87,50% responden dengan imbalan > Rp.2.000.000,- menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria baik, sebaliknya 72,22% responden dengan imbalan ≤ Rp.2.000.000,- menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria buruk. Selanjutnya variabel-variabel jenis kelamin, jenis pekerjaan lain, pengalaman praktik, kepemilikan, dan omset tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P > 0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti untuk saat ini perubahan semua variabel-variabel tersebut tidak akan mempu meningkatkan kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian.

KESIMPULAN

(13)

Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013

9

rendah. Situasi dan kondisi penyelenggaraan praktik kefarmasian menyangkut 5 aspek standar masih harus terus dibenahi melalui sebuah model pembinaan dan pengawasan secara sistematis, bertahap dan lebih profesional oleh seluruh jajaran Kementerian Kesehatan dan Organisasi Profesi IAI.

DAFTAR PUSTAKA

Ahaditomo. (2002). Standard Kompetensi Apoteker Indonesia. Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut Teknologi Bandung 1947-2002, 28 Juni 2002. Anonim. (2002). Disesalkan Apotek Berubah Jadi Toko Obat di Lhokseumawe. Harian

Waspada, Medan. 10 September 2002.

Anonim. (2008). Tujuhpuluh persen Apoteker Tidak Berada di Apotek. Harian Waspada, Medan., 31 Mei 2008.

Bahfen, F. (2006). Aspek Legal: Layanan Farmasi Komunitas Konsep “Pharmaceutical Care”. Medisina Edisi Perdana: 18-26

Cordina, M., Safta, V., Ciobanu, A., Sautenkova, N. (2008). An assessment of community pharmacists’ attitudes towards professional practice in the Republic of Moldova, Pharmacy Practice: 6(1):1-8.

Dahlan, MS. (2004). Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan: Uji Hipotesis dengan Menggunakan SPSS. Jakarta: PT Arkans. Hal. 17-19; 46-56; 61-121; 124-142

Menkes RI. (2004). Kepmenkes RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

PD IAI Sumut. (2013). Suarat Edaran No.121/PD.IAI/SUMUT/III/2013 tentang Imbalan Minimum Bulanan. Medan: PD IAI Sumut

Presiden RI. (2009). Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pemerintahan Negara RI. Jakarta: Lembaran Negara RI tahun 2009 No.124

Rubiyanto, N. (2010). Rekonstruksi Profesi Apoteker: Sebuah Upaya membuat Peta Jalan Menuju Apoteker sebagai Tenaga Kesehatan. [diakses 6 Februari 2011]

www.ikatanapotekerindonesia.net/artikel-a-konten/intermezzo/1540-rekonstruksi-profesi-apoteker.html

Wiryanto. (2009). Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pasca PUKA Di Kota Medan. Makalah disampaikan pada Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta, 7-8 Desember 2009

Wiryanto. (2010). Peluang Penerapan PP 51 Terkait Titik Impas: Studi Kasus di Apotek Farma Nusantara Medan, Makalah disampaikan pada Kongres Ilmiah ISFI XVIII, Makassar, 10-12 Desember 2010

(14)

Gambar

Tabel 1.1 Karakteristik Responden
Tabel 2.1 Gambaran Kinerja Bisnis Apotek
Tabel 3.1 Rerata Poin Kumulatif dan Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dari 52 Apotek di Kota Medan
Gambar 3.1 Gambaran Tingkat Pemenuhan Aspek Standar Kefarmasian Dari 52 Apotek di Kota Medan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.. Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda

Sub Pokok Bahasan : Konsep Dasar Biaya Bahan Baku dan Biaya Tenaga Kerja, Penentuan Biaya Bahan Baku dan Biaya Tenaga Kerja Kegiatan Pembelajaran : Ceramah dan Contextual

Siswa yang belum mampu melakukan wawancara sesuai dengan panduan yang terdapat di dalam buku siswa dapat berlatih dengan panduan

bahwa dalam rangka meningkkatkan mutu asuhan kebidanan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat perlu meningkatkan jenjang pendidikan bidan menjadi program Diploma

Packaging yang menarik, harga yang cukup terjangkau, dan rasanya yang enak, serta bagaimana masyarakat menerimanya sedemikian rupa, membuat almond crispy cheese menjadi

Dari saran-saran di atas tampak bahwa pengetahuan tentang pendidikan kritis dan demokratis, mempakan pengetahuan yang berkaitan dengan usaha nyata pendidikan untuk

Bid-ask merupakan selisih harga beli tertinggi yang trader (pemegang saham) bersedia membeli suatu saham dengan harga jual terendah dan trader bersedia menjual

Instrumen tersebut juga bisa meningkatkan kewaspadaan (awareness) masyarakat sehingga dapat memotivasi masyarakat untuk menurunkan tingkat faktor risiko kejadian stroke infark.