• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemodelan Terhadap Motivasi Berprestasi Pada Siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama(SMP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Pemodelan Terhadap Motivasi Berprestasi Pada Siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama(SMP)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PENGA PADA PRO ARUH PEM SISWA SE Disusun S OGRAM P UNIVER MODELAN EKOLAH M Sebagai Sal Pada Jurusa F D PENDIDIK FAK RSITAS M N TERHAD MENENGA ah Satu Sya an Magister Fakultas psi Oleh Dewi Nurh T 100090 KAN MAGI ULTAS PS MUHAMMA 2017 DAP MOT AH TINGK arat Menyel r Psikologi P ikologi : idayati 0095 ISTER PSI SIKOLOGI ADIYAH S 7 TIVASI BE KAT PERT lesaikan Str Profesi KOLOGI P I SURAKAR RPRESTA TAMA (SM rata 2 PROFESI RTA ASI MP)

(2)

   

i   

(3)
(4)
(5)

PENGARUH PEMODELAN TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI SISWA SEKOLAH MENENGAH TINGKAT PERTAMA

Abstrak

Motivasi berprestasi memiliki peran penting dari dalam diri siswa untuk menunjang keberhasilan pendidikan Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas pemodelan dalam meningkatkan motivasi berprestasi siswa Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP). Populasi penelitian ini siswa kelas VII dan VIII SMP Muhammadiyah 5 Surakarta, dengan jumlah sampel 42 orang. Teknik yang digunakan adalah purposive random sampling, dimana peneliti membatasi subjek berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan, dan membaginya secara acak ke dalam 3 kelompok, yaitu kelompok eksperimen 1 dengan metode model simbolik, kelompok eksperimen 2 dengan metode live model (model nyata), serta kelompok kontrol. Alat pengumpul data menggunakan skala motivasi berprestasi, observasi, dan wawancara. Hasil uji hipotesis mayor berdasarkan one way anava (anova) menghasilkan nilai F sebesar 0,444 dan nilai Sig. sebesar 0,645 (p>0,05) dengan membandingkan ketiga kelompok. Artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pemodelan dan motivasi berprestasi siswa SMP. Sedangkan uji hipotesis minor menggunakan Friedman Test yang menghasilkan chi square sebesar 7,673 dengan asymp.sig sebesar 0,022 (p<0,05) pada kelompok eksperimen 1, yang berarti terdapat pengaruh antara model simbolik terhadap motivasi berprestasi pada siwa SMP, serta uji Friedman Test yang menunjukkan nilai chie square sebesar 1,762 dengan asymp.Sig sebesar 0,414 (p>0,05) pada kelompok eksperimen 2, yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara metode model nyata dengan motivasi berprestasi pada siswa SMP. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, dapat disimpulkan bahwa: 1) tidak terdapat pengaruh pemodelan terhadap motivasi berprestasi pada siswa sekolah menengah tingkat pertama, 2) pemodelan dengan metode simbolik model terlihat lebih baik dibandingkan dengan metode model nyata

Kata kunci : Motivasi berprestasi, pemodelan, model nyata, model simbolik.

Abstract

Achievement motivation has an important role from within students to suport the success of education. The purpose of this research was to examine the effectiveness of modeling in improving achievement motivation in the junior high school students. The research populations are the 7th grade and 8th grade students of Muhammadiyah 5 junior high school of Surakarta, with the number of samples was 42 people. The technique was used is purposive random sampling, that the researcher restrict the subjects by the determined characteristics and randomly divided into 3 groups, they are: the experimental group 1 (through the method of symbolic model), the experimental group 2 (through the method of live model) and the control group. Data collection tools used achievement motivation scale,

(6)

   

2   

observation and interview. Hypothesis test results based on one way anava (anova) yielded a value of F of 0.444 with a sig. value of 0.645 (p> 0.05). It means that there was no significant influence between modeling on achievement motivation of junior high school students. While the minor hypothesis test used friedman test, shows a chie square value of 7,673 with asymp sig. 0,022 (p<0,05) in the esperimental group 1, which means that there was influence between symbolic model on achievement motivation of junior high school students and freidman test shown a chie square value of 1,762 with asymp sig. 0,414 (p>0,05) in the experimental group 2, which means that there was no significant influence between live model on achievement motivation of junior high school students. Based on the results of data analysis, it can be concluded that: 1) there is no significant influence between modeling on achievement motivation in the junior high school students; 2) the method of symbolic model was more effective compared to the live model.

Key words : achievement motivation, modeling, symbolic model, live model

1. PENDAHULUAN

Salah satu bagian penting dari dalam diri siswa untuk menunjang keberhasilan pendidikan adalah motivasi berprestasi (Christiana, 2009). Beberapa komponen motivasi yang mempengaruhi prestasi akademik siswa antara lain adalah efikasi diri, dan ketertarikan siswa terhadap tugas. Soheyla (2012) menyimpulkan bahwa efikasi diri sebagai salah satu komponen kepercayaan dalam motivasi mempengaruhi prestasi akademik siswa. Hasil penelitian ini kemudian bisa digunakan untuk memprediksi bahwa siswa yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan menunjukkan performa akademik yang lebih baik dari siswa yang tidak memiliki efikasi diri. Selain itu penelitian ini juga menyimpulkan bahwa siswa yang memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap tugas menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik juga. Berdasarkan dua hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa siswa yang memiliki motivasi akan memperlihatkan prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak memiliki motivasi berprestasi dan mempunyai tingkat dropout yang rendah (Xin Wu; 2013, Singh; 2011).

Pernyataan-pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh Amrai, Motlagh, Zalani & Parhon (2011) dan Awan, Ghazala & Anjum (2011) yang menyimpulkan bahwa ada korelasi yang positif dan signifikan

(7)

antara motivasi dengan prestasi akademik. Berdasarkan hal tersebut, Awan, dkk (2011) menyarankan bahwa guru harus menggunakan strategi yang memotivasi

(motivational strategies) siswa dalam aktivitas akademik untuk meningkatkan

prestasi siswa.

Motivasi berprestasi itu sendiri menurut Mc. Clelland (1987) merupakan suatu keinginan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk berusaha mencapai suatu standar atau ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan didapat dengan acuan prestasi orang lain, akan tetapi juga dapat dengan membandingkan prestasi yang dibuat sebelumnya. Beberapa aspek dari motivasi berprestasi yang diuraikan Mc.Clelland antara lain tanggung jawab, memperhitungkan resiko pemilihan tugas, kreatif dan inovatif, memperhatikan waktu penyelesaian tugas, umpan balik, serta keinginan menjadi yang terbaik. Sedangkan faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi diantaranya pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan, latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan, peniruan tingkah laku (pemodelan), lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung, serta harapan orangtua terhadap anaknya (Mc.Clelland dalam Sukadji, 2001).

Namun pada kenyataannya, motivasi berprestasi yang dimiliki seseorang cenderung mengalami pasang surut, kadang-kadang mengalami peningkatan, tetapi dilain waktu mengalami penurunan (Nugraha, 2011). Perlu adanya upaya yang konsisten untuk senantiasa mendorong motivasi berprestasi agar tidak mengalami penurunan, karena idealnya motivasi berprestasi yang dimiliki seseorang selalu mengalami kemajuan sehingga akan mempercepat apa yang diidamkan.

Krisis motivasi ini cenderung mulai terlihat ketika seorang anak mulai memasuki masa remaja atau setingkat sekolah menengah pertama. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kumara (dalam detiknews.com, 2011) berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi, Universitas Gajah Mada (UGM) yang menyimpulkan bahwa permasalahan siswa SMP dan SMA lebih menonjol pada permasalahan motivasi dan permasalahan yang berkaitan dengan konsep diri dan

(8)

   

4   

hubungan sosial. Berdasarkan hasil laporan praktik kerja profesi mahasiswa psikologi UGM, kasus pendidikan yang ditemukan di tingkat SMP dan SMA sepanjang tahun 2008-2011 banyak ditemukan permasalahan motivasi sebanyak 32,8 persen dan permasalahan sosial sebanyak 26,1 persen. Survei tersebut dilakukan terhadap siswa SMU dan SMK di empat kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kurangnya motivasi berprestasi ini, salah satunya juga terlihat di SMP Muhammadiyah 5 Surakarta, studi di lapangan menunjukkan bahwa motivasi berprestasi merupakan permasalahan yang sebagian besar menjadi masalah sekolah, hal ini didukung oleh status sosial ekonomi peserta didik yang lebih banyak berada pada kategori ekonomi menengah ke bawah. Beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan, antara lain kurang memperhatikan ketika pelajaran berlangsung, bercanda dengan teman-temannya, jalan-jalan keluar kelas, tugas tidak dikerjakan ketika jam pelajaran kosong, hanya akan dikerjakan jika diawasi oleh guru piket, daya juang dan kompetensi kurang, dalam keseharian seolah tidak peduli dengan prestasi dan masa depan, mengatakan bahwa 48,96 % teman berpengaruh besar terhadap semangat mereka mengikuti pelajaran, selain faktor lain seperti guru (35,17%), metode belajar (37,93%), lingkungan sekolah (7,58), dan lainnya (2,06%). Indikator-indikator tersebut diperoleh pada saat penggalian data awal menggunakan angket dan wawancara.

Melihat fenomena tersebut, maka perlu dilakukan upaya-upaya yang sekiranya mampu dan berhasil dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi siswa, diantara nya melalui pemodelan. Berdasarkan teori kognitif sosial, orang dapat belajar melalui pengamatan lingkungan atau dengan mengamati orang lain. Melalui pengamatan tersebut, pada akhirnya seseorang akan termotivasi untuk melakukan sesuatu (Ormrod, 2008), hal inilah yang kemudian disebut dengan pemodelan. Pada dasarnya, manusia memiliki kemampuan untuk meniru orang lain hampir sejak kita lahir (Meltzoff, 2005). Melalui pemodelan ini pengamat dapat dengan mudah meniru perilaku yang dilakukan oleh model. Pemodelan ini bisa kita dapatkan melalui model hidup (live model), yaitu manusia nyata yang kita amati melakukan sesuatu dan model simbolik (symbolic models), yaitu

(9)

karakter nyata atau fiksi yang digambarkan dalam buku, film, TV, dan berbagai media lain. (Bandura, 2001; Ormrod, 2008; Malouff, Schutte, and Rooke, 2008; Bailenson, dkk, 2009).

Dalam proses pemodelan, pembelajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh model, namun juga oleh konsekuensi atau non-konsekuensi yang dialami oleh model, sehingga kemudian juga berhubungan dengan penguatan dan hukuman, yang dikenal dengan istilah penguatan yang seolah-olah dialami sendiri (vicarious reinforcement) ataupun hukuman yang seolah-olah dialami sendiri atau vicarious punishment (Ormrod, 2008; Panggabean, 2010). Menurut Bandura (1977) penguatan yang berasal dari luar inilah yang nantinya akan mendorong motivasi untuk melakukan sesuatu.

Ketika seorang siswa mengamati konsekuensi-konsekuensi yang dialami teman-temannya, siswa tersebut bisa belajar bahwa belajar keras menghasilkan nilai yang bagus, bahwa kerapian sangat dihargai, atau bahwa terpilih sebagai ketua kelas meningkatkan status dan popularitas, dan hal tersebut mempengaruhi sikap belajar dan sosialnya selanjutnya, maka siswa tersebut mengalami apa yang disebut dengan penguatan yang seolah-olah dialami sendiri (vicarious

reinforcement) (Ormrod, 2008).

Bandura (dalam Friedman, 2009) juga mengemukakan bahwa mengamati model dan mengulangi perilaku yang dilakukan oleh model bukanlah sekedar imitasi sederhana; pembelajaran observasi juga melibatkan proses kognitif aktif yang terdiri atas empat komponen yaitu atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi, artinya walaupun seseorang sudah mengobservasi dan mampu melakukan suatu perilaku tertentu, orang tersebut baru akan menampilkan suatu perilaku apabila perilaku itu akan memberikan hasil akhir yang bernilai dan tidak akan menampilkannya apabila hanya akan memberikan hasil akhir yang negatif.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah ada pengaruh pemodelan terhadap motivasi berprestasi pada siswa sekolah menengah tingkat pertama (SMP).

(10)

   

6   

2. METODE

Pengukuran motivasi berprestasi menggunakan skala motivasi berprestasi, skala ini mewakili keenam aspek, yaitu tanggungjawab, mempertimbangkan resiko terhadap tugas, memperhatikan waktu penyelesaian tugas, memperhatikan umpan balik, kreatif dan inovatif, serta keinginan menjadi yang terbaik, berdasarkan teori dari Mc.Clelland (1987). Skala ini terdiri dari 29 item. Semakin tinggi nilai total yang diperoleh maka semakin tinggi tingkat motivasi berprestasi, begitupun sebaliknya. Adapun pemodelan yang dilakukan menggunakan dua metode, yaitu 1) model simbolik, yang dapat diartikan sebagai karakter nyata atau fiksi yang digambarkan dalam buku, film, TV, dan melalui media lain. Model simbolik yang digunakan adalah melalui video, serta 2) model nyata (live model) yang dilakukan dengan menghadirkan secara langsung model yang ingin ditiru. Model nyata yang dihadirkan adalah kakak kelas subjek yang telah dipilih sebelumnya melalui uji coba modul.

Pengambilan subjek penelitian menggunakan jenis purposive sampling, menggunakan skala motivasi berprestasi sebagai screening. Screening dilakukan kepada 327 siswa kelas VII dan kelas VIII, dan didapatkan 42 subjek dengan kategori rendah dan sedang sebagai subjek penelitian. Ke 42 subjek tersebut kemudian dikelompokkan secara acak ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok eksperimen 1, kelompok eksperimen 2, serta kelompok kontrol. Hasil screening ini juga kemudian dijadikan sebagai nilai pretest dari subjek yang digunakan. Rancangan eskperimen menggunakan control group pretest-posttest design.

Sebelum intervensi dilakukan, peneliti melakukan expert judgement terhadap skala dan modul yang telah disiapkan. Setelah expert judgement selesai, peneliti kemudian melakukan try out atau uji coba terhadap keduanya, baik skala maupun modul intervensi. Berdasarkan try out modul didapatkan video yang akan diberikan pada saat intervensi dan model nyata yang akan dihadirkan, kedua hal tersebut diperoleh melalui penilaian dari para peserta try out.

Intervensi kemudian dilakukan dalam dua hari untuk kelompok eksperimen 1 dan eksperimen 2. Perbedaan intervensi pada kedua kelompok eksperimen adalah terletak pada metode pemodelan yang diberikan, untuk

(11)

kelompok eksperimen 1 (KE1) diberikan pemodelan dengan metode model simbolik, sedangkan kelompok eksperimen 2 (KE2) diberikan pemodelan dengan menghadirkan model nyata sehingga bisa berbagi pengalaman secara langsung dengan partisipan.

Peneliti menitikberatkan dua tema yang diberikan pada partisipan, yaitu hari pertama lebih berfokus pada pengenalan cita-cita, dan perencanaan jangka panjang, sedangkan pada hari kedua lebih berfokus pada tema perencanaan jangka pendek dan pemantapan komitment. Materi yang diberikan antara analisis diri, pemodelan (model simbolik ataupun model nyata sesuai pembagian kelompok), penugasan, pemantapan komitmen, serta evaluasi. Setelah pemberian intervensi selesai subjek penelitian diberikan postest serta follow up untuk melihat perbedaan antara nilai pretest dan postest maupun follow up di antara kelompok eksperimen. Analisis data dilakukan dengan menggunakan one way anava (anova) dan uji Friedman Test. Anova digunakan untuk mengetahui pengaruh pemodelan terhadap motivasi berprestasi secara umum, sedangkan uji friedman tes digunakan untuk melihat pengaruh dari masing-masing metode yang digunakan, selain itu dilihat juga gain score di antara kedua kelompok. Data pendukung secara kualitatif diambil dari hasil wawancara setelah follow up dalam bentuk FGI

(Focus Group Interview) dan data observasi yang didapatkan pada saat

pelaksanaan intervensi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis data dilakukan dengan menggunakan one way anava (anova) dan uji Friedman Test. Anova digunakan untuk mengetahui pengaruh pemodelan terhadap motivasi berprestasi secara umum, sedangkan uji friedman tes digunakan untuk melihat pengaruh dari masing-masing metode yang digunakan, selain itu dilihat juga gain score di antara kedua kelompok. Data pendukung secara kualitatif diambil dari hasil wawancara setelah follow up dalam bentuk FGI

(Focus Group Interview) dan data observasi yang didapatkan pada saat

(12)

   

8   

Berdasarkan hasil analisis diperoleh data sebagai berikut : dengan menggunakan one way anava (Anova) untuk membedakan hasil antara KE1, KE2, dan KK didapatkan nilai F sebesar 0,444 dengan nilai sig, sebesar 0,645 (p> 0,05). Ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KE 1, KE 2, dan KK pada saat posttest. Begitu juga uji beda ketiga kelompok (KE1, KE2, dan KK) pada saat follow up dengan menggunakan One way Anava (Anova), yang mendapatkan nilai F sebesar 2,318 dengan nilai Sig. sebesar 0,113 (p> 0,05). Ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KE1, KE2, dan KK pada saat Follow Up.

Selanjutnya untuk menguji apakah model simbolik (KE1) efektif meningkatkan motivasi berprestasi siswa maka digunakan uji perbedaan pretest,

posttest, dan follow up dengan menggunakan K – Related Sample Test.

Berdasarkan hasil Friedman Test untuk KE1 diperoleh hasil chi square sebesar 7,673 dengan asymp.sig sebesar 0,022 (p<0,05). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada KE1 sebelum maupun setelah perlakuan.

Sedangkan hasil Friedman Test untuk KE2 diperoleh hasil Chi Square sebesar 1,762 dengan Asymp.Sig sebesar 0,414 (p>0,05). Berdasar data tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada KE2 sebelum maupun setelah perlakuan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. Hasil Analisis Data Kuantitatif Keterangan Uji beda Gain

Score

Asymp sig. Arti

Uji beda posttest KE1, KE2, KK

F= 0,444

- 0,645 (p>0,05)

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KE1, KE2, dan KK pada

saat posttest Uji beda follow

up KE1, KE2, KK F= 2,318 - 0,113 (p>0,05)

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KE1, KE2, dan KK pada

saat follow up Uji beda pretest,

posttest, dan follow up pada chi square = 7,673 Pre-post = 5,07, dan pre-0,022 (p<0,05)

Terdapat perbedaan yang signifikan antara pretest,

(13)

KE1 follow = 10,64

pada KE1 Uji beda pretest,

posttest, dan follow up pada KE2 Chi square = 1,762 Pre-post =6, dan pre-follow =3,36 0,414 (p>0,05)

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

pretest, posttest, dan

follow up pada KE2

Jika ditinjau dari nilai gain score pada masing-masing kelompok terlihat bahwa gain score pada kelompok eskperimen 1 memiliki gain score yang lebih tinggi dibandingkan dengan gain score pada kelompok eskperimen 2, hal ini bisa dijelaskan dengan menggunakan teori belajar sosial dari Albert Bandura, dimana Bandura menekankan pada atensi atau perhatian sebagai proses pertama yang dapat mempengaruhi peniruan atau pemodelan. Video dan audio dalam penelitian ini membuat pengamat lebih fokus memberikan perhatiannya pada video yang ditonton dibandingkan dengan hanya mendengarkan, dan melakukan tanya jawab dengan model.

Ketika seorang siswa mengamati konsekuensi-konsekuensi yang dialami teman-temannya, siswa tersebut bisa belajar bahwa belajar keras menghasilkan nilai yang bagus, bahwa kerapian sangat dihargai, atau bahwa terpilih sebagai ketua kelas meningkatkan status dan popularitas, dan hal tersebut mempengaruhi sikap belajar dan sosialnya selanjutnya, maka siswa tersebut mengalami apa yang disebut dengan penguatan yang seolah-olah dialami sendiri (vicarious

reinforcement) (Ormrod, 2008).

Dalam penelitian ini, konsekuensi-konsekuensi yang diperlihatkan oleh model adalah hasil akhir yang mereka dapatkan, para partisipan bisa melihat dan merasakan secara emosional bagaimana proses dan hasil akhir yang didapatkan oleh model baik melalui video maupun dengan bertemu model yang diakui memiliki prestasi baik secara akademik di sekolahnya. Dengan melihat konsekuensi-konsekuensi tersebut diharapkan partisipan dapat mengambil nilai-nilai pengalaman positif dari model.

Bandura (Alwisol, 2012) dalam proses kognitif tahap pertama adalah atensi, artinya adalah bahwa partisipan memberikan perhatian secara penuh pada

(14)

   

10   

fasilitator dan proses pelatihan yang dilakukan. Selanjutnya masuk pada tahap retensi (pengolahan informasi), pada tahap ini terdapat pengulangan informasi yang dilakukan oleh fasilitator baik setelah mendapatkan model simbolik maupun

sharing dengan model. Pengulangan informasi ini dilakukan dengan mengadakan

diskusi antara fasilitator dan partisipan, dengan mengambil learning point dari kedua metode tersebut, ataupun pengulangan informasi setelah metode SMART yang diberikan, dengan tujuan peserta semakin paham pada materi yang disampaikan dan dapat tersimpan dalam memori jangka panjang (long term

memori) dan dapat dikeluarkan sewaktu-waktu dibutuhkan. Tahap yang ketiga

adalah reproduksi motorik dimana informasi yang tersimpan dapat dikeluarkan ke dalam tingkah laku. Dalam hal ini peserta diminta untuk mengeluarkannya dalam bentuk lembar tugas yang disiapkan, termasuk di dalamnya peserta diminta untuk menuliskan cita-cita yang realistik, bagaimana cara mendapatkannya, hambatan apa yang perlu diperbaiki, serta nilai-nilai apa saja yang seharusnya dimiliki untuk menggapai cita-cita tersebut. Dari proses ini dapat diketahui bagaimana informasi tersebut terserap oleh para peserta. Dan terakhir adalah motivasi atau penguatan,

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh para peserta, secara umum didapatkan hasil bahwa mereka pada dasarnya dapat mengambil nilai-nilai yang didapatkan dari proses pemodelan yang diterima baik melalui model simbolik maupun melalui model nyata. Nilai-nilai tersebut antara lain ; tidak mudah putus asa, terus berusaha, optimis, bekerja keras, harus tekun belajar, menjadi lebih percaya diri, untuk mencapai sesuatu harus tekun dan sungguh-sungguh, serta mempunyai jadwal belajar yang tetap. Para partisipan juga memberikan penilaian yang positif terhadap proses pelatihan baik dari segi materi, metode penyampaian, durasi waktu, dan tempat pelatihan.

Sebagian besar peserta juga menunjukkan adanya peningkatan motivasi berprestasi pada saat postest, dan follow up walaupun masih berada dalam kategori yang sama terutama pada kelompok simbolik model. Untuk beberapa peserta yang mengalami penurunan lebih karena disebabkan pada perhatian peserta yang kurang fokus pada saat pelatihan, sesekali terlihat tertidur, dan memerlukan bimbingan yang lebih individual dibandingkan dengan

(15)

teman-temannya yang lain. Sedangkan untuk para peserta yang berada dalam kelompok model nyata secara garis besar mengalami peningkatan yang lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan pada kelompok model simbolik, beberapa peserta yang berada pada kelompok ini kurang memiliki perhatian pada model yang dihadirkan, ini terlihat dari sikap pasif/diam ataupun sikap mengganggu peserta terhadap temannya yang lain.

Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa enam dari 14 peserta atau hampir setengah dari total peserta pada kelompok simbolik model diketahui kurang antusias selama mengikuti pelatihan. Bahkan dalam pengisian lembar kerja masih membutuhkan bantuan fasilitator. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa peningkatan motivasi berprestasi pada kelompok ini tidak signifikan. Demikian pula pada kelompok kedua, bahwa dari 11 peserta hanya 2 orang yang menyampaikan memperoleh nilai-nilai positif yang memotivasi dari model sebesar 80 % sedangkan lainnya hanya memperoleh nilai-nilai positif yang memotivasi tidak lebih besar dari 16 %. Peserta pun terlihat pasif selama pelaksanaan pelatihan, kesulitan menetapkan tujuan dan membuat mind map secara rinci.

Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek pada kelompok model nyata

(live model) terdapat satu orang peserta (DY) yang mengatakan secara lugas

bahwa dirinya merasa malu mendengarkan uraian dari model yang menceritakan mengenai kondisi dirinya dan keluarga, subjek DY mengatakan bahwa menurut dia hal tersebut merupakan aib yang seharusnya tidak diceritakan pada orang lain. Padahal menurut model, kondisi tersebutlah yang membuat dia termotivasi untuk terus berprestasi. Dalam hal ini terlihat bahwa nilai-nilai yang dianut oleh model berbeda dengan nilai-nilai yang dianut oleh partisipan. Sebagaimana dijelaskan oleh Margolis & Mc. Cabe (2006) bahwa salah satu hal yang membuat pengaruh model menjadi lebih efektif adalah jika terdapat kesamaan nilai-nilai yang dianut antara model dan partisipan, juga Komalasari, Wahyuni, & Karsih (2011) yang menjelaskan bahwa keberhasilan teknik modeling sangat tergantung pada persepsi pengamat terhadap model. Jika pengamat tidak menaruh kepercayaan pada model,

(16)

   

12   

maka pengamat akan kurang mencontoh tingkah laku yang diperlihatkan oleh model.

Selain itu, harapan pengamat terhadap model juga mempengaruhi keberhasilan pemodelan. Ekpektasi yang tinggi dari pengamat terhadap model membuat efikasi diri pengamat meningkat sehingga keinginan untuk meniru tingkah laku model menjadi semakin baik, namun jika terdapat ketidaksesuaian antara harapan pengamat dan tingkah laku model, maka tujuan tingkah laku yang didapat model menjadi kurang tepat. Atau bisa jadi pengamat menggangap pemodelan ini sebagai keputusan tingkah laku yang harus ia lakukan, sehingga pengamat akhirnya kurang bisa mengadaptasi model sesuai dengan gayanya sendiri (Komalasari, dkk, 2011).

Terlepas dari uraian di atas, berdasarkan masukan dari observer diketahui bahwa model lebih baik performancenya, lebih ekspresif, serta lebih bersemangat pada saat try out modul dibandingkan pada saat penelitian berlangsung. Hal ini bisa dimungkinkan karena beberapa alasan, antara lain : a) terdapat batasan yang diberikan oleh peneliti kepada model dikarenakan model harus menjelaskan dua tema pada dua hari, sehingga model diberikan batasan pembahasan berdasarkan tema perhari, sedangkan pada saat try out modul model diberikan kebebasan bercerita, b) terdapat kebosanan pada model, dikarenakan model harus menceritakan pengalamannya tersebut selama 3x pertemuan (1x try out, 2x penelitian), c) model merasa menjadi pusat perhatian, hal ini berbeda pada saat try out, dimana terdapat dua model yang secara bergantian menceritakan pengalamannya, sehingga merasa saling mendukung.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan juga bahwa video yang diberikan sebaiknya video yang dapat menggugah emosi peserta dan memperlihatkan semangat juang dalam menggapai sesuatu, hal ini sesuai dengan hasil wawancara tidak terstruktur yang dilakukan peneliti setelah intervensi diberikan, para peserta pada umumnya mengatakan bahwa video tersebut mengendap lebih lama dalam ingatan mereka dibandingkan dengan video yang lebih berfokus pada bagaimana pembelajaran yang dilakukan selama ini.

(17)

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh pemodelan terhadap motivasi berprestasi siswa sekolah menengah tingkat pertama (SMP), ini artinya kedua metode baik model simbolik dan model nyata tidak dapat meningkatkan motivasi berprestasi secara signifikan. Namun demikian pemodelan dengan metode model simbolik lebih efektif mempengaruhi motivasi berprestasi dibandingkan dengan model nyata (live

model). Diharapkan dengan adanya penelitian ini, pihak sekolah terutama guru

Bimbingan dan Konseling dapat menjadikan intervensi ini sebagai alternatif pengajaran terutama dengan menggunakan metode model simbolik. Sedangkan saran untuk peneliti selanjutnya adalah dapat memilih tema yang berbeda serta lebih menarik namun tidak menghilangkan esensi model yang ada, sebaiknya jika ingin menggunakan metode ini pilihlah model nyata (live model) yang memiliki persamaan persepsi terhadap nilai-nilai yang dianut antara model dan partisipan, semakin banyak kesamaan antara model dan partisipan diharapkan hasilnya akan semakin baik, selain itu juga perlu melakukan pendampingan intensif selama proses berlangsung, faktor eksternal juga diharapkan dapat menjadi perhatian sehingga tidak menghambat dalam peningkatan motivasi berprestasi.

DAFTAR PUSTAKA

Amrai, Motlagh, Zalani, & Parhon. (2011). The Relationship between Academic Motivation and Academic Achievement Students. Procedia - Journal

Social and Behavioral Sciences, Vol. 15; 399-402.

Bailenson, J, N, & Fox, J. (2009). Virtual Self Modeling : The Effects of Vicarious Reinforcement and Identification on Exercise Behaviors. California. Media Psychology, 12:1-25.

Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Prentice Hall, Inc : Englewood Cliffs.New Jersey

Bandura, A. (2001). Social Kognitif Theory Of Mass Comunication. Media Psychology, 3, 265-299

Christiana, O. (2009). Influence of Motivation on Students Academic Performance. The Sosial Sciences, Vol. 4, Issue 1; 30-36. ISSN : 1818-5800

(18)

   

14   

Friedman, S. H. (2009). Kepribadian. Teori Klasik dan Riset Modern. Edisi

Ketiga, Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gunarsa, D. (2003). Psikologi Untuk Keluarga, cetakan ke 15. Jakarta: Gunung Mulia.

Hamalik, O. ( 2000). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Kumara, A. (2011). Kasus Kekerasan Di Sekolah Kian Meningkat. Dipetik Desember 2014 dari m.detik.com.

Komalasari, G., Wahyuni, A., & Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling.. Jakarta : PT.Indeks.

Malouff, J.M, Schutte, N.S, & Rooke, S.E. (2008). Using Vicarious Reinforcement to Increase Client Completion of between - session Assignment. Australia. University of New England. The behavior Analist

Today. Vol. 9. No. 2. 150-152.

Meltzoff, AN. (2005). Imitation and Other Mind : The "Like Me" Hypothesis. Cambridge, MA : MIT Press.

Margolis, H & Mc Cabe, P. (2006). Improving Self Efikasi and Motivation : What to do, What to say. Intervention in School and Clinic, Vol 41, No.4, 218-227.

Mc. Clelland, DC, terjemahan. (1987). Memacu Masyarakat Berprestasi. Jakarta,: Intermedia.

Nugraha, R.A. (2011). Pengaruh Pelatihan Kecerdasan Adversitas terhadap Motivasi Berprestasi pada Siswa Kelas X d SMA N 8 Surakarta. Skripsi. Tidak Diterbitkan. UNS.

Ormrod, J.E. (2008). Psikologi Pendidikan. Membantu Siswa Tumbuh dan

Berkembang. Jilid 2. Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Panggabean, H. (2010, Maret 19). Behaviorisme. Dipetik Januari 2015 dari http://rumahbelajar psikologi.com.

Parsons, Hinson, & Brown. (2001). Educational Psychology, A

Practitioner-Researcher Model Of Teaching. USA : Wadsworth Thomson Learning

Santrock, J. W. (2005). Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta : PT. Erlangga

Schunk, D.H., Pintrick, P.R., & Meece, J.L. (2012). Motivasi dalam Pendidikan,

(19)

Singh, K. (2011). Study of Achievement Motivation in Relation to Academic Achievement of Students. India : International Journal of Education

Planning & Administration. ISSN. 2249-3093, Vol.1. Number 2,

pp.161-171.

Soheyla, J. (2012). A Study of Relationship between Motivational Beliefs and Self Regulated Strategies and Academis of School Student. Thesis. India : University of Pune. Departement of Education.

Sukadji (2001). Motivasi dalam Masyarakat . Jakarta : Gramedia.

Xin Wu.(2013). The Power of Affective Factors ( Self-Efficacy, Motivation and Gender) to Predict Chemistry Achievement with The Benefit of Knowledge Surveys on Metacognition Level. Thesis. Lousiana State University and Agricultural and Mechanical College.

Gambar

Tabel 1. Hasil Analisis Data Kuantitatif  Keterangan Uji  beda Gain

Referensi

Dokumen terkait

2. Beristirahat cukup dan tidak melakukan aktifitas berat sebelum pelaksanaan tes; 3. Membersihkan diri termasuk membersihkan kotoran hidung dan telinga. Peserta agar menjaga pola

Salah satu solusinya dari fenomena kurang efektifnya belajar pada siswa adalah melalui penggunaan media pembelajaran yang dapat menstimulasi siswa supaya aktif melakukan

Bedak kompak harus dapat menempel dengan mudah pada spons bedak dan padatan bedaknya harus cukup kompak, tidak mudah pecah atau patah dengan penggunaan normal (Butler, 2000)..

Dengan demikian, serbuk ZrB2 memenuhi syarat sebagai bahan pelapis penyerap dapat bakar dari bahan bakar nuklir untuk reaktor daya tipe PWR.. Hal ini berarti

Pada awal pembelajaran dimulai dengan salam dan berdo’a menurut agama masing-masing, kmudian diteruskan dengan presensi siswa, memotivasi, memberikan apresepsi, dan

Perhitungan PPh Pasal 23 atas jasa service pada Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Provsu belum sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku yaitu

Pada penelitian ini terlihat bahwa emisi gas buang CO yang dihasilkan ketika menggunakan bahan bakar dengan RON 95 (pertamax plus) jauh lebih rendah dibandingkan

menggunakan model konvensional penulis menggunakan pembelajaran biasa saat ini ternyata hasilnya kurang memuaskan, karena kekeliruan dalam memandang proses