BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah observasional dengan jenis
penelitian analitik yang akan menilai hubungan antara Rotavirus dengan
terjadinya invaginasi pada anak. Pendekatan yang digunakan pada
rancangan penelitian ini adalah Cross Sectional Study.
Penelitian ini merupakan penelitian crosssectional atau studi potong
lintang, yang dilakukan pada pasien anak dengan suspek invaginasi
dibandingkan pasien anak dengan diare. Penelitian crossectional sering
disebut juga dengan penelitian transversal karena variabel bebas (faktor
risiko) dan variabel tergantung (efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang
sama. Variabel bebas adalah rotavirus, Variabel tergantung adalah invaginasi.
Parameter yang diukur adalah jenis kelamin, usia, status gizi, suku.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu Penelitian : Oktober 2013 – Maret 2014
Tempat Penelitian :
1. Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Laboratorium Sequencing Division, Macrogen Inc World Meridian Venture
Centre 10F Seoul, Republic of Korea.
3. Rumah Sakit Tempat Peneliti Bekerja:
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi: Anak usia 1 bulan- 3 tahun:
Populasi I : Anak usia 1 bulan – 3 tahun secara klinis dinilai sebagai anak
suspek invaginasi.
Populasi II : (Kontrol) Anak usia 1 bulan-3 tahun secara klinis dinilai sebagai
anak yang menderita diare.
2. Sampel penelitian diambil dengan penetapan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi
dalam bentuk data nominal.
Besar sampel untuk analisis data kategori, dengan menggunakan
Rumus Sample Size Determination in Multinomial Logistik Regresi (Hosmer
&Lemeshow, 1998) yaitu :
Rule of thumbs: Besar sampel adalah 10 kali jumlah variabel
bebas yang diteliti. Karena pada penelitian ini terdapat 5 variabel bebas, maka
besar sampel adalah: 50 minimum subjek.
3.4. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen:
Rotavirus (Protein NSP4) yang berinteraksi dengan umur, jenis kelamin, status gizi, suku
pasien.
2. Variabel Dependen:
Invaginasi = ( + ) invaginasi type invaginasi
( - ) invaginasi
3.5. Alur Penelitian
KRITERIA INKLUSI
Dilakukan p e n
SUBYEK PENELITIAN
KELOMPOK SUSPEK INVAGINASI.
Kelompok Anak Dengan Diare
3.6. Prosedur Penelitian 3.6.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien usia 1 bulan sampai 3 tahun.
2. Anak yang secara klinis dinilai sebagai anak dengan suspek invaginasi.
3. Anak yang secara klinis dinilai sebagai anak dengan diare.
4. Bersedia mengikuti penelitian.
5. Durante operasi ditemukan invaginasi karena idiopatik.
3.6.2. Kriteria Eklusi
1. Terdapat lebih dari satu diagnosis pada pasien.
2. Anak dengan kelainan kongenital. populasi
3. Tidak ditemukan invaginasi durante operasi.
4. Menolak mengikuti penelitian.
3.6.3. Demografi Responden Penelitian
Penelitian ini diikuti oleh 55 pasien anak yang telah memenuhi
kriteria inklusi yaitu pasien dengan usia 1 bulan sampai 3 tahun, anak yang
secara klinis dinilai sebagai suspek invaginasi dan anak dengan diare.
Karakteristik responden yang dilihat yaitu jenis kelamin, usia responden, nilai
status gizi yang meliputi status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi
lebih, karakteristik yang lain yaitu suku. Pada responden dilihat juga mengenai
riwayat diare dan jenis invaginasi.
3.7. Karakteristik Protein NSP4 3.7.1. Etik Penelitian
Setelah mendapat perizinan untuk melakukan penelitian dari rumah sakit tempat
dilakukannya penelitian dan kesediaan dari orang tua atau wali dari anak suspek invaginasi
dan anak dengan diare yang menjadi subjek penelitian, melalui anamnesis secara
Autoanamnesis kepada orang tua atau wali dari subjek penelitian, peneliti mengisi rekam
medis yang terdapat di rumah sakit tempat penelitian dilakukan (nama, umur, jenis kelamin,
status gizi, suku, alamat). Kemudian identifikasi anak suspek invaginasi (trias invaginasi) dan
anak dengan diare yang berumur 1 bulan sampai 3 tahun yang datang ke rumah sakit untuk
menegakkan diagnosis. Selanjutnya dilaksanakan penanganan medis terhadap anak suspek
invaginasi dan anak diare (SOP). Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan metode PCR
dan dilanjutkan pemeriksaan dengan metode Sequencing DNA pada Feses anak suspek
invaginasi dan anak diare.
Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu tekhnik pemeriksaan
menentukan sepasang primer yang mengapit sekuens DNA yang dikehendaki. Pemeriksaan
DNA sequencing bertujuan untuk dapat mengetahui kode genetik dari molekul DNA, dimana
akan dihasilkan fragmen-fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi, yang satu sama lain
berbeda sebanyak satu basa tunggal. Dari fragmen-fragmen tersebut bisa ditarik kesimpulan
mengenai urutan asam nukleat molekul DNA yang diperiksa.
2.5.3. Sampel Klinis
Pemeriksaan feses pada anak:
1. Bahan dan Peralatan yang diperlukan:
- Feses
Feses diambil anak suspek invaginasi dan anak dengan diare.Feses
ditampung di dalam tempat (vial) yang bersih dan kering. Feses diambil sebanyak 1-2 ml
atau 1-2 gram. Sampel tersebut harus segera dibawa ke laboratorium atau bila tidak harus
disimpan pada suhu 2°C sampai 8°C dan harus diperiksa dalam waktu kurang dari 48 jam
(2 hari). Bila tidak diperiksa dalam waktu tersebut maka harus dibekukan pada suhu -70°C
sampai -80°C.
2. Cara Kerja:
Persiapan sampel:
Sampel feses cair dicampur dengan lembut, ambil sekitar 400 ul sampel (sampel
feses cair), lalu vortex selama 15 detik lanjutkan dengan mensentrifugasi 12.000 rpm selama
10 menit, kemudian mbil 140 ul supernatant dan masukkan ke dalam 1,5 mL tabung mikro.
Ekstraksi RNA Virus:
Selanjutnya RNA virus diekstraksi menggunakan QIAmp Viral RNA Mini Kit (Qiagen,
Cat Number: 52904) dengan tahapan:
dengan suhu (15–25°C) selama10 menit, kemudian sentrifugasi tabung selama 15 detik
untuk menghilangkan ampas dari tutup bagian dalam, tambahkan 560 ul ethanol (96–100%),
campur dengan pulse-vortexing selama 15 detik, sentrifugasi tabung selama 15 detik untuk
menghilangkan ampas dari tutup bagian dalam. Apply 500 ul the solution to the QIAamp Mini
spin column without wetting the rim, sentrifugasi tabung dengan kecepatan 8000 rpm,
selama 1 menit. Letakkan QIAamp kesebuah tabung pengumpul 2 ml yang bersih (buang
tabung yang mengandung filtrat). Ulangi langkah sebelumnya untuk hasil yang lebih baik.
Kemudian tambahkan 500 ul Buffer AW1 sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 8000
rpm selama 1 menit lalu letakkan leher pemutar QIAamp kesebuah tabung pengumpul 2 ml
yang bersih (buang tabung yang mengandung filtrat). Selanjutnya tambahkan 500 ul Buffer
AW2, sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 12000 rpm selama 3 menit. Ambil filtrat
dan letakkan bagian belakang leher QIAamp Mini ke tabung yang sama (buang filtrat),
sentrifugasi leher tabung yang kosong dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit, lalu
tambahkan 50 ul Buffer AVE, inkubasi pada suhu ruangan selama 2 menit, sentrifugasi leher
tabung dengan kecepatan 12000 rpm selama 2 menit.
Note: Jika tidak langsung di RT-PCR, hasil elusi dapat disimpan pada -800 C selama tidak lebih dari 5 hari.
A. RT-PCR Rotavirus A, B, dan C
1. Duplex RT-PCR Rotavirus A dan C (OneStep RT-PCR Kit, Qiagen; Cat 210210 (100 reaksi).
Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Reaksi PCR dilakukan
pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 5x One Step RT-PCR
Buffer, 10 mM dNTP Mix, 5x Q Solution, masing-masing 10 µM primer Beg9, VP7-1, G8NS1,
G8NA2, 4 unit enzim mix pol, RNA dan DEPC – treated water. Semua kondisi preparasi
bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR, RNA dipanaskan
pada 920C selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded
40x siklus yang terdiri dari : suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 15 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 30 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 550C selama 30 detik, tahap ekstensi awal 720C selama 60 detik dan ekstensi akhir 720C selama 7 menit.
Pasangan primer yang digunakan adalah sebagai berikut (Chaimongkol et al., 2012;
Yan et al., 2004).
Beg9 : 5’-GGCTTTAAAAGAGAGAATTTCCGTCTGG-3’
VP7-1 : 5’-ACTGATCCTGTTGGCCATCCTTT-3’
G8NS1 : 5’-ATTATGCTCAGACTATCGCCAC-3’
G8NA2 : 5’-GTTTCTGTACTAGCTGGTGAAC-3’
2. RT-PCR Rotavirus B (OneStep RT-PCR Kit, Qiagen; Cat number: 210210 (100 reaksi)
Untuk rotavirus B amplifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR.
Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 5x
One Step RT - PCR Buffer, 10 mM dNTP Mix, 5x Q Solution, masing-masing 10 µM primer
Beg9, VP7-1, G8NS1, G8NA2, 4 unit enzim mix pol, RNA dan DEPC – treated water. Semua
kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR,
RNA dipanaskan pada 920C selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA
double stranded tetap terpisah], kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR). Siklus
PCR berlangsung 40x siklus yang terdiri dari: suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 15 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 30 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 420C selama 2 menit, tahap ekstensi awal 720C selama 60 detik dan ekstensi akhir 720C selama 7 menit.
es [agar RNA single stranded tidak kembali menjadi double stranded], kemudian masukkan
RNA ke dalam mix RT-PCR).
Primer yang digunakan pada amplifikasi untuk rotavirus B adalah sebagai berikut
[Gouvea et al., 1991; Sen et al., 2000]:
Bl : 5’-CTATTCAGTGTGTCGTGAGAGG-3’
B4 : 5’-CGTGGCTTTGGAAAATTCTTG-3’
Hasil RT - PCR kemudian dianalisis pada 1.5% gel agarose dengan hasil positif
Rotavirus B jika berada pada marka 489 pb.
3. Interpretasi Hasil
Jika positif rotavirus dilanjutkan dengan reaksi berikut: RT-PCR NSP4 Rotavirus
(SuperScript® III One-Step RT-PCR System with Platinum®Taq High Fidelity, Invitrogen,
Cat number: 12574-030 (25 reaksi); 12574-035 (100 reaksi).
Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang
terdiri dari 2x Reaction mix, masing-masing 10 µM primer forward dan reverse, 4 unit
SuperScript® III RT/ Platinum® Taq High Fidelity, RNA dan DEPC – treated water. Semua
kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR,
RNA dipanaskan pada 92oC selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded tetap terpisah],kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR).
Table 2.1 RT PCR dan Sekuensi Primer
B. Prioritas pasangan primer untuk RT-PCR Prioritas I:
NSP01-F : 5’-GGCTTTTAAAAGTTCTGTT-3’
NSP01-R : 5’-ACCATTCCTTCCATTAAC-3’
Prioritas II:
NSP02-F : 5- TAAAAGTTCTGTTCCGAGAG-3’
NSP02-R : 5’- GATTGGTTAAACGGGATTA-3’
Produk RT-PCR dianalisis pada 1.5% gel agarose. Hasil positif gen NSP 4 jika
berada pada marka 738 pb.
3. DNA sequencing
DNA Hasil purifikasi diukur konsentrasi DNA nya, kemudian dilanjutkan dengan
reaksi DNAsequencing. DNA sequencing dapat dilakukan di lembaga Eijkman atau IHVCB
UI, atau ditempat lain yang ada mesin sekuensernya.Primer untuk reaksi sequencing
(Cunliffe et al., 1997)
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan tersebut diatas anak suspek invaginasi
dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operasi explorasi laparotomy dan dinilai apakah anak
tersebut memang terbukti mengalami invaginasi dengan penyebab idiopatik.
3.7.3. Pengolahan dan Analisis Data
Data diperoleh dari anamnesis dan hasil observasi. Data ditabulasi dan diolah
secara statistik dengan program komputerisasi. Pengumpulan data dilakukan dengan
anamnesa dan pengisian rekam medis terhadap subyek penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi sampai jumlah sampel minimal terpenuhi. Data karakteristik subyek yang
diperoleh dari pengumpulan data meliputi: data umur, jenis kelamin, status gizi, hasil
pemeriksaan fases (rotavirus +/-) dan hasil temuan durante operasi (invaginasi +/-).
3.7.3.1. Analisis Statistik
a. Analisa Deskriptif: Dilakukan analisis deskriptif dengan menentukan nilai
rata-rata, standar deviasi dan rasio prefalen (RP).
b. Statistik Infrensial
1. Analisis Univariat: Analisa Univariate, merupakan langkah pertama analisis
statistik yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam
analisis ini mendiskripsikansemua variable independen yaitu rotavirus, umur, jenis kelamin,
status gizi anak,suku dan variable dependen yaitu hasil temuan durante operasi explorasi
2. Analisis Bivariat: Dalam hal ini dipakai uji Chi Square dengan derajat
kemaknaan 95%. Dalam analisis ini mendiskripsikan dua variabel yang mempunyai
hubungan, yaitu:
- Anak yang terinfeksi / tidak terinfeksi rotavirus dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.
- Usia anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi anak.
- Jenis kelamin anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.
- Status gizi anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.
- Suku anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.
3. Analisis Multivariate: Analisa multivariate yang dilakukan terhadap lebih dari
dua variabel, analisis multivariate yang dipilih adalah regresi logistik. Dalam analisis ini
mendiskripsikan hubungan antara:
- variabel terikat/akibat ( dependent variabel) invaginasi (type invaginasi) dengan variabel bebas/sebab (independent variabel) rotavirus, umur, jenis kelamin genetik status gizi, suku.
- Hasil pengamatan tersebut ditabulasi
Regresi Logistik merupakan salah satu metode regresi yang digunakan untuk
mencari hubungan antara variabel respon bersifat kategorik berskala nominal, ordinal
dengan satu atau lebih variabel penjelas kontinu maupun kategorik. Jika variabel respon
berskala nominal digunakan regresi logistik multinomial (Fahmeir dan Tutz, 1994),
sedangkan pada peubah variabel berskala ordinal digunakan regresi logistik ordinal.
Syarat Analisa Regresi Logistik:
- Tidak mengasumsikan hubungan linier antar variabel dependen dan independent.
- Variabel independent tidak harus memiliki keragaman yang sama antar kelompok variabel.
- Kategori dalam variabel independent harus terpisah satu sama lain atau bersifat eksklusif.
- Sampel yang diperlukan dalam jumlah relatif besar, minimum dibutuhkan hingga 50 sampel data untuk sebuah variabel prediktor (bebas).
Regresi logistik mempunyai tujuan untuk memperkirakan besarnya probabilitas
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Hasil Analisis Univariat
Penelitian dikuti 55 orang pasien anak. Jumlah anak laki-laki sebanyak 38 orang
(69,1%) sedangkan anak perempuan 17 orang (30,9%). Kebanyakan pasien anak dengan
gizi baik sebanyak 28 orang (50,9%) dan suku terbanyak adalah suku Batak sebanyak 22
orang (40%) (Tabel 4.1.1).
Tabel 4.1.1. Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik Responden
Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki 38 69,1
Perempuan 17 30,9
Status Gizi
Gizi kurang 9 16,4
Gizi baik 28 50,9
Gizi lebih 18 32,7
Suku
Batak 22 40,0
Jawa 15 27,3
Melayu 7 12,7
Minang 7 12,7
Tionghoa 4 7,3
Berdasarkan analisis deskriptif, rerata usia responden adalah 6,6 bulan dengan SB
Tabel 4.1.2. Analisis Deskriptif Usia Responden
Usia (bulan)
Rerata 6,6
Simpangan baku 4,37
Minimum 2
Maksimum 25
95% IK 5,42 – 7,78
Sebanyak 28 anak (50,9%) diketahui positif rotavirus dari pemeriksaan fesesnya
(Tabel 4.1.3).
Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden dengan Rotavirus
Rotavirus A Frekuensi Persentase
+ 28 50,9
- 27 49,1
Mayoritas pasien anak yang diperiksa NSP4 ditemukan dengan hasil yang negatif
yaitu sebanyak 47 anak (85,5%) (Tabel 4.1.4).
Tabel 4.1.4. Distribusi Frekuensi Responden dengan NSP4
NSP4 Frekuensi Persentase
+ 8 14,5
- 47 85,5
Sebagian besar pasien (52,7%) dengan riwayat diare akut, dikuti dengan diare
persisten, disentri (Tabel 4.1.5).
Tabel 4.1.5. Distribusi Frekuensi Responden dengan Riwayat Diare
Riwayat Diare Frekuensi Persentase
Tidak diare 11 20,0
Diare akut 29 52,7
Disentri 3 5,5
Diare persisten 12 21,8
Dari 55 orang anak yang mengikuti penelitian ditemukan (63,6%) dengan invaginasi
dan 46.4% diare (Tabel 4.1.6.).
Tabel 4.1.6. Distribusi Frekuensi Responden dengan Invaginasi
Invaginasi Frekuensi Persentase
Invaginasi 35 63,6
Diare 20 36,4
Tipe invaginasi terbanyak yang ditemukan adalah tipe ileo-colica sejumlah 38,2%,
diikuti tipe ileo-caecal, colo colica dan ileoileal (Tabel 4.1.7.).
Tabel 4.1.7. Distribusi Frekuensi Tipe Invaginasi
Ileo-ileal 3 5,5
Ileo-colica 21 38,2
Ileo-caecal 6 10,9
Colo-colica 5 9,1
4.2. Hasil Analisis Bivariat
Dari hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan
antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034). Nilai OR yang
diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan
gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan
status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi
sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1% yang
mengalami invaginasi.
Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan
antara jenis kelamin dan suku dengan terjadinya invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.2.1).
Tabel 4.2.1. Hubungan Karakteristik dan Invaginasi
Gizi
Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan
keberadaan rotavirus dalam feses dengan kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR
1,848 (95% IK 1,172 – 2,915) yang artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif
rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding
anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Sebanyak 82,1% anak dengan
rotavirus mengalami invaginasi sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus
kejadian inaginasi hanya terjadi pada 44,4% anak (Tabel 4.2.2.).
Tabel 4.2.2 Hubungan Rotavirus dan Invaginasi
(44,4) (55,6)
Dengan menggunakan uji T independent diketahui terdapat hubungan yang
signifikan antara kadar neutrofil dan terjadinya invaginasi (p=0,0001). Rerata kadar neutrofil
pada anak dengan invaginasi jauh lebih tinggi (79,03) dibanding anak-anak dengan
diare/tanpa invaginasi (56,55). Rerata umur anak dengan invaginasi dan tanpa invaginasi
tidak berbeda (p=0,752) dimana pada anak dengan invaginasi rerata usia adalah 6,74 bulan
dan tanpa invaginasi adalah 6,36 bulan (Tabel 4.2.3.).
Tabel 4.2.3. Hubungan Usia dan Kadar Neutrofil terhadap Terjadinya Invaginasi
Invaginasi Diare P
Usia 6,74 (±5,04) 6,36
(±2,98)
0,752
Kadar Neutrofil
79,03 (±4,36) 56,55 (±6,25)
0,0001
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan antara NSP4 dan terjadinya invaginasi (p=1,000). Sebanyak 62,5% anak-anak
yang ditemukan NSP4 mengalami invaginasi, sedangkan pada kelompok anak yang tidak
ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami invaginasi sebesar 63,8% (Tabel 4.2.4.).
N SP4
Kelompok
P O
R 95% IK
Invag inasi
Dia re
+
5 (62,5)
3 (37,5)
1 ,000 ,979
0,549 – 1,746
-
30 (63,8)
17 (36,2)
4.3. Hasil Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda
dengan metode enter ditemukan hanya rotavirus yang berpengaruh terhadap terjadinya
invaginasi pada pasien anak dengan nilai p = 0,005. Nilai OR yang diperoleh dari pemodelan
multivariat adalah 5,750 (95% IK 1,682 – 19,661) yang menunjukkan bahwa anak-anak yang
terinfeksi rotavirus berisiko akan mengalami invaginasi sebesar 5,75 kali lebih besar
i 5
Gambar 4.3.1. Kurva ROC dari Kadar Neutrofil untuk Memprediksi Invaginasi
Kadar neutrofil dalam studi ini memilliki kemampuan untuk memprognosis seorang
anak apakah mengalami invaginasi atau tidak. Hasil analisis menggunakan kurva ROC
diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 100% (95% IK: 100-100; p =
Gambar 4.3.2.. Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Neutrofil terhadap Invaginasi
Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas pada gambar 2 maka diperoleh nilai
Cut Off untuk Neutrofil adalah 69 mg/dl. Dengan menggunakan cut off point 69 mg/dl maka
diperoleh nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing adalah 100% (Tabel 4.3.2.).
Tabel 4.3.2. Nilai Diagnostik Neutrofil untuk Memprediksi Terjadinya Invaginasi dengan Kurva ROC
Invaginasi Se
nsitifitas
Spe sifisitas
N DP
N DN P
ositif
N egatif N
eutrofil 5
0 10
0
100
00 00
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact tidak ditemukan hubungan yang signifikan
antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap tipe invaginasi (p=0,640). Sebanyak
82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi tipe ileum sedangkan pada anak yang
tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi tipe ileum terjadi pada 91,7% anak (Tabel
4.3.3.).
Tabel 4.3.3. Hubungan Rotavirus dan Tipe Invaginasi
Rota
Dari hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang
signifikan antara suku dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,049). Nilai OR
yang diperoleh adalah 1,357 (95% IK 1,037 – 1,776) yang menunjukkan bahwa anak-anak
dengan suku Batak berisiko akan mengalami invaginasi tipe ileum 1,357 kali dibandingkan
anak-anak yang tidak bersuku Batak. Seluruh anak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe
ileum sementara anak yang tidak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sebanyak
73,7%. Hasil analisis Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara
jenis kelamin dan status gizi dengan tipe invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.3.4).
Tabel 4.3.4. Hubungan Karakteristik dan Tipe Invaginasi
Jenis
Dengan menggunakan uji T independent diketahui tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara usia dan kadar neutrofil dengan tipe invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.3.5.).
Tabel 4.3.5. Hubungan Usia dan Kadar Neutrofil dengan Tipe Invaginasi
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan antara NSP4 dengan tipe invaginasi (p=1,000). Seluruh anak-anak yang
ditemukan NSP4 mengalami tipe invaginasi ileum, sedangkan pada kelompok anak yang
tidak ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami tipe invaginasi ileum sebesar 83,3%
(Tabel 4.3.6.).
Tabel 4.3.6. Hubungan NSP4 dengan Tipe Invaginasi
N
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan
antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap ada tidaknya NSP4 (p=0,004) dengan
nilai OR 0,714 (95% IK 0,565 – 0,903) yang menunjukkan bahwa dengan ditemukan
rotavirus dalam feses pasien anak maka risiko ditemukannya NSP4 adalah 0,714 dibanding
anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya atau dengan kata lain keberadaan
rotavirus merupakan faktor protektektif terhadap ditemukannya NSP4. Sebanyak 71,4%
anak dengan rotavirus ditemukan NSP4 sedangkan pada anak yang tidak ditemukan
rotavirus keberadaan NSP4 terjadi pada seluruh anak (Tabel 4.3.7.).
Tabel 4.9 Hubungan Rotavirus dengan NSP4
(71,4) (28,6) ,004 ,714 0,903
- 27
(100)
0
Keseluruhan sampel penelitian kemudian dilakukan prosedur pemeriksaan
elektroforesis gel pada pasien yang invaginasi positif rotavirus dengan jumlah 23 sampel
dengan hasil pada gambar berikut.
1)
2) M NC 4V 6V
395bp
395bp
M NC 1V 2V
3)
4)
5) M NC 7V 8V 9V 10V 11V
M NC 16V 17V 19V 20V 21V
A A A A A
M NC 13V
A
M NC 23V 25V
A A
6)
7)
8)
Gambar 4.5.1. 1)1v,2V; 2)4V, 6V; 3)7V-11V; 4)13V; 5)16V-17V, 19V-21V; 6) 23V, 25V; 7)27V, 28V, 30V; 8)31V, 33V dan 34V. Gambar ini menjelaskan bahwa terdeteksi Rotavirus A
yaitu berada di 395 bp sebanyak 23 sampel.
Kemudian hasil Rotavirus Positif dilakukan elektroforesis gel NSP4 dengan hasil pada
gambar 20.
M NC 27V 28V 30V
A A A
M NC 31V 33V 34V
A A A
395bp
395bp
Gambar 4.6.1. Hasil dari Elektroforesis gel NSP4 dimana dapat terlihat dari 25 sampel yang terdapat rotavirus positif, hanya 8 yang terdapat NSP 4 pada pasien Invaginasi dengan
NSP 4 berada di 738 bp.
Hasil PCR dan Sekunsing
1. Pohon Filogenetik dan Homologi DNA Gen NSP4 Rotavirus
Dari semua sampel yang positif PCR rotavirus A, hanya 8 sampel yang berhasil
dilakukan amplifikasi fragmen DNA gen NSP4. Hasil amplifikasi kemudian dilakukan reaksi
DNA sekuensing. Hasil reaksi DNA sekuensing dianalisis menggunakan teknik overlapping
editing menggunakan software SeqScape V 2.7 (Applied Biosystems). Diantara semua strain
virus yang berhasil dianalisis, strain virus 8V diperoleh dari pasien diare dengan invaginasi,
sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) diperoleh dari pasien diare dengan
tidak mengalami invaginasi.
Berdasarkan analisis pohon filogenetik sekuen nukleutida gen NSP4 yang dianalisis
dalam studi ini menunjukkan bahwa strain rotavirus 51, 21, 9, dan 16 sangat berkorelasi
dekat (Gambar 21) dengan homologi DNA 100% (Gambar 22). Strain 8V sangat berkorelasi
dekat dengan strain 18 (Gambar 21) dengan homologi DNA 100% (Gambar 22). Strain 17
dan 2D menunjukkan homologi DNA 99.6%, sedangkan homologi DNA ke dua strain (17 dan M NC 2V 8V 10V 11V 16V 25V 31V 34V
A A A A A A A A
2D) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Homologi DNA dua strain (8V dan 18)
dengan strain lainnya berkisar 99.6-99.8%. Secara keseluruhan, kisaran homologi DNA
semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.6-100% (Gambar 22). Aligmen sekuen
DNA NSP 4 dari semua strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada
lampiran.
Gambar 19. Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA gen NSP4 rotavirus, yang dikonstruksi menggunakan MEGA 5.0 menggunakan method maximum likelihood. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.
Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan
sekeun DNA NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun
berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non
Gambar 20. Homologi sekuen DNA gen NSP4 rotavirus dari semua strain yang dianalisis. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.
2. Pohon Filogenetik dan Homologi Asam Amino Protein NSP4 Rotavirus
Pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein NSP4 menunjukkan
bahwa semua strain yang dianalisis membentuk 2 grup (Gamabr 23). Grup pertama terdiri
dari strain 21, 51, 17, 16, 9, dan 2D menunjukkan tingkat homologi asam amino 100%
(Gambar 24), sedangkan grup ke dua yang terdiri dari strain 8V dan 18 menunjukkan
homologi asam amino 100%. Homologi ke dua grup tersebut adalah 99.4%. Secara
keseluruhan, kisaran homologi asam amino semua strain virus yang dianalisis adalah
berkisar 99,4%-100% (Gambar 24). Aligmen sekuen asam amino protein NSP 4 dari semua
strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada sub bab berikutnya.
Sama halnya dengan hasil analisis pohon filogenetik dan homologi berdasarkan
sekuen DNA gen NSP4, analisis berdasarkan asam amino protein NSP4 juga bahwa Strain
virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekuen asam
amino NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun
berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare
dengan non invaginasi.
Seq-> 2D 8V 9 16 17 18 21
51
2D ID 99.6 99.8 99.8 99.6 99.6 99.8
99.8
8V 99.6 ID 99.8 99.8 99.6 100 99.8
Gambar 21. Pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein NSP4 rotavirus, yang dikonstruksi menggunakan MEGA 5.0 menggunakan method maximum likelihood. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.
Gambar 22. Homologi sekuen asam amino protein NSP4 rotavirus dari semua strain yang dianalisis. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.
3. Analisis substitusi asam amino
Seq-> 2D 8V 9 16 17 18 21
51
2D ID 99.4 100 100 100 99.4 100
100
8V 99.4 ID 99.4 99.4 99.4 100 99.4
Hasil aligmen sekuen asam amino protein NSP4 dari semua strain rotavirus yang
dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa
strain 8V dan 18 mengalami substitusi asam amino pada posisi asam amino ke 7, dari asam
amino asam glutamik (E) menjadi leusin (L). Asam glutamik merupakan asam amino bersifat
hidrofilik, sedangkan leusin adalah asam amino bersifat hidrofobik; oleh karena itu,
perubahan asaam amino tersebut merupakan perubahan asam amino dari yang bersifat
hidrofilik menjadi asam amino hidropobik. Untuk daerah asam amino lainnya tidak
menunjukkan substitusi asam amino (Gambar 25).
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
10 20 30 40 50 60 70
2D MEKLTDFNYT LSVITLMNST LHTILEDPGM AYFPYIASVL TVLFTLHKAS IPTMKIALKT SKCSYKVVKY
8V ...L... ... ... ... ... ... ...
9 ... ... ... ... ... ... ...
16 ... ... ... ... ... ... ...
17 ... ... ... ... ... ... ...
18 ...L... ... ... ... ... ... ...
21 ... ... ... ... ... ... ...
51 ... ... ... ... ... ... ...
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
80 90 100 110 120 130 140
2D CVVTIFNTLL KLAGYKEQIT TKDEIEKQMD RVVKEMRRQL EMIDKLTTRE IEQVELLKRI YDKLMVQSIG
8V ... ... ... ... ... ... ...
9 ... ... ... ... ... ... ...
16 ... ... ... ... ... ... ...
17 ... ... ... ... ... ... ...
Gambar 23. Alignmen sekuen asam amino protein NSP4 dari 8 strain virus yang berhasil dianalsis dalam studi ini. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi,
sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak
BAB V PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian baru dalam hal penyebab invaginasi yaitu
peneliti ingin melihat apakah ada hubungan mengenai protein nontstruktural 4 rotavirus
terhadap terjadinya diare dan dapat menyebabkan terjadinya invaginasi. Hal ini didasari
bahwa penyakit invaginasi sering didahului oleh diare, dimana diare pada anak sering
disebabkan oleh rotavirus.
Invaginasi adalah suatu penyakit pada anak yang memerlukan tindakan emergensi.
Diagnosis pasti invaginasi pada anak sulit untuk ditegakkan karena gejala spesifik invaginasi
“Trias Invaginasi” tidak selalu ditemukan saat anamnesis kepada orang tua anak maupun
pada saat pemeriksaan (Mac Mahon, 1991). Penyakit invaginasi ini sering mengalami
keterlambatan dalam penanganan dikarenakan keterlambatan dalam mendiagnosis pasien.
Penyebab terjadinya invaginasi hingga sekarang masih belum diketahui dengan jelas.
Sehingga ada 2 teori yang menjelaskan mengenai etiologi invaginasi ini yaitu idiopatik dan
kausatif (Kim-Choy, Shih, 2002; Virginia, 2000).
Penelitian diikuti 55 pasien yang terdiri dari pasien yang meliputi pasien diare dan
invaginasi. Dari 55 pasien ini terdapat 63,6% pasien anak dengan invaginasi dan 36,4%
pasien diare.Tingkat kejadian invaginasi berdasarkan jenis kelamin terdiri atas 65,8% pasien
invaginasi laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Hanz-Iko tahun 2006 yang menyatakan
bahwa kejadian untuk invaginasi lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki. penelitian yang
dilakukan oleh Kombo tahun 2001 menunjukkan perbandingan tingkat kejaadian invaginasi
pada anak antara laki-laki dan perempuan berbanding 3:1. Chen tahun 2005 juga
menyatakan bahwa bahwa 65% dari kasus yang diteliti adalah jenis kelamin laki-laki yang
menderita invaginasi. Awasthi et al tahun 2009 melakukan penelitian mengenai surveillance
invaginasi yaitu menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih dominan terjadi invaginasi
dibanding-kan perempuan. Sedangkan untuk kejadian diare juga mengalami hasil yang
pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan Awasthi et al tahun 2009
yang menyatakan tingkat kejadian diare di 5 negara lebih banyak terjadi pada jenis kelamin
pria. Hal ini dapat terjadi berdasarkan pupolasi dari suatu negara (Chen, 2005) dan
pengambilan sampel yang dilambil. Pasien yang menjadi responden penelitian ini didominasi
suku Batak yaitu 22%. Hal ini tidak memiliki nilai yang bermakna karena penelitian yang
dilakukan di daerah sumatera utara dengan dominan penduduk adalah suku batak.
Analisis deskriptif responden yang dilihat yaitu usia. Berdasarkan penelitian dapat
terlihat bahwa rerata usia pasien yang menjadi subyek penelitian yaitu 6,6 bulan. Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Sapan pada tahun 2007 dan Rajiv et al
2009 yang menyatakan bahwa kejadian invaginasi sering terjadi pada anak dengan usia
dibawah dari 1 tahun. Kejadian invaginasi sering terjadi pada anak usia kecil dari 2 tahun
(Difiore, 1999; Mulchhy, 1982; Gardness, 1962, Bruce, 1987). Chen tahun 2005 menyatakan
bahwa usia kejadian invaginasi kecil dari 1 tahun yaitu 72%.
Status gizi terbanyak pada pasien dengan invaginasi adalah gizi baik yaitu 54,1%,
sedangkan pada pasien dengan diare sebanyak 45.9%. Dari hasil analisis menggunakan uji
chi square ditemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya
invaginasi pada pasien anak (p=0,034). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074
– 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami
invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak
83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi
baik dan kurang hanya 54,1% yang mengalami invaginasi. Sedangkan Penelitian yang
dilakukan oleh Pisacane tahun 1992 dan Cunnane tahun 1990 menyatakan bahwa masalah
gizi tidak memperlihatkan hasil yang bermakna, karena harus ditelaah lagi mengenai asupan
pada anak, apakah anak tersebut mengkonsumsi Air Susu Ibu atau susu formula. Status gizi
seharusnya dapat menjamin seorang bayi untuk dapat bertahan dengan sistem imun
di dapati Tipe invaginasi yang terbanyak ditemukan pada pasien invaginasi yaitu ileo-colica
sebanyak 38,2%.
Pada pasien anak dengan invaginasi ditemukan 82.1% positif Rotavirus jenis A
sedangkan pada anak dengan diare 17,9%. Dengan menggunakan uji chi square ditemukan
hubungan yang signifikan keberadaan rotavirus dalam feses terhadap kejadian invaginasi
(p=0,004) dengan nilai OR 1,848 (95% IK 1,172 – 2,915) yang artinya adalah anak-anak
yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi
sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya.
Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda dengan
metode enter ditemukan hanya rotavirus yang berpengaruh terhadap terjadinya invaginasi
pada pasien anak dengan nilai p = 0,005. Nilai OR yang diperoleh dari pemodelan multivariat
adalah 5,750 (95% IK 1,682 – 19,661) yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi
rotavirus berisiko akan mengalami invaginasi sebesar 5,75 kali lebih besar dibandingkan
anak-anak yang tidak terinfeksi rotavirus. Penelitian yang telah dilakukan oleh Estes yang dijelaskan pada Kombo tahun 2001, Estes melakukan penelitian pada Bayi babi yang di
berikan rotavirus, dengan jangka waktu 72 jam menunjukkan adanya intususepsi. Rajiv,
2009 menyatakan bahwa hanya 4 sampel yang terdeteksi rotavirus dari 42 sampel.
Berdasarkaan penelitian yang di lakukan oleh Robert tahun 2004 yang menyatakan bahwa
penyebab diare terbanyak adalah rotavirus.
Peneliti melakukan pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi NSP4 pada pasien
invaginasi untuk melihat resiko terjadinya invaginasi. Hal ini didasari pada pasien yang
invaginasi sering didahului oleh diare, sedangkan diare pada anak sering disebabkan oleh
rotavirus. Rotavirus merupakan penyebab utama penyakit diare pada bayi manusia dan binatang muda, termasuk anak sapi dan anak babi. Infeksi pada orang dewasa dan binatang
juga sering (Jawetz, 2005). Sedangkan menurut Harper tahun 2008 Rotavirus menyebabkan
Rotavirus adalah penyebab tertinggi dari gastroenteritis pada anak-anak di seluruh
dunia (Malek, 2006). Menurut Vaishalli tahun 2012 rotavirus adalah etiologi yang paling
penting dalam menyebabkan gastroenteritis pada bayi dan anak-anak. Secara umum, jumlah
dari kejadian diare yaitu 37% dari semua kasus yang disebabkan oleh rotavirus dan 453.000
kematian pertahun pada anak kurang dari 5 tahun. Sedangkan untuk kejadian diare di
Indonesia 60% disebabkan oleh rotavirus (Soenarto, 2009).
Rotavirus telah dideteksi pada 41% pasien dengan invaginasi, meskipun penelitian
terkontrol hanya sedikit dilakukan, infeksi rotavirus menyebabkan lymphadenopathy dan
penebalan dinding ileum distal yang dapat menjadi lead point terjadinya invaginasi. Karena
hal tersebut rotavirus dinilai mempunyai kaitan dengan terjadinya invaginasi pada beberapa
kasus (Julie, 2004). Rotavirus menginfeksi usus halus dan merupakan penyebab utama dari
diare berat pada anak. Infeksi rotavirus lebih sering terjadi pada anak dibawah umur 1 tahun,
yang merupakan resiko tertinggi untuk menderita invaginasi (Kelly, 2006).
Anak dengan imunodefisiensi, rotavirus dapat menyebabkan penyakit yang berat
dan lama. Diagnosis laboratorium berupa adanya rotavirus dapat dilihat didalam feses dan
darah pada saat titer antibodi meningkat.Virus didalam feses dapat dilihat dengan
menggunakan IEM, uji aglutinasi lateks atau ELISA dan juga dapat dilihat dengan Rotavirus
Rapid Test Kit (Biomeroux). Ekskresi virus didalam feces dapat menetap hingga 50 hari
setelah awitan diare, sedangkan pemeriksaan antibody rotavirus dilakukan dengan Uji
Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yang diisolasi dari penderita diare akut
(Harper, 2008).
Hasil infeksi rotavirus pada sel epitel usus lebih komplek dan menginduksi respon
seluler yang lebih beragam. Serupa dengan bakteri, patogenesis dari rotavirus melibatkan
enterotoksin, aktivasi sistem saraf enterik, dan malabsorbsi (Ciarlet, 2001). Infeksi rotavirus
peningkatan permeabilitas membran-plasma, konsentrasi cytosolic, dan total sell Ca2+ (Zambrano, 2008).
Ada tiga penelitian virologis kecil yang mencoba mengevaluasi adanya kaitan yang
potensial antara invaginasi dengan infeksi rotavirus. Dengan pemeriksaan mikroskop
elektron spesimen fekal, suatu penelitian prospektif menemukan bukti infeksi rotavirus pada
11 dari 30 (37%) anak dengan invaginasi. Dalam penelitian prospektif lainnya rotavirus dapat
dideteksi secara serologis pada 2 dari 24 pasien (10%). Tidak satupun penelitian ini dapat
menunjukkan secara meyakinkan bahwa infeksi rotavirus mempunyai peranan penting
dalam terjadinya invaginasi (Chang, 2002). Diare yang disebabkan oleh rotavirus pertama
kali dianggap sebagai malabsorbsi. Sejak tahun 1996, berbagai ide bermunculan
diantaranya menyatakan bahwa NSP4 memiliki peran penting dalam sekresi cairan dan
elektrolit, oleh karena itu hal ini mewakili sekretori enterotoksin virus baru (Mathie, 2007).
Selama infeksi, NSP4 berfungsi sebagai enterotoksin viral dengan berikatan dengan
reseptor ekstraselluler dan mengaktivasi jalur transduksi sinyal yang meningkatkan level
Kalsium ([Ca2+
]
i)intraselluler melalui pelepasan ion Kalsium dari Retikulum Endoplasma(Megan, 2011). Untuk memperantarai efek pada percobaan in vivo, NSP4 harus
disekresikan atau dilepaskan dari sel rotavirus yang terinfeksi dalam bentuk terlarut,
bagaimanapun juga pada penelitian sebelumnya telah terindikasi bahwa sebuah glikoprotein
transmembran terlokalisasi dalam kompartemen endomembran dalam sebuah sel yang
terinfeksi (Bugarcic, 2006). Protein nonstruktural rotavirus NSP4, sebuah glikoprotein
transmembran retikulum endoplasma, meningkatkan level Ca2+ sitoplasmik intraselluler melalui jalur fosfolipase C-independen yang dibutuhkan virus pada replikasi dan
morfogenesis (Joseph, 2010; Farideh, 2001; Zambrano, 2008). Daerah enterotoksin pada
peta asam amino NSP4: 114 sampai 135 yang dibedakan dengan penelitian fungsional dari
sintesis peptide yang overlapping (Parr, 2011; Mathie, 2006).
dipahami. Kemampuan NSP4 berinteraksi secara berbeda dengan beberapa
protein virus dan seluler protein, termasuk calnexin, laminin-3, fibronektin,
caveolin, domain integrin, dan tubulin (Hu et al, 2013). NSP4 disintesis sebagai
glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (RE) dan terdiri dari tiga domain
hidrofobik (H1-H3) dengan dua situs glikosilasi mannose N-linked berorientasi ke
sisi luminal RE di H1 domain, domain transmembran H2 dan berfungsi sebagai
urutan sinyal untuk tidak memecah, domain viroporin dibentuk oleh sekelompok
residu bermuatan positif dan amphipathic α-helix (H3) diikuti oleh domain
sitoplasmik yang mengandung daerah melingkar-coil dan C-terminus. Relatif
sedikit yang diketahui tentang N-terminus, mungkin karena bersifat hidrofobik
(Groft et al, 2002).
Berdasarkan data ini, peneliti melakukan penelitian untuk melihat apakah gen
protein NSP4 dapat menginduksi terjadinya invaginasi pada anak. Dengan menggunakan uji
Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses
terhadap ada tidaknya NSP4 (p=0,004) dengan nilai OR 0,714 (95% IK 0,565 – 0,903) yang
menunjukkan bahwa dengan ditemukan rotavirus dalam feses pasien anak maka risiko
ditemukannya NSP4 adalah 0,714 dibanding anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam
fesesnya atau dengan kata lain keberadaan rotavirus merupakan faktor protektif terhadap
ditemukannya NSP4. Sebanyak 71,4% anak dengan rotavirus ditemukan NSP4 sedangkan
pada anak yang tidak ditemukan rotavirus keberadaan NSP4 terjadi pada seluruh anak.
Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan
antara NSP4 dan terjadinya invaginasi (p=1,000). Sebanyak 62,5% anak-anak yang
ditemukan NSP4 mengalami invaginasi, sedangkan pada kelompok anak yang tidak
ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami invaginasi sebesar 63,8%. Hal ini banyak
kemungkinan yang menjadi penyebab tidak terdapatnya hubungan antara NSP4 dengan
terjadinya invaginasi diantaranya yaitu sampel. Sebaiknya pemeriksaan pemeriksaan PCR
sampel penelitian di simpan di tempat yang seharusnya. Pemeriksaan hasil PCR sebaiknya
dilakukan oleh operator yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bahwa rotavirus merupakan salah satu
penyebab terjadi invaginasi sehingga untuk dokter bedah dan dokter anak memikirkan untuk
dilakukan penelitian mengenai bagaimana pemberian imuniasi Rotavirus, apakah
memberikan efek untuk mengurangi tingkat kejadian invaginasi pada anak. Sedangkan untuk
dokter layanan primer dapat waspada jika mereka mendapatkan pasien anak dengan diare
atau adanya trias invaginasi sehingga mereka dapat melakukan pemeriksaan yang
sederhana berupa rapid test untuk memeriksa ada atau tidaknya rotavirus dan dapat
dilakukan penatalaksanaan lanjutan di rumah sakit terdekat.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
1. Jumlah anak laki-laki sebanya 69,1% sedangkan anak perempuan 30,9%.
Kebanyakan pasien anak dengan gizi baik 50,9% dan sukku terbanyak adalah suku Batak
2. Sebagian besar pasien 52,7% dengan riwayat diare akut, dikuti dengan diare
persisten, disentri. Dari Penelitian ditemukan 63,6% dengan invaginasi dan 46.4% diare.
3. Tipe invaginasi terbanyak yang ditemukan adalah tipe ileo-colica, diikuti tipe
ileo-caecal, colo colica dan ileoileal.
Hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan
antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034) (Tabel 4.2.1).
Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa
anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan
anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami
invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1%
yang mengalami invaginasi. Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan
hubungan antara jenis kelamin dan suku terhadap terjadinya invaginasi (p>0,05).
4. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang
signifikan antara suku dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,049). Nilai OR
yang diperoleh adalah 1,357 (95% IK 1,037 – 1,776) yang menunjukkan bahwa anak-anak
dengan suku Batak berisiko akan mengalami invaginasi tipe ileum 1,357 kali dibandingkan
anak-anak yang tidak bersuku Batak. Seluruh anak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe
ileum sementara anak yang tidak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sebanyak
73,7%.Hasil analisis Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara
jenis kelamin dan status gizi terhadap tipe invaginasi (p>0,05)
5. Dengan menggunakan uji T independent diketahui terdapat hubungan yang
signifikan antara kadar neutrofil dan terjadinya invaginasi (p=0,0001). Rerata kadar neutrofil
pada anak dengan invaginasi jauh lebih tinggi (79,03) dibanding anak-anak dengan
diare/tanpa invaginasi (56,55). Rerata anak dengan invaginasi dan tanpa invaginasi tidak
jauh berbeda (p=0,752) dimana pada anak dengan invaginasi reata usia adalah 6,74 bulan
dan tanpa invaginasi adalah 6,36 bulan.
6. Dengan menggunakan uji T independent diketahui tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dan kadar neutrofil terhadap tipe invaginasi (p>0,05).
7. Kadar neutrofil dalam studi ini memilliki kemampuan untuk memprognosis
seorang anak apakah mengalami invaginasi atau tidak. Hasil analisis menggunakan kurva
ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 100% (95% IK: 100-100; p =
0,0001)
8. Keseluruhan sampel feses baik dari pasien dengan diare dan invaginasi
dilakukan PCR menggunakan primer spesifik Rotavirus A. Hasil positif PCR Rotavirus A
menggunakan PCR memberikan produk amplifikasi fragmen DNA sebesar 395 bp. Dari total
55 sampel, 19 sampel (1v, 2V, 4V, 7V, 8V, 11V,13V,16V, 17V, 19V, 20V, 21V, 23V, 25V,
27V,30V, 31V, 33V, dan 34V) menunjukkan hasil positif Rotavirus A
9. Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan
keberadaan rotavirus dalam feses terhadap kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR
1,848 (95% IK 1,172 – 2,915). Artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak
yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus
mengalami invaginasi sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian
inaginasi hanya terjadi pada 44,4% anak.
10. Dengan menggunakan uji Fisher’s exact tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap tipe invaginasi (p=0,640) (Tabel
4.5.2). Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi tipe ileum sedangkan
pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi tipe ileum terjadi pada 91,7%
anak.
11. Semua sampel yang positif Rotavirus A dilakukan amplifikasi gen NSP4.
hanya 8 sampel (2V, 8V, 10V, 11V, 16V, 25V, 31V, dan 34V) yang berhasil dilakukan amplifikasi gen
NSP4.
12. Berdasarkan analisis pohon filogenetik sekuen nukleutida gen NSP4 yang
dianalisis menunjukkan bahwa strain rotavirus 51, 21, 9, dan 16 sangat berkorelasi dekat
dengan homologi DNA 100%. Strain 8V sangat berkorelasi dekat dengan strain 18 dengan
homologi DNA 100%. Strain 17 dan 2D menunjukkan homologi DNA 99.6%, sedangkan
homologi DNA ke dua strain (17 dan 2D) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%.
Homologi DNA dua strain (8V dan 18) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Secara
keseluruhan, kisaran homologi DNA semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar
99.6-100%.
13. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan
perbedaan sekeun DNA NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak
invaginasi, namun berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien
diare dengan non invaginasi.
14. Dari hasil analisis pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein
NSP4 menunjukkan bahwa semua strain yang dianalisis membentuk 2 grup. Grup pertama
terdiri dari strain 21, 51, 17, 16, 9, dan 2D menunjukkan tingkat homologi asam amino 100%,
sedangkan grup ke dua yang terdiri dari strain 8V dan 18 menunjukkan homologi asam
amino 100%. Homologi ke dua grup tersebut adalah 99.4%. Secara keseluruhan, kisaran
homologi asam amino semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.4-100%.
15. Dari hasil analisis pohon filogenetik dan homologi berdasarkan sekeun DNA
gen NSP4, dan hasil analisis berdasarkan asam amino protein NSP4 dijumpai Strain virus
8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekeun asam amino
NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun berbeda
dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non invaginasi.
16. Berdasarkan jenis invaginasi diketahui bahwa invaginasi ileo-colica
merupakan jenis invaginasi terbanyak dengan jumlah 60% diikuti oleh invaginasi ileo-caecal
17. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian
invaginasi (p=0,620). Tidak ditemukan hubungan antara usia dengan kejadian invaginasi
(p=0,542).
18. Selanjutnya, untuk variabel status gizi, suku, dan riwayat diare juga tidak
berhubungan secara signifikan dengan kejadian invaginasi (p>0,05).
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut
:
1. Untuk penelitian lain yang berfokus pada pembuktian keterlibatan NSP 4
dalam invaginasi, penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan referensi sebagai usaha
untuk membuktikan keterlibatan protein NSP 4 pada kejadian invaginasi.
2. Sebaiknya pemeriksaan PCR dan pemeriksaan Sequencing DNA dilakukan
pada satu laboratorium yang sama untuk menghindari kerusakan sampel pada saat
pengiriman sampel antar laboratorium. Isolasi DNA yang dilakukan diLaboratorium Terpadu
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dimana sampel yang digunakan disimpan
dalam freezer dengan temperatur -20C, dengan adanya gangguan aliran listrik dari PLN