• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Kedudukan Dan Status Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam

Pengangkatan anak dewasa ini sering dilakukan oleh berbagai kalangan dalam masyarakat. Seseorang dalam mengangkat anak pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai karena pada dasarnya banyak faktor yang mendukung seseorang melakukan pengangkatan anak, namun lazimnya latar belakang pengangkatan anak dilakukan oleh orang yang tidak diberi keturunan. Pengangkatan anak dilakukan guna memenuhi keinginan manusia untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.43

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh suatu keluaga untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Selain itu maksud dari pengangkatan anak disini adalah untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian tetapi saat ini dengan adanya perkembangan motivasi dari pengangkatan anak kini telah berubah yakni demi kesejahteraan anak yang diangkat.

Pada hakikatnya Islam mendukung adanya usaha perlindungan anak yang salah satu caranya adalah dengan melakukan pengangkatan anak. Adapun pengangkatan anak yang diperbolehkan dalam Islam tentu saja yang memiliki arti

(2)

mengangkat anak semata-mata karena ingin membantu dalam hal mensejahterakan anak tersebut dan juga memberikan perlindungan tanpa menjadikannya sebagai anak kandung.

Islam menganjurkan agar umat manusia dapat saling tolong menolong terhadap sesama manusia. Pengangkatan anak atau disebut juga adopsi merupakan salah satu cara untuk menolong sesama manusia, karena adopsi dengan pengertian mengangkat anak orang orang lain untuk diperlakukan sebagai anak sendiri tanpa mengubah status anak tersebut menjadi anak kandung adalah adopsi yang diperbolehkan dalam Islam, dan hal itu merupakan perbuatan yang sangat mulia.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak adalah posisi anak angkat dalam keluarga tidak sama dengan anak kandung. Maka dari itu tidak ada hubungan khusus antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat mengenai masalah keperdataan seperti perwalian dan kewarisan. Apabila melihat kembali kepada tujuan dari pengangkatan anak tersebut, maka pengangkatan anak dilakukan atas dasar tolong menolong sesama manusia.

Dalam hal pengangkatan anak, orang tua angkat harus mengetahui apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, Islam mengatur tentang syarat-syarat pengangkatan anak tersebut. Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam adalah sebagai berikut:44

(3)

1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung dan keluarganya.

2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya. 3. Hubungan kehartabendaan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya hanya

diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.

4. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.

5. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.

6. Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya sama-sama orang yang beragama Islam, agar sianak tetap pada agama yang dianutnya.

Yusuf Qardawi berpendapat bahwasannya adopsi dapat dibenarkan apabila seseorang yang melaksanakannya tidak mempunyai keluarga, lalu ia bermaksud untuk memelihara anak tersebut dengan memberikannya perlindungan, pendidikan, kasih sayang, mencukupi kebutuhan sandang dan pangan layaknya anak kandung sendiri. Adapun dalam hal nasab, anak tersebut nasabnya tetap pada ayah kandungnya karena antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak ada sama sekali hubungan nasab yang dapat mempunyai hak seperti anak kandung.45

(4)

Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak, pemberian nafkah, pendidikan, dan pelayanan segala kebutuhan, bukan memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi hukumnya. Islam mengarahkan kepada manusia agar selalu peduli kepada sesama, karena sikap peduli sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam juga mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak mampu, miskin, terlantar, dimana perbuatan penyantunan dan pemeliharaan anak-anak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga dan hak-hak orang tua kandungnya dan pemeliharaan tersebut harus didasarkan pada penyantunan semata.46

Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam dimana terdapat syarat-syarat pengangkatan anak dalam Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakai nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya, dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya.47

(5)

Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, dimana hal ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan, dan salah satu jalan keluar yang positif dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun belum dikaruniai anak. Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik, atau untuk mempererat hubungan keluarga. Sisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.48

Sebelum ajaran Islam datang, pengangkatan anak telah banyak ditemui dikalangan bangsa Arab. Pengangkatan anak ini diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung. Menurut sejarah, Nabi Muhammad sendiri sebelum menerima kerasulan mempunyai seorang anak angkat bernama Zaid Bin Haristah dalam status budak hadiah dari Khadijah Bin Khuwailid. Kemudian Nabi memerdekakannya dan diangkat menjadi anak angkat, dan namanya diganti dengan Zaid Bin Muhammad, dimana di hadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad berkata, “saksikanlah olehmu bahwa anak ini kuangkat menjadi anak angkatku, dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Mengenai pengangkatan anak(tabanni)hanyalah merupakan salah satu pengabdian kepada Allah tentang adanya karunia Allah yang telah memberikan anugerah yang begitu banyak. Sehingga pengangkatan anak itupun tidak dimaksudkan untuk menjadi ahli waris.

(6)

Sewaktu ajaran Islam datang yang membawakan penjelasan tentang jumlah para ahli waris lali-laki dan perempuan dan sebab-sebab mewarisi, maka gugurlah hak anak angkat mendapatkan hak mewarisi itu hanya berdasarkan keturunan, sebab hak mewarisi itu hanya berdasarkan keturunan. Sedangkan unsur pengangkatan anak tidak dapat memaksakan menjadi adanya sebab penilaian nasab.

Ibrahim Husen berpendapat bahwa “anak angat (adopsi) menurut hukum Islam berdasarkan surat Al-Ahzab ayat 4, 5, dan ayat 37 yang artinya “dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya. Untuk penegasan tentang kedudukan anak angkat ini maka dicontohkan oleh salah seorang sahabat yaitu Zaid seperti ungkapan “kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan dari pada orang mukmin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka. Apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari pada isterinya, dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.”49

Mahmud suddin merumuskan inti surat Al-Ahzab ayat 4, 5, dan ayat 37 bahwa Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia, anak angkatmu bukanlah anak kandungmu, panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya, bekas isteri anak angkat boleh kawin dengan bapak angkat.50Yang dimaksud dengan pokok persoalan pertama ialah kalbu (suara hati) yang memberi kesadaran bagi

49B. Bastian Tafal,Penangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 154

(7)

manusia, kalbu yang selalu disinari oleh ajaran Allah membawa kesadaran akan kebenaran dimana kebenaran itu hakikatnya datang dari Allah.

Anak angkat bukanlah anak kandung, dimana tidak mungkin dapat menyambung nasab secara utuh begitu pula hubungan darah tidak akan pernah terputus dari oang tua kandungnya, oleh karena itu seharusnya si anak dipanggil menurut bapak kandungnya, dan oleh karena itu pula tiak ada halangan untuk menikah antara anak kandung dengan anak angkat atau ayah angkat dengan isteri anak angkat.

Melihat dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anak terlantar demi kepentingan dan kebaikan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran agama Islam, bahkan dalam kondisi tertentu dimana tidak ada orang lain yang memeliharanya maka bagi si mampu yang menemukan anak terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.51

B. Hak Mewarisi Bagi Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam

Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang pada zaman jahiliyah, yaitu zaman sebelum kerasulan. Pada zaman tersebut, apabila seseorang mengangkat anak, maka otomatis nasabnya disambungkan kepada ayah angkatnya, dan nasab kepada orang tuanya terputus. Bahkan pada masa itu anak angkat mendapatkan hak

(8)

waris layaknya anak kandung, dan segala urusan yang seharusnya menjadi kewajiban ayah kandung, teralihkan kepada ayah angkatnya.

Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam dimana terdapat syarat-syarat pengangkatan anak dalam Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi ahli waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakai nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya, dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak angkatnya.52

Terdapat dua macam anak angkat, yaitu seorang yang memelihara anak orang lain yang kurang mampu untuk mendidik dan disekolahkan pada pendidikan formal dimana seseorang itu memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan sehingga anak itu nantinya menjadi orang berpendidikan dan berguna. Pengangkatan semacam ini suatu kebaikan, agama Islam pun menganjurkan untuk itu. Hubungan waris mewaris tidak ada antara anak itu dengan orang yang membiayainya sebagaimana juga tidak ada hubungan kekeluargaan antara keduanya. Keadaannya hanya dapat saling wasiat mewasiatkan hartanya apabila salah satu meninggal dunia, yang ketentuannya diatur dalam hukum wasiat.

(9)

Mengangkat anak menurut adat kebiasaan yang disebut tabanniy atau adopsi, yakni anak itu dimasukkan dalam keluarga yang mengangkat, sebagai anaknya sendiri, sehingga mempunyai kedudukan ahli waris. Menurut hukum Islam pengangkatan itu tidak membawa pengaruh hukum, sehingga status anak itu adalah anak angkat, bukan anaknya sendiri, karenanya tidak dapat mewarisi dari yang mengangkat. Juga hartanya tidak dapat diwarisi oleh yang mengangkatnya itu, kecuali memang anak angkat itu ada hubungan keluarga, seperti anak saudara (kemenakan). Anak angkat ini dapat mewarisi, karena kedudukannya sebagai anak saudara, apabila tidak terhalang ahli waris yang lebih dekat.53

Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada Firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan ayat 5. Berdasarkan kedua ayat diatas, jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah atau ibu angkat dan anak angkatnya tidak lebih dari sekedar hubungan kasih sayang. Hubungan antara ayah atau ibu dan anak angkatnya tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan.

Dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa memakai nasab ayah atau ibu angkatnya. Kasus Zaid Bin Harisah yang dinasabkan para sahabat kepada Rasulullah dengan panggilan Zaid Bin Muhammad dan telah dianggap para sahabat sebagai anak angkat Nabi Muhammad SAW dibantah oleh ayat diatas, sehingga Zaid tetap

(10)

dinasabkan kepada ayahnya, Haritsah. Bahkan untuk membantah anggapan bahwa status anak angkat itu sama dengan anak kandung, Allah SWT memerintahkan Rasullullah SAW mengawini Zainab Binti Jahsy mantan istri Zaid Bin Haritsah.54 Pernyataan Allah SWT terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 37:

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya."Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya, dan adalah ketetapan allah itu pasti terjadi.”

Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara anak dan menyejahterakannya. Dalam kasus Zaid Bin Haritsah, Nabi Muhammad SAW memeliharanya sekaligus membebaskannya dari perbudakan, dan menjadikannya hidup layak sebagaimana manusia merdeka. Sedangkan tujuan lainnya adalah ingin menolong sesama manusia.

Tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkat, mengandung arti bahwa pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara dan melestarikan keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul seseorang serta dapat memperkuat tali persaudaraan dengan orang tua yang diangkat. Kemudian jika dilihat didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa “anak angkat adalah

(11)

anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.”55

Adapun dalam hal masalah pewarisan, anak angkat hanya berhak menerima wasiat yang ada kaitannya dengan harta peninggalan orang tua angkatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”56Hal ini dilakukan karena atas dasar rasa kasih sayang orang tua terhadap anak, dan juga rasa terima kasih karena semasa hidup orang tua angkatnya, si anak telah berbuat baik menemani orang tua angkatnya, oleh karena itu Islam sama sekali tidak menutup kemungkinan anak angkat mendapat bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya. Melihat ketentuan diatas, jelas bahwa anak angkat hanya dalam hal pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, akan tetapi untuk masalah perwalian dalam pernikahan dan masalah waris, anak angkat tetap saja berhubungan dengan orang tua kandungnya, tetapi apabila orang tua angkatnya ingin memberikan warisan kepada anak angkatnya tersebut, maka pemberiannya dilakukan dengan hibah atau wasiat wajibah yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya semasa hidupnya.57

55Mustofa,Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 21

56Roihan A Rasyid, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 82

(12)

Islam memperbolehkan mengangkat anak namun dalam batas-batas tertentu yaitu selama tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali mewali dan hubungan waris mewaris dari orang tua angkat, dimana tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Pelaksanaan proses pengangkatan anak mengakibatkan ketentuan hukum baru, dimana kalau terjadi suatu musibah yang mengakibatkan suatu kematian dari orang tua angkat tersebut, maka akan terjadi suatu perubahan sosial tentang pembagian harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tua angkat atau anak angkat itu sendiri. Kedudukan anak angkat, orang tua angkat pada hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata, hukum waris, dan hukum adat, keduannya adalah sebagai ahli waris yang dapat saling mewarisi, sedangkan dalam hukum Islam keduanya tidak termasuk sebagai ahli waris.58

Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa anak angkat atau orang tua angkat tidak ada hubungan mewarisi. Tetapi sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga pengangkatan anak, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantara wasiat atau wasiat wajibah. Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya satu agama saja yang mengatur, tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat, dimana sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya memiliki

(13)

ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Wasiat untuk penduduk non muslim yang tidak tunduk pada hukum adatnya diatur oleh KUH Perdata, sedangkan untuk umat muslim diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi hukum Islam yang sekarang menjadi acuan oleh pengadilan agama bahwa anak angkat berhak memperoleh wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) harta. Menurut Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI, anak angkat ataupun orang tua angkatnya berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga), apabila anak angkat atau orang tua angkatnya tidak menerima wasiat, maka dengan demikian wasiat wajibah adalah merupakan jalan keluar dari pada anak angkat atau orang tua angkat untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Namun masalah ini banyak masyarakat umum yang belum mengetahui dan belum memahami kedudukan wasiat wajibah yang sebenarnya.

(14)

pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan terlebih dahulu.

Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqih bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia. Al-Qur’an menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di dalam adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena ada hubungan pertalian darah. Sedangkan dalam masyarakat muslim Indonesia sering terjadi adanya pengangkatan anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak dikaruniai keturunan. Pengangkatan anak yang biasanya dikukuhkan dengan aturan adat ini, sering menimbulkan kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak jarang adanya tuduhan tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia.59

Hubungan pengangkatan anak dalam hal ini sering terjadi anak angkat tidak memperoleh harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh) namun sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang kadang-kadang juga tidak mulus karena sesudah hibah dilakukan terjadi pertengkaran dan ketidakakuran antara anak dengan orang tua angkat tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan pengangkatan anak dimasukkan ke dalam KHI yang merupakan dasar hukum bagi masyarakat muslim di Indonesia.60

(15)

Menurut ketentuan ajaran syari’ah, keberadaan anak angkat itu tidak dapat dipungkiri, akan tetapi sebatas untuk memberi kesejahteraan dan pendidikan kepada anak. Hal-hal yang tidak diperkenankan adalah memutuskan hubungan darah antara si anak kandung dengan orang tua kandung, sehingga segala akibat dari hak mewarisi gugur karena tidak adanya nasab. Namun demikian sebaiknya anak angkat diberikan wasiat, akan tetapi apabila tidak ada wasiat maka anak angkat tersebut akan mendapat wasiat wasibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) bagian dari harta warisan orang tua angkatnya.61 Dengan demikian bahwa anak angkat tetaplah anak dan tidak menyebabkan adanya sebab pernasaban yang merupakan salah satu adanya hak mewarisi.

C. Kaidah Dasar Pelaksanaan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Dalam Ketentuan Hukum Islam

Wasiat menurut bahasa adalah washiyyatussyaia aw syiihi artinya (aku menyampaikan sesuatu).62 Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain washaitu bi kadzaa au aushaitu (aku menjadikan sesuatu itu untuknya). Washaya yang merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah mencakup wasiat harta, sedangkan iisha’, wishaayah, dan washiyyah dalam istilah ulama fiqh diartikan kepemilikan yang disandarkan pada keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabarru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.

61Achmad Rustandi & Muchjidin Effendi,Komentar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nusantara Press, 1991), hlm. 27

(16)

Istilah-istilah tersebut menjadi berbeda dengan kepemilikan-kepemilikan bendamunjazah(yang langsung bisa dilaksanakan), seperti penjualan dan hibah, juga kepemilikan nilai guna seperti sewa-menyewa, dan yang disandarkan kepada keadaan selain kematian seperti sewa-menyewa yang disandarkan kepada waktu mendatang, misalnya diawal bulan depan atau yang lainnya.63

Menurut istilah wasiat berarti pesan, nasehat dan juga diartikan mensyari’atkan.64 Wasiat menurut istilah syaria’at adalah hibah dari seseorang kepada orang lain berupa barang, hutang, manfaat dengan ketentuan pihak yang diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.65 Orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia masih hidup untuk dilaksanakan sesudah wafat.66

Menurut syafi’iyyah wasiat adalah suatu pemberian secara suka rela yang pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal baik disebutkan maupun tidak waktu pelaksanaannya wasiat tidak ada perbedaan yakni tetap pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Menurut ulama hanabilah wasiat adalah perintah untuk mentasarufkan sesuatu setelah orang yang berwasiat meninggal, seperti wasiatnya seseorang kepada orang lain untuk merawat anaknya yang masih kecil atau mengawini putrinya atau memisahkan 1/3 dari hartanya.67

63 Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid.X, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 154

64 Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), hlm. 43

65Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hlm. 588 66Ali Hasan,Hukum Warisan Dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 19

(17)

Menurut Suparman Usman wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksana annya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.68 Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.69 Harta peninggalan dalam Islam disebut tirkah, sebab harta peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan sistem kewarisan dalam hukum Islam lebih mudah dikenal dalam bahasa hukum di Indonesia.

Harta peninggalan adalah segala suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syara. Hukum kewarisan Islam menempuh jalan tengah sebagai jalan alternatif anatara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalan dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendakinya.70

Beberapa pengertian wasiat di atas apabila dicermati pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan substansial akan tetapi antara satu dengan lainnya saling melengkapi, karena apabila dikristalkan terdapat beberapa unsur. Pertama, wasiat itu merupakan bentuk perikatan yang berkaitan dengan harta benda atau manfaatnya.

68 Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqih Mawarits Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 163

69Ibd.

(18)

Kedua,wasiat itu perbuatan yang dilakukan atas inisiatif atau kehendak sendiri secara sukarela. Ketiga, adanya perpindahan hak kepemilikan dari orang yang berwasiat kepada yang menerima wasiat. Keempat, pelaksanaan perpindahan hak kepemilikan terjadi setelah matinya orang yang berwasiat.71 Substansi wasiat di atas berarti juga mengandung pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya sesudah meninggal kelak, akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus tunduk kepada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.72

Dalam hukum perdata Islam hanya kabul rukun wasiat, karena jika disatukan antara ijab dan kabul itu terlalu mengada-ngada, sebab bagaimana mungkin ijab dan kabul dilaksanakan seandainya penerima wasiat tidak ada ditempat, misalnya dalam keadaan si pewasiat ditengah perjalanan, atau si pewasiat meninggal mendadak.73 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 194 menyatakan bahwa syarat sesorang dapat berwasiat adalah:

(1) Orang yang telah berumur skurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.

(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari si pewasiat.

(3) Pemilik terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menjadi syarat dalam melaksanakan wasiat, dimana wasiat:

71Ibid., hlm. 46 72Ibid., hlm. 47

(19)

(1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.

(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.

(3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. (4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di

hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau disaksikan di hadapan notaris

Pasal 196 termasuk juga kedalam syarat wasiat yang berbunyi “dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta benda yang diwasiatkan.”

Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.74

Fakta dan kenyataannya, belum ada hukum materiil dalam bentuk undang-undang yang mengaturnya. Satu-satunya peraturan yang mengatur wasiat adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI), termuat dalam instrumen hukum berupa Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur wasiat dalam Pasal 194-209 dipandang sebagai hukum materiil dan diberlakukan di peradilan dalam lingkungan peradilan agama.75

74M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm. 148

(20)

Kewenangan absolut pengadilan ini tidak membatasi para pihak untuk melakukan pilihan hukum untuk melakukan pembuatan wasiat di notaris yang di inginkannya. Perlu di pahami bahwa kewenangan pengadilan ini hanya dipergunakan jika terjadi sengketa atau permasalahan antara para pihak. Sepanjang tidak ada permasalahan antara para pihak, maka para pihak boleh melakukan hubungan hukum dengan notaris terkait pembuatan akta wasiat wajibah ini, dengan kata lain para pihak bebas melakukan pilihan hukum sepanjang tidak ada permasalahan.

Selain mengatur wasiat biasa, KHI juga mengatur dan mengintrodusir hal baru dalam khasanah hukum Islam di Indonesia yaitu wasiat wajibah. Sayangnya, KHI tidak memberikan definisi dalam Ketentuan Umum tentang wasiat wajibah tersebut. Secara teori, wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.76

KHI mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara yang lain. Konsep KHI adalah memberikan wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat. Sementara negara-negara lain seperti Mesir, Suriah, Maroko, Tunisia melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada

(21)

kakek atau neneknya.77 Melihat latar belakang penyusunan KHI, dapat diperoleh beberapa alasan tentang penetapan wasiat wajibah terbatas pada anak dan orang tua angkat yaitu:

1. Pertama, para ulama belum dapat menerima konsep anak angkat sebagai ahli waris sebagaimana berlaku dalam hukum adat.

2. Kedua, pelembagaan ahli waris pengganti terhadap cucu yang ditinggal meninggal lebih dahulu oleh orang tuanya, dipandang lebih adil dan lebih berkemanusiaan bagi masyarakat.78

Pengaturan wasiat wajibah dalam KHI secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 209. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian wasiat wajibah dalam KHI hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal dunia atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat dari anak angkatnya yang meninggal dunia. Sekalipun secara normatif telah ditentukan demikian, namun dalam perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada pihak-pihak di luar anak angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non muslim. Berikut beberapa putusan yang memunculkan kontroversi di kalangan praktisi dan akademisi: a. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368.K/AG/1995. Pada tingkat banding,

Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menetapkan seorang ahli waris non muslim

77 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), hlm. 88-89

(22)

(anak perempuan kandung) berhak atas wasiat wajibah yang jumlahnya ¾ dari bagian seorang anak perempuan ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah harta yang diperoleh anak kandung non muslim dari ¾ menjadi sama dengan bagian yang diperoleh seorang ahli waris anak perempuan.

b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999. Dalam kasus ini Mahkamah Agung memutuskan ahli waris non muslim (dalam kapasitasnya sebagai ahli waris pengganti) berhak mendapatkan harta warisan pewaris berdasarkan wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan bagian ahli waris lain yang seagama.

Dalam 2 (dua) putusan ini terdapat perbedaan dalam hal dari mana bagian harta untuk pelaksanaan wasiat wajibah diambil. Pada putusan pertama bagian wasiat wajibah diambil dari harta peninggalan pewaris, sedangkan pada putusan kedua, bagian wasiat wajibah untuk ahli waris non muslim diambil dari harta warisan.79

Pada saat ini mengenai lembaga yang berwenang mengadili masalah wasiat wajibah ini adalah pengadilan agama khususnya bagi yang beragama muslim, dan selain non muslim masalah sengketa pemberian wasiat yang bagi orang non muslim dikenal dengan istilahtestamentmaka penyelesaiannya diserahkan kepada pengadilan negeri setempat. Bentuk kaidah hukum yang digunakan oleh para hakim dalam

(23)

menentukan pemberian wasiat wajibah adalah menggunakan kaidah wasiat umum sebagaimana yang ditentukan dalam KHI.

Penerapan kaidah wasiat yang diatur KHI dilakukan dengan dua alasan, yaitu alasan pertama adalah untuk mengisi kekosongan hukum.80Argumentasi ini dibangun atas dasar bahwa wasiat wajibah merupakan sistem pemberian wasiat yang diatur oleh negara dan memiliki dasar hukum melalui KHI, namun di saat yang sama KHI tidak mengatur secara rinci tentang wasiat wajibah itu sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, maka hakim menggunakan aturan wasiat secara umum sebagai dasar putusan pemberian wasiat wajibah.81

Alasan yang kedua terkait penerapan kaidah hukum wasiat pada wasiat wajibah adalah demi untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat. Pemberian wasiat wajibah khususnya kepada anak angkat maupun orang tua angkat dapat mewujudkan keadilan terutama bila ada hubungan emosional yang sangat kuat antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, sehingga akan menjadi sangat tidak adil bila anak angkat tidak mendapatkan bagian atas harta waris yang dimiliki oleh orang tua angkatnya.82

Kaidah hukum wasiat umum yang berlaku pada wasiat wajibah adalah ketentuan tahapan yang harus dilalui sebelum dilakukan pembagian wasiat sebagaimana yang diatur dalam Al Qur’an Surat An-Nisa ayat 11 dan ayat 12 serta

80Nugraheni, Ilhami, & Harahap, Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah,(Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 2, Juni 2010),hlm. 316

(24)

Pasal 175 ayat (1) KHI. Ketentuan tersebut mengatur bahwa harta peninggalan pewaris harus terlebih dahulu dikurangi dengan biaya pengurusan jenazah pewaris, biaya pengobatan, dan hutang-hutang pewaris, selanjutnya barulah ditunaikan wasiat dari pewaris apabila pewaris meninggalkan wasiat atau dalam bentuk wasiat wajibah.

Hal penting untuk dicermati mengenai penerapan kaidah wasiat umum terhadap wasiat wajibah adalah penentuan bagian bagi penerima wasiat. Pada dasarnya, bila melihat pada ketentuan mengenai wasiat di dalam KHI, besar bagian yang diperbolehkan untuk diberikan melalui wasiat adalah paling banyak sepertiga dari harta warisan, dengan pengecualian dapat diberikan lebih melalui persetujuan para ahli waris lainnya.

Ketentuan maksimal sepertiga ini sangat dimungkinkan untuk disimpangi. Hakim dapat memutuskan untuk memberikan wasiat wajibah lebih besar dari sepertiga bagian harta waris pada penerima wasiat wajibah, baik itu anak angkat maupun orang tua angkat. Penyimpangan ini dilakukan atas dasar untuk memenuhi rasa keadilan.83 Pertimbangan mengenai rasa keadilan diserahkan pada masing-masing duduk perkara dan fakta hukum yang ditemukan di pengadilan. Salah satu contoh kasus yang dapat digunakan adalah apabila secara nyata anak angkat berperan besar dalam pengembangan harta pewaris selama hidupnya sehingga apabila hanya diberikan sebesar sepertiga bagian, berdasarkan rasa keadilan dinilai tidak mencukupi dan tidak seimbang dengan segala jerih payah dan usaha yang telah dilakukan oleh anak angkat tersebut.

(25)

Selain itu, penetapan bagian penerima wasiat wajibah dapat melebihi ketentuan maksimal sepertiga sepanjang memenuhi syarat tertentu, yaitu bahwa pengambilan putusan tersebut dilakukan dengan menggunakan metodologi pengambilan putusan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.84 Hakim memiliki kewenangan untuk memutuskan pembagian lebih dari sepertiga sebagaimana yang ditentukan di dalam KHI dengan tetap berkewajiban untuk memberikan alasan dan pertimbangan hukum yang tepat sesuai dengan fakta hukum yang ditemukan. Dalam metode berijtihad memang dikenal adanya penyimpangan dari hukum umum, yaitu metode istihsan. Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Guru menyiapkan media gambar yang berkaitan dengan tema agar tujuan pembelajaran dapat tercapaib. (Select Method, Media, And Material)

Dari proses pengujian inilah yang diketahui menjadi iterasi (perulangan) setiap ada perbaikan terhadap sistem dan atau program yang dibuat untuk mendapatkan hasil yang sesuai

Kontrasepsi ini dapat digunakan untuk menghindari atau mencapai kehamilan, tidak ada resiko kesehatan yang berhubungan dengan kontrasepsi, tidak ada efek samping, dan murah atau

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah

Masalah tersebut tentu mencakup pada hal yang luas berupa keterlibatan BPD serta masyarakat sebagai objeknya, adminitrasi Desa secara umum tertuang dalam buku

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh sedimentasi terhadap pertumbuhan Gracilaria sp.peneltian dilakukan bulan Juni sampai Desember 2005 Metode

Bastanta dkk pada tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal yang membandingkan efikasi kombinasi klorokuin dan pirimetamin-sulfadoksin dibandingkan pirimetamin- sulfadoksin

20. Kalimantan Barat 21. Kalimantan Tengah 22. Kalimantan Selatan 23. Kalimantan Timur 24. Kalimantan Utara 25. Sulawesi Utara 26. Sulawesi Barat 27. Sulawesi Tengah 28.