• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI MANAJEMEN BERBASIS EKOSISTEM PAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI MANAJEMEN BERBASIS EKOSISTEM PAD"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI MANAJEMEN BERBASIS EKOSISTEM

PADA BENCANA ALAM DI LAUT

”Pentingnya Manajemen yang Berorientasi Lingkungan Untuk Mengurangi Dampak

Bencana Alam di Laut ”

Oleh

Ade prasetia, S.Kel, M.si (Han)

Abstract

This paper describes about environmental management model which is very useful in supporting aspects of mitigation in overcoming natural disaster. It is especially for pre-disaster phase. It emphasizes on environmental functions naturally to be ideal context to create an environment stability that is linear with the role of environment itself in decrease the susceptibility that contains in a area which has natural disaster potential. This model well-known as management ecosystem based which can role as arrangement of organizing linear environment whose aim is to overcome disaster using natural function. It is to reduce the impact of natural disaster. Thus, Navy must have used management based on this environment. It is to success its role in Military Operation Other Than War, the overcoming disaster crucially.

Keywords: Management based on ecosystem, Disaster in the sea, The role of Navy in overcoming disaster.

1. Latar Belakang

Bagi Indonesia yang merupakan negara maritim, bencana alam

bukan saja dapat terjadi di darat tetapi juga di kawasan laut. Malahan,

bencana alam terbesar yang dihadapi Indonesia dalam dua dekade

terakhir merupakan bencana alam laut berupa gelombang tsunami.

(2)

hingga setinggi 10 meter. Diperkirakan 170 – 220 ribu korban jiwa yang

hilang karena bencana ini.1 Selain itu, Indonesia juga telah beberapa kali

mengalami bencana alam laut yang merugikan. Bulan Februari 2003,

badai tropis Fiona di selatan Jawa Tengah mengakibatkan hilangnya

sebuah pesawat latih. Badai tropis Inigo bulan April 2003 memicu banjir

bandang dan gelombang tinggi yang menghantam Pulau Flores.2 Tahun

2002, 2007, dan 2012, badai tropis mengakibatkan hujan terus menerus

dan menyebabkan banjir di kawasan Jakarta.3

Gambar 1. Peta Kejadian Bencana Banjir di Indonesia Tahun 1979-20094

Data global BNPB berdasarkan tipe bencana 1815-2014

mengungkapkan bahwa hanya terjadi 10 kali gempa disertai tsunami

dalam waktu 2 abad tersebut, tetapi mampu menelan korban ratusan ribu

1

BBC. 2005. Indonesia quake toll jumps again. http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4204385.stm. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.01 WIB.

2

Tunggal, N. 2013. Tak Selamanya Indonesia Aman dari Badai Tropis. http://sains.kompas.com/read/2013/11/12/1000348/Tak.Selamanya.Indonesia.Aman.dari. Badai.Tropis. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.07 WIB.

3

Kompas, 2012. Indonesia Hanya Kena Ekor Badai Tropis. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/08/09374395/Indonesia.Hanya.Kena.Ekor.Bad ai.Tropis. Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.11 WIB.

4

(3)

orang. Sementara itu, terdapat 12 kali tsunami tanpa gempa dengan

korban 3.519 orang.5

Gambar 2. Penyebaran Potensi Bencana Tsunami di Indonesia6

Mengatasi masalah ini, Indonesia telah mengembangkan sistem

peringatan dini tsunami maupun mendirikan Tropical Cyclone Warning Centre (TCWC) Jakarta. Sistem peringatan dini BMKG memberikan peringatan harian mengenai gelombang tinggi, siklon tropis, dan banjir rob

di kawasan Indonesia. Walau begitu, langkah mitigasi juga perlu

dilakukan. Memang sulit memitigasi bencana alam di laut karena sifatnya

yang terhubung dengan sistem global dan kompleks. Walau begitu,

terdapat langkah-langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan resiko

dampak bencana alam tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan

mengelola ekosistem secara lebih peka. Artikel ini bertujuan meninjau

berbagai model manajemen berbasis ekosistem pada bencana alam di

laut. Diharapkan tinjauan ini memberikan masukan bagi berbagai

stakeholder dalam upaya mengurangi resiko dampak bencana alam di laut di Indonesia.

5

BNPB.2014.DatadanInformasiBencanaIndonesia.

http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id.Diakses tanggal 9 Agustus 2014 pukul 21.35 WIB.

6

(4)

2. Bencana Alam Laut

Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai klasifikasi

bencana alam di laut. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat mencontoh

pemerintah Vietnam. Pemerintah Vietnam telah membuat keputusan

perdana menteri tahun no 133 tahun 2009 yang memberikan

pembentukan kebijakan komunikasi bencana alam di laut. Menurut

keputusan ini, bencana alam di laut terdiri dari enam jenis yaitu depresi

tropis dan badai, tsunami, angin kuat, angin petir, kabut laut, dan

gelombang tinggi.7 Masing-masing memiliki ukuran kuantitatif untuk dapat

dinyatakan sebagai bencana alam. Depresi tropis menjadi bencana alam

jika memiliki kecepatan angin tertinggi level 6 atau 7. Badai memiliki

kecepatan angin lebih tinggi lagi. Tsunami memiliki kecepatan hingga 800

km/jam. Angin kuat memiliki kecepatan level 6. Angin petir juga memiliki

kecepatan minimal level 6. Kabut memiliki ketampakan horizontal kurang

dari 1 km, dan gelombang dikatakan tinggi jika memiliki tinggi lebih dari 2

meter.

Gambar 3. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman Laut8

7

Vietnam Government. Decision No. 133/2009/QD-TTg promulgating the Regulation on communication for warning and forecast of natural disasters at sea.

8

(5)

Sebagai bentuk bencana, bencana alam di laut berdampak pada

kehidupan manusia. Selain akibat langsung, bencana alam di laut juga

dapat berakibat pada pasar minyak internasional. Sebagai contoh, badai

Katrina tahun 2005 menyebabkan berkurangnya produksi minyak dan

mengakibatkan harga minyak dunia meningkat.9 Karenanya, SKK Migas

telah mengembangkan prosedur tetap untuk penanggulangan bencana

alam di laut yang diujikan dalam Latihan Komodo di Batam, akhir Maret

2014.10

Selama ini bencana alam di laut berhadapan dengan masalah

kurangnya informasi dua arah, kesadaran masyarakat lokal, dan

perlengkapan komunikasi bagi nelayan. Selain itu, rendahnya sistem

peringatan dini dan pelatihan menghadapi bencana alam laut juga

berkontribusi terhadap parahnya dampak dari bencana alam laut.

Solusi-solusi ini merupakan bentuk Solusi-solusi fisik, informasional, dan mental. Solusi

fisik lainnya dapat berupa pembangunan dan pemeliharaan bangunan

talud (penahan abrasi).11 Manajemen berbasis ekosistem merupakan

salah satu bentuk solusi fisik yang dapat dikembangkan pula untuk

mitigasi bencana alam di laut.

3. Manajemen Berbasis Ekosistem

Manajemen Berbasis Ekosistem (MBE) merupakan sebuah

kerangka manajerial kawasan pesisir dan laut yang bersifat holistik. Sifat

holistik ini tercermin dari banyaknya kategori yang terlibat dalam MBE,

mulai dari kategori umum (keberlanjutan, kesehatan ekologis, dan inklusi

9

Basit, S., Tunsjo, O. 2012. Emerging Naval Powers in Asia: China’s and India’s Quest for Sea Power, Oslo Files on Defence and Security, 32

10

JPNN. 30 Maret 2014. Latihan Komodo, 13 Kapal Perang Berkumpul di Batam.

http://www.jpnn.com/read/2014/03/30/225162/Latihan-Komodo,-13-Kapal-Perang-Berkumpul-di-Batam- . Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.12 WIB. 11

(6)

manusia dalam ekosistem), kategori spesifik ekologis (kompleksitas,

temporal, dan spasial), kategori dimensi manusia spesifik (barang dan

jasa ekonomi, ekonomi, dan stakeholder), dan kategori manajemen

spesifik (berbasis sains, perbatasan, adaptasi, manajemen bersama,

pendekatan hati-hati, lintas disiplin, pengawasan, dan teknologi).12 Setiap

ilmuan atau pembuat kebijakan dapat membangun definisi tersendiri yang

ditarik dari 17 kategori tersebut. Sebagai contoh, Smythe menggunakan

12 kriteria untuk studi MBE yang ia lakukan,13 sementara Lackey

menggunakan tujuh kriteria.14 Kesepakatan dari 200 ilmuan dan pakar

kebijakan pada tanggal 21 Maret 2005 mendefinisikan MBE sebagai

“sebuah pendekatan manajemen terintegrasi yang mempertimbangkan

keseluruhan ekosistem, termasuk manusia, dengan tujuan

mempertahankan ekosistem dalam kondisi yang sehat, produktif, dan

terjaga sehingga dapat memberikan pelayanan pada keinginan dan

kebutuhan manusia.”15

Manajemen berbasis ekosistem merupakan konsep yang

diterapkan lebih banyak pada masalah yang berhubungan dengan

kesamuderaan, karena sejauh ini dipandang kawasan ini merupakan

kawasan yang masih terabaikan dari sistem manajemen terintegrasi.16

Walau begitu, hingga saat ini ia lebih diarahkan pada manajemen

penggunaan sumberdaya laut seperti perikanan.17

12

Arkema, K.K., Abramson, S.C., Dewsbury, B.M. 2006. Marine ecosystem-based management: from characterization to implementation. Front Ecol Environ 2006; 4(10): 525–532, hal. 527.

13

Smythe, Tiffany Catherine, "An Analysis Of The Capacity Of Coastal Management Practitioners To Develop Coastal Ecosystem‐Based Management Plans" (2011). Open

Access Dissertations. Paper 112., hal. 13.

14

Lackey, Robert T. 1998. Seven pillars of ecosystem management. Landscape and Urban Planning. 40(1/3):21-30.

15

McLeod KL, Lubchenco J, Palumbi SR, Rosenberg AA. 2005. Scientific Consensus Statement on Marine EBM. Communication Partnership for Science and the Sea.

16

Guerry, A.D. 2005. Icarus and Daedalus: conceptual and tactical lessons for marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ 2005; 3(4): 202–211, hal. 209. 17

(7)

Konsep MBE memiliki hubungan erat dengan Penilaian Ekosistem

Terintegrasi dan Perencanaan Ruang Pesisir dan Laut. Penilaian

ekosistem terintegrasi dan perencanaan ruang merupakan dua alat, dari

sekian banyak alat lainnya, yang dapat digunakan untuk mendorong MBE

dapat berjalan.18 Terdapat banyak alat yang dapat digunakan, tergantung

pada definisi MBE yang diadopsi oleh peneliti atau pelaku kebijakan.

Sebagai paradigma baru, MBE menantang paradigma lama yang

berfokus hanya pada manusia dalam manajemen laut. Model-model MBE

bersifat lebih luas dan disesuaikan dengan definisi maupun konteks dari

penyelenggaraan MBE tersebut. Langkah awal dari model dapat berupa

upaya mengetahui secara ilmiah ketergantungan fokus studi pada

ekosistem dan bagaimana manfaat atau keburukan dari fokus studi

tersebut pada kehidupan manusia.19 Selain itu, skalanya juga tergantung

pada seperangkat masalah yang ingin diatasi apakah harus berskala luas

atau sempit. Model ini bersifat hirarkis dalam artian model-model lokal

kemudian dapat bekerjasama untuk membentuk model yang lebih luas

dan global.20

4. Pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem pada Bencana

Alam di Laut

Pendekatan terhadap manajemen bencana alam di laut berbasis

ekosistem telah beberapa kali dikembangkan. Beberapa sorotan yang

diberikan mencakuplah sejumlah pertimbangan. Sebagai contoh,

kepentingan ekonomi seperti penangkapan atau peternakan makanan laut

(ikan, udang, dan sebagainya) atau penambangan energi, harus

diseimbangkan dengan upaya menjadikan lahan basah pesisir sebagai

18

NOAA. (2011). Clarifying the relationships among ecosystem based management; integrated ecosystem assessments; and, coastal and marine special planning. Pg. 1- 14, hal. 2.

19

Holmlund, C.M., Hammer, M. 1999. Ecosystem services generated by fish populations. Ecological Economics 29 (1999) 253–268, hal. 264.

20

(8)

penyangga bagi bencana alam. Ketidakseimbangan ini telah berkontribusi

pada buruknya dampak bencana alam laut. Akibat dari hilangnya lahan

basah pesisir karena pembangunan, transportasi (pengerukan,

penyaluran, dan pengaliran endapan), dan jalur pipa, berdampak pada

parahnya dampak gelombang tinggi di Teluk Meksiko dan tsunami di Aceh

tahun 2004.21 Karena alasan ini, maka langkah yang diambil sebagai

bentuk MBE adalah dengan membentuk perisai biologis di pesisir, seperti

spesies Casuarina,22 Spartina,23 atau bakau,24 dan membangun pohon

keputusan untuk menentukan apakah upaya ini memenuhi

persyaratan-persyaratan MBE. Upaya ini kemudian di angkat ke level global seperti

model manajemen berbasis ekosistem untuk mitigasi perubahan iklim.25

Berdasarkan tinjauan di atas, untuk mengetahui cara praktis

menjalankan manajemen berbasis ekosistem, maka dibutuhkan kriteria

manajemen berbasis ekosistem yang disepakati, kemudian membangun

pohon keputusan untuk setiap langkah yang akan diambil dalam

mengembangkan solusi berkelanjutan. Dalam penelitian ini, mengikuti

model Feagin, akan diambil enam kriteria MBE. Kriteria ini menurut

penulis haruslah mempertimbangkan kesehatan dari ekologi itu sendiri,

memperhitungkan kesejahteraan dan pendidikan manusia,

21

Halpern, B.S., McLeod, K.L., Rosenberg, A.A., Crowder, L.B. 2008. Managing for cumulative impacts in ecosystem-based management through ocean zoning. Ocean & Coastal Management 51 (2008) 203e211, hal. 206.

22

Feagin RA, Mukherjee N, Shanker K, Baird AH, Cinner J, Kerr AM, Koedam N, Sridhar A, Arthur R, Jayatissa LP, Lo Seen D, Menon M, Rodriguez S, Shamsuddoha M, Dahdouh-Guebas F

(2010) Shelter from the storm? Use and misuse of coastal vegetation bioshields for managing natural disasters. Conserv Lett 3:1–11.

23

Gedan, K.B., Kirwan, M.L., Wolanski, E., Barbier, E.B., Silliman, B.R. 2010. The present and future role of coastal wetland vegetation in protecting shorelines: answering recent challenges to the paradigm, Climatic Change DOI 10.1007/s10584-010-0003-7, hal. 8.

24

Aswani, S., Christie, P., Muthiga, N.A., Mahon, R., Primavera, J.H., Cramer, L.A., Barbier, E.B., Granek, E.F., Kennedy, C.J., Wolanski, E., Hacker, S. 2012. The way forward with ecosystem-based management in tropical contexts: Reconciling with existing management systems. Marine Policy 36 (2012) 1–10.

25

(9)

memperhitungkan kompleksitas ekosistem, memperhitungkan faktor

ekonomi, melibatkan pengawasan berbasis teknologi, dan bersifat adaptif.

Penjelasan dari Arkema et al adalah sebagai berikut:

1. Kompleksitas: memperhitungkan kalau hubungan antara

komponen ekosistem, seperti struktur rantai makanan, hubungan

predator-mangsa, asosiasi habitat, dan interaksi biotik dan abiotik,

harus disertakan dalam keputusan manajemen.

2. Kesehatan ekologis: mengandung tujuan non spesifik untuk

kesehatan atau integritas ekosistem.

3. Inklusi manusia dalam ekosistem: mengenali kalau manusia

merupakan elemen dalam ekosistem dan pendidikan serta

kesejahteraannya merupakan bagian penting dari keputusan

manajemen.

4. Ekonomi: melibatkan faktor-faktor ekonomi dalam visi untuk

ekosistem.

5. Teknologi: menggunakan teknologi ilmiah dan industrial

sebagai alat yang dibutuhkan untuk memonitor ekosistem dan

mengevaluasi tindakan manajemen.

6. Adaptasi: terus meningkatkan tindakan manajemen lewat

evaluasi sistematis.

Berdasarkan model kriteria di atas, maka tahapan-tahapan

manajemen berbasis ekosistem adalah:

1. Memperhitungkan dampak solusi terhadap hubungan antar

komponen dalam ekosistem.

2. Memperhitungkan bagaimana solusi dapat berintegrasi

dengan ekosistem yang ada.

3. Mempersiapkan pelatihan bagi masyarakat yang terkena

(10)

4. Memastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak solusi

dapat hidup lebih sejahtera dengan solusi yang diberikan.

5. Memastikan solusi memberikan manfaat ekonomi bagi

masyarakat yang terkena dampak, atau setidaknya tidak

menghalangi mereka dalam kehidupan sehari-hari yang vital bagi

ekonomi mereka.

6. Mempersiapkan teknologi untuk pengawasan dan evaluasi.

7. Memastikan komitmen manajemen untuk beradaptasi ketika

hasil evaluasi menuntut hal tersebut dilakukan.

5. Contoh Model Manajemen Berbasis Ekosistem: Kasus Depresi

Tropis dan Badai

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, agar manajemen berbasis

ekosistem berjalan, harus ada sebuah solusi atau beberapa solusi yang

ditawarkan, kemudian dievaluasi menggunakan kriteria-kriteria yang ada,

sehingga akhirnya diperoleh keputusan untuk mengimplementasikan

solusi. Berikut ini adalah tinjauan literatur mengenai beberapa solusi untuk

bencana di laut yang dapat digunakan untuk masukan dalam manajemen

berbasis ekosistem.

Depresi tropis dan badai merupakan sistem umpan balik dengan

pemanasan global.26 Ini artinya, semakin tinggi suhu akibat pemanasan

global, maka akan semakin banyak terdapat badai tropis. Sementara itu,

semakin banyak badai tropis, maka pemanasan udara juga akan semakin

tinggi. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan bahwa seiring waktu, jumlah

badai tropis semakin meningkat, seiring dengan peningkatan suhu, baik di

Atlantik,27 maupun di Pasifik.28 Peningkatan suhu sebesar 0,4 derajat

26

Romps, D.M. and Zhiming Kuang. Overshooting convection in tropical

cyclones. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (9): L09804.

27

(11)

Celsius akan berdampak pada peningkatan jumlah badai dua kali lipat.29

Hal ini sangat mengkhawatirkan karena pada gilirannya, frekuensi badai

besar akan semakin tinggi dan Indonesia yang jarang mendapatkan badai

akan semakin sering mendapatkan badai tropis.

Ancaman depresi tropis dan badai bagi kehidupan ada dua yaitu

badai itu sendiri dan gelombang pasang yang ia hasilkan. Untuk badai itu

sendiri, masalahnya terletak pada permukaan. Pada permukaan basah,

badai akan terus berkecamuk sehingga solusi basah untuk pesisir pantai

tidak akan dapat menahan badai. Solusi yang lebih tepat adalah

mengeringkan pesisir sehingga badai akan terhenti ketika mencapai

pesisir dari arah laut.30

Sementara itu, solusi yang ditawarkan mengenai masalah

gelombang pasang dapat menggunakan solusi kering seperti

menggunakan gundukan, peremajaan pantai, benteng, pintu air, atau

teknik stabilisasi gundukan,31 atau solusi basah seperti vegetasi dengan

rumah-rumah terapung.32 Solusi basah hanya dapat berhasil jika badai cyclones to East Asia over the period 1977–2010. Environmental Research Letters, 2014; 9 (1): 014008.

29

Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Projected Atlantic hurricane surge threat from rising temperatures. PNAS, March 18, 2013.

30

Chang, H-I., Niyogi, D., Kumar, A., Kishtawal, C.M., Dudhia, J., Chen, F., Mohanty, U.C., Shepherd, M. Possible relation between land surface feedback and the post-landfall structure of monsoon depressions. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (15): L15826.

31

Sorensen, R.M., Weisman, R.N., Lennon, G.P. 1984. Control of erosion, inundation and salinity intrusion caused by sea-level rise. In: BARTH, M.C. and TITUS, J.G. (eds.), Greenhouse Effect and Sea Level Rise. Van Nostrand Reinhold, New York, NY, pp. 179- 214, hal. 185.

32

Edidin, P. 2005. Floating houses built to survive Netherlands floods / Anticipating more climate change, architects see another way to go.

(12)

Berdasarkan pertimbangan ini, maka solusi yang dipilih adalah solusi

kering.

Setelah solusi kering dipilih, maka harus dilakukan kajian kelayakan

mengenai mana model solusi kering yang perlu diambil. Ada lima model

yang harus dievaluasi. Peneliti kemudian mengevaluasi kelima model

menggunakan pertimbangan kriteria MBE. Sebagai contoh, untuk solusi

pintu air, pertanyaannya kemudian adalah:

1. Apakah solusi pintu air akan berdampak positif pada struktur

rantai makanan, hubungan predator-mangsa, asosiasi habitat, dan

interaksi biotik dan abiotik di lokasi penempatan pintu air? Dimana

penempatan yang paling memberi dampak positif pada aspek

hubungan dalam ekosistem ini? Jika tidak ada lokasi yang dapat

memberikan dampak positif, bagaimana meningkatkan aspek

hubungan dalam ekosistem tersebut agar solusi pintu air tetap

dapat dipilih?

2. Jika pintu air telah dibuat, bagaimana ekosistem di

sekitarnya dapat beradaptasi? Faktor apa yang dapat

mempercepat integrasi ekosistem yang ada? Langkah apa yang

dapat diambil untuk mendorong integrasi ekosistem tersebut

terjadi?

3. Kecakapan apa saja yang dibutuhkan bagi masyarakat

dalam mengelola dan menjaga keberlangsungan pintu air ini?

Berapa besar biaya pelatihan? Apakah masyarakat bersedia

dilatih?

4. Apa kompensasinya bagi masyarakat selain terhindarnya

mereka dari badai dan gelombang pasang? Apakah dengan

kompensasi ini masyarakat dapat hidup sejahtera? Jika tidak,

bagaimana mensejahterakan masyarakat sekitar tersebut?

5. Apa saja aspek ekonomi yang dapat disumbangkan oleh

(13)

pintu air tidak menghalangi mereka dalam kehidupan sehari-hari

yang vital bagi ekonomi mereka? Jika menghalangi, langkah apa

yang harus diambil agar mereka tidak terhalang?

6. Teknologi apa yang dibutuhkan untuk pengawasan dan

pengelolaan pintu air? Berapa biayanya? Bagaimana evaluasi

dilakukan?

7. Apakah jika suatu saat evaluasi menemukan kebutuhan

adanya perubahan, manajemen siap untuk melakukan perubahan?

Bagaimana dengan kesiapan masyarakat?

Bentuk pertanyaan di atas dapat dijadikan sebagai sebuah asumsi

dalam melaskksan akn analisa dalam mencari informasi perkembangan

dampak yang muncul dari pelaksanaan MBE pada pintu air yang akan

dilaksanakan. Analisa dari pertanyaan yang tersedia akan membantu para

pembuat kebijakan untuk mengelimir dampak yang terjadi pada daerah

sekitar yang menjadi kawasan terikut pada proyek pintu air tersebut.

Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud, maka evaluasi

dapat dilaksanakan dengan cepat sehingga kendala yang dipikirkan dapat

berkembang menjadi definisi negatif dapat diupayakan untuk dikurangi.

Keterkaitan informasi yang muncul dari interaksi antara

pembangunan pintu air terhadap keseimbangan ekosistem yang terdapat

di lingkungan tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan secara

seksama agar dapat dijadikan sebagai patokan atau standar ideal pada

MBE yang dikembangkan di tempat tersebut. Tentu saja segala

pertimbangan yang mengikuti asumsi itu harus benar-benar diperhatikan

sebaik mungkin sehingga dapat menjadi variabel yang tertata secara

akurat dan dapat mendongkrak fungsi lingkungan dalam mengeliminir

pengaruh negatif atau dampak bencana yang akan datang.

MBE merupakan salah satu model teraman untuk mengkoneksikan

fungsi lingkungan yang secara alami dapat mengatasi dampak bencana

(14)

yang dominan sehingga MBE seyogyanya dipilih dalam menstabilkan

keseimbangan alam untuk fungsi disaster relief secara alami.

6. Peran TNI AL Dalam Penerapan MBE

Kekuatan alami dari ekosistem merupakan bagian yang sangat

prinsip dalam menunjang pelaksanaan penanggulangan bencana alam di

suatu daerah yang memiliki potensi bencana. Untuk itu maka

keseimbangan ekosistem dari perspektif fungsinya harus dijaga agar

dapat bekerja secara ideal. Beranjak dari hal tersebut, maka

pembangunan di suatu wilayah harus mempertimbangkan fungsi

ekosistem secara signifikan sehingga keberlanjutan fungsinya tidak akan

terputus walaupun pelaksanaan pembangunan di wilayah tersebut telah

dilaksanakan. Konteks ini seyogyanya memang harus dipikirkan dalam

memutuskan pembangunan di darerah yang memiliki potensi bencana

alam. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa di daerah lain yang

sifatnya dinilai kondusif dari potensi bencana alam, harus pula mendapat

perlakuan yang sama sehingga tidak memicu munculnya bencana yang

bersifat man made. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, diperlukan langkah-langkah krusial dalam konteks preventif. Semisalnya dengan

jalan melakukan sosialisasi akan pentingnya keseimbangan ekosistem

untuk menghindari terjadinya bencana alam. Secara lengkap, pemenuhan

tuntunan dalam menjaga keberlangsungan fungsi ekosistem dapat

dilakukan dengan mengaplikasikan Manajemen berbasis ekosistem.

Manajemen berbasis ekosistem merupakan hal yang urgen bagi

Indonesia karena Indonesia merupakan salah satu negara yang pertama

kali mendapatkan dampak negatif perubahan iklim akibat situasinya di

khatulistiwa dan berbasis kepulauan. Dampak negatif perubahan iklim ini

salah satunya adalah meningkatnya frekuensi bencana alam

hidrometeorologi. Di Jakarta saja, kerugian akibat banjir pada tahun 2002,

(15)

orang.33 Belum lagi kerugian yang disebabkan oleh bencana alam lain

yang terdapat di Indonesia. Yang mana seperti kita ketahui bahwa negara

kita banyak mengandung potensi bencana alam yang tersebar di seluruh

wilayah negara.

Disaster relief yang dilaksanakan TNI Angkatan Laut selama ini hanya terfokus pada Fase Tanggap Darurat. Pelibatan TNI Angkatan Laut

pada Fase Pra Bencana dan Fase Pasca Bencana berada pada kondisi

stagnan karena berbagai masalah yang menjadi penyebabnya.

Permasalahan signifikan dikarenakan belum adanya gelar kekuatan TNI

Angkatan Laut yang bersifat kontruktif dalam konteks disaster relief, bukan

hanya bersifat responsif dan hanya dilaksanakan ketika bencana alam

terjadi.34 Telah banyak kejadian bencana yang melibatkan TNI Angkatan

Laut dalam berbagai peran, baik dalam aspek mobilisasi sumber daya,

embarkasi sumber daya, relokasi korban, SAR dan pengamanan

wilayah.35 Namun demikian, dari seluruh peran TNI AL tersebut,

semuanya hanya berorientasi pada wilayah kerja yang mencakup pada

fase Tanggap Darurat, dimana aspek peran tersebut hanya menjawab

permasalahan setelah terjadi bencana. Sesungguhnya, fase terpenting

untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat dampak bencana alam

adalah dengan jalan mengoptimalkan upaya yang dilakukan pada fase

Pra Bencana. Salah satu langkah ideal untuk mewujudkan upaya tersebut

adalah dengan jalan melaksanakan Manajemen berbasis ekosistem. MBE

sendiri telah dikembangkan di Indonesia setidaknya sejak muncul upaya

33

TNC. 2014. TNC Gelar Thought Leadership Forum ke-6: Mengelola Resiko Bencana dan Pembangunan Ketahanan Iklim. http://www.nature.or.id/siaran-pers/tnc-gelar- thought-leadership-forum-ke-6-mengelola-resiko-bencana-dan-pembangunan-ketahanan-iklim/. Diakses tanggal 10 Agustus 2014 pukul 20.32 WIB.

34

Prasetia, Ade. 2014. Kertas Karya Perorangan. Konsepsi Strategis Gelar Kekuatan TNI Angkatan Laut Dalam Penanggulangan Bencana Alam Guna Meningkatkan Efektifitas Emergency Response Dalam Rangka Mewujudkan National Disaster Preparedness. Seskoal. Hal. 2.

35

Prasetia, Ade. 2014. Dharma Wiratama NO. DW/162/2014. Menuju Optimalisasi KRI Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia; Sebuah Sinergitas Alutsista TNI AL

(16)

untuk membangun sistem hukum pengelolaan wilayah pesisir Indonesia

pada tahun 2005.36

Namun demikian, dari tahun 2005 hingga sekarang dapat dikatakan

bahwa pelaksanaan MBE tidak berjalan secara ideal. Dari perspektif

penjagaan terhadap ekosistem laut, dapat dikatakan peran TNI AL hanya

berpijak pada pensiagaan KRI untuk mencegah hal-hal yang

membahayakan ekosistem, penangkapan perusak ekosistem, dan

pencegahan pencemaran laut. Sudah saatnya bagi TNI AL untuk bersikap

aktif bukan hanya dalam mencegah kerusakan ekosistem laut, tetapi

memulihkan kembali fungsi ekosistem dengan MBE. Sehingga MBE

berperan dalam mengoptimalkan fungsi lingkungan dalam menciptakan

kekuatan alaminya untuk mengeliminir dampak bencana alam yang

terdapat di daerah yang berpotensi bencana alam.

Pemulihan ekosistem laut dapat dilakukan dengan jalan

melaksanakan studi kelayakan terhadap salah satu jenis spesies yang

sesuai dengan habitat yang terdapat di suatu daerah, sehingga akan

menciptakan keberlangsungan kehidupan dari jenis tersebut secara

signifikan. Contohnya adalah penanaman kembali spesies mangrove

sesuai dengan tipe habitat yang ada, yaitu jenis gelombang, pasang surut

dan ketersediaan air tawar yang terdapat di daerah tersebut. Langkah

tersebut dapat dilakukan oleh TNI AL dengan jalan dimulai dari Basis

Pertahanannya, baik kantor, pangkalan, ataupun daerah latihan. Dengan

konteks MBE yang tepat, tidak menutup kemungkinan bahwa perlakuan

penanaman mangrove yang terkonsep akan menciptakan barrier yang sesuai dengan filosofi pertahanan pangkalan sehingga dapat berguna

untuk menghalau kedatangan musuh secara krusial.

Kebijakan pembangunan kepentingan militer seyogyanya sudah

harus diperhatikan secara krusial sehingga dari perspektif pertahanan,

standarisasinya dapat terpenuhi dengan benar. Disamping itu,

36

Kementerian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, dan CRMP/Mitra Pesisir. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai

(17)

keseimbangan ekosistem yang terdapat di daerah tersebut tidak

terabaikan. Keterabaian keseimbangan ekosistem tentu saja akan

mengakibatkan terakumulasinya potensi bencana yang terdapat secara

alami dengan campur tangan pembangunan dari fasilitas militer yang ada.

Untuk itu maka MBE menjadi model yang terbaik untuk mengeliminir

dampak tersebut.

7. Penutup

Artikel ini telah menyorot pada ancaman bencana yang datang dari

laut di Indonesia dan model manajemen untuk mitigasinya. Indonesia

telah berinvestasi cukup besar dalam manajemen bencana baik di laut

maupun di darat lewat pembentukan BNPB, BPBD, maupun berbagai

upaya yang melibatkan banyak pihak. Sistem yang paling mudah

dikembangkan adalah sistem peringatan dini dan hal ini juga sudah

dilakukan. Masalahnya kemudian adalah bagaimana dengan mitigasi.

Mitigasi lebih sulit dilakukan karena bersifat jangka panjang. Walau begitu,

ia memang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia. Sungguhpun

demikian, upaya-upaya ini masih bersifat lokal. Malahan, belum ada

peraturan khusus yang mengatur mengenai mitigasi terhadap bencana

yang datang dari laut.

Dalam artikel ini, penulis telah mengemukakan mengenai

manajemen berbasis ekosistem (MBE) sebagai model manajemen

mitigasi bencana yang datang dari laut. Model ini diadopsi dari bidang

kesamuderaan dan tetap relevan untuk bidang manajemen bencana laut.

Model ini unggul karena bersifat lokal namun dapat diperluas tanpa batas

hingga level nasional. Penulis kemudian mengajukan sebuah kerangka

dengan enam kriteria: kompleksitas, kesehatan ekologis, inklusi manusia

dalam ekosistem, ekonomi, teknologi, dan adaptasi. Kerangka manajerial

ini kemudian dicontohkan pada kasus mitigasi depresi tropis dan badai.

(18)

mendalam mengenai model apa yang sesuai dengan konteks suatu

wilayah dan bencana yang dihadapinya. Beranjak dari fakta yang tersedia,

maka TNI AL seyogyanya telah pula bertindak secara akurat untuk

melaksanakan MBE dengan jalan memutuskan mata rantai aktor-aktor

yang berkompeten dalam perusak ekosistem serta menjadikan MBE

sebagai ujung tombak dalam membangun fasilitas militernya sehingga

dapat bernilai potensial.

8. Referensi

Arkema, K.K., Abramson, S.C., Dewsbury, B.M. 2006. Marine

ecosystem-based management: from characterization to implementation. Front

Ecol Environ 2006; 4(10): 525–532.

Aswani, S., Christie, P., Muthiga, N.A., Mahon, R., Primavera, J.H., Cramer, L.A., Barbier, E.B., Granek, E.F., Kennedy, C.J., Wolanski, E., Hacker, S. 2012. The way forward with ecosystem-based management in tropical contexts: Reconciling with existing management systems. Marine Policy 36 (2012) 1–10.

Basit, S., Tunsjo, O. 2012. Emerging Naval Powers in Asia: China’s and India’s Quest for Sea Power, Oslo Files on Defence and Security. BBC. 2005. Indonesia quake toll jumps again.

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4204385.stm.

BMKG. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman Laut. https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=14. BMKG.Penyebaran Potensi Tsunami di Indonesia.

https://inatews.bmkg.go.id/new/about_inatews.php?urt=3. bioshields for managing natural disasters. Conserv Lett 3:1–11. Chang, H-I., Niyogi, D., Kumar, A., Kishtawal, C.M., Dudhia, J., Chen, F.,

(19)

Gedan, K.B., Kirwan, M.L., Wolanski, E., Barbier, E.B., Silliman, B.R. 2010. The present and future role of coastal wetland vegetation in protecting shorelines: answering recent challenges to the paradigm, Climatic Change DOI 10.1007/s10584-010-0003-7.

Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Homogeneous record of Atlantic hurricane surge threat since 1923. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2012.

Grinsted, A., John C. Moore, and Svetlana Jevrejeva. Projected Atlantic hurricane surge threat from rising temperatures. PNAS, March 18, 2013.

Guerry, A.D. 2005. Icarus and Daedalus: conceptual and tactical lessons for marine ecosystem-based management. Front Ecol Environ 2005; 3(4): 202–211.

Halpern, B.S., McLeod, K.L., Rosenberg, A.A., Crowder, L.B. 2008. Managing for cumulative impacts in ecosystem-based management through ocean zoning. Ocean & Coastal Management 51 (2008) 203e211.

Holmlund, C.M., Hammer, M. 1999. Ecosystem services generated by fish populations. Ecological Economics 29 (1999) 253–268.

JPNN. 30 Maret 2014. Latihan Komodo, 13 Kapal Perang Berkumpul di Batam. http://www.jpnn.com/read/2014/03/30/225162/Latihan-Komodo,-13-Kapal-Perang-Berkumpul-di-Batam-.

Kementerian Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, dan CRMP/Mitra Pesisir. 2005. Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Bappenas.

Kompas, 2012. Indonesia Hanya Kena Ekor Badai Tropis. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/08/09374395/Indonesia.H anya.Kena.Ekor.Badai.Tropis.

Lackey, Robert T. 1998. Seven pillars of ecosystem management. Landscape and Urban Planning. 40(1/3):21-30.

Link, J. S. 2005. Translating ecosystem indicators into decision criteria. ICES Journal of Marine Science, 62: 569-576.

McLeod KL, Lubchenco J, Palumbi SR, Rosenberg AA. 2005. Scientific Consensus Statement on Marine EBM. Communication Partnership for Science and the Sea.

NOAA. (2011). Clarifying the relationships among ecosystem based management; integrated ecosystem assessments; and, coastal and marine special planning.

Park, D-S.R., Chang-Hoi Ho, Joo-Hong Kim. Growing threat of intense tropical cyclones to East Asia over the period 1977– 2010. Environmental Research Letters, 2014; 9 (1): 014008.

(20)

Prasetia, Ade. 2014. Dharma Wiratama NO. DW/162/2014. Menuju Optimalisasi KRI Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia; Sebuah Sinergitas Alutsista TNI AL Dalam Operasi Militer Selain Perang. Seskoal.

Romps, D.M. and Zhiming Kuang. Overshooting convection in tropical cyclones. Geophysical Research Letters, 2009; 36 (9): L09804.

Smythe, Tiffany Catherine, "An Analysis Of The Capacity Of Coastal Management Practitioners To Develop Coastal Ecosystem‐Based Management Plans" (2011). Open Access Dissertations. Paper 112.

Sorensen, R.M., Weisman, R.N., Lennon, G.P. 1984. Control of erosion, inundation and salinity intrusion caused by sea-level rise. In: BARTH, M.C. and TITUS, J.G. (eds.), Greenhouse Effect and Sea Level Rise. Van Nostrand Reinhold, New York, NY.

TNC. 2014. TNC Gelar Thought Leadership Forum ke-6: Mengelola Resiko Bencana dan Pembangunan Ketahanan Iklim. http://www.nature.or.id/siaran-pers/tnc-gelar-thought-leadership- forum-ke-6-mengelola-resiko-bencana-dan-pembangunan-ketahanan-iklim/.

Tompkins, E.L., Adger, W.N. 2003. Building resilience to climate change through adaptive management of natural resources. Tyndall Centre for Climate Change Research.

Tunggal, N. 2013. Tak Selamanya Indonesia Aman dari Badai Tropis. http://sains.kompas.com/read/2013/11/12/1000348/Tak.Selamanya. Indonesia.Aman.dari.Badai.Tropis.

Vietnam Government. Decision No. 133/2009/QD-TTg promulgating the Regulation on communication for warning and forecast of natural disasters at sea.

Gambar

Gambar 1. Peta Kejadian Bencana Banjir di Indonesia Tahun 1979-20094
Gambar 2. Penyebaran Potensi Bencana Tsunami di Indonesia6
Gambar 3. Kecepatan dan Ketinggian Tsunami Tergantung Pada Kedalaman Laut8

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dari segi hasil, proses pembentukan kompetensi dan karakter dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik

Nantinya material yang digunakan juga mengutamakan penggunaan material dari daerah sekitar sebagaimana konsep dari neo vernakuler, serta penggunaan penggunaan elemen

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumen.Teknik analisis data yang digunakan adalah tahapan analisis data menurut McMillan dan

Era digital membawa tantangan tersendiri bagi generasi muda dan juga berbagai pihak yang bergulat pada pendampingan kaum muda. Kemajuan teknologi dan berbagai kemudahan

Berdasarkan praktik-praktik sebagaimana yang ditunjukkan dalam analisis, praktik-praktik kekuasaan para elite di tingkat lokal dalam konteks teori pilihan rasional

Depresi pernafasan memanjang pada bayi dari ibu yang mendapat anestesi narkotik dalam waktu 4 jam sebelum persalinan , sudah dilakukan langkah resusitasi, dan frekuensi denyut

Pada orang-orang dengan spleno- megali hanya ada 33% (216) yang mem- berikan hasil ELISA positif, walaupun pemeriksaan IFA dengan mengguna- kan stadium skizon

inilah yang mengakibatkan peserta didik yang diajar dengan metode Levels of Inquiry Learning Cycle memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan