• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Kinerja Petugas dalam Pencapaian Cakupan Imunisasi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Kinerja Petugas dalam Pencapaian Cakupan Imunisasi pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen Tahun 2015"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang

kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Derajat kesehatan anak

mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi penerus bangsa

memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam meneruskan pembangunan

bangsa. Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan anak diprioritaskan dalam

perencanaan atau penataan pembangunan bangsa.(Hidayat, 2008)

Tujuan pembangunan kesehatan nasional salah satunya adalah agar setiap

penduduk mendapatkan hak-hak kesehatannya seperti yang diamanatkan dalam

Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 5 ayat 2

ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Pembangunan kesehatan harus

diimbangi dengan intervensi perilaku yang memungkinkan masyarakat lebih sadar,

mau dan mampu melakukan hidup sehat sebagai prasyarat pembangunan yang

berkelanjutan (sustainable development). Untuk menjadikan masyarakat mampu

hidup sehat, masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan tentang cara-cara hidup

sehat.

Program imunisasi merupakan salah satu upaya untuk melindungi penduduk

(2)

antara lain : Difteri, Tetanus, Hepatitis B, radang selaput otak, radang paru-paru,

pertusis, dan polio. Indikator lain yang diukur untuk menilai keberhasilan

pelaksanaan imunisasi adalah Universal Child Immunization atau yang biasa disingkat UCI. UCI adalah gambaran suatu desa/kelurahan dimana ≥ 80% dari jumlah

bayi (0-12 bulan) yang ada di desa/kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi

dasar lengkap. Target UCI pada Renstra tahun 2013 adalah sebesar 95% ( Kemenkes

RI, 2014).

WHO (Global Immunization Data) tahun 2010 menyebutkan 1.5 juta anak meninggal karena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan hampir 17%

kematian pada anak < 5 tahun dapat dicegah dengan imunisasi. Berdasarkan hasil

Riskesdas Tahun 2007, pneumoni merupakan penyebab kematian no. 2 di Indonesia,

1/3 etiologi pneumoni disebabkan karena Hib. Meningitis merupakan radang selaput

otak dan Hib merupakan penyebab utama meningitis pada bayi usia ≤ 1 tahun, jika

penyakit ini tidak diobati 90% kasus akan mengalami kematian dan jika disertai

pengobatan adekuat 9-20 % kasus akan mengalami kematian.

Program imunisasi merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan

masyarakat yang lebih menekankan pada upaya promotif dan preventif, selain itu

imunisasi merupakan upaya yang sangat penting dalam mencegah penyakit serta

merupakan public good (barang publik) karena manfaatnya dapat dirasakan oleh

orang banyak. Pelaksanaan program imunisasi secara nyata dilaksanakan di

(3)

Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan dan

kesakitan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). PD3I adalah

penyakit-penyakit menular yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah dan

kematian terutama pada balita. Sebelum kegiatan imunisasi dipergunakan secara luas

di dunia, banyak anak yang terinfeksi penyakit seperti : penyakit polio, campak,

pertusis, dan difteri yang dapat berakibat kematian dan kecacatan pada tubuh.

Disamping dapat menularkan penyakit juga berpotensi menimbulkan Kejadian Luar

Biasa (KLB).

Kinerja tenaga kesehatan merupakan masalah yang sangat penting untuk

dikaji dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan pembangunan kesehatan.

Kajian mengenai kinerja dapat memberikan kejelasan tentang faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kinerja personil (Mukhlis, 2006).

Pengelolaan program imunisasi pada prinsipnya bertujuan untuk

memantapkan dan meningkatkan jangkauan pelayanan imunisasi secara efektif dan

efisien. Pemantapan pelayanan imunisasi saat ini diutamakan pada tercapainya UCI

tingkat Desa secara merata. Tujuannya agar dapat dilakukan tindak lanjut pelayanan

imunisasi secara cepat dan tepat serta tanggap terhadap Desa-Desa yang cakupan

imunisasinya masih rendah/di bawah target. Di dalam pemantauan wilayah setempat

(PWS) imunisasi tersebut terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk

mengetahui aksesibilitas pelayanan (besarnya jangkauan pelayanan), efektifitas

(4)

Dalam upaya untuk dapat memberikan pelayanan imunisasi secara maksimal

terhadap kelompok sasaran, telah dicukupi berbagai sarana dan prasarana oleh

pemerintah mulai dari sarana transportasi bagi petugas, lemari es, freezer dan vaccin carier/cold box ataupun thermos es sebagai tempat untuk menyimpan dan membawa

vaksin ke sasaran. Disamping itu untuk mengantisipasi perkembangan zaman dan

teknologi, dilakukan penyegaran pengetahuan (refreshing) bagi petugas imunisasi

melalui berbagai pelatihan maupun penataran untuk lebih meningkatkan ketrampilan

bagi petugas. Namun demikian hasil cakupan imunisasi yang dicapai saat ini belum

sesuai dengan harapan dari program imunisasi, yakni tercapainya UCI secara merata

di tingkat desa pada tahun 2015. Pencapaian imunisasi juga merupakan suatu hal

yang memengaruhi IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) yang

menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan dan menentukan peringkat

Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam keberhasilan pembangunan kesehatan

masyarakat, dimana salah satu indikatornya adalah pencapaian imunisasi lengkap.

Di Indonesia pada tahun 2013 cakupan imunisasi dasar lengkap mencapai

89,86 %, untuk provinsi Aceh sebesar 82,96 dari target Renstra sebesar 88 %.

Sedangkan untuk cakupan desa/kelurahan UCI menurut provinsi tahun 2013 di Aceh

sebesar 71,23 %. Provinsi aceh jelas belum mencapai target renstra Nasional pada

tahun 2013, posisi Provinsi aceh berada diurutan 7 terbawah dari seluruh provinsi di

Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

Pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dengan capaian imunisasi campak

(5)

Kabupaten Pidie memiliki capaian terendah sebesar 67,25%. Kabupaten Bireuen

menduduk peringkat 5 terbawah pada tahun 2013. Sebahagian besar kabupaten/kota

di Aceh belum dapat mencapai target yang ditetapkan pada tahun 2013 yaitu 90%.

Dengan indikator capaian DPT1+HB1 mencapai 90.981 (89,9%), DPT3+HB3 86.400

(85,4%), Campak pada bayi mencapai 86.655 (85,6%). Dengan DO Rate untuk tahun

2013 sebesar 5%. (Dinkes Provinsi Aceh. 2013)

Kabupaten Bireuen memilki 18 Puskesmas, dari 18 Puskesmas tersebut,

tercatat 8 Kecamatan yang masih kurang cakupan imunisasi Delapan kecamatan yang

masih rendah capaian imunisasi, yaitu Gandapura, Kutablang, Peusangan, Peusangan,

Siblah Krueng, Peudada, Jeunieb, Pandrah, dan Kecamatan Samalanga. pencapaian

program imunisasi di Kabupaten Bireuen pada tahun 2013, cakupan imunisasi

DPT1+HB1 (65,4%), DPT3+HB3 (68,7%), Campak (78,51%), BCG (75,7%) dan

Polio (72,4%), perolehan angka cakupan imunisasi dasar bagi anak usia 0-12 bulan

belum memenuhi target pencapaian pada Renstra Dinas Kesehatan Kabupaten

Bireuen tahun 2009-2013 (Dinkes Kabupaten Bireuen, 2014).

Data Kabupaten Bireuen dari 609 Desa, yang mencapai Desa UCI pada tahun

2011 sebanyak 43,6%, tahun 2012 yang mencapai Desa UCI sebanyak 60,4% dan

tahun 2013 yang mencapai Desa UCI sebanyak 62,7%. Dari data tersebut di atas

terlihat bahwa UCI desa mengalami peningkatan yang cukup baik setiap tahun namun

masih belum mencapai standar UCI apalagi kalau menggunakan standar Gerakan

(6)

diharapkan sebesar 85% sedangkan target yang digunakan sebesar 80% (Dinkes

Kabupaten Bireuen, 2014).

Sejalan dengan makin meningkatnya tingkat pendidikan dan sosial ekonomi di

masyarakat, kebutuhan dan tuntutan terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu jug

a semakin meningkat. Kondisi ini menuntut pergeseran titik tekan pelayanan imunisas

i

dari orientasi pencapaian target menuju orientasi penjagaan mutu pelayanan. Salah sat

u penentu mutu pelayanan adalah Sumber Daya Manusia yang berkualitas sehingga k

ajian tentang SDM menjadi hal yang sangat penting.

Kabupaten Bireuen sudah memilki 18 Puskesmas, 45 Pustu, 214 Poskesdes

dan 4 Poskestren namun dari rekap validasi data keberadaan Bides di 609 desa belum

terpenuhi. Data petugas akhir tahun 2013 untuk petugas pelaksana imunisasi masih

sedikit di masing-masing desa jika dikaji dengan total populasi penduduk di tiap

wilayah kerja puskesmas kecamatan.

Berdasarkan data yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen bahwa

pada tahun 2013 dari 18 Puskesmas yang ada di Kabupaten Bireuen belum ada

puskesmas yang tercapai UCI nya secara merata di tingkat desa dan hanya 10

Puskesmas (62,7%.) yang tercapai UCI di tingkat puskesmas, sedangkan 6 Puskesmas

(27,78 %) belum tercapai UCI nya. Disamping itu 2 Puskesmas (9,52 %) justru

mengalami kegagalan dalam pencapaian cakupan dengan ditandai angka drop out

(7)

(Kejadian LuarBiasa / KLB). Angka kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi juga masih cukup tinggi. (Dinkes Kabupaten Bireuen, 2014).

Kinerja maupun perilaku kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh 3 kelompok

variabel, yaitu variabel individu, variabel psikologis dan variabel organisasi. Ketiga

kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya

berpengaruh pada kinerja seseorang. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja

adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk

mencapai sasaran suatu tugas/jabatan (Ariebowo, 2005).

Dari hasil survei awal yang dilakukan pada bulan Mei 2014 dalam bentuk

wawancara secara mendalam dengan kepala puskesmas dan petugas pelaksana serta

menganalisis organisasi program imunisasi di tiap puskesmas, terlihat ada masalah

serius pada kinerja petugas diwilayah kerja yang kecamatannya memiliki cakupan

UCI yang rendah. Penilaian kinerja suatu organaisasi dilihat dari kesuksesan

manajemen progam yang dicanang, itu dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat

seberapa besar keberhasilan suatu organisasi tercapai. Dari manajemen progam

imunisasi terdapat 5 puskesmas yang tidak berjalan diantaranya di P1 pada tahap

perencanaan masih kurang, di sini Kelemahanya adalah masih banyak tidak adanya

analisis situasi, identifikasi penyebab masalah, alternatif pemecahan masalah, dan

penentuan serta kebutuhan peralatan juga banyak yang tidak lengkap. P2

(Penggerakan Pelaksanaan) Kelemahan pelaksanaan program imunisasi Puskesmas

yaitu belum maksimalnya koordinasi dan tidak sering dilakukannya supervisi.

(8)

dokumen yang menunjukkan perihal yang dikoordinasikan. Supervisi juga harus

dilaksanakan karena dengan supervisi dapat diketahui secara langsung penyebab

masalah dan dapat dicarikan solusi langsung ataupun tidak langsung. Waktu yang

dilakukan untuk supervisi harus rutin dan berkesinambungan. P3 (Pengawasan,

Pengendalian dan Penilaian) Kelemahan pengawasan, pengendalian dan penilaian

program imunisasi menunjukkan bahwa banyak Puskesmas belum memenuhi

kelengkapan PWS dan tidak melakukan analisis penilaian. Faktor manajemen

program imunisasi sebagai tolak ukur keberhasilan sangat jelas masih bermasalah, hal

ini dapat menyebabkan hasil kinerja yang tidak maksimal sehingga jelas cakupan

imunisasi di kecamatan yang memiliki cakupan UCI rendah.

Selanjutnya setelah dilakukan wawancara dengan kepala puskesmas dan 10

bidan pelaksana imunisasi ditemukan faktor- faktor yang secara khusus menghambat

kinerja sehingga tidak maksimal, yang berdampak langsung pada rendahya cakupan

UCI, faktor-faktor tersebut yaitu :

1. Kemampuan petugas, dalam hal ini kemampuan petugas pelaksana kurang, hal ini

juga diakui oleh kepala puskesmas sendiri. Yang lebih parah di beberapa wilayah

kerja kecamatan merekrut petugas yang memang tidak memiliki kemampuan dasar

tentang pelaksanaan imunisasi. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya petugas.

Kemampuan petugas jelas sangat berpengaruh dalam menghasilkan kinerja yang

maksimal, dengan kemampuan yang kurang dapat menghasilkan kinerja yang

(9)

2. Motivasi terhadap petugas, dalam hal ini jelas kurangnya motivasi terhadap

petugas pelaksana, terutama dari kepala pimpinan di wilayah kerja kecamatan

yang memiliki UCI rendah. Pimpinan jarang melakukan bimbingan terhadap

petugas pelaksana imunisasi. Dengan kurangnya pimpinan memberi motivasi

kepada petugas dapat berakibat pada rendahnya motivasi kerja dari petugas untuk

memaksimalkan kinerjanya sehingga menghasilkan hasil cakupan imunisasi yang

rendah.

3. Sikap, dalam hal ini sikap petugas pelaksana juga terlihat sangat jelas

berpengaruh, ini terlihat dari kelalaian dalam bertugas yang berdampak langsung

pada kerja sama sesama petugas, contohnya adalah keterlambatan pelaporan hasil

imunisasi yang dilakukan oleh pelaksana imunisasi. Hal ini berakibat terlambatnya

tindak lanjut dalam pencapaian target cakupan imunisasi di desa. Sikap sangat

berpengaruh terhadap kinerja seorang individu, dengan sikap yang buruk dapat

menghasilkan kinerja yang buruk pula, hal ini berdampak langsung pada hasil

cakupan imunisasi yang rendah di kecamatan tersebut.

4. Persepsi petugas, kesadaran dari petugas sendiri disini juga terlihat kurang, banyak

petugas lebih mementingkan hal yang lain. Petugas jarang melakukan penyuluhan

ke desa-desa. Dengan jarangnya petugas melakukan penyuluhan kesadaran

masyarakat tentang pentingnya imunisasi juga akan berkurang. Persepsi petugas

sangat berpengaruh terhadap kinerja petugas itu sendiri, dengan kurangnya

persepsi dapat berakibat pada rendahnya kinerja, sehingga dapat menghasilkan

(10)

5. Kepemimpinan kepala puskesmas, bahwa bimbingan dan pengawasan terhadap

kegiatan imunisasi dilapangan oleh kepala puskesmas dirasakan masih kurang. Hal

ini dapat menyebabkan lemahnya semangat kerja dan lebih lanjut berakibat pada

rendahnya kinerja pelaksana imunisasi puskesmas. Dengan kepemimpinan yang

buruk dapat berakibat pada kinerja petugas yang rendah. Kepemimpinan jelas

sangat berpengaruh terhadap kinerja petugas. Dengan kepemimpinan yang baik

dari atasan dapat memotivasi petugas dalam bekerja sehingga menghasilkan

kinerja yang baik. Dengan kepemimpinan yang buruk berpengaruh ke kinerja yang

rendah sehingga menhasilkan cakupan imunisasi yang rendah.

6. Supervisi, selama ini supervisi dalam bentuk bimbingan dan arahan program yang

dilakukan oleh atasan ( wasor imunisasi kabupaten ) terhadap pelaksana imunisasi

puskesmas relatif sangat jarang dilakukan. Dengan kurangnya supervisi dapat

memengaharui kinerja petugas dalam menjalankan program imunisasi hal ini dapat

berefek pada rendahnya kinerja petugas dan berakibat langsung pada rendahnya

cakupan imunisasi di kecamatan.

7. Sarana kerja, selama ini sarana kerja yang ada masih kurang untuk menunjang

pelaksanaan program imunisasi di daerah yang UCI rendah, petugas selalu

mengeluh tentang ini disaat penulis mewawancarai mereka. Hal tersebut membuat

petugas sulit untuk bekerja maksimal. Dengan keterbatasan sarana dapat

berpengaruh pada keterbatasan pelaksanaan program, hal ini dapat berakibat pada

(11)

langsung kepada hasil cakupan imunisasi yang tidak baik. Terbatasnya sarana

kerja dapat menimbulkan hasil cakupan imunisasi yang rendah.

Belum meratanya UCI di Puskesmas (baik tingkat desa ataupun tingkat

puskesmas) dan masih tingginya angka DO serta kejadian serta kejadian PD3I yang

semakin meningkat sementara target pencapaian imunisasi di Kabupaten Bireuen

telah memenuhi target menunjukkan bahwa belum semua Puskesmas mencapai target

cakupan imunisasi, dan apabila hal ini dibiarkan terus menerus mengakibatkan

tingginya angka kematian ibu dan bayi serta meningkatnya kejadian penyakit PD3I di

Kabupaten Bireuen.

Berdasarkan penelitian Khalimah (2007), ditemukan bahwa variabel

pendidikan, sarana, sikap dan pengetahuan petugas memiliki hubungan dengan

cakupan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Sekaran Kota Semarang dan dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Josef Rinta Rachdyatmaka (2000), Kris Nugroho

(2004) dan Supardi (2004) yang menyatakan faktor – faktor yang mempengaruhi

kinerja tenaga kesehatan adalah kompensasi, supervisi, kepemimpinan, kondisi

lingkungan kerja, rekan kerja, sarana prasarana, beban kerja, sikap, umur, status

perkawinan dan masa kerja.

Berdasarkan uraian tersebut mendorong penulis untuk mencermati atau

mengkaji “Determinan Kinerja Petugas Kesehatan dalam Pencapaian Imunisasi pada

Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen tahun 2015”. Hasil penelitian ini diharapkan

(12)

akhirnya bukan hanya target yang terpenuhi namun juga kualitas pelayanan dapat

lebih ditingkatkan.

Disamping itu kajian ini diteliti karena informasi mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi kinerja pelaksana imunisasi ini sangat diperlukan dalam kegiatan

perencanaan dan pengelolaan pelayanan imunisasi bagi bayi dan ibu hamil agar dapat

berdaya dan berhasil guna secara maksimal berdasarkan keterbatasan sumber daya

yang ada di Puskesmas.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka permasalahan yang diambil adalah

“Bagaimana pengaruh variabel individu, variabel psikologis dan variabel organisasi

terhadap kinerja petugas kesehatan dalam pencapaian imunisasi di Kabupaten

Bireuen tahun 2015”

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui pengaruh variabel individu, variabel psikologis dan

variabel organisasi terhadap kinerja petugas kesehatan dalam pencapaian imunisasi di

(13)

1.4 Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh variabel individu, variabel psikologis dan variabel organisasi

terhadap kinerja petugas kesehatan dalam pencapaian imunisasi di Kabupaten

Bireuen tahun 2015.

1.5 Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen, supaya dapat lebih memperhatikan

tentang pentingnya dalam menentukan kebijakan operasional dan strategi yang

efisien sebagai upaya pengembangan program imunisasi termasuk saran evaluasi

terhadap program imunisasi yang saat ini sedang berjalan.

2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas, untuk lebih meningkatkan peran

petugas dalam memberikan pelayanan imunisasi.

3. Diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan pengetahuan

mengenai determinan kinerja petugas kesehatan dalam pencapaian cakupan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian penentuan kadar vitamin C pada buah nanas segar dan nanas kaleng dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis didapatkan hasil kadar

Faktor internal merupakan kesulitan yang terjadi karena gangguan yang terdapat pada diri siswa sedangkan faktor eksternal dapat terjadi karena ada kesalahan dalam

ijtihad intiqa’i atau ijtihad selektif merupakan ijtihad yang dilakukan dengan cara menilik pendapat – pendapat para ulama terdahulu tentang pendapat hukum

pengadaan tanah untuk kepentingan umum haruslah sesuai dengan asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan

Jika kamu mengerti bahwa berbagai nubuatan yang diberikan kepada dunia dari Surga, berpuncak disini, untuk meningkatkan imanmu dan memastikan bahwa kamu tetap setia kepada

Kesuksesan jangka panjang suatu organisasi atau perusahaan tergantung pada kemampuannya dalam mengukur kinerja karyawannya dan menggunakan informasi hasil pengukuran tersebut

Masih dengan analisis yang sama, dilakukan input data parameter kesesuaian lahan dalam SIG dan akan dihasilkan peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di

Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung (pemilukada) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Kota Pariaman yang diadakan pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota