• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Bidan Dalam Penangananmasalah Gizi Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatantahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Bidan Dalam Penangananmasalah Gizi Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pargarutan Kabupaten Tapanuli Selatantahun 2015"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masalah Gizi Balita

Masa yang terentang antara satu tahun sampai remaja dikatakan sebagai periode laten, karena pertumbuhan fisik berlangsung tidak sedramatis ketika masih berstatus bayi. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia balita kebanyakan hanya menyukai satu jenis makanan. Permasalahan gizi pada balita antara lain seperti anemia defisiensi besi, berat badan berlebih, berat badan kurang bahkan hingga gizi buruk.

Anemia defisiensi besi adalah keadaan terlalu sedikit kandungan zat besi dalam makanan, terutama pada anak yang yang terlalu banyak mengkonsumsi susu sehingga mengendurkan keunginan untuk menyantap makanan lain. Masalah berat badan berlebih adalah masalah kelebihan berat badan, jika tidak teratasi maka akan menyebabkan obesitas. Kelebihan berat badan ini terjadi karena ketidakseimbangan energy yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit berolahraga, atau keduanya. Berat badan kurang yang berlangsung pada balita yang sedang tumbuh merupakan masalah serius. Kondsi ini mencerminkan kebiasaan makan yang buruk.

Gizi buruk atau lebih dikenal dengan gizi di bawah garis merah adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.

(2)

Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor (WHO, 2005).

Gizi buruk adalah keadaan kekurangan energi dan protein tingkat berat akibat kurang mengkonsumsi makanan yang bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu lama. Itu ditandai dengan status gizi sangat kurus (menurut BB terhadap TB) dan atau hasil pemeriksaan klinis menunjukkan gejala marasmus, kwashiorkor atau marasmik kwashiorkor (Supriasa, 2001).

Gizi merupakan suatu proses organisme menggunakan makan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi. Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel-variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture (Supriasa, 2002).

Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi. (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011).

(3)

ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang di konsumsi atau makanan yang tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. (2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu (1) Faktor ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat; (2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak; (3) Pengolalaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (UNICEF, 2013).

Mengingat penyebabnya sangat komplek, pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun tenaga medis saja, tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemuka agama maupun pemerintah. Pemuka masyarakat maupun pemuka agama sangat dibutuhkan dalam membantu pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam menanggulangi kebiasaan atau mitos yang salah pada pemberian makanan pada anak. Demikian juga posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan skrining atau deteksi dini dan pelayanan pertama dalam pencegahan kasus gizi buruk (Setyaningsih, 2009).

(4)

Penanganan gizi buruk di tingkat puskesmas/rumah sakit dan rumah tangga. Menyediakan PMT-Pemulihan kepada balita kurang gizi dari keluarga miskin, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ibu dalam memberikan asupan gizi pada anak (ASI/MPASI) serta memberikan kapsul vitamin A.

Disamping upaya tersebut diatas, Pemerintah juga melakukan sosialisasi perbaikan pola asuh pemeliharaan balita, seperti promosi pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan dan rujukan dini kasus gizi kurang. Karena sampai saat ini perilaku ibu dalam menyusui secara eksklusif masih rendah yaitu baru mencapai 39% dari seluruh ibu yang menyusui bayi 0 – 6 bulan. Hal tersebut merupakan penyebab tak langsung dari masalah gizi pada anak balita (Depkes RI, 2012).

2.2 Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat Gizi.

(5)

secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya.

Status gizi dilakukan dengan mengukur seluruh anak balita di rumah tangga, meliputi : (Kemenkes RI, 2014).

a. Anak Balita

1) Mencatat tanggal lahir atau umur (bulan)

2) Mengukur Berat Badan (BB), Tinggi badan (TB) atau Panjang Badan (PB). a. Berat badan ditimbang dengan timbangan pegas “salter”

b. Tinggi badan diukur dengan alat microtoise untuk anak yang sudah bisa berdiri (umur ≥24 bulan)

c. Panjang badan diukur dengan alat ukur panjang badan untuk anak yang belum bisa berdiri (umur ≤23 bulan), yaitu dengan posisi terlentang.

d. Catat cara pengukuran balita dengan memberi kode tertentu bila diukur telentang atau diukur berdiri.

b. Anak Sekolah, remaja, Dewasa

Dilakukan dengan pengukuran berikut : 1) Mencatat tanggal lahir atau umur

2) Mengukur Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB), Panjang Lengan Atas (PLA) dan Lingkar Lingkar Atas (LLA)

(6)

3) Khusus untuk Wanita Usia Subur (WUS) umur 15-49 tahun dan ibu hamil serta ibu menyusui selain BB dan TB, juga diukur Panjang Lengan Atas (PLA) dan Lingkar Lengan Atas (LLA) dengan menggunakan pita LLA.

c. Frekuensi Penimbangan Balita

Dilakukan dengan mencatat frekuensi penimbangan balita dari Karta Menuju Sehat (KMS), buku KIA atau formulir lain catatan penimbangan balita yang ada di Posyandu dalam 6 bulan terakhir.

d. Penanganan Gizi Buruk

Dilakukan dengan menanyakan dan mencatat tatalaksana penanganan kasus balita gizi buruk dari rumah tangga dalam setahun ini.

(7)

2.2.1 Klasifikasi Masalah Gizi

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.

1. Marasmus

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah (Depkes RI, 2000) : a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-

ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar 2. Kwashiorkor

(8)

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

3. Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes RI, 2000).

2.2.2 Kebutuhan Nutrisi pada Balita

Balita ditinjau dari segi umur, maka anak balita yang sedang tumbuh kemabng adalah golongan yang awan terhadap kekeurangan energy dan protein, kerawanan pada anak-anak disebabkan oleh hal-hal berikut ini (Kardjati, 1985):

(9)

b. Kebutuhan gizi per satuan brat badan lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, karena disamping untuk pemeliharaan juga diperlukan untuk pertembuhan.

c. Segera anak dapat bergerak sendiri, tanpa bantuan orang lain dia akan mengikuti pergerakan di sekitarnya sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya penularan penyakit

d. Meskipun mempunyai nilai tertentu dalam keluarga akan tetapi penyajian makanan, anggota keluarga mempunyai nilai produktif akan memiliki pilihan yang terbaik, baru selebihnya diberikan epada anggota keluarga yang lain. Masa anak dibawah lima tahun,pada masa ini kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motoric (gerak kasar dab gerak halus) serta fungsi ekskresi

Anak kelompok balita di Indonesia menunjukkkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kurang kalori protein dan defisiensi vitamin A serta anemia defisiensi Fe. Kelompok umur sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatnnya lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang telah ditentukan tanpa diantar. Adapun kebutuhan nutrisi pada balita sebagai berikut: 1. Asupan kalori

(10)

2. Pasokan lemak

Roti, Santan, mentega merupakan makanan yang mengandung lemak dan baik diberikan pada anak balita sebab lemak sendiri mampu membentuk selubung Mielin yang terdapat pada saraf otak

3. Kebutuhan protein

Asupan gizi yang baik bagi balita juga terdapat pada makanan yang mengandung protein. Karena protein sendiri bermanfaat sebagai precursor untuk neurottransmiter demi perkembangan otak yang baik nantinya. Protein bias didapatkan pada makanan-makanan seperti ikan, susu, telur dan daging.

4. Zat besi

Usia balita balita merupakan usia yang cenderung kekurangan zat besi sehingga balita harus diberikan asupan makanan yang mengandung zat besi.

5. Karbohidrat

Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan karbohidrat sebagai energy utama serta bermanfaat untuk perkembangan otak saat belajar dikarenakan karbohidrat di otak berupa Sialic Acid.

6. Kalsium

Balita juga membutuhkan kalsium secara teratur sebagai pertumbuhan tulang dan gigi balita. Salah satu pemberi kalsium terbaik adalah minum susu secara teratur 7. Vitamin

(11)

seperti misalnya vitamin A sebagai perkembangan kulit sehat, vitamin C yang berfungsi sebagai penyerapan zat gizi besi. Vitamin E yang berperan untuk mencegah kerusakan struktur Sel membrane dan antioksidan

2.2.3 Indeks Antropometri

Ukuran antropometri dalam rangka penilaian status gizi digunakan dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara masing- masing ukuran indikator antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi adalah BB/U, TB/U atau PB/U, BB/TB atau BB/PB, LILA/U, Lingkar Dada/U (LD/U), Lingkar Kepala/U (LK/U), TLBK/U, Indeks Ponderal, Indeks Massa Tubuh, Rasio Lingkar Pinggang Panggul (RLPP), Tinggi Lutut.

1. Indeks BB/U

Ιndeks BB/U adalah pengukuran total berat badan, termasuk air, lemak,

tulang, dan otot, dan diantara beberapa macam indeks antropometri, indeks BB/U merupakan indikator yang paling umum digunakan. Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah Untuk anak pada umumnya, indeks ini merupakan cara baku yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Kurang berat badan tidak hanya menunjukkan konsumsi pangan yang tidak cukup tetapi juga mencerminkan keadaan sakit yang baru saja dialami, seperti mencret yang mengakibatkan berkurangnya berat badan.

(12)

keadaan kurang gizi akut atau gangguan-gangguan yang mengakibatkan laju pertumbuhan terhambat.

2. Indeks TB/U atau PB/U

Tinggi badan kurang peka dipengaruhi oleh pangan dibandingkan dengan berat badan. Oleh karena itu tinggi badan menurut umur yang rendah biasanya akibat dari keadaan kurang gizi yang kronis, tetapi belum pasti memberikan petunjuk bahwa konsumsi zat gizi pada waktu ini tidak cukup TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah (7 th) menggambarkan status gizi pada masa balita adalah sama dengan seperti pada yang sudah dibahas sebelumnya yang menyangkut pengukuran itu sendiri maupun ketelitian data umur. Umur yang lebih panjang (setengah tahunan atau tahunan) memperkecil kemungkinan kesalahan data umur.

Indeks TB/U disamping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi (Beaton dan Bengoa, 1973). Oleh karena itu indeks TB/U selain digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

3. Indeks BB/TB atau BB/PB

(13)

1966 Jelliffe memperkenalkan penggunaan indeks BB/TB untuk identifikasi status gizi, indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menanyakan status gizi saat ini, terlebih bila data umur akurat sulit diperoleh, oleh karena itu indeks BB/TB disebut pula indicator status gizi yang independen terhadap umur. Karena indeks BB/TB dapat memberikan gambaran tentang proporsi berat badan relative terhadap indikator kekurangan, seperti halnya dengan indeks BB/U.

2.3 Dampak Gizi Buruk pada Balita

Keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu anak yang bergizi kurang tersebut kemampuannya untuk belajar dan bekerja serta bersikap akan lebih terbatas dibandingkan dengan anak yang normal (Santoso, 2003). Dampak yang mungkin muncul dalam pembangunan bangsa di masa depan karena masalah gizi antara lain :

1. Kekurangan gizi adalah penyebab utama kematian bayi dan anak-anak. Hal ini berarti berkurangnya kuantitas sumber daya manusia di masa depan. Kekurangan gizi berakibat meningkatnya angka kesakitan dan menurunnya produktivitas kerja manusia. Hal ini berarti akan menambah beban pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan.

(14)

muda ini, berarti hilangnya sebagian besar potensi cerdik pandai yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.

3. Kekurangan gizi berakibat menurunnya daya tahan manusia untuk bekerja, yang berarti menurunnya prestasi dan produktivitas kerja manusia. Kekurangan gizi pada umumya adalah menurunnya tingkat kesehatan masyarakat. Masalah gizi masyarakat pada dasarnya adalah masalah konsumsi makanan rakyat. Karena itulah program peningkatan gizi memerlukan pendekatan dan penggarapan diberbagai disiplin, baik teknis kesehatan, teknis produksi, sosial budaya dan lain sebagainya (Suhardjo, 2003).

2.4 Penilaian Status 1. Persen terhadap Median

Cara perhitungannya yaitu berat badan atau tinggi badan actual (hasil pengukuran) masing-masing individu dibandingkan dengan nilai median berat badan atau tinggi badan pada baku rujukan (WHO-NCHS).

Menurut ketetapan WHO, klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut: Dengan indeks BB/U: ≥ 80% = status gizi baik (Normal)

(15)

Dengan indeks BB/TB: ≥ 85% = status gizi baik (Normal) < 85% = status gizi kurang (KEP) 2. Z-Skor

Pertama kali dianjurkan oleh WHO pada tahun 1979, di Indonesia penggunaan Z-Skor untuk penilaian status gizi anak balita telah disepatkati pada semiloka antropometri tahun 1991. Kemudian pada tanggal 17-19 Januari 2000 telah diadakan Diskusi Pakar dibidang Gizi yang diselenggarakan oleh persagi bekerja sama dengan UNICEF-Indonsesia dan LIPI. Salah satu agenda diskusi adalah tentang keseragaman instilah status gizi dan baku antropometri yang dipakai. Diskusi pakar telah menyepakati bahwa:

a. Baku antropometri yang digunakan adalah WHO-NCHS b. Istilah status gizi:

1) BB/U: gizi lebih: > 2,0 SD

gizi baik: -2,0 SD s/d + 2 SD gizi kurang: -2,0 SD

gizi buruk: -3,0 SD 2) TB/U: normal: > -2,0 SD

pendek: < -2,0 SD 3) BB/TB: gemuk: > 2,0 SD

normal: -2,0 SD s/d + 2 SD kurus: < -2,0 SD S

(16)

Penilaian status gizi berdasarkan Z-Skor dilakukan dengan melihat distribusi normal pertumbuhan seseorang. Nilai ini menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpang baku dengan asumsi distribusi normal.

Rumus:

Berlaku untuk Indeks BB/U, BB/TB, maupun TB/U Z-Skor =

SB

X-M

Keterangan:

X = BB atau TB aktual / hasil pengukuran M = Nilai baku median BB atau TB SB = Nilai simpang baku

(Jika BB atau TB aktual yang diketahui berada diatas nilai median maka SB yang digunakan adalah jarak antara 0 SD dengan 1 SD tetapi, jika BB dan TB aktual yang diketahui berada dibawah nilai median maka SB yang digunakan adalah jarak antara 0 SD dengan -1 SD) (Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI, 2000).

2.5 Penanganan Masalah Gizi

(17)

lingkungan, kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, perbaikan gizi dan pemberantasan penyakit menular (Depkes RI, 2012).

Kegiatan Penanganan balita gizi buruk di puskesmas (Depkes RI, 2012) meliputi :

1. Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita berdasarkan berat badan dan perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat itu dengan cara penjaringan yaitu balita dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat badannya dengan menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau standar antropometri.

2. Kegiatan penanganan KEP meliputi program PMT yaitu upaya intervensi bagi balita yang menderita KEP untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita agar meningkatkan status gizinya sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan pengobatan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya.

Adapun penanganan balita gizi buruk di puskesmas perawatan yaitu: 1. Tujuan penanganan balita gizi buruk di puskesmas perawatan

(18)

kejadian dan jumlah balita gizi buruk dan mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian balita gizi buruk melalui wawancara dan pengamatan serta berfungsinya sarana dan prasarana pelayanan gizi balita.

Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan, yaitu pelayanan perorangan dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi buruk dan pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk di masyarakat.

2. Pelaksanaan penanganan balita gizi buruk di puskesmas perawatan

(19)

3. Indikator keberhasilan pelaksanaan tatalaksana balita gizi buruk di puskesmas Sebagai indikator untuk menilai keberhasilan kegiatan pelayanan gizi di puskesmas perawatan adalah :

a. Tersedianya tenaga sesuai kriteria b. Tersedianya sarana sesuai kriteria c. Tersedianya dana sesuai kriteria

d. Tersedinaya standar pelaksanaan (prosedur tetap) tatalaksana balita gizi buruk e. Terselenggaranya pelayanan gizi sesuai prosedur tetap

f. Terselenggranya penyuluhan dan konsultasi gizi sesuai kondisi pasien

Adapun Penerapan Penanganan Anak Gizi Buruk yaitu : (Kemenkes RI, 2014) a. Pelayanan medis, keperawatan dan konseling gizi sesuai dengan penyakit

penyerta/penyulit.

b. Pemberian formula dan makanan sesuai dengan fase sebagai berikut :

1) Fase Stabilisasi, diberikan makanan formula 75 (F-75) dengan asupan gizi 80-100 Kkal/kgBB/hari dan protein 1-1,5 g/KgBB/hari. ASI tetap diberikan pada anak yang masih mendapatkan ASI.

2) Fase Transisi, pada fase ini ada perubahan pemberian makanan dari F-75 menjadi F-100. Diberikan makanan formula 100 (F-100) dengan asupan gizi 100-150 Kkal/kgBB/hari dan protein 2-3 g/kgBB/hari.

(20)

bayi dan untuk anak dengan BB>7 kg diberikan makanan anak. Asupan gizi 150-220 Kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 g/kgBB/hari.

4) Fase Tindak Lanjut (dilakukan di rumah), setelah anak pulang dari PPG, anak tetap dikontrol oleh puskesmas pengirim secara berkala melalui kegiatan posyandu atau kunjungan ke puskesmas.

c. Stimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan

Selama perawatan PPG anak diberikan stimulasi tumbuh kembang dengan APE sesuai umur dan kondisi anak mulai dari fase stabilisasi, transisi maupun rehabilitasi, karena anak gizi buruk sering terjadi keterlambatan tumbuh kembang seperti gangguan motorik dan sensorik. Kegiatan ini mengacu pada Buku Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.

d. Rujukan Kasus

1) Rujukan ke Rumah Sakit dilakukan bila terdapat tanda kegawatan/kesakitan yang tidak dapat diatasi dan memerlukan penanganan lebih lanjut oleh dokter spesialis anak.

(21)

e. Pencatatan dan Pelaporan

Selama anak di rawat di PPG dilakukan pencatatan dan pelaporan kondisi anak gizi buruk dengan menggunakan formulir sebagai berikut :

1) Buku registrasi pasien 2) Form status pasien

3) Buku catatan penerimaan dan pemakaian bahan makanan 4) Buku intentarisasi peralatan

5) Form rujukan

6) Form pencatatan dan pemantauan perkembangan pasien

7) Dokumentasi pertumbuhan serta perkembangan anak sebelum dan sesudah perawatan

f. Pendidikan Kesehatan dan Gizi bagi keluarga anak gizi buruk selama anak gizi buruk dirawat di PPG, keluarga anak yang dirawat diberi pendidikan, kesehatan, gizi, stimulasi perkembangan, hygiene perorangan dan sanitasi lingkungan. Dengan pendidikan kesehatan dan gizi serta konseling, diharapkan keluarga anak yang dirawat dapat meneruskan hal positif yang diperoleh di rumah sehingga anak tidak mengalami gizi buruk lagi serta mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.

g. Pembiayaan

(22)

lain yang tidak mengikat berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Komponen pembiayaan meliputi biaya perawatan, penyelenggaraan makanan dan insentif/gaji petugas pelaksana PPG, diberikan sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah setempat.

2.6 Bidan

Pada buku lima puluh tahun Ikatan Bidan Indonesia dijabarkan dengan jelas konsep dasar profesi bidan, berdasarkan buku tersebut terdapat beberapa rumusan penting yang harus diketahui tentang profesi bidan, diantaranya adalah bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun internasional dengan sejumlah praktisi di seluruh dunia. Pengertian bidan dan bidang prakteknya secara internasional telah di akui oleh internasional confederation of midwives (ICM) tahun 1972 dan international federation of international gynaecologidt and obstetritian (FIGO) tahun 1973, WHO dan badan lainnya. Pada tahun 1990 pada pertemuan Dewan di Kobe, ICM menyempurnakan definisi tersebut yang kemudian disahkan oleh FIGO (1991) dan WHO (1992).

(23)

anak. Asuhan ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan tindakan pertolongan gawat darurat pada saat tidak hadirnya tenaga medik lainnya (50 tahun IBI 2006).

2.7 Peran Bidan

Peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (KBBI, 2008). Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan bahwa suami adalah pria yg menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) yg telah menikah. Suami adalah pasangan hidup istri (ayah dari anak-anak), suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan keluarga.

(24)

Peran merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam suatu sistem. Bidan dalam pelayanannya memiliki 4 peran penting, yaitu peran sebagai pelaksana, peran sebagai pengelola, peran sebagai pendidik, peran sebagai peneliti (Heryani, 2011). Dari hasil Rakernas IBI 2011 empat peran bidan tersebut dikembangkan menjadi enam peran utama bidan, yaitu peran sebagai pelaksana asuhan yang memiliki tugas pokok : asuhan kebidanan ibu dan anak, KB/kesehatan reproduksi, peran sebagai pengelola/manager yang asuhan dan unit kesehatan dibawah tanggung jawabnya, peran sebagai pendidik yaitu kepada ibu, keluarga dan masyarakat/formal, peran sebagai peneliti yaitu yang berhubungan dengan kemajuan ilmu, peningkatan pelayanan. (evidence based), serta peningkatan diri, peran sebagai pemberdaya yaitu menggali potensi ibu/keluarga untuk kesehatan ibu dan anak yang optimal, dan peran sebagai Advokasi dengan segala permasalahan sosial budaya-politik-ekonomi yang berhubungan dengan asuhan kebidanan (Mufdlilah, dkk, 2012).

1. Peran sebagai pelaksana

(25)

melibatkan klien/keluarga, memberikan asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang membutuhkan pelayanan keluarga berencana, memberikan asuhan kebidanan pada wanita gangguan system reproduksi dan wanita dalam masa klimakterium dan menopause, serta memberikan asuhan kebidanan pada bayi, balita dengan melibatkan keluarga anatra lain mengakaji kebutuahn asuhan kebidanan sesuai dengan tumbuh kembang bayi dan balita, menentukan diagnose dan pioritas masalah, menyusun rencana asuhan sesuai dengan rencana, melaksanakan asuhan sesuai dengan prioritas maslah, mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan, membuat rencana tidak lanjut dan membuat catatan dan laporan asuhan.

Dalam setiap tugas mandiri tersebut, bidan memiliki tugas yang harus dilaksanakan diantaranya mengkaji status kesehatan untuk memenuhi kebutuhan asuhan klien, menentukan diagosa, menyusun rencana tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapi, melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun, mengevaluasi tindakan yang telah diberikan, membuat rencana tindak lanjut kegiatan/tindakan, serta membuat catatan dan laporan kegiatan/tindakan sesuai dengan asuhan yang diberikan.

(26)

dan kegawatdaruratan yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga, memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dengan resiko tinggi dan pertolongan pertama dalam keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi dengan klien dan keluarga, memberikan asuhan kebidanan pada BBL dengan resiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta kegawatdaruratan yang memerlukan pertolongan pertama dengan tindakan kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga, serta memberikan asuhan kebidanan pada balita dengan resiko tinggi dan yang mengalami komplikasi serta kegawatdaruratan yang memerlukan kolaborasi dengan melibatkan keluarga seperti mengkaji kebutuhan pada balita dengan resiko tinggi dan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi.

Dalam tugas kolaborasi bidan harus melaksanakan tugasnya yaitu mengkaji masalah yang berkaitan dengan komplikasi dan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan kolaborasi, menentukan diagnose, prognosa dan prioritas kegawadaruratanatan yang memerlukan tindakan kolaborasi, menyusun rencana tindakan sesuai dengan prioritas kegiatan dan hasil kolaborasi serta kerjasama dengan klien, melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana dan dengan melibatkan klien, mengevaluasi hasil tindakan yang telah diberikan, menyusun rencana tindak lanjut bersama klien, serta membuat pencatatan dan pelaporan sesuai dengan kasus dan asuhan yang diberikan

(27)

kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai dengan fungsi keterlibatan klien dan keluarga, memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada ibu hamil dengan resiko tinggi dan kegawatdaruratan, memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada masa persalinan dengan penyulit tertentu dengan melibatkan klien dan keluarga, memberikan asuhan kebidanan melalui konsultasi dan rujukan pada ibu dalam masa nifas dengan penyulit tertentu dan kegawatdaruratan dengan melibatkan klien dan keluarga, memberikan asuhan kebidanan pada BBL dengan kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi dan rujukan dengan melibatkan klien dan keluarga, serta memberikan asuhan kebidanan kepada anak balita dengan kelainan tertentu dan kegawatdaruratan yang memerlukan konsultasi dan rujukan dengan melibatkan klien dan keluarga.

(28)

b. Peran sebagai pengelola

(29)

Bidan juga harus berpartisipasi dalam tim untuk melaksanakan program kesehatan dan sektor lain diwilayah kerjanya melalui peningkatan kemampuan dukun bayi, kader kesehatan dan tenaga kesehatan lain yang berada dibawah bimbingan dalam wilayah kerjanya. Dalam hal ini yang harus dilakukan bidan adalah bekerja sama dengan puskesmas, institusi lain sebagai anggota tim dalam memberikan asuhan kepada klien dalam bentuk konsultasi rujukan dan tindak lanjut, membina hubungan baik dengan dukun, kader kesehatan dan masyarakat, melakukan pelatihan, membimbing dukun bayi, kader dan petugas kesehatan lain, memberikan asuhan kepada klien rujukan dan dukun bayi, serta membina kegiatan-kegiatan yang ada dimasyarakat, yang berkaitan dengan kesehatan.

c. Peran sebagai pendidik

(30)

rencana jangka pendek dan jangka panjang dengan melibatkan unsur-unsur yang terkait termasuk masyarakat, bersama klien mengevaluasi hasil pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat menggunakannya unyuk memperbaiki dan meningkatkan program dimasa yang akan datang, serta mendokumentasikan semua kegiatan dan hasil pendidikan/penyuluhan kesehatan masyarakat secara lengkap dan sistematis

d. Peran sebagai peneliti/investigator

(31)

2.8 Kerangka Pikir

Pada penelitian ini penulis mengadopsi teori peran bidan dari hasil Rakernas IBI 2011 antara lain peran sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan investigator

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian Karakteristik

Bidan:

1. Pendidikan 2. Lama kerja

Peran Bidan sebagai pelaksana Peran Bidan sebagai

pengelola Peran Bidan sebagai

pendidik Peran Bidan sebagai peneliti/ Investigator

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menghindari masalah yang sering terjadi pada Windows XP, penulis membuat Website Easy With XP yang membahas tentang pemecahan masalah yang sering terjadi pada Windows XP,

Sehubungan itu, kajian ini bertujuan mengenal pasti minat remaja Generasi Z terhadap rancangan atau siaran radio, faktor yang mempengaruhi minat remaja mendengar

menjadi bentuk yang sesuai dengan media transmisi yang akan digunakan misalnya pulsa listrik, gelombang elektromagnetik, PCM.. (Pulse Code Modulation)

Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia, bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Manusia adalah makhluk pribadi anggota masyarakat dan sekaligus sebagai hamba

Hal ini berarti persepsi nilai yang terbentuk dari celebrity endorser (yaitu tentang tentang pengorbanan yang sama dengan manfaat yang diterima, kegunaan produk

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa AQ tinggi (Climbers)dapat memberikan argumen pada setiap pernyataan pada soal dengan tepat, siswa juga mampu

(7) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sudah lengkap dan sesuai persyaratan, PPK atau pejabat yang memiliki kewenangan di bidang

Sebaliknya jika menggunakan metode saldo menurun, jumlah angka tahun dan saldo menurun ganda, maka beban penyusutan tidak akan sama tiap tahunnya, sehingga