• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKAIAN DISFEMISME DALAM BERITA UTAMA SURAT KABAR JOGLOSEMAR | Khasan | BASASTRA 7786 16311 1 SM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMAKAIAN DISFEMISME DALAM BERITA UTAMA SURAT KABAR JOGLOSEMAR | Khasan | BASASTRA 7786 16311 1 SM"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAKAIAN DISFEMISME DALAM BERITA UTAMA

triangulation, theory triangulation, and review informan. Based on the data analysis, the result states that first, the kinds of dysphemism form consist of word and phrase. Second, motive of using dysphemism to atractive the reader, to explain the sentence, the word variation, provocative, and space. Third, the effect of using dysphemism formed of language structuce made rude, emotion easily, the disturbance of psycology, and low on understanding.

Keyword: dysphemism, news paper, Joglo Semar headline

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk disfemisme yang digunakan dalam berita utama pada surat kabar harian regional Joglo Semar, alasan digunakannya disfemisme tersebut, dan dampak yang ditimbulkan dari pemakaian bentuk disfemisme dalam berita utama surat kabar Joglo Semar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis isi. Sumber data yang digunakan adalah berita utama surat kabar Joglo Semar edisi Januari-Maret 2011 yang mengandung disfemisme. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah mencatat dokumen dan wawancara mendalam. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis mengalir. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi teori, triangulasi sumber data, dan review informan. Simpulan penelitian ini sebagai berikut. Pertama, bentuk-bentuk disfemisme yang terdapat dalam

berita utama surat kabar Joglo Semar terdiri dari disfemisme bentuk kata dan disfemisme bentuk

frasa. Kedua, alasan penggunaan bentuk disfemisme di dalam berita utama surat kabar Joglo Semar,

yaitu: menarik perhatian para pembaca, menegaskan pembicaraan atau menguatkan makna, variasi

kata, provokasi, dan space (penghematan ruang). Ketiga, dampak penggunaan bentuk disfemisme di

dalam masyarakat, yaitu: membentuk pola berbahasa masyarakat menjadi kasar; mudah terpancing emosi; psikologis menjadi terganggu; dan mengaburkan pemahaman.

Kata kunci: disfemisme, surat kabar, berita utama Joglo Semar

PENDAHULUAN

Pemakaian disfemisme sering ditemukan dalam artikel-artikel berita maupun opini di

surat kabar. Presiden Habibie pada pidatonya dalam pembukaan Kongres Bahasa Indonesia

(2)

pengasaran atau disfemisme (Alwi, 1998: 316). Hal itu diperkuat oleh Ariatmi (dalam Alwi,

1998:62) yang menyatakan bahwa bentuk pengasaran bahasa yang berkembang terlihat dalam

pemakaian disfemisme di surat kabar.

Tidak dapat dimungkiri, semakin maraknya bisnis jurnalistik secara langsung akan

membawa konsekuensi semakin gigihnya usaha berbagai media massa untuk menarik atau

paling tidak mempertahankan jumlah pembaca atau pelanggannya. Untuk itu, pihak-pihak

yang terlibat dalam usaha penerbitan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas

penerbitannya dengan berbagai upaya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menarik

pembacanya, yaitu dengan cara pemakaian gaya bahasa di dalam penuangan artikel-artikel

berita sehingga berita terlihat lebih menarik untuk dibaca. Oleh karena itu, pemakaian

disfemisme sebagai salah satu gaya bahasa sering ditemukan di dalam surat kabar.

Sebagaimana dikutip dalam Fakhrurradzie (2004) bahwa pemakaian bahasa yang beragam

memang menarik bagi siapa saja yang membacanya.

Bahasa yang dipakai dalam media massa mencerminkan masyarakat pemakainya.

Leech (2003:27) menyatakan bahwa bahasa mencerminkan perasaan pribadi penutur,

termasuk sikapnya terhadap pendengarnya atau sikapnya mengenai sesuatu yang

dikatakannya. Senada dengan Leech, Surahmat (2010:2) menyataan bahwa gambaran bahasa

yang digunakan media massa merupakan cerminan bahasa dalam masyarakat sebab

pemilihan bahasa media massa telah disesuaikan dengan tingkat keterbacaannya. Dengan

kata lain, semakin besar porsi disfemisme yang tampil di media massa semakin buruk pula

perilaku bebahasa yang berkembang di masyarakat.

Sebagai konsekuensi logis dari kasarnya bahasa, masyarakat akan terbiasa

menggunakan kata istilah berdisfemisme. Masyarakat bertutur dengan bahasa yang lugas,

tetapi mengabaikan etika dan sopan santun. Hal tersebut tentu saja sangat bertentangan

dengan masyarakat Solo yang lekat dengan norma kesopanan dan tutur katanya yang halus.

Bahasa yang sopan santun dan halus tersebut tercermin dari tingkat tutur di dalam bahasa

Jawa. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah koran yang dikonsumsi

mayoritas masyarakat Solo juga memuat disfemisme. Hal inilah yang mendorong peneliti

untuk mengkaji bentuk disfemisme dalam berita utama surat kabar Joglo Semar.

Disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme, yang berarti menggunakan kata-kata

yang bermakna kasar atau mengungkapkan sesuatu yang bukan sebenarnya. Chaer

(1995:145) menyatakan bahwa disfemisme adalah usaha untuk mengganti kata yang

(3)

Marcus (2011: 82) mengungkapkan, “A dysphemism is the antonym of a euphemism.

Whereas a euphemism is substituted for an offensive expression, a dysphemism substitutes a

distasteful expression for a wholesome or desirable one as....”. Artinya, disfemisme

merupakan antonim dari eufemisme, yaitu mengubah ungkapan halus menjadi ungkapan

kasar dan digunakan untuk mengungkapan rasa tidak senang. Usaha atau gejala pengasaran

ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan

kejengkelan, misalnya kata mencaplok digunakan untuk menyatakan makna ‘mengambil

dengan begitu saja’, seperti dalam kalimat dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah

Mesir, kata beringas dipakai untuk menyatakan makna ‘garang dan liar’, seperti dalam

kalimat sewaktu terjadi kerusuhan di Solo beberapa tahun lalu, ia juga terjun ke lapangan

menghadapi ribuan massa yang beringas, dan menjarah.

Makna emotif adalah muatan nilai rasa pada makna yang dibawa oleh suatu kata

Djajasudarma (1993b: 9-11). Selanjutnya nilai rasa itu dapat bersifat positif (baik, sopan,

hormat, dan sakral) dan dapat pula bersifat negatif (kasar, jelek, kotor, tidak sopan, dan

porno). Bentuk disfemisme atau pengasaran bahasa jika dilihat dari nilai rasa, pemakain

disfemisme dalam suatu surat kabar menunjukkan kecenderungan menyeramkan (seram),

mengerikan, menakutkan, menjijikkan, dan menguatkan.

Dalam suatu pemberitaan mengenai suatu hal yang terjadi, penulis biasanya

menggunakan disfemisme atau eufemisme untuk memperlihatkan bahwa suatu konteks dapat

menciptakan kekuatan suatu bahasa (Iorio, 2003:1). Hal tersebut akan memberikan suatu efek

sebagai hasil dari pemakaian bentuk disfemisme. Smith (2003:3) mengungkapkan bahwa

disfemisme merupakan suatu pernyataan yang berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih

buruk atau lebih serius daripada kenyataanya dan kebalikan dari eufemisme. Dengan kata

lain, efek yang ditimbulan dari pemakaian bentuk disfemisme di tengah masyarakat

menjadikan sesuatu yang diberitakan terdengar lebih buruk. Selain itu, penggunaan bentuk

disfemisme dapat mengubah pola pikir masyarakat, seperti menarik simpati bahkan sampai

mempengaruhi cara pandang masyarakat, sedangkan kaitannya dengan kesantunan berbahasa,

efek pemakaian disfemisme membuat pola berbahasa masyarakat menjadi kasar.

Contoh bentuk disfemisme yang berkembang di dalam media massa adalah sebagai

berikut.

Aburizal Bakrie sendiri digeser menjadi Menko Kesra.(Solopos, 7 Desember 2005)

Kata digeser dalam kalimat di atas merupakan bentuk disfemisme berupa kata yang

(4)

digeser yang memiliki nilai rasa lebih kasar atau tidak sopan. Kata digeser bersal dari kata

geser yang berarti bergesek, bergesel, bergosokan, bersinggut, beralihan, yang lebih lazim

digunakan untuk benda, sedangkan pada kalimat di atas dipakai untuk seorang menteri

(manusia) yang disamakan seperti sebuah benda atau barang.

Bentuk keberpihakan pemerintahan terhadap UKM hanya sekadar lips service para

pejabat.(Kompas, 21 Januari 2009)

Frasa lips service pada kalimat di atas merupakan bentuk pemakaian disfemisme yang

bersinonim dengan frasa omong kosong. Frasa omong kosong memiliki nilai rasa lebih netral

dibandingkan dengan frasa lips service. Lips service memiliki nilai rasa porno atau vulgar

karena menggambarkan perbuatan atau tingkah laku porno.

Berita dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai laporan

mengenai kejadian atau peristiwa yang masih hangat. Kusumaningrat dan Kusumaningrat

(2009:40) mendefinisikan, “Berita adalah informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang

menari perhatian orang. Berita yang diletakkan pada halaman pertama dan bersambung pada

halaman belakang pada surat kabar biasa disebut dengan headline (berita utama).

Rolnicki, Tom E. dkk. (2008:221) membedakan dua jenis headline, yaitu teaser

(penggoda) dan teller (pemberitahu). Headline teller yaitu berita utama yang berusaha

menarik perhatian dengan mengungkapkan berita penting dengan jelas dan tepat secara

ringkas. Isi headline teller biasanya langsung ke sasaran. Jenis kedua, yaitu headline teaser

yang menimbulkan perhatian dengan cara meningkatkan rasa ingin tahu atau dengan

menghibur pembaca.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi. Analisis menekankan pada makna

yang terkandung dalam bentuk pemakaian disfemisme untuk mendeskripsikan nilai rasa

tujuan, serta sinonim bentuk pemakaian disfemisme. Analisis isi juga digunakan untuk

menganalisis data hasil wawancara untuk mendeskripsikan alasan serta efek penggunaan

pengasaran bahasa.

Penelitian ini menggunakan sumber data dokumen yang ditengarai mengandung

disfemisme, yaitu berita utama surat kabar Joglo Semar edisi bulan Januari sampai Maret

(5)

wartawan selaku pemakai disfemisme terkait alasan penggunaan bentuk disfemisme di

dalam berita utama surat kabar Joglo Semar, serta masyarakat pembaca.

Teknik sampling yang digunakan adalah purposive samplingdengan mengambil

sampel kalimat-kalimat yang ditengarai mengandung disfemisme. Teknik ini juga digunakan

untuk menentukan informan yang dipilih dari kelas bawah, kelas menengah, sampai kelas

atas untuk mewakili pendapat masyarakat umum. Penggolongan kelas tersebut didasarkan

atas profesi yang digeluti.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah mencatat dokumen. Pengumpulan

data juga dilakukan dengan cara wawancara mendalam untuk mengetahui nilai rasa dan efek

dari penggunaan disfemisme.

Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi teori, triangulasi sumber data,

dan review informan. Review informan dilakukan terhadap key informan, yakni wartawan

berita sebagai pengguna disfemisme.

Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis mengalir. Pengumplan

data yang dilakukan dengan mencatat dokumen sudah dilakuan sejak awal sebelum kegiatan

pengumpulan data, kemudian proses reduksi data dilakukan dilakukan pada saat

pengumpulan data. Setelah itu dilakukan penyajian data dan penarikan simpulan atau

verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis terhadap data yang dikumpulkan, ditemukan bentuk-bentuk

disfemisme berupa kata, dan frasa. Di dalam sinonim bentuk disfemisme, diketahui kata

bersinonim dengan kata, kata bersinonim dengan frasa, frasa bersinonim dengan kata, dan

frasa bersinonim dengan frasa. Nilai rasa yang terkandung di dalam bentuk disfemisme di

surat kabar Joglo Semar meliputi menyeramkan, mengerikan, menjijikkan, menguatkan, tidak

sopan, serta porno atau vulgar. Berikut ini deskripsi bentuk-bentuk disfemisme berserta nilai

rasa yang terkandung di dalamnya.

Bentuk-Bentuk Disfemisme

Disfemisme berupa kata dalam kolom berita utama surat kabar Joglo Semar meliputi

kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva). Berikut adalah contoh-contoh

disfemisme berupa kata.

(6)

Bekas merupakan jenis kata benda. Nilai rasa yang terkandung adalah menjijikkan

karena mengacu pada hal atau perbuatan yang menjijikkan. Kata bekas bersinonim dengan

kata mantan. Kata bekas lekat dengan barang yang sudah kotor, dekil, menjijikkan, atau bau

dan memberikan efek nilai rasa kasar jika digunakan terhadap manusia karena disamakan

dengan barang rosokan.

Sebagian besar acra tersebut, juga sudah dipalsukan, dan terungkap tak lama setelah pemalsuan arca batu yang menyeret kepala museum saat itu, Soehardi Darmodipuro alias Mbah hadi ke penjara, tahun 2008 lalu. (D23/4 Feb 2011)

Menyeret merupakan jenis kata kerja. Nilai rasa menyeretterasa kasar dan kurang

sopan jika dilakukan pada manusia. Kata menyeret mempunyai arti menarik maju; memaksa

ikut (turut); dan menarik dengan paksa sehingga bisa merusak atau menyebabkan kerusakan.

Dilihat dari makna emotif, kata menyeretmempunyai nilai rasa tidak sopan karena pejabat

dan tokoh penting (manusia) disamakan dengan hewan atau benda.

Chep menyebutkan para jenderal purnawirawan sudah muak dengan kebohongan SBY. (D56/25 Maret 2011)

Kata muak merupakan kata dasar jenis adjektiva. Muakmerupakan bentuk disfemisme

karena memiliki nilai rasa yang kasar dibandingkan kata bosan. Kata muak tidak hanya

mempunyai batasan bosan, tetapi juga bisa menggambarkan sifat bosan atau jijik mendengar

atau melihat.

Disfemisme berupa frasa dalam berita utama surat kabar Joglo Semar meliputi frasa

benda ( frasa nomina), frasa kerja ( frasa verba), dan frasa sifat (frasa adjektiva).Berikut

adalah contoh-contoh disfemisme berupa frasa.

Pada bagian lain, testimoni Gayus juga menjadi bola liar. Partai Golkar mendesak agar penelusuran praktik mafia pajak di lingkungan Ditjen Pajak diperluas, tak hanya fokus pada kasus Gayus Tambunan. (D9/24 Jan 2011)

Bola liar termasuk jenis frasa nomina. Nilai kasar dari kata bola liarterletak pada kata

liar yang mempunyai pengertian buas, ganas, dan tidak bisa terkendali.

(7)

Dismefisme di atas termasuk jenis frasa verba. Kata didalangimemiliki nilai rasa

menyeriuskan makna negatif.

Ical mengemukakan partai yang dipimpinnya sudah kenyang kekuasaan sehingga tidak akan terpengaruh gonjang-ganjing koalisi atau perombakan kabinet. “Golkar bahkan sudah sangat berpengalaman, karena itu Golkar tidak akan terpengaruh irama irama politik yang ditabuh oleh aktor-aktor politik,” ucap Ical.(D43/7 Maret 2011)

Frasa kenyang kekuasaan dalam kalimat di atas merupakan bentuk disfemisme berupa

frasa adjektiva. Interpretasi disfemisme tersebut sama dengan sifat rakus, yakni suka makan

banyak, lahap. Hal tersebut yang menjadikan frasa kenyang kekuasaan bernilai rasa kasar

yang identik dengan tamak dan serakah.

Alasan Penggunaan Disfemisme

Berdasarkan analisis dokumen dan data hasil wawancara, bentuk-bentuk disfemisme

digunakan karena beberapa alasan. Berikut alasan penggunaan disfemisme dalam kolom

berita utama surat kabar Joglo Semar.

Menarik perhatian para pembaca

Ketertarikan tersebut diwujudkan melalui kata yang tidak lazim digunakan atau

menggunakan bahasa yang membuat orang berpikir dan membuat penasaran. Contoh

ketidaklaziman tersebut ditemui seperti pada kata diendus dan kata menyeret dalam kalimat

berikut.

(1)Gayus Tambunan dan istrinya, Milana Anggraeni diendus oleh penyidik Polri memiliki paspor Republik Guyana. (D3/19 Jan 2011)

(2)Selain menyeret beberapa pejabat dan tokoh penting, curahan hatiGayus yang membelejeti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana, ujung-ujungnya membuat suhu Partai Golkar memanas. (D4/21 Jan 2011)

Kata diendus lazim dilakukan oleh hewan sedangkan dicurigai lazim dilakukan oleh

manusia.Hal serupa juga sama dengan pemakaian kata menyeret yang lazim digunakan untuk

benda atau hewan. Ketidaklaziman ini membuat pembaca tertarik untuk mengetahui lebih

dalam seputar apa yang diendus.

Selaras dengan hal itu, hasil wawancara juga menyimpulkan bahwa pemakaian

disfemisme memang digunakan untuk menarik perhatian. Berikut contoh petikan wawancara.

(1) Kalau pemilihan judul, pemilihan kata, itu kan terkait dengan politik pemberitaan agar lebih menjual. Jadi ketika dikasih judul ini yang agak kasar, dalam artian tanda petik, itu kan orang merasa seperti itu kenapa tho? (I-1)

(8)

dipecundangi, dikangkangi bisa. Mungkin kalau di masyarakat umum bisa

menggugah khalayak pembaca untuk membeli Joglo Semar. Diantara unsur itu ya seperti itu, biar pembaca itu tertarik, Wah judule kok sangar. (I-2)

Menegaskan pembicaraan atau menguatkan makna

Alasan penggunaan disfemisme yang lain yakni untuk menegaskan pembicaraan.

Bahasa-bahasa yang kasar sengaja dipakai untuk memberikan efek tegas pada makna. Alasan

tersebut tercermin pada kalimat wawancara berikut.

(1) Kira-kira alasan penggunaan disfemisme tersebut apa pak? (P) Ya itu, lebih menghentakkan gitu lho. (I-1)

Menguatkan begitu ya. (P)

Iya. Lebih menjual, lebih menghentakkan. (I-1)

(2)Kalau dari segi kebahasaan memang agak kasar, tapi dalam segi jurnalistik

memberikan tekanan yang sangat bagus untuk suatu berita itu, jadi memberikan makna yang dalam. (I-2)

Dari kalimat yang dicetak tebal di atas, alasan penggunaan bentuk disemisme untuk

menghentakkan. Penggunaan bentuk disfemisme tersebut terlihat pada contoh kata

dipecundangi dalam data D1 dan kata biang dalam data D37, dll.

Variasi kata

Alasan penggunaan disfemisme selanjutnya untuk variasi kata. Di dalam

pengungkapan berita, media sering menggunakan bentuk kata yang bermacam-macam. Hal

tersebut dimaksudkan agar pembaca tidak merasa bosan atau tidak jenuh dengan komposisi

kata yang digunakan. Berikut contoh petikan hasil wawancara.

Selain fungsi menarik pembaca, apakah ada fungsi lain dari penggunaan disfemisme itu sendiri? (P)

Selain itu ya untuk variasi kata. Dalam bahasa jurnalistik kan kata-kata itu harus bervariasi. Tidak monoton A atau B, harus ada varias-variasi agar berita menjadi menarik dan tidak monoton.(I-3)

Provokasi

Alasan penggunaan disfemisme yang lain yakni sebagai bentuk provokasi. Bentuk-

bentuk bahasa disfemisme digunakan untuk membangkitkan kemarahan pembaca atau untuk

mempengaruhi. Berikut contoh petikan hasil wawancara.

(9)

Kalimat yang dicetak tebal menunjukkan alasan pemakaian disfemisme sebagai cara

untuk menciptakan provokasi. Penggunaan bentuk disfemisme sengaja dipilih atau digunakan

untuk mengungkapkan kemarahan, kejengkelan atau kebencian terhadap seseorang.

Space (ruang)

Selain alasan-alasan yang lain, penggunaan disfemisme juga terkait dengan

terbatasnya ruang pemberitaan. Berikut contoh petikan hasil wawancara.

Intinya ngomong orang dipecundangi, arti lainnya kan ini dipermainkan oleh wasit. Tapi kalau itu space-nya panjang, kemudian cari kata panjangnya dipermainkan, lha itu kan nggak efisien, beberapa kata. Kalau cuman dipecundangi, dipecundangi kan sudah tau orang. (I-1)

Hal tersebut terlihat pada data D9 yakni kata bola liar. Dalam konteks kalimat

tersebut, kata bola liar menggantikan bentuk tergantinya, yakni menerangkan tentang

pernyataan yang mungkin bisa mengena atau mengarah kepada siapa saja.

Efek Disfemisme

Sebagai salah satu gaya bahasa yang digunakan media massa untuk menarik pembaca,

penggunaan bentuk-bentuk disfemisme memberikan dampak atau efek terhadap masyarakat

pembacanya. Berikut efek dari penggunaan disfemisme.

Membentuk pola berbahasa masyarakat menjadi kasar

Penggunaan disfemisme atau bentuk-bentuk bahasa kasar secara tidak langsung akan

mendidik para pembaca media massa berbahasa kasar. Bentuk-bentuk gaya bahasa tersebut

akan memperkaya kosakata pembaca. Walaupun memerlukan waktu yang cukup lama,

penggunaan bentuk disfemisme akan mempengaruhi psikologis pembacanya. Dampak yang

lebih besar terjadi jika anak kecil mengonsumsi gaya bahasa kasar tersebut. Berikut contoh

temuan hasil wawancara.

(1) Menurut saya pastinya jika media massa sering sekali menggunakan bahasa kasar,

sopan santun masyarakat akan hancur. Entah cepat atau lambat, hal itu akan

merusak kesopanan berbahasa masyarakat. (I-13)

(2) Menurut bapak, efek dari penggunaan disfemisme di dalam media massa kira- kira apa pak terhadap masyarakat? (P)

Ya bahaya. Hal itu kan bisa merusak kaidah berbahasa yang baik dan benar. Nilai- nilai kesopanan dalam berbahasa menjadi semakin tidak diperhatikan. (I-12)

(10)

Selain mengakibatkan pola berbahasa masyarakat menjadi kasar, penggunaan bentuk

disfemisme juga berdampak pada emosi masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan alasan

dipakainya disfemisme sebagai unsur provokatif. Berikut contoh temuan hasil wawancara.

(1) Bahasa-bahasa seperti itu kan sering sekali digunakan untuk mengungkapkan kemarahan, kekesalah, kejengkelan. Pembaca yang membaca berita tersebut ya bisa saja ikut-ikut menjadi marah dengan permasalah yang terjadi. (I-8)

(2) Jika bahasa yang digunakan dalam pemberitaan menggunakan bahasa yang kasar, bahasa yang keras, menyakitkan hati walaupun itu mengulas tentang kejahatan atau permasalah lainnya, kalau itu nanti dibaca oleh masyarakat kan akan menimbulkan respon terhadap permasalahan. Kalau beritanya kasar, provokatif, hal itu nantinya membuat masyarakat menjadi emosi. (I-12)

Psikologis terganggu

Penggunaan bentuk disfemisme di dalam media massa akan mempengaruhi psikologis

masyarakat pembaca. Hal tersebut terlihat dengan sifat atau karakter masyarakat yang

menyukai bahasa kasar. Katika masyarakat Solo menyukai penggunaan bahasa kasar, hal itu

mengindikasikan adanya masalah psikologi. Berikut contoh temuan hasil wawancara.

(1) Ya agar masyarakatnya lebih tertarik. Jika masyarakat seperti itu, itu kan tandanya ada masyarakat ada gangguan, masyarakat baru sakit. (I-15)

(2) Ketika media massa menggunakan bahasa kasar, hal itu bisa saja mempengaruhi sifat atau karakter seseorang menjadi kasar. Selain itu juga mempengaruhi kejiwaan pembaca, yakni nantinya berhubungan dengan bahasa yang menjadi kasar. (I-15)

Mengaburkan pemahaman

Dalam mengungkapkan suatu berita, media massa sering memberitakannya dengan

bahasa yang berlebihan. Efek dari penggunaan bahasa disfemisme tersebut akan berdampak

pada pengaburan pemahaman pembaca atas realita yang sebenarnya. Berikut contoh temuan

hasil wawancara.

Persepsi berlebihan yang diberikan dari media massa seharusnya diubah menjadi berita yang realistis, apa adanya, sesuai dengan kenyataan lapangan. Jika itu diberitakan seperti ini, ya cukup seperti ini saja, tidak perlu ditambah-tambah. Hal itu bisa mengaburkan pemahaman yang sebenarnya. (I-13)

Kata-kata kasar seperti itu digunakan untuk menciptakan hiperbola saja, membesar- besarkan permasalahan agar masyarakat tertarik membacanya. Tapi dampaknya,

masyarakat malah tidak tahu dengan kejadian yang sebenarnya sesuai realita. (I-13)

Dari hasil temuan diketahui surat kabar Joglo Semar yang beredar di Solo dengan

(11)

penggunaan bentuk disfemisme tersebut masih dalam batas wajar. Hal itu dikarenakan

penggunaan bentuk disfemisme yang ditemui masih sedikit bila dibandingkan dengan

banyaknya artikel berita yang dijadikan sampel penelitian. Selain itu, penggunaan bentuk

disfemisme yang digunakan dari segi bahasa jurnalistik masih dalam taraf wajar dan dari segi

nilai rasa tidak ditemukan bentuk kata yang sangat kasar. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa surat kabar Joglo Semar masih memperhatikan nilai-nilai sopan santun berbahasa.

Bentuk disfemisme dalam berita utama surat kabar Joglo Semar paling banyak

bernilai rasa kasar dan tidak sopan. Hal itu berimplikasi pada makna suatu bahasa, yakni

bahasa dapat mengasarkan atau mengeraskan makna. Sebagai akibatnya, bahasa yang kasar

atau tidak sopan dapat menimbulkan suatu konflik karena dapat menyinggung perasaan

seseorang. Akan tetapi, bahasa yang bernilai rasa kasar tersebut efektif untuk

mengungkapkan suatu perasaan atau sikap, seperti rasa benci, marah, kecewa, dan jengkel

pada sesuatu atau seseorang. Dengan demikian, perlu penelitian lebih lanjut berkaitan dengan

penggunaan disfemisme dalam surat kabar. Penggunaan disfemisme efektif untuk

mengungkapkan perasaan marah, tapi di sisi lain dapat menyebabkan terjadinya konflik.

SIMPULAN

Simpulan penelitian ini sebagai berikut. Pertama, bentuk-bentuk disfemisme yang

terdapat dalam berita utama surat kabar Joglo Semar terdiri atas disfemisme bentuk kata dan

disfemisme bentuk frasa. Di dalam sinonim bentuk disfemisme, diketahui kata bersinonim

dengan kata, kata bersinonim dengan frasa, frasa bersinonim dengan kata, dan frasa

bersinonim dengan frasa. Nilai rasa yang terkandung di dalam bentuk disfemisme di surat

kabar Joglo Semar meliputi rasa menyeramkan, mengerikan, menjijikkan, menguatkan, tidak

sopan, serta porno atau vulgar. Kedua, alasan penggunaan bentuk disfemisme di dalam berita

utama surat kabar Joglo Semar, yaitu: (a) menarik perhatian para pembaca, (b) menegaskan

pembicaraan atau menguatkan makna, (c) variasi kata, (d) provokasi, dan (e) space

(penghematan ruang). Ketiga, dampak penggunaan bentuk disfemisme di dalam masyarakat,

yaitu: (a) membentuk pola berbahasa masyarakat menjadi kasar; (b) mudah terpancing

emosi; (c) psikologis menjadi terganggu; dan (d) mengaburkan pemahaman.

Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan,peneliti mengemukakan saran-saran

sebagai berikut. Pertama, media masa sebagai media informasi umum sebaiknya lebh

(12)

yang baik hendaknya mampu menyaring bahasa yang bernilai kasar dan menggantikan

dengan bahasa yang bernilai rasa halus dalam berkomunikasi di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. (1998). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Risalah Kongres VII Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Chaer, A. (1995). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Fakhrurradzie. (2004). Bahasa Jurnalisme. Diperoleh tanggal 13 Mei 2011, dari http://fakhrurradzie.blogspot.com/2004/05/bahasa-jurnalisme.html.

Kusumaningrat, H.& Purnama K. (2009). Jurnalistik Teori & Praktik. Yogyakarta: Cinta Pena.

Iorio, J. (2003). Taboo Language in Context: How Speaers Address the Taboo. Diperoleh tanggal 3 April 2010, dari http://personal.ecu.edu/iorioj/woeks/taboo-language/doc.

Leech, G. (2003). Semantik (terjemahan Paina Partana). Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Marcus, D. (2011). “The Barren Woman of Psalms 113:9 and the Housewife: An Antiphrastic Dysphemism.” Bravman Memorial Volume.

Smith, P. (2003). Dysphemism. Diperoleh tanggal 3 April 2010, dari http://www.wysiati.com/LON/d/dysphemism.shtml.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan persediaan bahan baku pada PT USB masih dilakukan secara sederhana, hal ini seringkali mengkibatkan ketidaksesuaian jumlah bahan baku dalam proses

1.5 Tujuan Penelitian Bedasarkan rumusan maslah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1 Mengetahui apakah fasilitas kesehatan berpengaruh langsung

Sedangkan media pembelajaran adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terjadinya

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk. memperoleh gelar

Sebelum dilakukan pengukuran terhadap sampel, agar diperoleh hasil pengukuran yang akurat maka perlu dilakukan optimasi kondisi analisis yang meliputi panjang

Kemas keripik wortel menggunakan kemasan alufo Keripik wortel yang dihasilkan dari proses penggorengan vakum mengandung 2000 mg vitamin A.. Keripik

Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dari “segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri

1. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat Desa Komodo dalam pengembangan ekowisata di Pulau Komodo, di antaranya adalah: 1). Partisipasi masyarakat Desa Komodo dalam