• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR PSIKIS YANG BERPENGARUH TE (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR FAKTOR PSIKIS YANG BERPENGARUH TE (2)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR PSIKIS YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES DAN HASIL BELAJAR

A. Pendahuluan

Pendidikan, sebagaimana termaktub dalam UUD No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 adalah, “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1” secara maknawi, representase dari pasal ini mengandung dua retribusi yang harus direalisasikan.

Pertama, bahwa proses pendidikan merupakan kegiatan proses pembelajaran yang harus berlangsung secara efektif dan efesiensi.

Kedua, bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan berorientasi pada tujuan pembelajaran, yang dalam bahasa umum disebut dengan “Hasil belajar”, dengan demikian secara umum pendidikan itu sifatnya elaboratif dann evaluatif.

Menyangkut hal-hal yang praktis, proses pembelajaran merupakan kegaitan inti dari sebuah pendidikan. Selain bersifat

dogmatis-inkuiri dalam menanamkan nilai-nilai dan menyampaikan materi pelajaran, juga banyak hal yang harus diperhatikan terkait dengan pra-inter-pembelajaran yang pada gilirannya mempunyai kolerasi terhadap pelaksanaan pembelajaran, di antaranya ialah faktor pisikis anak. Dalam banyak studi –seperti yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya- bahwa psikis anak sangat besar kaitannya terhadap efektifitas proses pembelajaran.

Kematangan psikis anak, selain menentukan keterlaksanaan proses pembelajaran secara efektif dan efesien, juga merupakan faktor penentu ketercapaian tujuan pendidikan seperti yang dimaksudkan dalam undang-undang di atas. Secara reflektif, tujuan pendidikan selain bersifat observatif juga dapat dikalkulasikan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, karena tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang konkrit dan terukur.

Pada bagian di bawah ini, pemakalah akan mencoba mengurai “Faktor-Faktor Psikis Yang Berpengaruh Terhadap Proses Dan Hasil Belajar.”

B. Prinsip Dasar Proses Belajar Mengajar

Prinsip, jika diambil dalam makan literal seperti yang diungkapkan oleh William J. Byron dalam bukunya bermakna keyakinan yang diinternalisasikan yang menghasilkan tindakan.2 Berdasarkan prinsip-prinsp yang digariskan diharapkan dapat memberikan batasan

(2)

dan kajian peluang terhadap tindakan yang dilakukan, karena prinsip tersebut menjadi “garis putus-putus” yang terhubung ke dalam setiap aktivitas dilaksanakan. Dengan makna wilayah educatif, dengan prinsip-prinsp pembelajaran yang disepakati tersebut akan membantu guru (eksekutor) dalam memilih tindakan yang tepat.3

Berkaitan dengan prinsip-prinsip pembelajaran —seperti halnya juga disebutkan dalam pembahasan sebelum makalah ini— telah banyak disebutkan, beberapa ahli, meskipun tidak ada rincian pasti dalam melukiskan prinsip-prinsip pembelajaran, namun ada hal-hal umum yang bisa dirujuk sebagai prinsip pokok dalam pembelajaran. Prinsip umum tersebut adalah;

a. Prinsip perhatian dan motivasi belajar. b. Prinsip keaktifan belajar.

c. Prinsip keterlibatan langsung belajar. d. Prinsip pengulangan belajar.

e. Prinsip sifat perangsang dan menantang dari materi yang dipelajari.

f. Prinsip pemberian balikan dan penguruan dalam belajar. g. Prinsip perbedaan individual dalam belajar.4

Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi tenaga positif yang menjadi nilai dasar pelaksanaan pembelajaran. Pada saat melaksanakan pembelajaran, guru diharuskan sebisa mungkin untuk dapat memberian motivasi terhadap siswa, guru dalam kegiatan pembelajaran tesebut juga harus mengupayakan dan menciptakan suasana yang kondusif, aktif dan inovatif, dalam kegiatan pembelajaran juga harus diperhatikan dan disadari prinsip-prinsip perbedaan yang ada. Jika Rambu-rambu ini benar-benar diperhatikan maka bisa diduga keberlangsungan pembelajaran akan berjalan dengan baik, dan pada gilirannya nanti akan menjadi penentu dalam pencapaian keber-hasilan belajar.

C. Hasil Belajar Sebagai Tujuan

Dalam amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 3 menyebutkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Dan pada ayat 5 disebutkan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan

2 William J. Byron, The Power Of Principles, terj, Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 12

3 Dimyati & Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 41

(3)

menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”5 Pasal tersebut kemudian dilanjutkan pada bentukan UUSPN tahun 2003 pasa 3 yang mengatakan bahwa pendidikan “....bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”6

Peruntutan Undang-undang di atas berikut juga dengan penjabaran terhadap pasal-pasalnya, pendidikan selalu dirumuskan berdasarkan asas-asas yang kuat, salah satunya adalah berorientasi kepada tujuan, yang dalam hal ini adalah tujuan pendidikan Nasional. Tujuan, dalam bahasa operasional satuan pendidikan dirumuskan sebagai “hasil belajar”. Hasil belajar ini lah yang menjadi tumpuan perhatian terhadap keterlaksanaannya proses pendidikan secara optimal.

Tidak diragukan lagi, seperti disebutkan oleh tyler, pendidikan sebagai sebuah proses di dalamnya terhadap tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan evaluasi hasil belajar. Hubungan antara tiga dimensi di atas dalam proses pendidikan digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Garis A

menunjukkan hubungan hubungan antara tujuan pendidikan dan pengalaman belajar, garis B menunjukkan hubungan antara tujuan pendidikan dan hasil belajar, dan garis C menunjukkan hubungan antara pengalaman belajar dengan hasil belajar.7 Bertitik fokus pada bagian “Hasil belajar”, selain menjadi perhatian ideal dalam tujuan pendidikan, hasil belajar juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran, selain menjalin hubungan kausalitas antara taksonomi di atas, hasil belajar menjadi tinjauan aktual terhadap proses pembelajaran, dengannya keberhasilan, ketepatan, dan kematangan proses pembelajaran salah satunya dapat diukur melalui evaluasi terhadap hasil belajar.

5 Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional & Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 34

6 Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang...h. 5 7 Lihat dalam, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan, Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis (Bandung: IMTIMA, 2007), h. 110 .

A

B

C

Tujuan pendidikan

Pengalaman

Belajar

(4)

Pradigma di atas hanyalah sebuah ilustrasi jalinan-jaringan antara tujuan pendidikan nasional sampai kepada hasil belajar yang diharapkan. Tujuan pendidikan bersifat ideal, sementara hasil belajar sifatnya aktual.8 Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan pendidikan, sehingga hasil belajar diukur sangat tergantung kepada tujuan pendidikannya.

Proses belajar mengajar memang bisa dilakukan dimana saja, secara sistematis umumnya dilakukan disekolah, salah satu yang membedakan pendidikan formal dengan pendidikan lainnya adalah adanya rumusan terhadap tujuan yang akan dicapai. Tujuan pendidikan di sekolah mengarahkan seluruh komponen seperti, metode mengajar, media, materi, evaluasi, dst untuk sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Hasil belajar termasuk dalam komponen tujuan pendidikan yang menjadi titik awal evaluasi terhadap pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Denganya agak sukar untuk merumuskan “ketercapaian” tujuan pendidikan jika dengan tanpa merujuk kepada pencapaian hasil belajar siswa. Dengannya hasil belajar merupakan tujuan penting dalam proses pembelajaran.

D. Krakteristik Hasil Belajar Yang Diharapkan

Belajar menimbulkan perubahan prilaku dan pembelajaran adalah usaha mengadakan perubahan prilaku dengan mengusahakan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Perubahan dalam kepribadian ditunjukkan oleh adanya perubahan prilaku akibat belajar. Dalam memudahkan memahami dan mengukur perubahan prilaku maka prilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kalau belajar menimbulkan perubahan prilaku, maka hasil belajar adalah hasil perubahan prilakunya.

Perubahan prilaku (hasil belajar) merupakan hasil dari tindakan pembelajaran yang seperti disebutkan di atas, meluputi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Maka ketiga aspek tersebut mempunyai indikator penilaian tersendiri yang tentunya mengacu kepada tujuan kurikuler-institusional. Secara umum seperti yang disampaikan

(5)

Purwanto, pada aspek kognitif, dari yang terendah, meluputi hapalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, evaluasi. Sementara untuk aspek afektif mulai dari penerimaan, partisipasi, penilaian, ogranisasi, dan internalisasi. Dan untuk aspek psikomotorik berkaitan dengan gerakan refleks, gerakan fundamental dasar, kemampuan perseptual, kemampuan fisis, gerakan keterampilan, dan komunikasi tanpa kata.9

Aktivitas pendidkan berupaya sebisa mungkin untuk menciptakan perubahan terhadap peserta didik, perubahan tersebut tidaklah tunggal seperti yang banyak dipahami selama ini bahwa hasil belajar itu merupakan serangkaian angka-angkat kuantitatif, namun juga meliputi berbagai domain yang mesti juga diharapkan pencapaian pembelajaran meliputi 3 domain, yaitu, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian ketercapaian indikator —seperti yang telah disebutkan di atas— pada setiap domain menjadi kriteria hasil belajar yang diharapkan, pada tahapan ini, siswa tidak hanya mampu menghapal dan memahami materi pelajaran namun juga

mampu mengamalkannya, mempraktekkannya dan

menginternalisasikannya dalam diri siswa itu sendiri.

E. Asfek Psikis Penentu Keberhasilan Belajar

(6)

dimaksudkan adalah tinjauan dari kacamata “psikologis”, meskipun sebenarnya kajian terhadap psikis manusia banyak dibahas dan ditelaah dalam disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu falsafah dan tasawuf, meskipun sebenarnya tidak jauh berbeda namun sebagai objek kajian agaknya perlu ditegaskan pada bagian awal ini. Tanpa beramaksud membatasi ‘kajian psikis’ manusia, bahwa teori yang diulas selanjutnya pada bagian makalah ini merupakan ‘teropongan’ terhadap literatur psikologis, baik psikologi umum, maupun psikologi Islami.

Keberlangsungan pembelajaran merupakan salah salah satu skenario dalam sistem pendidikan, yang dalam pelaksanaanya diharapkan menerapkan nilai-nilai dasar dalam prinsip pembelajaran. Dengan mengacu terhadap nilai-nilai tersebut secara tidak langsung akan menciptakan suasana dan iklim yang mendukung untuk terlaksananya proses pembelajaran sebagaimana mestinya. Sebagai formula akhir dalam kegiatan ini adalah mengacu kepada ‘hasil akhir’ yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan pembelajaran, ketentuan-ketentuan dalam berbagai domain pencapaian hasil dari pembelajaran merupakan tinjauan rill apakah siswa mempunyai kemampuan standar atau belum, dengan makna yang sederhana, bahwa prinsip dan proses pembelajaran yang diterapkan dengan baik akan menjadi ‘rambu-rambu’ yang mengarahkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.

Secara sistemik, asas pendidikan tidak haya sebatas proses dan hasil belajar, namun tetaplah sebuah organis yang mempunyai rantai-rantai struktural. Meskipun demikian, secara filosofis para ahli telah banyak merumuskan bahwa objektifitas pendidikan adalah peserta didik10, apapun yang diterapkan dalam pendidikan baik dalam skala nasional maupun dalam tingkat satuan semuanya untuk peserta didik agar lebih mudah, lebih terarah dalam memahami materi pelajaran.

Ketika proses pembelajaran berlangsung, banyak hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, selain faktor eksternal seperti Media, guru, materi, strategi, sarana dan prasarana sebagai realitas pendukung, ternyata yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperhatikan adalah faktor internal siswa (fisikis). Dalam banyak kasus misalnya, tidak semua anak yang sekolah di tempat elite akan terjamin intlektualnya, dan juga tidak ada jaminan bahwa sekolah di tempat yang sederhana akan termarginalkan pengetahuannya dari anak-anak yang sekolah di

(7)

tempat elit. Relatifitas ini sangat mungkin saja terjadi, karena faktor psikis anak sangat kompleks.

Mengacu kepada makalah terdahulu, seperti yang disebutkan oleh Baharuddin, dalam Alquran secara jelas diungkapkan bahwa totalitas diri manusia terdiri dari 3 (tiga) aspek dan 5 (lima) dimensi, ketiga aspek tersebut adalah aspek jismiyah, aspek nafsiyah, dan aspek ruhaniyah. Sementara kelima dimensi psikis manusia tersebut mencakup, al-nafsu, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Dimensi al-nafsu, al-aql, al-qalb berada pasa aspek nafsiyah, dan dimensi al-ruh, al-fitrah berada pada aspek ruhaniyah.11 Kelima dimensi psikis

tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi sehingga realitas aktivitasnya terbentuk dengan sempurna, dan begitu pula sebaliknya, jika kebutuhan-kebutuhan psikis manusia tidak terpenuhi akan berdampak pada aktivitasnya.

Dalam pada ini, bagian psikis yang dimaksudkan adalah

al-nafsu, al-aql, al-qalb, al-ruh, dan al-fitrah. Kelima aspek ini lah yang menjadi motor penggerak yang sangat berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari, dan dalam hal ini adalah pembelajaran. secara esensial, proses pembelajaran merupakan aktivitas guru-siswa di kelas, karenanya dibutuhkan komunikasi dan sekaligus kondisi psikis yang baik dalam berjalannya pembelajara, keserasian antar keduanya menjadikan proses pembelajaran berjalan dengan baik, dan pada gilirannya akan mempengaruhi pencapaian hasil belajar siswsa.

Pada aspek fisikis ruhaniyah, secara umum bersifat spritual yang terbagi ke dalam dua dimensi yaitu, dimensi ruh dan dimensi al-fitrah. Kebutuhan dua aspek ini adalah perwujudan diri (aktualisasi diri) pada dimensi al-ruh dan kebutuhan agama pada dimensi al-fitrah. Secara aktual potensi ruh yang berasal dari Allah diciptakan dimuka bumi untuk menjadi khalifah12, dan secara implementatif ruh

tersebut juga harus beribadah kepada Allah.13 Hal ini pada semua manusia berlaku, tidak terkecuali terhadap peserta didik. Dalam masyarakat (sosial) peserta didik yang mempunyai masalah, seperti tidak harmonisnya keluarga (KDRT), atau pergaulan yang selalu merendahkan, atau berupa tekanan hidup yang lain, tentu akan memberikan dampak psikologis terhadap anak terutama terhadap konsentrasinya waktu belajar. Sejalan dengan ini pula, aspek spritual aktif anak juga punya posisi penting, selain aktif belajar agama, secara implementatif jika anak mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk melanggar norma-norma agama dan meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim, maka dengan segera terlihat pelanggaran-pelanggaran itu pun akan tercermin di dalam proses pembelajaran.

11 Lihat, Buharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 203.

(8)

Nafs

u

Psik

is

Seperti itu juga halnya pada dimensi fisikis yang lain. Qalb, secara potensial memiliki daya memahami dan merasakan (zawq)14, dan dalam kebutuhannya qalb selalu cenderung terhadap rasa cinta dan kasih sayang, perasaan ini sebagai akibat dari adanya sifat supra rasional, perasaan, dan esomosional yang bersumber dari dimensi

qalb itu sendiri. Dengan sifat perasaan ini, manusia selalu ingin merasakan perasaan menyenangkan yang tentunya terwujud dengan rasa cinta dan kasih sayang.15 Kebutuhan inilah yang seharusnya terjaga pada setiap peserta didik, anak didik yang terganggu qalb

(kasih sayang)-nya tentu akan berdampak pada aktivitas pembelajarannya, anak yang selalu merasa terancam atau juga yang merasa terbebani terhadap hal-hal yang negatif pada saat yang sama akan terbentuk tingkah laku yang tidak responship pada saat kegiatan pembelajaran. Pada arah yang lain juga seperti itu, pada aspek guru misalnya, pada setiap siswa seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama, tidak membeda-bedakan kasih sayang dikarenakan faktor sosial (murid kesayanangan). tidak diragukan lagi, hampir bisa dipastikan ketergangguan fisikis dalam dimensi qalb pada diri anak akan mempengaruhi proses pembelajarannya.

Sejalan dengan ini, dimensi fisikis aql yang pada dasarnya mempunyai daya pikir, seperti tafakkur, al-nazar (memperhatikan), al-i’tibar (menginterpretasikan). Selain daya pikir, aql juga mempunyai daya memahami, seperti tadabbur, ta’ammul (merenungkan),

istibshar (melihat dengan mata bathin), tazakkur (mengingat), dll.16 Dengan demikian, kebutuhan dimensi fisikis aql adalah penghargaan diri dan rasa ingin tau. Seperti yang disebutkan oleh Baharuddin bahwa “kebutuhan tersebut akibat dari sifat rasional dari dimensi aql, dengan adanya rasionalitas itu manusia dapat menyadari dan menilai kebenaran dirinya di antara kebedaan orang lain”, sehingga dengan demikian aql selalu berupaya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, dan tentunya juga dengan berusaha mencari tau bagaimana cara yang baik.

Daya aql seperti yang disebutkan di atas tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya apabila kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Jika rasa ingin tau anak terhambat, apalagi dengan keadaan yang kurang apresiatif, maka dengan sendirinya daya-daya dasar seperti tafakkur, nazar, istibshar dll, tidak akan berjalan dengan baik, dan pada gilirannya akan mengganggun proses pembelajarannya.

Dimensi fisikis yang selanjutnya adalah nafsu, pada ini kebutuhannya adalah rasa aman dan seksualitas.17 Kebutuhan ini merupakan kebutuhan asas kebidupan manusia dari segi psikis, dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut, maka kehidupan manusia dapat dipertahankan dan berkembang. Dalam hal

(9)

pembelajaran, sekilas memang tampak tidak ada kolerasi antara keterpenuhinya kebutuhan nafsu terhadap keberlangsungan pembelajaran, namun jika ditelusuri lebih jauh, nafsu menempati posisi lingkaran multidimensional yang menyentuh aspek fisik dan psikis manusia, dan pada dimensi psikis rasa aman menjadi keberlangsungan hidup sekaligus pula menjadi kebutuhan yang sangat berpengaruh terhadap mentalitas manusia. Seorang anak yang tidak mempunyai perlindungan dari keluarga, atau tidak pula mendapatkan pengakuan sosial, justru akan menjadikan daya konsentrasinya rendah. Dengan rendahnya daya konsentrasi anak karena diakibatkan oleh rasa aman yang tidak didapatkan, maka implikasinya adalah proses pembelajarannya akan terganggu, seperti daya tangkap, dan pemahamannya rendah, kreatifitasnya kurang aktif, dst. Lihat akselerasi psikis terhadap pembelajaran-hasil belajar pada krangka di bawah ini.

Aspek psikis manusia yang terdiri dari 5 dimensi mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus terpenuhi, sebagaimana yang dijelaskan di atas, terpenuhinya kebutuhan tersebut akan berdampak terhadap realitas kehidupan sehari-hari. Tidak terkecuali dalam aktivitas pembelajaran, karena pada esensinya dimensi-dimensi psikislah yang banyak bermain di dalam kegiatan pembelajaran, seperti, menghapal, memahami, dan mengelaborasi, informasi yang ada. Sejalan dengan ini pula, hampir bisa dipastikan bahwa

Ruhani yah

Aql

Nafsu Qalb Fitrah

Ruh

Nafsiy ah

Aktualisasi diri (khalifah

Ibadan

rasa sayang cinta dan

kasih penghargaan diri dan ingin

tahu rasa aman

dan seksualitas

PEMBELAJA

(10)

pencapaian hasil belajar merupakan buah dari keberhasilan atau ketidakberhasilan pembelajaran.

Aspek psikis, jika dikaitkan dalam pandangan umum akan dijumpai beberapa aspek internal (psikis) yang mempengaru pembelajaran, seperti minat, bakat, inteligensi, kepribadian, motivasi, sikap, persepsi, emosi. Kesemua aspek terebut juga merupakan bagian dari aspek psikis, namun tidak menjadi titik fokus dalam uraian ini, karena lineritas kurikum (silabus) yang ditekankan.18

Wassalam. dto

S.N

DAFTAR PUSTAKA

Alex Sobur, psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003

Buharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Quran Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007 Dimyati & Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta,

2006

H. Djaali & Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan,

Jakarta: Grasindo, 2008

H. Martinis Yamin, Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010

H. Mohammad Surya, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan, Jakarta: Balai Pustaka, 2004

Moh. Suardi, Belajar Dan Pembelajaran, Yogyakarta: Deepuplish,2001 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Radno Harsanto, Pengelolaan Kelas Yang Dinamis: Pradigma Baru

Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa, Yogyakarta: Kanisius, 2011

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan, Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung: IMTIMA, 2007

Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional & Undang-Undang Repuplik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen,

Jakarta: Visimedia, 2007

William J. Byron, The Power Of Principles, terj, Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 2010

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperoleh dari hasil observasi terhadap guru dalam menggunakan media pembelajaran pada siklus II ini memperoleh persentase 72 % dari sini dapat diketahui bahwa

Sehubungan dengan itu, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pimpinan Universitas, telah memfasilitasi peneliti untuk melaksanakan penelitian

Standar kompetensi sosial pada intinya sama dengan kompe- tensi sosial yang dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2011), namun dengan pengkhususan pada matakuliah Ilmu Sosial Budaya

[r]

Sosialisasi pemilahan Sosialisasi pemilahan sampah medis dan non sampah medis dan non medis medis Dilakukan Dilakukan penyuluhan / penyuluhan / pelatihan tentang pelatihan

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Kesediaan petani untuk menerima ataupun menolak teknologi pada umumnya didasari oleh keadaan faktor sosial ekonomi petani, diantaranya faktor usia petani yang