• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Employee Engagement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Employee Engagement"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

engagement pertama kali digunakan dalam setting pekerjaan, Umumnya arti

engagement mengarah pada keterlibatan, komitmen, gairah, antusias, fokus,

usaha, dedikasi, dan energi. Para ahli sering menggunakan istilah employee

engagement dan work engagement secara bergantian ketika menjelaskan

konsep engagement (Schaufeli, 2013). Yang membedakan konsep work

engagement dengan employee engagement adalah; work engagement mengacu

pada hubungan karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee

engagement mengacu pada hubungan karyawan dengan pekerjaan dan

organisasinya (Schaufeli, 2013).

(2)

perilaku yang terkait dengan kinerja peran individu. Saks membagi istilah

employee engagement kedalam dua bentuk yaitu organizational engagement

(melaksanakan peran dirinya sebagai anggota dari organisasi) dan job

engagement (melaksanakan perannya dalam bekerja). Definisi yang

dikemukakan oleh Saks (2006) mirip dengan definisi dari Kahn (1990) karena sama-sama berfokus pada peran performa dalam bekerja.

Kahn (1990) dalam studi kualitatifnya menyebutkan tiga kondisi psikologis yang bisa diasosiasikan dengan engagement atau disengagement pada pekerjaan yaitu kebermaknaan/makna psikologis, rasa aman, dan ketersediaan. Dengan kata lain, karyawan akan merasa dirinya lebih engaged ketika perusahaan dapat memenuhi kondisi psikologis yang dibutuhkan karyawan seperti kebermaknaan, rasa aman, dan ketersediaan saat sedang bekerja. Kahn (1990) juga mengatakan bahwa ada tumpang tindih antara konsep ini dengan konsep psikologis lainnya seperti kepuasan kerja, komitmen dan motivasi. Tetapi beberapa tahun terakhir definisi tentang

engagement mulai bermunculan untuk memisahkan konsep ini dengan konsep

psikologis lainnya seperti penjelasan mengenai engagement dalam literatur

burnout oleh Maslach et al (2001) yang mengasumsikan engagement sebagai

kutub positif dari burnout.

Menurut Maslach terdapat enam hal yang dapat mempengaruhi

engagement dan burnout yaitu : keseimbangan beban kerja, kebebasan untuk

(3)

menghasilkan pemikiran serta sikap yang positif, jika dianggap negatif, maka akan menghasilkan pemikiran serta sikap yang negatif pula. Sama halnya dengan Schaufeli & Bakker (2003) yang mengatakan engagement sebagai lawan dari burnout, tetapi Schaufeli & Bakker memisahkan konsep burnout

dan engagement menjadi dua konstruk yang berbeda (Schaufeli, 2013).

Kemudian Schaufeli & Bakker (2004) yang menjelaskan engagement sebagai emosi yang positif, puas, berhubungan dengan pekerjaan yang dikarakteristikan dengan vigor, dedication dan absorption. Lalu Robinson (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai sikap positif dari karyawan kepada organisasi dan nilai nilai yang dianutnya. Menurutnya karyawan yang engaged menjadi sadar akan konteks tentang bisnis dan pekerjaannya untuk meningkatkan performa didalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi.

Saks (2006) membedakan definisi employee engagment dengan konstruk lain seperti komitmen organisasi dan OCB, menurutnya komitmen organisasi berbeda dengan engagement dalam hal ini komitmen merujuk pada sikap dan perasaan sayang individu pada organisasinya sedangkan

engagement tidak selalu menunjukkan dengan sikap. Engagement merupakan

(4)

Berdasarkan penjelasan berbagai definisi diatas maka penelitian ini akan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Schaufeli (2004) yang menyatakan bahwa employee engagement adalah perasaan puas dan emosi positif yang dirasakan individu terkait pekerjaan dan organisasi yang dikarakteristikkan melalui perilaku vigor, dedication dan absorption.

2. Dimensi Employee Engagement

Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2001) mendefinisikan engagement sebagai keadaan positif, terpenuhi, keadaan pikiran yang berhubungan dengan pekerjaan yang dikarateristikkan dengan

vigor, dedication, dan absorption. Dari penjelasan di atas, Schaufeli dan

Bakker (2004) mengkonsepkan dimensi-dimensi dari engagement, sebagai berikut :

a. Vigor (Kekuatan)

Vigor mengarah pada tingkat energi yang tinggi dan ketahanan mental

(5)

b. Dedication (Dedikasi)

Dedication mengarah pada perasaan yang penuh dengan makna, antusias

dan bangga dengan pekerjaan, memiliki inspirasi dan tertantang dengan pekerjaannya. Orang yang memiliki skor yang tinggi pada aspek ini mengidentifikasi pekerjaan mereka dengan kuat karena membuat pengalaman menjadi berarti dan berharga. Selain itu, juga merasa antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka. Orang yang memiliki skor rendah pada aspek ini tidak mengidentifikasi diri mereka dengan pekerjaannya karena mereka tidak membuat pengalaman mereka menjadi bermakna, menginspirasi atau menantang.

c. Absorption (Absorpsi)

Absorption mengarah pada konsentrasi penuh dan mendalam, tenggelam

dengan pekerjaan dimana waktu terasa lebih cepat dan sulit memisahkan diri dengan pekerjaan, sehingga mudah lupa dengan sesuatu disekitarnya. Orang dengan skor tinggi pada aspek ini merasa senang tenggelam dengan pekerjaan sebaliknya orang dengan skor rendah pada aspek ini tidak tertarik dan tidak memiliki perhatian penuh dengan pekerjaannya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement

Berikut faktor-faktor potensial yang memprediksi employee engagement, menurut Saks (2006) :

1. Karakteristik pekerjaan

(6)

mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat kontribusi yang penting. Kahn (1990) mengatakan bahwa pekerjaan yang memiliki lima karateristik tersebut dapat menghasilkan karyawan menjadi lebih

engaged.

2. Perceived Organizational and Supervisor Support

Persepsi terhadap dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan supervisor (POS) merupakan variabel yang penting dalam dukungan sosial. Faktor ini mengarah pada keyakinan karyawan bahwa organisasi menghargai konstribusi karyawan dan peduli dengan kesejahteraan mereka. POS membuat sebuah kewajiban (obligation) bagi karyawan untuk peduli pada organisasi dan bekerja untuk mencapai tujuan organisasi yang kemudian menghasilkan organisasi yang menghargai konstribusi karyawan dan peduli dengan kesejahteraan karyawannya. Dengan kata lain, karyawan yang engaged terhadap pekerjaan dan organisasi mereka didasari sebagai bagian dari norma timbal balik sehingga hal tersebut membantu organisasi untuk mencapai tujuannya (Saks, 2006).

3. Pengakuan dan Penghargaan

Karyawan memiliki berbagai variasi engagement sesuai dengan bagaimana mereka mempersepsikan keuntungan yang diterima dari pekerjaannya. Karyawan akan lebih engaged dengan pekerjaannya ketika mereka mempersepsikan nilai yang lebih besar dari rewards dan

(7)

4. Keadilan Organisasi a. Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil dan sumber daya organisasi kepada karyawannya atau persepsi terhadap proses dan aturan dalam pembuatan keputusan. Penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari pengaruh keadilan prosedural adalah kontrol proses dan komponen struktural. Perspektif komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana atuan-aturan prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam organisasi. Dan mengarah pada persepsi keadilan karyawan terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan sumber daya yang ada.

b. Keadilan Distributif

(8)

Ketika karyawan merasa diperlakukan secara adil, mereka akan cenderung merasa wajib bekerja secara maksimal dengan meningkatkan engagementmenjadi lebih tinggi. Sebaliknya, karyawan yang merasa dirinya tidak diperlakukan secara adil akan cenderung untuk menarik diri dan disengaged dari peran kerja mereka. Adanya keadilan prosedural dan keadilan distributif mampu memunculkan perilaku engaged pada karyawan.

B. Keadilan Organisasi

1. Definisi Keadilan Organisasi

Ide keadilan organisasi berasal dari teori equity dari Adams (1965) yang mengatakan bahwa penilaian dari adil dan ketidakadilan berasal dari perbandingan antara diri sendiri dengan orang lain berdasarkan input dan

outcomes. Individu akan membandingkan input dan outcomes yang mereka

(9)

Griffin dan Moorhead (2011) mengatakan bahwa keadilan organisasi sebagai sebuah fenomena penting yang baru-baru ini telah diperkenalkan ke dalam studi organisasi. Keadilan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang termasuk motivasi, kepemimpinan, dan dinamika kelompok. Menurut Greenberg & Baron (2003) keadilan organisasi sebagai persepsi individu terhadap keadilan dalam proses pembuatan keputusan dan distribusi hasil yang telah diterima oleh individu. Sedangkan Cropanzano dkk (2007) menjelaskan keadilan organisasi sebagai evaluasi personal tentang moral yang bagaimana seharusnya seseorang lakukan di dalam organisasi. Keadilan merupakan inti dari hubungan karyawan dengan atasannya, sebaliknya rasa tidak adil dianggap sebagai hal yang dapat merusak hubungan dalam organisasi. Ketidakadilan dalam organisasi dapat merusak individu maupun organisasi.

(10)

yang sama tentang keadilan dalam organisasi baik dari sisi karyawan dan organisasi (Sekarwangi, 2014)

Didalam keadilan organisasi, perlakuan adil dianggap menjadi hal penting terhadap sikap karyawan di tempat kerja termasuk komitmen karyawan dan kepuasan kerja (Colquitt, 2001). Colquitt (2001) menggunakan definisi Greenberg dalam menjelaskan mengenai keadilan organisasi yang kemudian membagi keadilan organisasi kedalam 4 dimensi yaitu ; a. keadilan distributif (persepsi alokasi input dan outcomes), b. keadilan prosedural (persepsi terhadap proses dan aturan pengambilan keputusan), c. keadilan interpersonal (sensitivitas dan penghargaan yang diberikan pada karyawan), d. keadilan informasi (persepsi tentang pemberian informasi pada karyawan). Di dalam sebuah organisasi, karyawan dipengaruhi oleh persepsinya mengenai perlakuan adil seperti mampu meningkatkan kemampuan pengendalian untuk peristiwa atau kejadian yang akan datang yang kemudian mengurangi rasa ketidakpastian pada saat bekerja kemudian mampu mengindikasikan pengabdian dengan standar moral dan etika organisasi pada bagian diri sendiri (Srivastava, 2015).

(11)

2. Dimensi Keadilan Organisasi

Pada awalnya keadilan organisasi hanya memiliki dua dimensi saja yaitu keadilan prosedural dan keadilan distributif (Folger R dan Konovsky, 1989). Sama dengan Thibaut dan Walker (dalam Judge & Colquitt, 2004) yang juga mengusulkan dimensi kedua yaitu, keadilan prosedural. Banyak penelitian sebelumnya yang hanya berfokus pada dua dimensi ini. Kemudian dimensi ketiga diperkenalkan yaitu keadilan interaksional (Barling dan Phillips, 1993). Dan pada akhirnya Greenberg (1993) mengemukakan empat dimensi keadilan organisasi. Greenberg (1993) membagi keadilan interaksional menjadi dua bagian yaitu, keadilan interpersonal dan keadilan informasional, sehingga Greenberg (1993) menyatakan bahwa keadilan organisasi memiliki empat dimensi, yaitu keadilan distributif, prosedural, interpersonal dan informasional.

(12)

(2001) melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan empat dimensi ini yaitu:

1) Keadilan Distributif

Dimensi ini merupakan bentuk keadilan paling tua dan dikonsepsikan berdasarkan teori equity dari Adams (1965). Didefinisikan sebagai persepsi keadilan tentang hasil yang didapatkan seperti bayaran, rewards

dan recognition. Dimensi ini terkait dengan pengalokasian hasil pada

karyawan berdasarkan teori equity yaitu individu akan membandingkan rasio hasil/masukan dengan orang lain, jika rasio jauh dibawah orang lain maka disebut dengan underpayment inequity sedangkan jika berlebihan dibanding dengan orang lain maka disebut dengan overpayment inequity dan ketika seseorang mengalami underpayment inequity ia akan cenderung mengalami emosi marah dan mengakibatkan stressor bagi dirinya. (Colquitt, 2001).

(13)

konsisten dengan apa yang diberikan seperti ekuitas atau kesetaraan (Colquitt, 2001).

Berikut ini akan dipaparkan beberapa indikator dari keadilan distributif (Colquitt, 2001):

a. Keadilan (Equity): Menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya. b. Persamaan (Equality): Menyediakan kompensasi yang sama bagi

setiap karyawan.

c. Kebutuhan (Need): Menyediakan keuntungan berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang.

2) Keadilan Prosedural

Dimensi adalah persepsi karyawan mengenai proses atau prosedur yang digunakan untuk mengambil keputusan yang mengarah pada hasil yang adil. Menurut Greenberg (1990) dimensi ini mengarah pada persepsi keadilan tentang prosedur yang digunakan di lingkungan kerja, melihat apakah prosedur untuk mengambil keputusan sudah reliabel, transparan, etis, bebas dari bias, akurat dan dapat diperbaiki. Dimensi ini didasarkan apakah seseorang diberi suara di dalam sebuah prosedur dan pengambilan keputusan untuk menentukan hasil. Terdapat 6 aturan keadilan prosedural yang mendefinisikan kriteria dimana prosedur pengalokasian dianggap adil (Colquitt, 2001; Cropanzano dkk, 2007) adalah:

a. Konsistensi : Prosedur yang adil harus konsisten pada setiap karyawan. b. Minimalisasi bias : Kepentingan-kepentingan pribadi harus dicegah

(14)

c. Informasi yang akurat : Proses pengalokasian keadilan harus didasarkan pada informasi yang jelas. Informasi dan opini harus dikumpulkan dan diproses sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan.

d. Dapat diperbaiki : Kesempatan harus ada untuk memperbaiki proses alokasi. Prosedur yang adil mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul.

e. Representatif : Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka.

f. Etis : Prosedur yang adil harus sesuai dengan moral dan nilai- nilai etika atau sebuah aturan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, bila berbagai hal diatas terpenuhi namun tidak sesuai dengan etika, maka belum bisa dikatakan adil.

3) Keadilan Interpersonal

(15)

dengan bawahannya. Colquitt (2001) mengemukakan dua indikator bagi keadilan interpersonal, yaitu:

a. Respect

Pihak otoritas sebaiknya memperlakukan bawahan dengan tulus dan bermartabat dan menahan diri untuk tidak bertindak kasar dan menyerang bawahan.

b. Propriety (kesopanan)

Pihak otoritas sebaiknya menahan diri untuk tidak menyatakan pernyataan yang mengandung prasangka dan menghindari untuk bertanya mengenai pertanyaan yang tidak sesuai seperti, ras, etnis, agama, dan lain-lain.

4) Keadilan Informasional

Dimensi ini mengarah pada kejujuran dan kejelasan informasi yang diberikan kepada karyawan. Informasi yang tidak benar dan salah akan mengarah pada persepsi ketidakadilan oleh karyawan. Informasi yang diberikan akan menunjukkan bahwa atasan memperhatikan bawahannya. Berikut merupakan indikator dari keadilan informasional (Colquitt, 2001; Greenberg & Colquitt, 2005):

a. Truthfulness

(16)

b. Justification

Pihak otoritas sebaiknya memberikan penjelasan yang memadai dan jelas mengenai hasil dari pembuatan keputusan.

C. Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Employee Engagement

Employee engagement pertama kali dikemukakan oleh organisasi

Gallup (Endres & Smoak, 2008). Mereka mendefinisikan employee

engagement sebagai keterlibatan dan antusias karyawan dengan pekerjaannya.

Mereka juga menyamakan employee engagement dengan kelekatan emosi karyawan dan komitmen karyawan yang positif. Lalu Perrin Global Workforce Study (dalam Markos, 2010) mengatakan employee engagement sebagai kemauan dan kemampuan karyawan untuk membantu perusahaan menjadi sukses, dengan memberi usaha secara berkelanjutan.

Saks (2006) dalam jurnal Antecedents and consequences of employee

engagement menyebutkan beberapa faktor yang bisa mempengaruhi

munculnya perilaku engagement pada karyawan. Salah satu faktor yang disebut oleh Saks adalah keadilan distributif dan keadilan prosedural. Keadilan distributif dan keadilan prosedural merupakan dimensi dari keadilan organisasi.

(17)

secara keseluruhan dan membandingkannya dengan pengukuran tiga dimensi, dua dimensi, dan satu dimensi dari keadilan organisasi. Ditemukan bahwa pengukuran dengan empat dimensi secara signifikan lebih baik dari pengukuran yang hanya menggunakan tiga dimensi, dua dimensi , dan satu dimensi. Lalu penggunaan pengukuran tiga dimensi lebih baik dari dua dimensi dan begitu seterusnya. Dari hasil penelitian Colquitt (2001), menurutnya keadilan organisasi lebih valid jika diukur secara satu kesatuan menggunakan empat dimensi.

Bakker, Demerouti, dan Vergel (2014) mengatakan karyawan yang

engaged memiliki perasaan yang berenergi dan memiliki koneksi yang efektif

dengan pekerjaannya, serta mereka melihat pekerjaan sebagai tantangan yang harus dilewati. Maslach et al., (2001) juga mengatakan bahwa pengaruh dari persepsi keadilan pada karyawan yang engaged dapat menghasilkan peningkatan produktivitas dan loyalitas karyawan terhadap perusahaannya (Maslach et al., 2001). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alvi dan Abbasi (2012) pada 312 responden di sektor perbankan menemukan bahwa keadilan organisasi memiliki peran yang penting dalam meningkatkan

employee engagement.

(18)

mereka sendiri dari peran kerja mereka serta dapat meningkatkan kelelahan pada karyawan. Dan kelelahan tersebut berdampak pada penurunan tingkat

engaged karyawan (Alvi dan Abbasi , 2012).

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Saks (2006) untuk menjelaskan employeeengagement yaitu teori pertukaran sosial (SET). Dalam teori ini karyawan merasa perlu untuk membuat performa lebih dalam bekerja ketika hasil yang didapatkan sesuai dan karyawan yang melakukan hal yang tidak pantas merupakan respon terhadap perlakuan yang tidak adil dari apa yang diberikan organisasi/perusahaan.

Berdasarkan uraian diatas kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap tingkat employee engagement. Yang berarti, semakin tinggi keadilan organisasi yang dirasakan karyawan maka semakin meningkat pula employee engagement.

Keadilan Organisasi Employee

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran disiplin kerja guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Barru sudah melaksanakan

Faktor ancaman dari faktor strategik eksternal yang mempengaruhi peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Situbondo memiliki total skor sebesar 1,293 dengan faktor

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tumpangsari sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan Jati Unggul Nusantara (JUN) umur lima tahun (tinggi, diameter dan volume

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 17 Desember 2013 sampai dengan 14 Januari 2014 di RSGM Terpadu FKG UNMAS Denpasar pada pasien yang

Perkembangan tersebut akan dicapai dengan penggunaan metode Snowball Throwing yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat serta menjawab

Hasil penelitian menunjukan pemberian kombinasi pupuk anorganik dan organik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap komponen pertumbuhan dan hasil kubis bunga,

 Jika NIK dan No.KK ditemukan maka sistem sistem Dukcapil akan mengirimkan pesan “sesuai” atau tidak sesuai” ke sistem operator (data kependudukan tidak bisa dibuka, hanya

(Karim Helmi, 2000 :76) Selain itu, masalah kemantangan fisik, mental dan emosional dari masing-masing pasangan akan dapat menghasilkan keturunan yang baik dan