• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUSI HIBAH HAREUTA PEUNULANG DI ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INSTITUSI HIBAH HAREUTA PEUNULANG DI ACEH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

ISNTITUSI HIBAH HAREUTA PEUNULANG

DI ACEH

Munadi

IAIN Lhokseumawe

Email: munadiusman83@gmail.com

A.Pendahuluan

Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta benda, yaitu pemindahan harta (hak milik) dan tanggung jawab dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Harta yang dipindahkan tersebut dapat berupa harta terwujud (uang, rumah, tanah dll) dan harta tidak terwujud, misalnya royalti yang biasanya disebut tirkah (harta peninggalan). Sedangkan yang dimaksud tanggung jawab adalah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, seperti hutang, wasiat, dan sebagainya.1

Persoalan kewarisan menjadi salah satu masalah hukum yang membutuhkan penanganan yang baik dan seakurat mungkin. Seseorang secara seketika dapat menyandang status ahli waris atau mendapatkan hak kepemilikan atas suatu harta warisan. Namun tidak jarang persoalan terjadi bahwa harta warisan ini dapat menjadi bumerang dan bahkan menyebabkan tali persaudaraan terganggu.

Dalam keluarga terdapat dua jenis harta yang biasa dimiliki suami isteri, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan terputus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai

1Komnas Perempuan, Hak Wa ris Perempuan & Perwalian Anak, (Banda Aceh: Komnas

(2)

2 mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebagai warisan maupun pemberian pada saat sebelum terjadinya ikatan perkawinan, atau harta yang diperoleh sebagai warisan maupun pemberian pada saat setelah terjadinya ikatan perkawinan.2

Dalam masyarakat Aceh terkenal institusi adat yang disebut hareuta peunulang/hareuta tuha yaitu harta benda yang diperoleh laki-laki atau perempuan sebelum atau sesudah menikah, dalam bentuk warisan, hibah atau harta benda yang dibeli atau dibuat.3 Harta penulang ini diberikan sebelum peristiwa pembahagian harta warisan. Pemberian harta ini bertujuan untuk membekali anak menjalani kehidupan baru berumah tangga. “hareuta peunulang perlu kepada kajian mendalam, guna memahami kedudukan harta tersebut sebagai harta warisan menurut hukum kewarisan Islam.

B.Harta Warisan

Harta warisan adalah peninggalan dan warisan (tirkah), yakni harta yang dialihkankan dari pewaris (almarhum) kepada ahli waris yang masih hidup.4 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171e pengertian „harta warisan‟ adalah sebagai harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal dan membayar seluruh hutang-hutangnya.

Dari defenisi ini berarti, harta warisan terdiri dari 2 jenis harta, pertama harta bawaan dan kedua harta bersama. Dalam sebuah keluarga, warisan bukan hanya berupa harta peninggalan dalam arti harta yang selama ini dikumpulkan oleh suami dan isteri, tetapi adakalanya juga harta bawaan.

1. Harta Bersama

Kata harta bersama terdiri dari dua suku kata yaitu “harta” dan “bersama”.

Secara etimologi, harta mengandung dua pengertian yaitu: Pertama, barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, kekayaan berwujud

2

UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35

3http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM. diakses 2 Oktober 2012 4Muhammad Syaththa al-Dimyathy, Hasyiyah al-i‟anah al

-Thalibin „ala al-Halli Alfadzi

(3)

3

dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan.”5

Timbulnya harta bersama dalam perkawinan dimulai sejak seorang pria dengan seseorang wanita terikat dalam perkawinan sebagai suami isteri. Sejak itu tumbuhlah harta bersama yang dilembagakan peristilahannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam peraturan perundang-undangan, istilah

“harta bersama” telah dipakai sejak tahun 1974 dengan berlakunya Undang

-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tanggal 2 Januari 1974, yang berlaku efektif dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tanggal 1 April 1975.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, istilah harta bersama dipakai untuk harta benda yang diperoleh selama perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan terputus, baik terputus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.

Secara eksplisit ketentuan yang diatur Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menjelaskan, tentang batasan yang harus dipedomani supaya harta dalam perkawinan menjadi harta bersama, yaitu harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan akan menjadi harta bersama. Dengan demikian semua harta benda perkawinan yang diperoleh dalam rentang waktu adanya ikatan perkawinan menjadi harta bersama, tanpa memandang apakah pihak lainnya, suami atau isteri turut bekerja mencari harta atau tidak.

Harta bersama meliputi:

1) Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung

2) Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan demikian

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi II,

(4)

4 3) Hutang–hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang

merupakan harta pribadi masing-masing suami istri. 2. Harta Bawaan

Harta Bawaan adalah harta yang dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau isteri. Masing-masing atau isteri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UU Perkawinan). Harta warisan merupakan harta bawaan yang sepenuhnya dikuasai oleh suami atau isteri, sehingga harta bawaan tidak dapat diganggu gugat oleh suami atau isteri. Jika terjadi perceraian maka harta bawaan tetap ada di bawah kekuasaan masing-masing (tidak dapat dibagi).

Harta bawaan adalah harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum perkawinan baik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lain. Harta yang berasal dari hibah atau warisan adalah harta masing-masing suami istri yang diperoleh bukan karena usaha bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi diperoleh karena hibah, warisan atau wasiat. Dengan kata lain, pengertian jenis harta ini adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak diperoleh sebagai hasil dari mata pencaharian suami dan istri tersebut.

Harta bawaan/pribadi masing-masing suami istri yang merupakan harta tetap di bawah penguasaan suami istri yang merupakan harta yang bersangkutan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh suami istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Harta pribadi meliputi:

1) Harta yang dibawa masing-masing suami istri ke dalam perkawinan termasuk hutang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan. 2) Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain

kecuali ditentukan lain

3) Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan lain

(5)

5 Berdasarkan penggolongan jenis-jenis harta tersebut maka sebagai konsekuensinya terdapat dua macam penggolongan hak milik terhadap harta dalam perkawinan yaitu:

a. Adanya hak milik secara kolektif atau bersama khusus mengenai harta yang digolongkan sebagai harta hasil dari mata pencaharian, pengaturannya adalah hak kepemilikan terhadap harta tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh pasangan suami istri. Dengan adanya hak kepemilikan secara kolektif ini tentunya wewenang dan tanggung jawab terhadap harta bersama tersebut berada di tangan suami dan istri. Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka si suami harus mendapat persetujuan dari istri, demikian juga sebaliknya.

b. Adanya hak milik pribadi secara terpisah. Pada harta yang digolongkan sebagai jenis harta yang kedua yaitu harta bawaan dan jenis harta ketiga yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak berasal dari mata pencaharian, terhadap keduanya pengaturan terhadap hak milik dilakukan pada dasarnya dilakukan secara terpisah, yaitu masing-masing suami istri mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta yang dimilikinya sebelum terjadinya perkawinan. Dengan kata lain harta-harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri sebelum perkawinan terjadi tidak menjadi bercampur kepemilikannya atau kepemilikan terhadap harta bawaan tersebut tidak menjadi kepemilikan secara kolektif. Akan tetapi hak kepemilikan mengenai jenis harta ini dapat ditentukan menjadi hak kepemilikan bersama atau kolektif bagi suami dan istri. Dasar hukum

dalam hal ini adalah pasal 35 ayat 2 yang menyatakan: “Harta bawaan

adalah dibawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang para pihak

tidak menentukan lain”. Hal ini mengandung arti yaitu apabila suami dan

istri menghendaki terjadinya percampuran salah satu atau kedua jenis harta tersebut, maka percampuran harta ini dapat dimungkinkan dengan perjanjian sebelumnya.

(6)

6 dengan usaha mereka bersama. Harta warisan merupakan harta sisa, setelah penyelesaian fardhu kifayah mayit dan membayar kewajiban hutang-piutang dan wasiat. Setelah kewajiban tersebut diselesaikan, berapapun sisanya adalah harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris.

C.Hareuta Peunulang

Dalam masyarakat Aceh terkenal pranata adat yang disebut peumeungkleh

dan harta peunulang. Peumeungkleh dalam perkawinan matrilokal yaitu pemisahan keluarga baru dari keluarga induk setelah kelahiran anak pertama. Ketika peristiwa peumuengkleh, orang tua perempuan memberikan hareuta peunulang berupa rumah atau tanah perkarangan yang juga dapat diperhitungkan sebagai harta warisan nanti. Sedangkan untuk anak laki-laki diberikan tanah sawah atau kebun sebagai hareuta peunulangnya pula.6

Pengamat Adat sekaligus pakar sejarah Aceh, Nurdin Abdurrahman, mengatakan bahwa di sebagian besar daerah di Aceh, memberi bekal harta kepada anak, sudah menjadi kewajiban orang tua memberikan harta ini saat anak melangsungkan perkawinan. Seorang ayah biasanya bersikap bijaksana dalam mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah anaknya, sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian harta kepada ahli warisnya kelak. Kedudukan hareuta peunulang sekalipun diperhitungkan sebagai „harta warisan‟,

hareuta peunulang merupakan bagian dari warisan orang tua dan juga tidak menafikan hak waris anak laki-laki dan perempuan ketika pembahagian harta warisan dilaksanakan.7

Bentuk hareuta peunulang dapat berupa rumah, sawah, kerbau dan lain-lain. Kepada anak perempuan diberikan rumah atau tanah untuk membangun rumah, bermaksud bila kelak terjadi perceraian bukan si isteri yang keluar dari rumah melainkan suami, karena rumah tersebut adalah milik sah si isteri hasil pemberian orang tuanya. Dalam masalah ini, ulama Aceh masa lalu telah berusaha

6Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Konstelasi Syariat Islam di Era Global,

(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2011), h. 99.

(7)

7 menerapkan maqasid syari`ah yang diperintahkan al-Qur‟an mengenai pemenuhan hak-hak perempuan yang diceraikan.8

Memperhatikan penjelasan di atas, hareuta peunulang dapat digolongkan ke dalam salah satu bentuk harta bawaan bagi laki-laki atau isteri. Orang tua memberikan harta tersebut kepada anak mereka menjelang ataupun setelah perkawinan dengan tujuan untuk membantu anak dalam membina rumah tangga yang baru. Bentuk peralihan harta dalam konsep hareuta peunulang dalam bentuk hibah (pemberian), maka harta tersebut sah dimiliki oleh anak tersebut sebagai harta bawaan.

Berdasarkan tujuannya, pemberian hareuta puenulang di Aceh terutama bagi anak perempuan adalah bentuk perimbangan demi adanya keadilan antara ahli waris laki-laki dan perempuan dalam mendapat harta warisan. Bentuk keluarga di Aceh adalah bilateral, suami isteri sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga kebutuhan terhadap harta relatif sama. Maka ulama di Aceh mensiasati pembagian harta warisan supaya adil dan berimbang, dengan melegalkan pranata adat hareuta peunulang. Dengan demikian anak mendapatkan harta secara berimbang berdasarkan kebutuhan masing-masing.

Pemberian hareuta peunulang harus memperhatikan keadilan diantara ahli waris, dan mempermaklumkannya kepada mereka. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesenjangan dalam keluarga. Dalam Yurisprudensi Daerah Istimewa Aceh terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menghibah harta bagi anak (hareuta peunulang). Pertama; dalam menghibah harta harus mempermaklumkan kepada ahli waris yang lain. Dalam yurisprudensi disebutkan “Dalam hal orang tua menghibahkan sesuatu kepada ahli warisnya, haruslah mempermaklumkan niatnya tersebut kepada para ahli waris lain, demikian juga dalam pembuatan surat hibah”.9Kedua; batas atau jumlah harta yang dihibahkan harus sama antara

8Abd. Moqsith Ghazali, dkk, Kumpulan Referensi Standar Evaluasi Hakim Dalam

Menerapkan Sensitivitas Jender Di mahkamah Syar‟iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar‟iyah Aceh, 2009), h. 43.

9

(8)

8 ahli waris. Sebagaimana disebutkan “Batas tanah yang dihibbahkan (peunulang) pada masing-masing pihak terletak diantara rumah kediaman masing-masing, dengan jumlah dan jarak yang sama antara masing-masing pihak.10

Dengan demikian, setiap kali orang tua melakukan hibah harus diberitahukan/dipermaklumkan kepada anak-anaknya. Mereka harus diberitahukan rencana hibah, bentuk dan jumlah harta yang dihibah. Pemberitahuan ini bertujuan untuk menghindari kesenjangan antara ahli waris. Orang tua harus mempertimbangkan setiap ahli waris dalam hibah dan melakukannya secara adil tanpa tebang pilih.

Kebiasaan dalam masyarakat Aceh, khususnya diwilayah yang melakukan hibah hareuta peunulang (Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya), orang tua memberikan harta kepada anaknya secara adil. Misalnya membangun rumah dengan bentuk yang sama, dan luas perkarangannya juga sama. Rumah diberikan kepada anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki biasanya diberikan toko, sawah atau bentuk lainnya.11

Hareuta peunulang bila dilihat dari perspektif fiqh merupakan salah satu dari praktik hibah. Sejauh hibah dilakukan dengan tujuan yang baik tidak mengapa (sah hukumnya). Bila ditinjau dari segi tujuannya hibah hareuta peunulang bertujuan untuk membantu anak dalam membina rumah tangga yang baru, ini tentu saja sangat positif, apalagi bila dinilai anak tersebut kurang mampu.

Dalam al-Quran Allah memerintahkan kepada orang tua memberikan perhatian terhadap anak-anaknya, membantu mereka untuk dapat hidup mandiri. Allah melarang orang tua meninggalkan ahli waris dalam keadaan lemah, akibat sikap mereka yang kurang cermat semasa hidupnya. Seperti menghibah harta secara berlebihan kepada bukan ahli waris. Dalam al-Quran Allah berfirman:

10Ibid.

11Hasil observasi dan wawancara penulis dengan beberapa tokoh masyarakat di

(9)

9

Artinya:Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (Q.S. an-Nisa: 9)

Ayat di atas menegaskan seseorang harus berhati-hati dalam bertindak, jangan sampai membawa efek negatif kepada ahli waris setelahnya. Allah memerintahkan kepada wali agar memberdayakan anak-anaknya secara ekonomi, ataupun meninggalkan harta. Hibah atau berwasiat yang berlebihan dilarang. Karena dapat menghabiskan banyak harta yang seharusnya ditinggalkan untuk ahli waris.

Konsep hareuta peunulang dalam adat Aceh dapat dianggap satu tindakan bijaksana, semasa hidup orang tua telah menyerahkan harta kepada anak sebagai bekal hidup untuk memberdayakan diri. Dengan itu anak memiliki modal untuk memulai hidup baru (bagi perempuan) dan memulai usaha (bagi laki-laki), sehingga beban dalam menjalani hidup relatif berkurang. Langkah ini dapat dianggap sebuah terobosan yang patut diapresiasi.

D. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu:

(10)

10 2. Sejauh dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum, hibah hareuta peunulang tidak mengapa (sah hukumnya), karena orang tua berhak menghibah hartanya kepada orang lain, terutama kepada anak-anaknya. 3. Konsep hareuta peunulang dapat dianggap sebuah terobosan untuk

mengimbangi harta warisan bagi ahli waris laki-laki dan perempuan, sekaligus mengurangi beban anak dalam memulai hidup baru.

E.Daftar Pustaka

Komnas Perempuan, Hak Waris Perempuan & Perwalian Anak, (Banda Aceh: Komnas Perempuan, 2007), h. 1.

UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35

http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM. diakses 2 Oktober 2012

Muhammad Syaththa al-Dimyathy, Hasyiyah al-i‟anah al-Thalibin „ala al-Halli Alfadzi Fathu al-Mu‟iin, Juz, 3, (Semarang: Toha Putra, tt), hal. 222. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Edisi II, Jakarta : Balai Pustaka, 1999, h. 342.

http://www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp. diakses 2 Oktober 2012 Abd. Moqsith Ghazali, dkk, Kumpulan Referensi Standar Evaluasi Hakim Dalam

Menerapkan Sensitivitas Jender Di mahkamah Syar‟iyah Aceh, (Banda

Aceh: Mahkamah Syar‟iyah Aceh, 2009), h. 43.

Rusjdi Ali Muhammad dan Khairizzaman, Konstelasi Syariat Islam di Era Global, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2011), h. 99.

Referensi

Dokumen terkait

• Mendapatkan model terbaik faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Jawa Timur dengan menggunakan regresi robust dan

Instagram menjadi sosial media yang banyak sekali peluang untuk berbisnis para penggunanya bisa dimanfaatkan sebagai media komunikasi pemasaran, melalui share foto-foto

karena pasien pada gangguan jiwa juga membutuhkan perhatian dari kita sebagai salah satu tenaga kesehatan, dengan harapan bahwa terapi tersebut dapat menurunkan

Multimedia adalah pemanfaatan komputer untuk membuat dan menggabungkan teks, grafik, audio, gambar bergerak (video dan animasi) dengan menggabungkan link yang

Teori koherensi menyatakan bahwa suatu kalimat bernilai benar jika pernyataan yang termuat dalam kalimat tersebut bersifat koheren, konsisten atau tidak bertentangan

Tulisan dalam aksara kwadrat dari masa Kaḍiri banyak sekali, sehingga dalam penelitian ini hanya membahas beberapa contoh prasasti saja dari berbagai daerah di Jawa Timur

berbentuk kuis dan pemberian pertanyaan inilah yang dapat menjadi konsep dalam evaluasi siswa terhadap hasil pembelajaran atau pemberian materi selama kegiatan

Implikasi dari kegiatan tersebut diharapkan: 1) Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan agama Islam dapat memberikan perubahan sikap dan tingkah laku pada peserta didik