• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Tanggung Jawab Mantan Ayah Terhadap Anak Apabila terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132 Pdt.G 2011 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Tanggung Jawab Mantan Ayah Terhadap Anak Apabila terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132 Pdt.G 2011 PN.Mdn)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP

MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN

A. Mengenai Perkawinan

1. Perkawinan

Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

suami istri, oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak

dan kewajiban dalam suatu perkawinan. Perkawinan ini sudah merupakan kodratnya

manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya.

Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan

melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk

membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat

terbentuknya sebuah keluarga.

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi jika mungkin hanya sekali

seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur, dengan adanya ikatan lahir

batin antara pria dan wanita yang dibangun di atas nilai-nilai sakral karena

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila.

Maksudnya adalah bahwa “perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir

saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin

merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal”.37

37

(2)

Ikatan lahir dalam suatu perkawinan, yaitu hubungan formal yang dapat

dilihat karena dibentuk menurut Undang-Undang, hubungan mana mengikat kedua

pihak, dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak

formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh, yang

mengikat kedua pihak saja. Antara seorang pria dan wanita artinya dalam satu masa

ikatan lahir batin itu hanya terjadi antara seorang pria dan seorang wanita saja,

sedangkan seorang pria itu sendiri adalah seorang yang berjenis kelamin pria, dan

seorang wanita adalah seorang yang berjenis kelamin wanita. Jenis kelamin ini,

adalah kodrat (karunia Tuhan), bukan bentukan manusia. “Suami isteri adalah fungsi

masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin. Tidak ada ikatan

lahir batin berarti tidak pula ada fungsi sebagai suami-isteri”.38

R. Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten,

Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah

“persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk

hidup bersama/bersekutu yang kekal”.39 Artinya bahwa perkawinan sebagai lembaga

hukum baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di

dalamnya.40 Secara etimologi perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata

kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama

dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran

38

Achmad Samsudin dalam Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005,hal 74.

39

R. Soetojo Prawirohamidjijo, hal.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 61.

40

(3)

“an”menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian

antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.41

Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama

bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas

keselamatan dan kebahagiaan rumah tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan

syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang

undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Soedaryono Soemin syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam

Pasal 1320 KUH Perdata, terdiri dari :

1. Kesepakatan

Adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara

pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi tidak ada kesepakatan apabila

dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan

Para pihak yang membuat perjanjian haruslah orang-orang yang oleh hokum

dinyatakan sebagai subyek hukum yang cakap (dewasa). Tidak cakap adalah

orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang-orang-orang-orang dewasa yang

ditempatkan dalam pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Mereka yang belum

dewasa menurut UU Perkawinan adalah anak-anak karena belum berumur 18

(delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila

41

(4)

seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk

membuat perjanjian.

3. Hal tertentu

Obyek yang diatur dalam perjanjian harus jelas, tidak samar. Hal ini penting

untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah

timbulnya fiktif, misal: orang jelas, anak siapa.

4. Sebab yang dibolehkan

Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang

bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misal: adanya paksaan

dalam menikah.42

Jadi, “perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang yaitu

antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.43

Perkawinan merupakan akad atau perjanjian, namun demikian bukan berarti

bahwa perjanjian pada perkawinan ini sama artinya dengan perjanjian biasa yang

diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perbedaannya bahwa pada perjanjian biasa, para

pihak yang berjanji bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjiannya, sebaliknya

dalam perkawinan, para pihak tidak bisa menentukan isi dan bentuk perjanjiannya

selain yang sudah ditetapkan oleh hukum yang berlaku. Perbedaan lain yang dapat

(5)

dilihat adalah dalam hal berakhirnya perjanjian, bahwa pada perjanjian biasa,

berakhirnya perjanjian ditetapkan oleh kedua belah pihak, misalnya karena telah

tercapainya apa yang menjadi pokok perjanjian atau karena batas waktu yang

ditetapkan telah berakhir, jadi tidak berlangsung terus menerus. Sebaliknya

perkawinan tidak mengenal batasan waktu, perkawinan harus kekal, kecuali karena

suatu hal di luar kehendak para pihak, barulah perkawinan dapat diputuskan,

misalnya karena pembatalan perkawinan.

Soemiyati mengatakan bahwa

Pemutusan perkawinan tidaklah sesederhana seperti dalam pemutusan perjanjian biasa, yang ditetapkan lebih awal dalam isi perjanjiannya. Bagaimana sebab putusnya ikatan perkawinan, prosedurnya maupun akibatnya pemutusannya, tidak ditetapkan oleh para pihak, melainkan hukumlah yang menentukannya. Perjanjian dalam perkawinan mempunyai karakter khusus, antara lain bahwa kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.44

Penyelenggaraan perkawinan di beberapa komunitas masyarakat, ada kalanya

tidak menghiraukan kehendak sebenarnya dari calon yang akan kawin, bahkan dalam

banyak kasus, si pria atau si wanita baru mengetahui dengan siapa dia akan

dikawinkan pada saat perkawinannya akan dilangsungkan. Sering pula terdengar

kasus bahwa perkawinan telah berlangsung sesuai dengan kehendak yang

melangsungkan perkawinan, tetapi berten-tangan dengan kehendak pihak lain,

misalnya dari pihak keluarga, baik dari keluarga pria atau dari keluarga wanita.

44

(6)

Konsekuensi dari keadaan yang demikian ini menyebabkan tidak adanya

kebahagiaan dalam rumah tangga dan akhirnya dengan terpaksa ikatan perkawinan

tersebut diputuskan.

Mengingat berbagai macam persoalan yang terjadi di masyarakat, maka

diperlukan adanya keseragaman hukum perkawinan di Indonesia. Pada tahun 1974

pemerintah telah mengeluarkan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional, yakni

dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(UU Perkawinan) pada tanggal 2 Januari 1974.

Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, maka yang menjadi inti

pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia

sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu

keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa. Dalam ketentuan tersebut juga dijelaskan mengenai tujuan

perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan tersebut

yaitu:”...dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

(7)

Di dalam penjelasan umum UU Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan

dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka

untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan

spritual. Membentuk keluarga adalah membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang

terdiri dari suami, isteri, dan anak, sedangkan membentuk rumah tangga yaitu

membentuk kesatuan hubungan suami-isteri dalam satu wadah yang disebut rumah

kediaman bersama. Dalam hal ini bahagia diartikan sebagai adanya kerukunan antara

suami-isteri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka

mendambakan kehidupan yang kekal artinya berlangsung terus menerus seumur

hidup, dan tidak boleh diputuskan begitu saja, atau dibubarkan menurut pihak-pihak.

“Perkawinan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan

tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan

kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu, perkawinan dilakukan secara

beradab pula, sesuai dangan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia”.45

Tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan adalah: membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa

perkawinan itu: (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat

yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-isteri membantu untuk

mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila

memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah.

45

(8)

“Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan

kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang

berasal dari darah dagingnya sendiri”.46

“Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.47 Artinya tujuan

perkawinan itu adalah:

a. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.

b. Satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan turunan.

c. Sebagai satu tali yang amat teguh guna memperoleh tali persaudaraan antara kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (isteri), yang mana pertalian itu akan menjadi satu jalan yang membawa kepada bertolongtolongan, antara satu kaum (golongan) dengan yang lain.48

Dalam hal ini Yani Trizakia yang mengutip pendapat Abdullah Kelib yang

mengatakan bahwa :

Al-Qur’an sebagaimana sumber pokok tidak memberikan pedoman bahwakaum pria atau suami menjadi “qowwamun” atas kaum wanita yang menjadi istrinya. Kandunganqowwamuninilah yang menjadi sifatresponsive

dalam membina rumah tangga yang bahagia. Kehidupan rumah tangga yang baik menjadi wajib hukumnya menurut syari’at Islam.49

Selanjutnya untuk sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan diatur dalam

Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang

46Sudikno Mertokusumo,Op.Cit., hal 62. 47

Departemen Agama RI, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama.Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama.2000, hal 14.

48Sulaiman Rasjid.H.Fiqh Islam. Attahiriyah, Jakarta, 2004, hal. 189

(9)

berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum

masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing

bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut

kedua mempelai atau keluarganya.

Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa :

Apabila terjadi perkawinan antar agama baru dikatakan sah apabila perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya.50

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, dipertegas lagi

dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan yang dimaksud dengan

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu

sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan”.

Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka

sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah

diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi

orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan

50

(10)

perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya itu.

Menurut UU No.1 tahun 1974. Syarat-syarat dalam UUP yang harus dipenuhi

oleh orang yang hendak melangsungkan perkawinan adalah:

a. Syarat materiil

Dalam hal mengenai orang yang hendak kawin dan izin-izin yang harus

diberikan oleh pihak-pihak ketiga, maka menurut Pasal 6 UU Perkawinan, adapun

syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Syarat materiil ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Syarat materiil mutlak ialah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak kawin dan tidak memandang dengan siapa ia hendak kawin serta syarat-syarat ini berlaku umum. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka orang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat materiil mutlak terdiri dari:

(11)

c) setiap pihak harus mencapai umur yang ditentukan oleh UU; d) izin dari pihak ketiga;

e) waktu tunggu bagi seorang perempuan yang pernah kawin dan ingin kawin lagi. Bagi wanita yang putus perkawinan karena perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.51

2) Syarat materiil relatif, yaitu syarat untuk orang yang hendak dikawini. Jadi, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak (syarat untuk dirinya sendiri) tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak memenuhi syarat materiil relatif. Misalnya: mengawini orang yang masih ada hubungan dengan keluarga terlalu dekat.52

Syarat materiil relatif ini diatur dalam Pasal 8 dan 10 UU Perkawinan. Pasal 8

mengatur bahwa perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:

a) Berhubungan darah dengan garis keturunan lurus ke bawah atau keatas. b) Berhubungan darah dengan garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri. d) Berhubungan dengan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, dan bibi/

paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Sedangkan Pasal 10 UUP mengatur mengenai larangan kawin kepada mereka

yang telah putus perkawinannya karena cerai 2 (dua) kali dengan pasangan yang

sama. Jadi, setelah cerai yang kedua kalinya mereka tidak dapat kawin lagi untuk

yang ketiga pada orang yang sama. Hal ini dimaksudkan agar suami dan isteri dapat

membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya

perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.

51

Wahyuni Setiyowati, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997, hal 28.

(12)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali,

sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

b. Syarat formil

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga

harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai

Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya

masing-masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus

dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang

memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan

nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Syarat

untuk melaksanakan perkawinan diatur dalam Pasal 3, 4, 8, dan 10 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu tentang :

1) Pemberitahuan

Tentang pemberitahuan diatur dalam Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975.

(13)

a) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan

dilangsungkan.

b) Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10

(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

c) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 (dua)

disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama

Bupati Kepala Daerah.

d) Pasal 4 mengatur bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau

tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya kepada

pegawai pencatat perkawinan.

2) Pengumuman

Setelah semua persyaratan terpenuhi maka pegawai pencatat

menyelenggarakan pengumuman yang ditempel dipapan pengumuman kantor

pencatat perkawinan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 PP No. 9 Tahun

1975.

3) Pelaksanaan

“Setelah hari ke-10 (sepuluh) tidak ada yang mengajukan keberatan atas

(14)

pegawaipencatat perkawinan. Khusus yang beragama Islam pegawai pencatat

perkawinan hanya sebagai pengawas saja”.53

Di samping itu, perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing

masing agama dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan). Ahmad

Djumairi mengatakan bahwa :

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi Hindu maupun Budha.54

Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan adalah:

a) Adanya persetujuan kedua calon mempelai. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia atas perkawinan, dan sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b) Bagi seorang yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk melangsungkan

perkawinan harus ada izin dari kedua orang tua. Menurut ketentuan Pasal 7 UUP, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunannya, yang berarti bahwa seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua, karena mereka dianggap belum dewasa.

c) Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d) Bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tak mampu

menyatakan kehendaknya maka izin dapat diperoleh dari wali.

e) Bila ayat 2, 3, dan 4 pasal 6 ini tidak dapat dipenuhi, maka calon mempelai dapat mengajukan izin pada Pengadilan setempat.

53

Setiyowati Wahyuni,Op.Cit., hal 39. 54

(15)

f) Penyimpangan tentang Pasal 7 ayat (1) dapat minta dispensasi kepada Pengadilan.

Kemudian di dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan

juga dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal.

Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam

melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:

a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi

seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada

umumnya. Syarat itu meliputi:

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri,

seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 KUH

Perdata).

2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 KUH Perdata).

3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18

(delapan belas) tahun dan bagi wanita berumur 15 (lima belas) tahun (Pasal 29

KUH Perdata).

4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus

mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu

dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata).

5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang

belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49

(16)

b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk

kawin dengan orang tertentu. Larangan tersebut ada 2 (dua) macam, yaitu:

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah

dan karena perkawinan.

2) Larangan kawin karena zina,

3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian,

jika belum lewat 1 (satu) tahun.

Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas

dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu:

a. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 KUH Perdata). Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari.

b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan.55

Dalam setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum, antara lain

timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta

kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang

dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah

sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua

orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan. Ada pula kemungkinan menurut Pasal

229 KUH Perdata “selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka

55

(17)

itu dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka itu tidak

dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya itu”.

Menurut Subekti yang mengatakan bahwa :

Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatas oleh undang–undang. Anak yang berada di bawah perwalian, adalah (1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, (2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai dan (3) Anak yang lahir di luar perkawinan (naturlijk kind).56

2. Perceraian

Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya

dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian

dengan permufakatan saja antara suami-isteri. Karena perceraian hanya dapat

dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.57

Dimana untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang

salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak

dapat untuk hidup rukun sebagai suami isteri lagi.

Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena

kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun

diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan

ketentuan-ketentuan dalam bagian Kitab Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim

56

Soebekti,Pokok –Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta , 2003 , hal 52

57

(18)

setelah perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya

perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.58

Oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan

yang telah dibentuk dapat putus, antara lain karena:59

a. Kematian,

b. Perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari

suami/istri atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu,

sehingga pernikahan dianggap telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau

kedua-duanya tersebut.

Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya

perkawinan yang dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk

melanjutkan rumahtangganya. Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu

pihak baik itu suami maupun istri untuk diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap

perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-alasan para pihak untuk memutuskan

perkawinan tersebut antara lain:60

a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

58R.Subekti,

Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Pasal 199.

(19)

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami – isteri;

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya

perkawinan berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. selain karena hal

pengajuan gugatan perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan

pengadilan dilapangan juga dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah

satu suami atau istri.

Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung

jawab salah satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika

dibutuhkan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.61Dengan

mempertimbangkan bahwa pihak yang telah diceraikan tersebut tidak mempunyai

penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya sendiri.62

Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan

kepada salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut

61

Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

62

(20)

berasal dari harta kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai

kelebihan atau kemampuan untuk itu.63

B. Tanggung Jawab Mantan Suami Terhadap Anak Dalam Hal

Penghasilannya Kurang Cukup

1. Tanggung Jawab Menafkahi Anak Berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Penjelasan umum undang-undang ini menyebutkan, bahwa sesuai dengan

landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka Undang- undang ini di satu pihak harus dapat

mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945, sedang di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang

hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula Undang-undang ini telah

menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga dalam penjelasan Pasal 2

ayat (1) dinyatakan, “tidak ada perkawinan di luar masing-masing hukum

agamanya dan kepercayannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945,

disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang

berlaku (Pasal 2 ayat (2))”. Karena tidak ada perkawinan di luar hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula

perceraian di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.64

Di dalam Pasal 38 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

63 Ibid.

64

(21)

disebutkan bahwa perkawinan perkawinan dapat putus karena :65

1. kematian

2. perceraian

3. atas putusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian yaitu dengan matinya salah satu

pihak dari suami atau istri. Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan dapat

terjadi karena pembatalan suatu perkawinan atau karena perceraian.

Berdasarkan Pasal 39 dan 40 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 bahwa salah satu prinsip dari Undang-undang Perkawinan ini adalah

Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Sesuai dengan

prinsip mempersukar terjadinya perceraian tersebut maka Pasal 39 ayat (1)

memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan

tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 40 ayat (1)

memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.

Yang dimaksud dengan pengadilan di sini ialah Pengadilan Agama bagi

yang bergama Islam dan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) bagi lainnya

sebagaimana ditentukan oleh Pasal 63 ayat (1) dan (2).

Pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus

ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun

65

(22)

sebagai suami istri. Sedang tata cara perceraian di depan sidang pengadilan itu,

dan tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan itu, menurut Pasal 39 ayat

(3) dan Pasal 40 ayat (2) diatur dalam peraturan perUndang-undangan tersendiri

yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 14 sampai

dengan 18 dan Pasal 20 sampai dengan 36. Alasan-alasan yang dapat dijadikan

dasar untuk perceraian menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975

tersebut adalah :

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar ditentukan.

b. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. salah satu pihak mendapat cacat badan, atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

e. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan beserta yang membahayakan terhadap pihak lain.

f. antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Gugatan kepada Pengadilan Negeri yang diajukan oleh seorang suami atau

seorang istri. Selama berlangsungnya gugatan tersebut atas permohonan penggugat

atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan

berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dapat

memberi izin kepada suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

Juga selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau

(23)

a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami

b. menentukan hak-hak yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak

c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Putusnya perkawinan atau terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat

hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Mengenai hubungan

suami istri adalah sudah jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan,

persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi mereka boleh kawin kembali

sepanjang ketentuan hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pengadilan

dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan

dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Kewajiban dan/atau

menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Mengenai anak, berdasarkan Pasal 41 ayat (1)

dan (2) dapat diketahui bahwa akibat yuridis terhadap anak bila terjadi perceraian

adalah :

a. baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.

(24)

a. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

b. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus.

Pengadilan dapat pula memberi keputusan tentang siapa diantara mereka

berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada

perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga

didasarkan kepada kepentingan anak.

Dalam Pasal 47 dinyatakan seperti berikut:

a. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

b. orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Apabila orangtua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak

mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya,

maka kekuasaan orangtua dapat dicabut dengan putusan pengadilan.

M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa :

Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuh hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.66

Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut, akan tetapi orang tua tidak

66

(25)

dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana

diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

sebagai berikut :

a. salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal;

1) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. 2) Ia berkelakuan sangat buruk sekali

b. meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan

hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang

atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak

yang bersangkutan. Jika berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan anak akan diurus oleh

seorang wali yang ditunjuk. “Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu adalah

sama dengan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak tersebut,

yaitu meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya”.67

2. Kewajiban Mantan Suami Sebagai Subjek Hukum Untuk Memenuhi

Keputusan Pengadilan

Ayah kandung berkewajiban memberikan jaminan nafkah anak kandungnya

dan seorang anak begitu dilahirkan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya baik

67

(26)

pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Landasan kewajiban ayah

menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena kondisi anak yang belum

mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupnya tergantung kepada

adanya pihak yang bertanggungjawab menjamin nafkah hidupnya. Orang yang paling

dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas

pengasuhan anak di rumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah

anaknya. Pihak ayah hanya berkewajiban menafkahi anak kandungnya selama anak

kandungnya dalam keadaan membutuhkan nafkah, ia tidak wajib menafkahi anaknya

yang mempunyai harta untuk membiayai diri sendiri. Seorang ayah yang mampu

akan tetapi tidak memberi nafkah kepada anaknya padahal anaknya sedang

membutuhkan, dapat dipaksa oleh hakim atau dipenjarakan sampai ia bersedia

menunaikan kewajibannya. Seorang ayah yang menunggak nafkah anaknya tetapi

ternyata anaknya tidak sedang membutuhkan nafkah dari ayahnya maka hak

nafkahnya gugur, karena si anak dalam memenuhi kebutuhan selama ayahnya

menunggak tidak sampai berhutang karena ia mampu membiayai diri sendiri, akan

tetapi jika anak tidak mempunyai dana sendiri sehingga untuk memenuhi

kebutuhannya ia harus berhutang maka si ayah dianggap berhutang nafkah yang

belum dibayarkan kepada anaknya.68

Pasal 41 Undang – Undang Nomor. 1 Tahun 1974, berbunyi sebagai

berikut: ” Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

68 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana,

(27)

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak-anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

Akibat dari putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 41 UU No.1 Tahun

1974. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Akibat talak.

2. Akibat perceraian.

Bilamana perkawinan itu putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b. Memberikan nafkah, mas kawin, dan kiswah kepada bekas isteri

selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in

atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil;

c. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai

umur 21 tahun.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156

UU No.1 Tahun 1974. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian,

yaitu:

(28)

b. Terhadap harta bersama;

c. Terhadap mut’ah.

Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 189 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas terdapat tiga hal yang

memerlukan penjelasan lebih lanjut, yakni :

a. Tidak hadirnya salah satu pihak.

b. Putusan Hakim; dan

c. Perceraian.

Pasal 41 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi

sebagai berikut:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu maupun Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak – anaknya, semata – mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

ada perselisihan mengenai penguasaan anak – anak, Pengadilan memberi

keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak – anak itu; bilamana bapak dalam

kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas

(29)

Undang – Undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang

tua dan anak yang menyangkut beberapa hal.

Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan,

bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka

dengan sebaik-baiknya.

Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Pasal 45 ( 1 )

Undang-Undang Perkawinan ini berlaku sampai anaknya anaknya menikah atau dapat

berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan diantara

kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 45 Undang – Undang

Perkawinan. Kedua mengatur tentang kebalikannya, yakni kewajiban anak

terhadap orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan menaati

kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara

menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga garis lurus ke atas, bila

mereka itu memerlukan bantuannya ( Pasal 46 Undang – Undang Perkawinan).

Ketiga mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua

dalam segala perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 47 yaitu: Anak yang

belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas tahun). Atau belum pernah

melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama

mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut

mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

Keempat diatur di dalam Pasal 48 Undang-Undang Perkawinan yang memuat

bahwa: Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan

(30)

atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu

menghendakinya.

Kelima diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan tentang adanya

kemungkinan pencabutan kekuasaan, yaitu: salah seorang atau kedua orang tua

dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu

yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis

lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,

dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Khusus di dalam Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dengan Anak yang diatur

dalam Undang-Undang Perkawinan mendapatkan perhatian dari Prof. Hazairin

dalam tinjauannya tentang hal tesebut bahwa istilah belum dewasa dijumpai dalam

Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (1) apa arti dewasa tidak dijumpai penjelasannya.

Menurut Pasal 45 kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik

anak-anaknya berlaku sampai anak itu menikah atau berdiri sendiri. Sebaliknya menurut

Pasal 46, jika anak tersebut telah ”dewasa” ia wajib memelihara menurut

kemampuannya orang tuanya apabila mereka memerlukan bantuannya. Jelaslah

bahwa ”dewasa” itu dikaitkan kepada kemampuan dapat membantu memelihara

orang lain, yaitu membela keperluan hidup orang lain, hal mana hanya mungkin jika

si ”dewasa” itu ialah orang yang sanggup memelihara diri sendiri atau dapat berdiri

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Monitoring Pertumbuhan Balita merupakan sistem yang dibuat dengan tujuan untuk mempermudah pemantauan terhadap pertumbuhan balita berbasis web (KMS Online),

System Reliability Berpengaruh Positif dan System Quality berpengaruh positif tetapi tidak signifikan Terhadap Individual Peformance melalui variabel Task Technology Fit

Dapat dilihat dari hasil tabel 3 menunjukan bahwa distribusi waktu pemasanagan IUD didapatkan kejadian Ekspulsi berdasarkan waktu pemsangan IUD dari 53 akseptor

Sehingga peneliti menyarankan tetap untuk diadakannya pelatihan bagi tenaga kerja non edukatif secara rutin untuk meningkatkan produktifitas kerja dan untuk

Hal-hal pokok yang dilakukan dalam analisis data ini yaitu : cross plot antara Density vs Gamma ray dari data sumur, hal ini untuk mengetahui karakteristik data dan

Perusahaan penggilingan padi di Indonesia belum ada yang memberi label dengan SNI beras karena belum ada lembaga sertifikasi produk (LSPro) dan laboratorium pengujian mutu beras

Tujuan penelitian adalah untuk: (1) menentukan teknologi pengolahan sampah di TPA regional yang sesuai dengan komposisi dan timbulan sampah daerah layanan (Kota Jakarta

Sehingga perlunya kombinasi untuk beberapa jenis rack yang sesuai dengan kriteria diatas, yaitu sesuai dengan kebutuhan pallet position yaitu sebesar 4955 pallet position,