• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Rotavirus dan Karakterisasi Gen Nonstruktural NSP4 Rotavirus Sebagai Enterotoksin Virus Yang Menginduksi Terjadinya Invaginasi Pada Anak Chapter III VI"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah observasional dengan jenis

penelitian analitik yang akan menilai hubungan antara Rotavirus dengan

terjadinya invaginasi pada anak. Pendekatan yang digunakan pada

rancangan penelitian ini adalah Cross Sectional Study.

Penelitian ini merupakan penelitian crosssectional atau studi potong

lintang, yang dilakukan pada pasien anak dengan suspek invaginasi

dibandingkan pasien anak dengan diare. Penelitian crossectional sering

disebut juga dengan penelitian transversal karena variabel bebas (faktor

risiko) dan variabel tergantung (efek) diobservasi hanya sekali pada saat yang

sama. Variabel bebas adalah rotavirus, Variabel tergantung adalah invaginasi.

Parameter yang diukur adalah jenis kelamin, usia, status gizi, suku.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu Penelitian : Oktober 2013 – Maret 2014

Tempat Penelitian :

1. Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Laboratorium Sequencing Division, Macrogen Inc World Meridian Venture

Centre 10F Seoul, Republic of Korea.

3. Rumah Sakit Tempat Peneliti Bekerja:

(2)

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi: Anak usia 1 bulan- 3 tahun:

Populasi I : Anak usia 1 bulan – 3 tahun secara klinis dinilai sebagai anak

suspek invaginasi.

Populasi II : (Kontrol) Anak usia 1 bulan-3 tahun secara klinis dinilai sebagai

anak yang menderita diare.

2. Sampel penelitian diambil dengan penetapan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

dalam bentuk data nominal.

Besar sampel untuk analisis data kategori, dengan menggunakan

Rumus Sample Size Determination in Multinomial Logistik Regresi (Hosmer

&Lemeshow, 1998) yaitu :

Rule of thumbs: Besar sampel adalah 10 kali jumlah variabel

bebas yang diteliti. Karena pada penelitian ini terdapat 5 variabel bebas, maka

besar sampel adalah: 50 minimum subjek.

3.4. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen:

Rotavirus (Protein NSP4) yang berinteraksi dengan umur, jenis kelamin, status gizi, suku

pasien.

2. Variabel Dependen:

Invaginasi = ( + ) invaginasi  type invaginasi

( - ) invaginasi

3.5. Alur Penelitian

KRITERIA INKLUSI

Dilakukan p e n

(3)

SUBYEK PENELITIAN

KELOMPOK SUSPEK INVAGINASI.

Kelompok Anak Dengan Diare

3.6. Prosedur Penelitian 3.6.1. Kriteria Inklusi

1. Pasien usia 1 bulan sampai 3 tahun.

2. Anak yang secara klinis dinilai sebagai anak dengan suspek invaginasi.

3. Anak yang secara klinis dinilai sebagai anak dengan diare.

4. Bersedia mengikuti penelitian.

5. Durante operasi ditemukan invaginasi karena idiopatik.

3.6.2. Kriteria Eklusi

1. Terdapat lebih dari satu diagnosis pada pasien.

2. Anak dengan kelainan kongenital. populasi

(4)

3. Tidak ditemukan invaginasi durante operasi.

4. Menolak mengikuti penelitian.

3.6.3. Demografi Responden Penelitian

Penelitian ini diikuti oleh 55 pasien anak yang telah memenuhi

kriteria inklusi yaitu pasien dengan usia 1 bulan sampai 3 tahun, anak yang

secara klinis dinilai sebagai suspek invaginasi dan anak dengan diare.

Karakteristik responden yang dilihat yaitu jenis kelamin, usia responden, nilai

status gizi yang meliputi status gizi baik, status gizi kurang dan status gizi

lebih, karakteristik yang lain yaitu suku. Pada responden dilihat juga mengenai

riwayat diare dan jenis invaginasi.

3.7. Karakteristik Protein NSP4 3.7.1. Etik Penelitian

Setelah mendapat perizinan untuk melakukan penelitian dari rumah sakit tempat

dilakukannya penelitian dan kesediaan dari orang tua atau wali dari anak suspek invaginasi

dan anak dengan diare yang menjadi subjek penelitian, melalui anamnesis secara

Autoanamnesis kepada orang tua atau wali dari subjek penelitian, peneliti mengisi rekam

medis yang terdapat di rumah sakit tempat penelitian dilakukan (nama, umur, jenis kelamin,

status gizi, suku, alamat). Kemudian identifikasi anak suspek invaginasi (trias invaginasi) dan

anak dengan diare yang berumur 1 bulan sampai 3 tahun yang datang ke rumah sakit untuk

menegakkan diagnosis. Selanjutnya dilaksanakan penanganan medis terhadap anak suspek

invaginasi dan anak diare (SOP). Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan metode PCR

dan dilanjutkan pemeriksaan dengan metode Sequencing DNA pada Feses anak suspek

invaginasi dan anak diare.

Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu tekhnik pemeriksaan

(5)

menentukan sepasang primer yang mengapit sekuens DNA yang dikehendaki. Pemeriksaan

DNA sequencing bertujuan untuk dapat mengetahui kode genetik dari molekul DNA, dimana

akan dihasilkan fragmen-fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi, yang satu sama lain

berbeda sebanyak satu basa tunggal. Dari fragmen-fragmen tersebut bisa ditarik kesimpulan

mengenai urutan asam nukleat molekul DNA yang diperiksa.

2.5.3. Sampel Klinis

Pemeriksaan feses pada anak:

1. Bahan dan Peralatan yang diperlukan:

- Feses

Feses diambil anak suspek invaginasi dan anak dengan diare.Feses

ditampung di dalam tempat (vial) yang bersih dan kering. Feses diambil sebanyak 1-2 ml

atau 1-2 gram. Sampel tersebut harus segera dibawa ke laboratorium atau bila tidak harus

disimpan pada suhu 2°C sampai 8°C dan harus diperiksa dalam waktu kurang dari 48 jam

(2 hari). Bila tidak diperiksa dalam waktu tersebut maka harus dibekukan pada suhu -70°C

sampai -80°C.

2. Cara Kerja:

Persiapan sampel:

Sampel feses cair dicampur dengan lembut, ambil sekitar 400 ul sampel (sampel

feses cair), lalu vortex selama 15 detik lanjutkan dengan mensentrifugasi 12.000 rpm selama

10 menit, kemudian mbil 140 ul supernatant dan masukkan ke dalam 1,5 mL tabung mikro.

Ekstraksi RNA Virus:

Selanjutnya RNA virus diekstraksi menggunakan QIAmp Viral RNA Mini Kit (Qiagen,

Cat Number: 52904) dengan tahapan:

(6)

dengan suhu (15–25°C) selama10 menit, kemudian sentrifugasi tabung selama 15 detik

untuk menghilangkan ampas dari tutup bagian dalam, tambahkan 560 ul ethanol (96–100%),

campur dengan pulse-vortexing selama 15 detik, sentrifugasi tabung selama 15 detik untuk

menghilangkan ampas dari tutup bagian dalam. Apply 500 ul the solution to the QIAamp Mini

spin column without wetting the rim, sentrifugasi tabung dengan kecepatan 8000 rpm,

selama 1 menit. Letakkan QIAamp kesebuah tabung pengumpul 2 ml yang bersih (buang

tabung yang mengandung filtrat). Ulangi langkah sebelumnya untuk hasil yang lebih baik.

Kemudian tambahkan 500 ul Buffer AW1 sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 8000

rpm selama 1 menit lalu letakkan leher pemutar QIAamp kesebuah tabung pengumpul 2 ml

yang bersih (buang tabung yang mengandung filtrat). Selanjutnya tambahkan 500 ul Buffer

AW2, sentrifugasi leher tabung dengan kecepatan 12000 rpm selama 3 menit. Ambil filtrat

dan letakkan bagian belakang leher QIAamp Mini ke tabung yang sama (buang filtrat),

sentrifugasi leher tabung yang kosong dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit, lalu

tambahkan 50 ul Buffer AVE, inkubasi pada suhu ruangan selama 2 menit, sentrifugasi leher

tabung dengan kecepatan 12000 rpm selama 2 menit.

Note: Jika tidak langsung di RT-PCR, hasil elusi dapat disimpan pada -800 C selama tidak lebih dari 5 hari.

A. RT-PCR Rotavirus A, B, dan C

1. Duplex RT-PCR Rotavirus A dan C (OneStep RT-PCR Kit, Qiagen; Cat 210210 (100 reaksi).

Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR. Reaksi PCR dilakukan

pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 5x One Step RT-PCR

Buffer, 10 mM dNTP Mix, 5x Q Solution, masing-masing 10 µM primer Beg9, VP7-1, G8NS1,

G8NA2, 4 unit enzim mix pol, RNA dan DEPC – treated water. Semua kondisi preparasi

bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR, RNA dipanaskan

pada 920C selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded

(7)

40x siklus yang terdiri dari : suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 15 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 30 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 550C selama 30 detik, tahap ekstensi awal 720C selama 60 detik dan ekstensi akhir 720C selama 7 menit.

Pasangan primer yang digunakan adalah sebagai berikut (Chaimongkol et al., 2012;

Yan et al., 2004).

Beg9 : 5’-GGCTTTAAAAGAGAGAATTTCCGTCTGG-3’

VP7-1 : 5’-ACTGATCCTGTTGGCCATCCTTT-3’

G8NS1 : 5’-ATTATGCTCAGACTATCGCCAC-3’

G8NA2 : 5’-GTTTCTGTACTAGCTGGTGAAC-3’

2. RT-PCR Rotavirus B (OneStep RT-PCR Kit, Qiagen; Cat number: 210210 (100 reaksi)

Untuk rotavirus B amplifikasi dilakukan dengan menggunakan teknik RT-PCR.

Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang terdiri dari 5x

One Step RT - PCR Buffer, 10 mM dNTP Mix, 5x Q Solution, masing-masing 10 µM primer

Beg9, VP7-1, G8NS1, G8NA2, 4 unit enzim mix pol, RNA dan DEPC – treated water. Semua

kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR,

RNA dipanaskan pada 920C selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA

double stranded tetap terpisah], kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR). Siklus

PCR berlangsung 40x siklus yang terdiri dari: suhu 500C selama 30 menit untuk sintesis cDNA, tahap denaturasi awal pada suhu 950C selama 15 menit, denaturasi akhir pada suhu 940C selama 30 detik, dilanjutkan dengan tahap annealing pada suhu 420C selama 2 menit, tahap ekstensi awal 720C selama 60 detik dan ekstensi akhir 720C selama 7 menit.

(8)

es [agar RNA single stranded tidak kembali menjadi double stranded], kemudian masukkan

RNA ke dalam mix RT-PCR).

Primer yang digunakan pada amplifikasi untuk rotavirus B adalah sebagai berikut

[Gouvea et al., 1991; Sen et al., 2000]:

Bl : 5’-CTATTCAGTGTGTCGTGAGAGG-3’

B4 : 5’-CGTGGCTTTGGAAAATTCTTG-3’

Hasil RT - PCR kemudian dianalisis pada 1.5% gel agarose dengan hasil positif

Rotavirus B jika berada pada marka 489 pb.

3. Interpretasi Hasil

Jika positif rotavirus dilanjutkan dengan reaksi berikut: RT-PCR NSP4 Rotavirus

(SuperScript® III One-Step RT-PCR System with Platinum®Taq High Fidelity, Invitrogen,

Cat number: 12574-030 (25 reaksi); 12574-035 (100 reaksi).

Reaksi PCR dilakukan pada total volume 25 µL dengan campuran reaksi yang

terdiri dari 2x Reaction mix, masing-masing 10 µM primer forward dan reverse, 4 unit

SuperScript® III RT/ Platinum® Taq High Fidelity, RNA dan DEPC – treated water. Semua

kondisi preparasi bekerja di atas es. Sebelum RNA ditambahkan ke dalam mix RT-PCR,

RNA dipanaskan pada 92oC selama 2 menit, kemudian segera ditaruh diatas es [agar RNA double stranded tetap terpisah],kemudian masukkan RNA ke dalam mix RT-PCR).

(9)

Table 2.1 RT PCR dan Sekuensi Primer

B. Prioritas pasangan primer untuk RT-PCR Prioritas I:

NSP01-F : 5’-GGCTTTTAAAAGTTCTGTT-3’

NSP01-R : 5’-ACCATTCCTTCCATTAAC-3’

Prioritas II:

NSP02-F : 5- TAAAAGTTCTGTTCCGAGAG-3’

NSP02-R : 5’- GATTGGTTAAACGGGATTA-3’

Produk RT-PCR dianalisis pada 1.5% gel agarose. Hasil positif gen NSP 4 jika

berada pada marka 738 pb.

(10)

3. DNA sequencing

DNA Hasil purifikasi diukur konsentrasi DNA nya, kemudian dilanjutkan dengan

reaksi DNAsequencing. DNA sequencing dapat dilakukan di lembaga Eijkman atau IHVCB

UI, atau ditempat lain yang ada mesin sekuensernya.Primer untuk reaksi sequencing

(Cunliffe et al., 1997)

Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan tersebut diatas anak suspek invaginasi

dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operasi explorasi laparotomy dan dinilai apakah anak

tersebut memang terbukti mengalami invaginasi dengan penyebab idiopatik.

3.7.3. Pengolahan dan Analisis Data

Data diperoleh dari anamnesis dan hasil observasi. Data ditabulasi dan diolah

secara statistik dengan program komputerisasi. Pengumpulan data dilakukan dengan

anamnesa dan pengisian rekam medis terhadap subyek penelitian yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi sampai jumlah sampel minimal terpenuhi. Data karakteristik subyek yang

diperoleh dari pengumpulan data meliputi: data umur, jenis kelamin, status gizi, hasil

pemeriksaan fases (rotavirus +/-) dan hasil temuan durante operasi (invaginasi +/-).

3.7.3.1. Analisis Statistik

a. Analisa Deskriptif: Dilakukan analisis deskriptif dengan menentukan nilai

rata-rata, standar deviasi dan rasio prefalen (RP).

b. Statistik Infrensial

1. Analisis Univariat: Analisa Univariate, merupakan langkah pertama analisis

statistik yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Dalam

analisis ini mendiskripsikansemua variable independen yaitu rotavirus, umur, jenis kelamin,

status gizi anak,suku dan variable dependen yaitu hasil temuan durante operasi explorasi

(11)

2. Analisis Bivariat: Dalam hal ini dipakai uji Chi Square dengan derajat

kemaknaan 95%. Dalam analisis ini mendiskripsikan dua variabel yang mempunyai

hubungan, yaitu:

- Anak yang terinfeksi / tidak terinfeksi rotavirus dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.

- Usia anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi anak.

- Jenis kelamin anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.

- Status gizi anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.

- Suku anak dengan temuan invaginasi/tidak invaginasi durante operasi.

3. Analisis Multivariate: Analisa multivariate yang dilakukan terhadap lebih dari

dua variabel, analisis multivariate yang dipilih adalah regresi logistik. Dalam analisis ini

mendiskripsikan hubungan antara:

- variabel terikat/akibat ( dependent variabel)  invaginasi (type invaginasi) dengan variabel bebas/sebab (independent variabel)  rotavirus, umur, jenis kelamin genetik status gizi, suku.

- Hasil pengamatan tersebut ditabulasi

Regresi Logistik merupakan salah satu metode regresi yang digunakan untuk

mencari hubungan antara variabel respon bersifat kategorik berskala nominal, ordinal

dengan satu atau lebih variabel penjelas kontinu maupun kategorik. Jika variabel respon

berskala nominal digunakan regresi logistik multinomial (Fahmeir dan Tutz, 1994),

sedangkan pada peubah variabel berskala ordinal digunakan regresi logistik ordinal.

Syarat Analisa Regresi Logistik:

- Tidak mengasumsikan hubungan linier antar variabel dependen dan independent.

(12)

- Variabel independent tidak harus memiliki keragaman yang sama antar kelompok variabel.

- Kategori dalam variabel independent harus terpisah satu sama lain atau bersifat eksklusif.

- Sampel yang diperlukan dalam jumlah relatif besar, minimum dibutuhkan hingga 50 sampel data untuk sebuah variabel prediktor (bebas).

Regresi logistik mempunyai tujuan untuk memperkirakan besarnya probabilitas

(13)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Analisis Univariat

Penelitian dikuti 55 orang pasien anak. Jumlah anak laki-laki sebanyak 38 orang

(69,1%) sedangkan anak perempuan 17 orang (30,9%). Kebanyakan pasien anak dengan

gizi baik sebanyak 28 orang (50,9%) dan suku terbanyak adalah suku Batak sebanyak 22

orang (40%) (Tabel 4.1.1).

Tabel 4.1.1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik Responden

Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin

Laki-laki 38 69,1

Perempuan 17 30,9

Status Gizi

Gizi kurang 9 16,4

Gizi baik 28 50,9

Gizi lebih 18 32,7

Suku

Batak 22 40,0

Jawa 15 27,3

Melayu 7 12,7

Minang 7 12,7

Tionghoa 4 7,3

Berdasarkan analisis deskriptif, rerata usia responden adalah 6,6 bulan dengan SB

(14)

Tabel 4.1.2. Analisis Deskriptif Usia Responden

Usia (bulan)

Rerata 6,6

Simpangan baku 4,37

Minimum 2

Maksimum 25

95% IK 5,42 – 7,78

Sebanyak 28 anak (50,9%) diketahui positif rotavirus dari pemeriksaan fesesnya

(Tabel 4.1.3).

Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden dengan Rotavirus

Rotavirus A Frekuensi Persentase

+ 28 50,9

- 27 49,1

Mayoritas pasien anak yang diperiksa NSP4 ditemukan dengan hasil yang negatif

yaitu sebanyak 47 anak (85,5%) (Tabel 4.1.4).

Tabel 4.1.4. Distribusi Frekuensi Responden dengan NSP4

NSP4 Frekuensi Persentase

(15)

+ 8 14,5

- 47 85,5

Sebagian besar pasien (52,7%) dengan riwayat diare akut, dikuti dengan diare

persisten, disentri (Tabel 4.1.5).

Tabel 4.1.5. Distribusi Frekuensi Responden dengan Riwayat Diare

Riwayat Diare Frekuensi Persentase

Tidak diare 11 20,0

Diare akut 29 52,7

Disentri 3 5,5

Diare persisten 12 21,8

Dari 55 orang anak yang mengikuti penelitian ditemukan (63,6%) dengan invaginasi

dan 46.4% diare (Tabel 4.1.6.).

Tabel 4.1.6. Distribusi Frekuensi Responden dengan Invaginasi

Invaginasi Frekuensi Persentase

Invaginasi 35 63,6

Diare 20 36,4

Tipe invaginasi terbanyak yang ditemukan adalah tipe ileo-colica sejumlah 38,2%,

diikuti tipe ileo-caecal, colo colica dan ileoileal (Tabel 4.1.7.).

Tabel 4.1.7. Distribusi Frekuensi Tipe Invaginasi

(16)

Ileo-ileal 3 5,5

Ileo-colica 21 38,2

Ileo-caecal 6 10,9

Colo-colica 5 9,1

4.2. Hasil Analisis Bivariat

Dari hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan

antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034). Nilai OR yang

diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan

gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan

status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi

sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1% yang

mengalami invaginasi.

Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan

antara jenis kelamin dan suku dengan terjadinya invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.2.1).

Tabel 4.2.1. Hubungan Karakteristik dan Invaginasi

(17)

Gizi

Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan

keberadaan rotavirus dalam feses dengan kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR

1,848 (95% IK 1,172 – 2,915) yang artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif

rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding

anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Sebanyak 82,1% anak dengan

rotavirus mengalami invaginasi sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus

kejadian inaginasi hanya terjadi pada 44,4% anak (Tabel 4.2.2.).

Tabel 4.2.2 Hubungan Rotavirus dan Invaginasi

(18)

(44,4) (55,6)

Dengan menggunakan uji T independent diketahui terdapat hubungan yang

signifikan antara kadar neutrofil dan terjadinya invaginasi (p=0,0001). Rerata kadar neutrofil

pada anak dengan invaginasi jauh lebih tinggi (79,03) dibanding anak-anak dengan

diare/tanpa invaginasi (56,55). Rerata umur anak dengan invaginasi dan tanpa invaginasi

tidak berbeda (p=0,752) dimana pada anak dengan invaginasi rerata usia adalah 6,74 bulan

dan tanpa invaginasi adalah 6,36 bulan (Tabel 4.2.3.).

Tabel 4.2.3. Hubungan Usia dan Kadar Neutrofil terhadap Terjadinya Invaginasi

Invaginasi Diare P

Usia 6,74 (±5,04) 6,36

(±2,98)

0,752

Kadar Neutrofil

79,03 (±4,36) 56,55 (±6,25)

0,0001

Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang

signifikan antara NSP4 dan terjadinya invaginasi (p=1,000). Sebanyak 62,5% anak-anak

yang ditemukan NSP4 mengalami invaginasi, sedangkan pada kelompok anak yang tidak

ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami invaginasi sebesar 63,8% (Tabel 4.2.4.).

(19)

N SP4

Kelompok

P O

R 95% IK

Invag inasi

Dia re

+

5 (62,5)

3 (37,5)

1 ,000 ,979

0,549 – 1,746

-

30 (63,8)

17 (36,2)

4.3. Hasil Analisis Multivariat

Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda

dengan metode enter ditemukan hanya rotavirus yang berpengaruh terhadap terjadinya

invaginasi pada pasien anak dengan nilai p = 0,005. Nilai OR yang diperoleh dari pemodelan

multivariat adalah 5,750 (95% IK 1,682 – 19,661) yang menunjukkan bahwa anak-anak yang

terinfeksi rotavirus berisiko akan mengalami invaginasi sebesar 5,75 kali lebih besar

(20)
(21)
(22)

i 5

(23)

Gambar 4.3.1. Kurva ROC dari Kadar Neutrofil untuk Memprediksi Invaginasi

Kadar neutrofil dalam studi ini memilliki kemampuan untuk memprognosis seorang

anak apakah mengalami invaginasi atau tidak. Hasil analisis menggunakan kurva ROC

diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 100% (95% IK: 100-100; p =

(24)

Gambar 4.3.2.. Kurva Sensitivitas dan Spesifisitas Neutrofil terhadap Invaginasi

Berdasarkan kurva sensitifitas dan spesifisitas pada gambar 2 maka diperoleh nilai

Cut Off untuk Neutrofil adalah 69 mg/dl. Dengan menggunakan cut off point 69 mg/dl maka

diperoleh nilai sensitifitas dan spesifisitas masing-masing adalah 100% (Tabel 4.3.2.).

Tabel 4.3.2. Nilai Diagnostik Neutrofil untuk Memprediksi Terjadinya Invaginasi dengan Kurva ROC

Invaginasi Se

nsitifitas

Spe sifisitas

N DP

N DN P

ositif

N egatif N

eutrofil 5

0 10

0

100

00 00

(25)

Dengan menggunakan uji Fisher’s exact tidak ditemukan hubungan yang signifikan

antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap tipe invaginasi (p=0,640). Sebanyak

82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi tipe ileum sedangkan pada anak yang

tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi tipe ileum terjadi pada 91,7% anak (Tabel

4.3.3.).

Tabel 4.3.3. Hubungan Rotavirus dan Tipe Invaginasi

Rota

Dari hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang

signifikan antara suku dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,049). Nilai OR

yang diperoleh adalah 1,357 (95% IK 1,037 – 1,776) yang menunjukkan bahwa anak-anak

dengan suku Batak berisiko akan mengalami invaginasi tipe ileum 1,357 kali dibandingkan

anak-anak yang tidak bersuku Batak. Seluruh anak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe

ileum sementara anak yang tidak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sebanyak

73,7%. Hasil analisis Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara

jenis kelamin dan status gizi dengan tipe invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.3.4).

Tabel 4.3.4. Hubungan Karakteristik dan Tipe Invaginasi

(26)

Jenis

Dengan menggunakan uji T independent diketahui tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara usia dan kadar neutrofil dengan tipe invaginasi (p>0,05) (Tabel 4.3.5.).

Tabel 4.3.5. Hubungan Usia dan Kadar Neutrofil dengan Tipe Invaginasi

(27)

Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang

signifikan antara NSP4 dengan tipe invaginasi (p=1,000). Seluruh anak-anak yang

ditemukan NSP4 mengalami tipe invaginasi ileum, sedangkan pada kelompok anak yang

tidak ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami tipe invaginasi ileum sebesar 83,3%

(Tabel 4.3.6.).

Tabel 4.3.6. Hubungan NSP4 dengan Tipe Invaginasi

N

Dengan menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan

antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap ada tidaknya NSP4 (p=0,004) dengan

nilai OR 0,714 (95% IK 0,565 – 0,903) yang menunjukkan bahwa dengan ditemukan

rotavirus dalam feses pasien anak maka risiko ditemukannya NSP4 adalah 0,714 dibanding

anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya atau dengan kata lain keberadaan

rotavirus merupakan faktor protektektif terhadap ditemukannya NSP4. Sebanyak 71,4%

anak dengan rotavirus ditemukan NSP4 sedangkan pada anak yang tidak ditemukan

rotavirus keberadaan NSP4 terjadi pada seluruh anak (Tabel 4.3.7.).

Tabel 4.9 Hubungan Rotavirus dengan NSP4

(28)

(71,4) (28,6) ,004 ,714 0,903

- 27

(100)

0

Keseluruhan sampel penelitian kemudian dilakukan prosedur pemeriksaan

elektroforesis gel pada pasien yang invaginasi positif rotavirus dengan jumlah 23 sampel

dengan hasil pada gambar berikut.

1)

2) M NC 4V 6V

395bp

395bp

M NC 1V 2V

(29)

3)

4)

5) M NC 7V 8V 9V 10V 11V

M NC 16V 17V 19V 20V 21V

A A A A A

M NC 13V

A

M NC 23V 25V

A A

(30)

6)

7)

8)

Gambar 4.5.1. 1)1v,2V; 2)4V, 6V; 3)7V-11V; 4)13V; 5)16V-17V, 19V-21V; 6) 23V, 25V; 7)27V, 28V, 30V; 8)31V, 33V dan 34V. Gambar ini menjelaskan bahwa terdeteksi Rotavirus A

yaitu berada di 395 bp sebanyak 23 sampel.

Kemudian hasil Rotavirus Positif dilakukan elektroforesis gel NSP4 dengan hasil pada

gambar 20.

M NC 27V 28V 30V

A A A

M NC 31V 33V 34V

A A A

395bp

395bp

(31)

Gambar 4.6.1. Hasil dari Elektroforesis gel NSP4 dimana dapat terlihat dari 25 sampel yang terdapat rotavirus positif, hanya 8 yang terdapat NSP 4 pada pasien Invaginasi dengan

NSP 4 berada di 738 bp.

Hasil PCR dan Sekunsing

1. Pohon Filogenetik dan Homologi DNA Gen NSP4 Rotavirus

Dari semua sampel yang positif PCR rotavirus A, hanya 8 sampel yang berhasil

dilakukan amplifikasi fragmen DNA gen NSP4. Hasil amplifikasi kemudian dilakukan reaksi

DNA sekuensing. Hasil reaksi DNA sekuensing dianalisis menggunakan teknik overlapping

editing menggunakan software SeqScape V 2.7 (Applied Biosystems). Diantara semua strain

virus yang berhasil dianalisis, strain virus 8V diperoleh dari pasien diare dengan invaginasi,

sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) diperoleh dari pasien diare dengan

tidak mengalami invaginasi.

Berdasarkan analisis pohon filogenetik sekuen nukleutida gen NSP4 yang dianalisis

dalam studi ini menunjukkan bahwa strain rotavirus 51, 21, 9, dan 16 sangat berkorelasi

dekat (Gambar 21) dengan homologi DNA 100% (Gambar 22). Strain 8V sangat berkorelasi

dekat dengan strain 18 (Gambar 21) dengan homologi DNA 100% (Gambar 22). Strain 17

dan 2D menunjukkan homologi DNA 99.6%, sedangkan homologi DNA ke dua strain (17 dan M NC 2V 8V 10V 11V 16V 25V 31V 34V

A A A A A A A A

(32)

2D) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Homologi DNA dua strain (8V dan 18)

dengan strain lainnya berkisar 99.6-99.8%. Secara keseluruhan, kisaran homologi DNA

semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.6-100% (Gambar 22). Aligmen sekuen

DNA NSP 4 dari semua strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada

lampiran.

Gambar 19. Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA gen NSP4 rotavirus, yang dikonstruksi menggunakan MEGA 5.0 menggunakan method maximum likelihood. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.

Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan

sekeun DNA NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun

berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non

(33)

Gambar 20. Homologi sekuen DNA gen NSP4 rotavirus dari semua strain yang dianalisis. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.

2. Pohon Filogenetik dan Homologi Asam Amino Protein NSP4 Rotavirus

Pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein NSP4 menunjukkan

bahwa semua strain yang dianalisis membentuk 2 grup (Gamabr 23). Grup pertama terdiri

dari strain 21, 51, 17, 16, 9, dan 2D menunjukkan tingkat homologi asam amino 100%

(Gambar 24), sedangkan grup ke dua yang terdiri dari strain 8V dan 18 menunjukkan

homologi asam amino 100%. Homologi ke dua grup tersebut adalah 99.4%. Secara

keseluruhan, kisaran homologi asam amino semua strain virus yang dianalisis adalah

berkisar 99,4%-100% (Gambar 24). Aligmen sekuen asam amino protein NSP 4 dari semua

strain rotavirus yang dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada sub bab berikutnya.

Sama halnya dengan hasil analisis pohon filogenetik dan homologi berdasarkan

sekuen DNA gen NSP4, analisis berdasarkan asam amino protein NSP4 juga bahwa Strain

virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekuen asam

amino NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun

berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare

dengan non invaginasi.

Seq-> 2D 8V 9 16 17 18 21

51

2D ID 99.6 99.8 99.8 99.6 99.6 99.8

99.8

8V 99.6 ID 99.8 99.8 99.6 100 99.8

(34)

Gambar 21. Pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein NSP4 rotavirus, yang dikonstruksi menggunakan MEGA 5.0 menggunakan method maximum likelihood. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.

Gambar 22. Homologi sekuen asam amino protein NSP4 rotavirus dari semua strain yang dianalisis. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi, sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak mengalami invaginasi.

3. Analisis substitusi asam amino

Seq-> 2D 8V 9 16 17 18 21

51

2D ID 99.4 100 100 100 99.4 100

100

8V 99.4 ID 99.4 99.4 99.4 100 99.4

(35)

Hasil aligmen sekuen asam amino protein NSP4 dari semua strain rotavirus yang

dianalisis dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa

strain 8V dan 18 mengalami substitusi asam amino pada posisi asam amino ke 7, dari asam

amino asam glutamik (E) menjadi leusin (L). Asam glutamik merupakan asam amino bersifat

hidrofilik, sedangkan leusin adalah asam amino bersifat hidrofobik; oleh karena itu,

perubahan asaam amino tersebut merupakan perubahan asam amino dari yang bersifat

hidrofilik menjadi asam amino hidropobik. Untuk daerah asam amino lainnya tidak

menunjukkan substitusi asam amino (Gambar 25).

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

10 20 30 40 50 60 70

2D MEKLTDFNYT LSVITLMNST LHTILEDPGM AYFPYIASVL TVLFTLHKAS IPTMKIALKT SKCSYKVVKY

8V ...L... ... ... ... ... ... ...

9 ... ... ... ... ... ... ...

16 ... ... ... ... ... ... ...

17 ... ... ... ... ... ... ...

18 ...L... ... ... ... ... ... ...

21 ... ... ... ... ... ... ...

51 ... ... ... ... ... ... ...

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

80 90 100 110 120 130 140

2D CVVTIFNTLL KLAGYKEQIT TKDEIEKQMD RVVKEMRRQL EMIDKLTTRE IEQVELLKRI YDKLMVQSIG

8V ... ... ... ... ... ... ...

9 ... ... ... ... ... ... ...

16 ... ... ... ... ... ... ...

17 ... ... ... ... ... ... ...

(36)

Gambar 23. Alignmen sekuen asam amino protein NSP4 dari 8 strain virus yang berhasil dianalsis dalam studi ini. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi,

sedangkan yang lainnya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan tidak

(37)

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian baru dalam hal penyebab invaginasi yaitu

peneliti ingin melihat apakah ada hubungan mengenai protein nontstruktural 4 rotavirus

terhadap terjadinya diare dan dapat menyebabkan terjadinya invaginasi. Hal ini didasari

bahwa penyakit invaginasi sering didahului oleh diare, dimana diare pada anak sering

disebabkan oleh rotavirus.

Invaginasi adalah suatu penyakit pada anak yang memerlukan tindakan emergensi.

Diagnosis pasti invaginasi pada anak sulit untuk ditegakkan karena gejala spesifik invaginasi

“Trias Invaginasi” tidak selalu ditemukan saat anamnesis kepada orang tua anak maupun

pada saat pemeriksaan (Mac Mahon, 1991). Penyakit invaginasi ini sering mengalami

keterlambatan dalam penanganan dikarenakan keterlambatan dalam mendiagnosis pasien.

Penyebab terjadinya invaginasi hingga sekarang masih belum diketahui dengan jelas.

Sehingga ada 2 teori yang menjelaskan mengenai etiologi invaginasi ini yaitu idiopatik dan

kausatif (Kim-Choy, Shih, 2002; Virginia, 2000).

Penelitian diikuti 55 pasien yang terdiri dari pasien yang meliputi pasien diare dan

invaginasi. Dari 55 pasien ini terdapat 63,6% pasien anak dengan invaginasi dan 36,4%

pasien diare.Tingkat kejadian invaginasi berdasarkan jenis kelamin terdiri atas 65,8% pasien

invaginasi laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Hanz-Iko tahun 2006 yang menyatakan

bahwa kejadian untuk invaginasi lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki. penelitian yang

dilakukan oleh Kombo tahun 2001 menunjukkan perbandingan tingkat kejaadian invaginasi

pada anak antara laki-laki dan perempuan berbanding 3:1. Chen tahun 2005 juga

menyatakan bahwa bahwa 65% dari kasus yang diteliti adalah jenis kelamin laki-laki yang

menderita invaginasi. Awasthi et al tahun 2009 melakukan penelitian mengenai surveillance

invaginasi yaitu menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih dominan terjadi invaginasi

dibanding-kan perempuan. Sedangkan untuk kejadian diare juga mengalami hasil yang

(38)

pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan Awasthi et al tahun 2009

yang menyatakan tingkat kejadian diare di 5 negara lebih banyak terjadi pada jenis kelamin

pria. Hal ini dapat terjadi berdasarkan pupolasi dari suatu negara (Chen, 2005) dan

pengambilan sampel yang dilambil. Pasien yang menjadi responden penelitian ini didominasi

suku Batak yaitu 22%. Hal ini tidak memiliki nilai yang bermakna karena penelitian yang

dilakukan di daerah sumatera utara dengan dominan penduduk adalah suku batak.

Analisis deskriptif responden yang dilihat yaitu usia. Berdasarkan penelitian dapat

terlihat bahwa rerata usia pasien yang menjadi subyek penelitian yaitu 6,6 bulan. Penelitian

ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Sapan pada tahun 2007 dan Rajiv et al

2009 yang menyatakan bahwa kejadian invaginasi sering terjadi pada anak dengan usia

dibawah dari 1 tahun. Kejadian invaginasi sering terjadi pada anak usia kecil dari 2 tahun

(Difiore, 1999; Mulchhy, 1982; Gardness, 1962, Bruce, 1987). Chen tahun 2005 menyatakan

bahwa usia kejadian invaginasi kecil dari 1 tahun yaitu 72%.

Status gizi terbanyak pada pasien dengan invaginasi adalah gizi baik yaitu 54,1%,

sedangkan pada pasien dengan diare sebanyak 45.9%. Dari hasil analisis menggunakan uji

chi square ditemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan terjadinya

invaginasi pada pasien anak (p=0,034). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074

– 2,214) yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami

invaginasi 1,542 kali dibandingkan anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak

83,3% anak gizi lebih mengalami invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi

baik dan kurang hanya 54,1% yang mengalami invaginasi. Sedangkan Penelitian yang

dilakukan oleh Pisacane tahun 1992 dan Cunnane tahun 1990 menyatakan bahwa masalah

gizi tidak memperlihatkan hasil yang bermakna, karena harus ditelaah lagi mengenai asupan

pada anak, apakah anak tersebut mengkonsumsi Air Susu Ibu atau susu formula. Status gizi

seharusnya dapat menjamin seorang bayi untuk dapat bertahan dengan sistem imun

(39)

di dapati Tipe invaginasi yang terbanyak ditemukan pada pasien invaginasi yaitu ileo-colica

sebanyak 38,2%.

Pada pasien anak dengan invaginasi ditemukan 82.1% positif Rotavirus jenis A

sedangkan pada anak dengan diare 17,9%. Dengan menggunakan uji chi square ditemukan

hubungan yang signifikan keberadaan rotavirus dalam feses terhadap kejadian invaginasi

(p=0,004) dengan nilai OR 1,848 (95% IK 1,172 – 2,915) yang artinya adalah anak-anak

yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi

sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya.

Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda dengan

metode enter ditemukan hanya rotavirus yang berpengaruh terhadap terjadinya invaginasi

pada pasien anak dengan nilai p = 0,005. Nilai OR yang diperoleh dari pemodelan multivariat

adalah 5,750 (95% IK 1,682 – 19,661) yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terinfeksi

rotavirus berisiko akan mengalami invaginasi sebesar 5,75 kali lebih besar dibandingkan

anak-anak yang tidak terinfeksi rotavirus. Penelitian yang telah dilakukan oleh Estes yang dijelaskan pada Kombo tahun 2001, Estes melakukan penelitian pada Bayi babi yang di

berikan rotavirus, dengan jangka waktu 72 jam menunjukkan adanya intususepsi. Rajiv,

2009 menyatakan bahwa hanya 4 sampel yang terdeteksi rotavirus dari 42 sampel.

Berdasarkaan penelitian yang di lakukan oleh Robert tahun 2004 yang menyatakan bahwa

penyebab diare terbanyak adalah rotavirus.

Peneliti melakukan pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi NSP4 pada pasien

invaginasi untuk melihat resiko terjadinya invaginasi. Hal ini didasari pada pasien yang

invaginasi sering didahului oleh diare, sedangkan diare pada anak sering disebabkan oleh

rotavirus. Rotavirus merupakan penyebab utama penyakit diare pada bayi manusia dan binatang muda, termasuk anak sapi dan anak babi. Infeksi pada orang dewasa dan binatang

juga sering (Jawetz, 2005). Sedangkan menurut Harper tahun 2008 Rotavirus menyebabkan

(40)

Rotavirus adalah penyebab tertinggi dari gastroenteritis pada anak-anak di seluruh

dunia (Malek, 2006). Menurut Vaishalli tahun 2012 rotavirus adalah etiologi yang paling

penting dalam menyebabkan gastroenteritis pada bayi dan anak-anak. Secara umum, jumlah

dari kejadian diare yaitu 37% dari semua kasus yang disebabkan oleh rotavirus dan 453.000

kematian pertahun pada anak kurang dari 5 tahun. Sedangkan untuk kejadian diare di

Indonesia 60% disebabkan oleh rotavirus (Soenarto, 2009).

Rotavirus telah dideteksi pada 41% pasien dengan invaginasi, meskipun penelitian

terkontrol hanya sedikit dilakukan, infeksi rotavirus menyebabkan lymphadenopathy dan

penebalan dinding ileum distal yang dapat menjadi lead point terjadinya invaginasi. Karena

hal tersebut rotavirus dinilai mempunyai kaitan dengan terjadinya invaginasi pada beberapa

kasus (Julie, 2004). Rotavirus menginfeksi usus halus dan merupakan penyebab utama dari

diare berat pada anak. Infeksi rotavirus lebih sering terjadi pada anak dibawah umur 1 tahun,

yang merupakan resiko tertinggi untuk menderita invaginasi (Kelly, 2006).

Anak dengan imunodefisiensi, rotavirus dapat menyebabkan penyakit yang berat

dan lama. Diagnosis laboratorium berupa adanya rotavirus dapat dilihat didalam feses dan

darah pada saat titer antibodi meningkat.Virus didalam feses dapat dilihat dengan

menggunakan IEM, uji aglutinasi lateks atau ELISA dan juga dapat dilihat dengan Rotavirus

Rapid Test Kit (Biomeroux). Ekskresi virus didalam feces dapat menetap hingga 50 hari

setelah awitan diare, sedangkan pemeriksaan antibody rotavirus dilakukan dengan Uji

Hambatan Hemaglutinasi terhadap antigen rotavirus yang diisolasi dari penderita diare akut

(Harper, 2008).

Hasil infeksi rotavirus pada sel epitel usus lebih komplek dan menginduksi respon

seluler yang lebih beragam. Serupa dengan bakteri, patogenesis dari rotavirus melibatkan

enterotoksin, aktivasi sistem saraf enterik, dan malabsorbsi (Ciarlet, 2001). Infeksi rotavirus

(41)

peningkatan permeabilitas membran-plasma, konsentrasi cytosolic, dan total sell Ca2+ (Zambrano, 2008).

Ada tiga penelitian virologis kecil yang mencoba mengevaluasi adanya kaitan yang

potensial antara invaginasi dengan infeksi rotavirus. Dengan pemeriksaan mikroskop

elektron spesimen fekal, suatu penelitian prospektif menemukan bukti infeksi rotavirus pada

11 dari 30 (37%) anak dengan invaginasi. Dalam penelitian prospektif lainnya rotavirus dapat

dideteksi secara serologis pada 2 dari 24 pasien (10%). Tidak satupun penelitian ini dapat

menunjukkan secara meyakinkan bahwa infeksi rotavirus mempunyai peranan penting

dalam terjadinya invaginasi (Chang, 2002). Diare yang disebabkan oleh rotavirus pertama

kali dianggap sebagai malabsorbsi. Sejak tahun 1996, berbagai ide bermunculan

diantaranya menyatakan bahwa NSP4 memiliki peran penting dalam sekresi cairan dan

elektrolit, oleh karena itu hal ini mewakili sekretori enterotoksin virus baru (Mathie, 2007).

Selama infeksi, NSP4 berfungsi sebagai enterotoksin viral dengan berikatan dengan

reseptor ekstraselluler dan mengaktivasi jalur transduksi sinyal yang meningkatkan level

Kalsium ([Ca2+

]

i)intraselluler melalui pelepasan ion Kalsium dari Retikulum Endoplasma

(Megan, 2011). Untuk memperantarai efek pada percobaan in vivo, NSP4 harus

disekresikan atau dilepaskan dari sel rotavirus yang terinfeksi dalam bentuk terlarut,

bagaimanapun juga pada penelitian sebelumnya telah terindikasi bahwa sebuah glikoprotein

transmembran terlokalisasi dalam kompartemen endomembran dalam sebuah sel yang

terinfeksi (Bugarcic, 2006). Protein nonstruktural rotavirus NSP4, sebuah glikoprotein

transmembran retikulum endoplasma, meningkatkan level Ca2+ sitoplasmik intraselluler melalui jalur fosfolipase C-independen yang dibutuhkan virus pada replikasi dan

morfogenesis (Joseph, 2010; Farideh, 2001; Zambrano, 2008). Daerah enterotoksin pada

peta asam amino NSP4: 114 sampai 135 yang dibedakan dengan penelitian fungsional dari

sintesis peptide yang overlapping (Parr, 2011; Mathie, 2006).

(42)

dipahami. Kemampuan NSP4 berinteraksi secara berbeda dengan beberapa

protein virus dan seluler protein, termasuk calnexin, laminin-3, fibronektin,

caveolin, domain integrin, dan tubulin (Hu et al, 2013). NSP4 disintesis sebagai

glikoprotein transmembran retikulum endoplasma (RE) dan terdiri dari tiga domain

hidrofobik (H1-H3) dengan dua situs glikosilasi mannose N-linked berorientasi ke

sisi luminal RE di H1 domain, domain transmembran H2 dan berfungsi sebagai

urutan sinyal untuk tidak memecah, domain viroporin dibentuk oleh sekelompok

residu bermuatan positif dan amphipathic α-helix (H3) diikuti oleh domain

sitoplasmik yang mengandung daerah melingkar-coil dan C-terminus. Relatif

sedikit yang diketahui tentang N-terminus, mungkin karena bersifat hidrofobik

(Groft et al, 2002).

Berdasarkan data ini, peneliti melakukan penelitian untuk melihat apakah gen

protein NSP4 dapat menginduksi terjadinya invaginasi pada anak. Dengan menggunakan uji

Fisher’s exact ditemukan hubungan yang signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses

terhadap ada tidaknya NSP4 (p=0,004) dengan nilai OR 0,714 (95% IK 0,565 – 0,903) yang

menunjukkan bahwa dengan ditemukan rotavirus dalam feses pasien anak maka risiko

ditemukannya NSP4 adalah 0,714 dibanding anak yang tidak ditemukan rotavirus dalam

fesesnya atau dengan kata lain keberadaan rotavirus merupakan faktor protektif terhadap

ditemukannya NSP4. Sebanyak 71,4% anak dengan rotavirus ditemukan NSP4 sedangkan

pada anak yang tidak ditemukan rotavirus keberadaan NSP4 terjadi pada seluruh anak.

Dengan menggunakan uji Fisher’s exact diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan

antara NSP4 dan terjadinya invaginasi (p=1,000). Sebanyak 62,5% anak-anak yang

ditemukan NSP4 mengalami invaginasi, sedangkan pada kelompok anak yang tidak

ditemukan NSP4 proporsi anak yang mengalami invaginasi sebesar 63,8%. Hal ini banyak

kemungkinan yang menjadi penyebab tidak terdapatnya hubungan antara NSP4 dengan

terjadinya invaginasi diantaranya yaitu sampel. Sebaiknya pemeriksaan pemeriksaan PCR

(43)

sampel penelitian di simpan di tempat yang seharusnya. Pemeriksaan hasil PCR sebaiknya

dilakukan oleh operator yang sama.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bahwa rotavirus merupakan salah satu

penyebab terjadi invaginasi sehingga untuk dokter bedah dan dokter anak memikirkan untuk

dilakukan penelitian mengenai bagaimana pemberian imuniasi Rotavirus, apakah

memberikan efek untuk mengurangi tingkat kejadian invaginasi pada anak. Sedangkan untuk

dokter layanan primer dapat waspada jika mereka mendapatkan pasien anak dengan diare

atau adanya trias invaginasi sehingga mereka dapat melakukan pemeriksaan yang

sederhana berupa rapid test untuk memeriksa ada atau tidaknya rotavirus dan dapat

dilakukan penatalaksanaan lanjutan di rumah sakit terdekat.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

1. Jumlah anak laki-laki sebanya 69,1% sedangkan anak perempuan 30,9%.

Kebanyakan pasien anak dengan gizi baik 50,9% dan sukku terbanyak adalah suku Batak

(44)

2. Sebagian besar pasien 52,7% dengan riwayat diare akut, dikuti dengan diare

persisten, disentri. Dari Penelitian ditemukan 63,6% dengan invaginasi dan 46.4% diare.

3. Tipe invaginasi terbanyak yang ditemukan adalah tipe ileo-colica, diikuti tipe

ileo-caecal, colo colica dan ileoileal.

Hasil analisis menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan

antara status gizi dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,034) (Tabel 4.2.1).

Nilai OR yang diperoleh adalah 1,542 (95% IK 1,074 – 2,214) yang menunjukkan bahwa

anak-anak dengan gizi lebih berisiko akan mengalami invaginasi 1,542 kali dibandingkan

anak-anak dengan status gizi kurang dan baik. Sebanyak 83,3% anak gizi lebih mengalami

invaginasi sedangkan pada anak-anak dengan status gizi baik dan kurang hanya 54,1%

yang mengalami invaginasi. Hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan

hubungan antara jenis kelamin dan suku terhadap terjadinya invaginasi (p>0,05).

4. Hasil analisis menggunakan uji Fisher’s exact ditemukan hubungan yang

signifikan antara suku dengan terjadinya invaginasi pada pasien anak (p=0,049). Nilai OR

yang diperoleh adalah 1,357 (95% IK 1,037 – 1,776) yang menunjukkan bahwa anak-anak

dengan suku Batak berisiko akan mengalami invaginasi tipe ileum 1,357 kali dibandingkan

anak-anak yang tidak bersuku Batak. Seluruh anak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe

ileum sementara anak yang tidak bersuku Batak memiliki invaginasi tipe ileum sebanyak

73,7%.Hasil analisis Fisher’s exact menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan antara

jenis kelamin dan status gizi terhadap tipe invaginasi (p>0,05)

5. Dengan menggunakan uji T independent diketahui terdapat hubungan yang

signifikan antara kadar neutrofil dan terjadinya invaginasi (p=0,0001). Rerata kadar neutrofil

pada anak dengan invaginasi jauh lebih tinggi (79,03) dibanding anak-anak dengan

diare/tanpa invaginasi (56,55). Rerata anak dengan invaginasi dan tanpa invaginasi tidak

(45)

jauh berbeda (p=0,752) dimana pada anak dengan invaginasi reata usia adalah 6,74 bulan

dan tanpa invaginasi adalah 6,36 bulan.

6. Dengan menggunakan uji T independent diketahui tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara usia dan kadar neutrofil terhadap tipe invaginasi (p>0,05).

7. Kadar neutrofil dalam studi ini memilliki kemampuan untuk memprognosis

seorang anak apakah mengalami invaginasi atau tidak. Hasil analisis menggunakan kurva

ROC diperoleh bahwa area di bawah kurva (AUC) ROC adalah 100% (95% IK: 100-100; p =

0,0001)

8. Keseluruhan sampel feses baik dari pasien dengan diare dan invaginasi

dilakukan PCR menggunakan primer spesifik Rotavirus A. Hasil positif PCR Rotavirus A

menggunakan PCR memberikan produk amplifikasi fragmen DNA sebesar 395 bp. Dari total

55 sampel, 19 sampel (1v, 2V, 4V, 7V, 8V, 11V,13V,16V, 17V, 19V, 20V, 21V, 23V, 25V,

27V,30V, 31V, 33V, dan 34V) menunjukkan hasil positif Rotavirus A

9. Dengan menggunakan uji chi square ditemukan hubungan yang signifikan

keberadaan rotavirus dalam feses terhadap kejadian invaginasi (p=0,004) dengan nilai OR

1,848 (95% IK 1,172 – 2,915). Artinya adalah anak-anak yang ditemukan positif rotavirus dalam fesesnya akan berisiko mengalami invaginasi sebesar 1,848 kali dibanding anak-anak

yang tidak ditemukan rotavirus dalam fesesnya. Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus

mengalami invaginasi sedangkan pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian

inaginasi hanya terjadi pada 44,4% anak.

10. Dengan menggunakan uji Fisher’s exact tidak ditemukan hubungan yang

signifikan antara keberadaan rotavirus dalam feses terhadap tipe invaginasi (p=0,640) (Tabel

4.5.2). Sebanyak 82,1% anak dengan rotavirus mengalami invaginasi tipe ileum sedangkan

pada anak yang tidak ditemukan rotavirus kejadian inaginasi tipe ileum terjadi pada 91,7%

anak.

11. Semua sampel yang positif Rotavirus A dilakukan amplifikasi gen NSP4.

(46)

hanya 8 sampel (2V, 8V, 10V, 11V, 16V, 25V, 31V, dan 34V) yang berhasil dilakukan amplifikasi gen

NSP4.

12. Berdasarkan analisis pohon filogenetik sekuen nukleutida gen NSP4 yang

dianalisis menunjukkan bahwa strain rotavirus 51, 21, 9, dan 16 sangat berkorelasi dekat

dengan homologi DNA 100%. Strain 8V sangat berkorelasi dekat dengan strain 18 dengan

homologi DNA 100%. Strain 17 dan 2D menunjukkan homologi DNA 99.6%, sedangkan

homologi DNA ke dua strain (17 dan 2D) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%.

Homologi DNA dua strain (8V dan 18) dengan strain lainnya berkisar 99.6%-99.8%. Secara

keseluruhan, kisaran homologi DNA semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar

99.6-100%.

13. Strain virus 8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan

perbedaan sekeun DNA NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak

invaginasi, namun berbeda dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien

diare dengan non invaginasi.

14. Dari hasil analisis pohon filogenetik berdasarkan sekuen asam amino protein

NSP4 menunjukkan bahwa semua strain yang dianalisis membentuk 2 grup. Grup pertama

terdiri dari strain 21, 51, 17, 16, 9, dan 2D menunjukkan tingkat homologi asam amino 100%,

sedangkan grup ke dua yang terdiri dari strain 8V dan 18 menunjukkan homologi asam

amino 100%. Homologi ke dua grup tersebut adalah 99.4%. Secara keseluruhan, kisaran

homologi asam amino semua strain virus yang dianalisis adalah berkisar 99.4-100%.

15. Dari hasil analisis pohon filogenetik dan homologi berdasarkan sekeun DNA

gen NSP4, dan hasil analisis berdasarkan asam amino protein NSP4 dijumpai Strain virus

8V dari pasien diare dengan invaginasi tidak menunjukkan perbedaan sekeun asam amino

NSP4 dengan strain virus 18 dari pasien diare dengan tidak invaginasi, namun berbeda

dengan strain laiinya (2D, 9, 16, 17, 18, 21, dan 51) dari pasien diare dengan non invaginasi.

16. Berdasarkan jenis invaginasi diketahui bahwa invaginasi ileo-colica

merupakan jenis invaginasi terbanyak dengan jumlah 60% diikuti oleh invaginasi ileo-caecal

(47)

17. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian

invaginasi (p=0,620). Tidak ditemukan hubungan antara usia dengan kejadian invaginasi

(p=0,542).

18. Selanjutnya, untuk variabel status gizi, suku, dan riwayat diare juga tidak

berhubungan secara signifikan dengan kejadian invaginasi (p>0,05).

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut

:

1. Untuk penelitian lain yang berfokus pada pembuktian keterlibatan NSP 4

dalam invaginasi, penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan referensi sebagai usaha

untuk membuktikan keterlibatan protein NSP 4 pada kejadian invaginasi.

2. Sebaiknya pemeriksaan PCR dan pemeriksaan Sequencing DNA dilakukan

pada satu laboratorium yang sama untuk menghindari kerusakan sampel pada saat

pengiriman sampel antar laboratorium. Isolasi DNA yang dilakukan diLaboratorium Terpadu

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dimana sampel yang digunakan disimpan

dalam freezer dengan temperatur -20C, dengan adanya gangguan aliran listrik dari PLN

Gambar

Table 2.1 RT PCR dan Sekuensi Primer
Tabel 4.1.1. Karakteristik Responden Penelitian
Tabel 4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden dengan Rotavirus
Tabel 4.1.6. Distribusi Frekuensi Responden dengan Invaginasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ergonomi merupakan suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem

kemudian dilakukan proses disagregasi untuk mengubah rencana produksi agregat menjadi jumlah yang harus diproduksi setiap produk yaitu dengan metode family set-up untuk

[r]

Emosi negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang berlebihan yang dapat

Namun disebutkan bahwa gambaran dalam bentuk 3D baik digunakan pada kasus-kasus tertentu seperti untuk merepresentasikan objek yang bergerak, merepresentasikan gambar

Berdasarkan hasil observasi kelas II SDN Sungai Kupang 1 dimana pada pra siklus diketahui bahwa diperhatian siswa masih belum fokus terhadap materi pelajaran

Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai