• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Ekstasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Ekstasi"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Narkotika dan psikotropika merupakan obat-obatan yang diadakan oleh pemerintah dan pelayanan kesehatan dan penelitian, tetapi oleh banyak pihak jenis obat ini sering disalahgunakan pemakaiannya. Sanksi tegas dari pemerintah kepada penyalahguna Narkotika dan psikotropika telah diatur dalam Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 dan Nomor 5 tahun 1997.1

Dalam beberapa butir undang-undang dinyatakan bahwa penyidik dan Badan Narkotika Nasional sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran ini, berhak meminta keterangan dari ahli untuk menyelidiki kasus penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika. Dokter sebagai profesi yang dianggap memiliki pengetahuan terbaik mengenai anatomi tubuh manusia dianggap sebagai pihak ahli yang akan diminta bantuannya oleh penyidik peradilan. Telah diatur dalam pasal 133 KUHAP bahwa penyidik berwenang meminta bantuan kepada ahli keilmuan yang berhubungan dengan luka, keracunan, ataupun mati karena tindak pidana. Termasuk disini adalah peranan keilmuan seorang dokter pada kasus kematian karena keracunan Narkotika dan psikotropika.1

Sebagaimana diketahui bahwa kematian akibat Narkotika dan psikotropika adalah akibat keracunan zat aktif dalam obat-obat tersebut. Sehingga penting bagi seorang dokter untuk memahami ilmu toksikologi sebagai substansi penting dalam penyelidikan kasus penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika. Sedangkan dalam identifikasi korban yang ditemukan telah meninggal diperlukan pengetahuan mengenai tampilan post mortem pada orang-orang yang meninggal karena berbagai jenis Narkotika dan psikotropika. Maka dari itu seorang dokter umum harus mempunyai pengetahuan mengenai pemeriksaan jenazah yang diduga meninggal akibat keracunan Narkotika dan psikotropika.2

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah tanda dan gejala keracunan Narkotika dan psikotropika khususnya Metilendioksimetamfetamin (MDMA), sebab dan mekanisme kematian pemeriksaan

(2)

laboratorium, dan hasil otopsi yang dapat ditemukan pada kasus kematian akibat keracunan Narkotika atau psikotropika tersebut.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tentang Metilendioksimetamfetamin (MDMA) dalam tinjauan aspek forensik dan aspek medikolegal.

1.3.2. Tujuan Khusus

 Mengetahui definisi dan indikasi MDMA.

 Mengetahui farmakodinamik dan farmakokinetik MDMA.

 Mengetahui efek samping, kontraindikasi dan intoksikasi MDMA.

 Mengetahui pemeriksaan toksikologi serta gambaran forensik pada kasus penggunaan Narkotika.

 Mengetahui tentang aspek medikolegal yang berhubungan dengan MDMA. 1.4. Manfaat

1.4.1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai ilmu forensik khususnya yang berhubungan dengan pemeriksaan jenazah akibat Narkotika dan psikotropika, sehingga terbuka bagi para ilmuwan untuk memperdalam telaah pustaka maupun penilitian lebih lanjut.

1.4.2. Bagi Perguruan Tinggi

Mengamalkan Tri Darma Perguruan Tinggi dan sekaligus mewujudkan kampus sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang kesehatan.

1.4.3. Bagi Masyarakat

Dengan meningkatkan ilmu pengetahuan mengenai ilmu forensik khususnya yang berhubungan dengan pemeriksaan jenazah akibat Narkotika dan psikotropika, diharapkan juga dapat meningkatkan pelayanan medis kepada masyarakat dapat dilakukan dengan lebih baik.

Bab II Tinjauan Pustaka

(3)

MDMA merupakan istilah untuk merujuk pada 3,4-methylenedioxy-methamphetamine atau yang sering disebut ekstasi. MDMA pertama kali ditemukan oleh perusahan farmasi Merck pada tahun 1912 dengan tujuan awal sebagai zat yang dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. MDMA dipatenkan pada tahunn 1914 dengan tujuan utama sebagai penekan nafsu makan, namun pengunaanya secara luas terbatas mengingat banyaknya efek samping yang dilaporkan. Tahun 1980 penyalahgunaan MDMA meningkat. Tahun 1985 di Amerika Serikat penggunaan MDMA di ilegalkan, hal ini dikarenakan adanya kemiripan struktur dengan amfetamin yang merupakan halusionogen yang dilarang peredaran dan pengunaanya. Di Indonesia MDMA termasuk Psikotropika golongan I.3

2.2 Farmakokinetik dan Farmakodinamik MDMA 2.2.1. Farmakokinetik MDMA

MDMA berbentuk tablet atau kapsul, penggunaannya melalui oral dan tempat absorbsi utamanya di traktus gastrointestinal. Penggunaan untuk efek “rekreasi” biasanya 100mg, mulai kerja obat dalam 30 menit setelah pemakaian dan puncak konsentrasi dalam serum terjadi setelah satu sampai tiga jam. Waktu paruh MDMA kira-kira 16 jam hingga 31 jam. 4

MDMA mengalami metabolisme di hepar dibantu oleh sitokrom P450 dengan dua jalur, yaitu jalur N-demethylation dan O-demethylation. Pada metabolisme MDMA melalui jalur minor N-demethylation, akan menghasilkan 3,4 methylenedioxyamphetamine (MDA), menurut hasil penelitian MDA memiliki farmakodinamik dan toksikasi yang sama seperti MDMA, bahkan lebih kuat efeknya terhadap sistem kardiovaskular dan menyebabkan hipertermia. Metabolisme MDMA melalui jalur mayor O-demethylation menghasilkan 3,4 dihydroxymethamphetamin (HHMA). Hasil metabolit MDMA akan dikonjugasikan lalu diekskresi melalui urin. 5

(4)

Gambar 1. Proses Metabolisme MDMA. 5

2.2.2. Farmakodinamik MDMA

MDMA memiliki kemiripan bentuk dengan tiga neurotransmitter di otak, yaitu serotonin, dopamin dan norepinefrin. Kemiripan bentuk ini merupakan dasar mekanisme kerja MDMA. Tempat kerja utama MDMA adalah transporter monoamin untuk norepinefrin, serotonin dan dopamin (Norepinephrin transporter/NET, serotonin transporter/SERT, dopamin transporter/DAT). Transporter monoamin terletak di membran presinaps, berfungsi untuk menghentikan kerja neurotransmiter yang berlebihan dengan cara re-uptake neurotrasnmiter. MDMA merupakan inhibitor kuat terhadap re-uptake serotonin, dopamin dan norepinefrin, selain itu, MDMA dapat memicu pelepasan ketiga neurotransmiter ke celah sinaps. MDMA menyebabkan peningkatan konsentrasi serotonin, dopamin dan norpeinefrin di celah sinap dan meningkatkan aktivasi reseptor post-sinaps. 6

Secara keseluruhan, efek MDMA adalah meningkatkan stimulasi aderenergik-noradrenergik, serotonergik dan dopaminergik di sistem saraf pusat. MDMA memiliki afinitas 4 kali lebih kuat terhadap NET dibandingkan dengan

(5)

SERT dan DAT. Sehingga, efek MDMA lebih mempengaruhi sistem adrenergik-noradrenergik dibandingkan dopaminergik (Upreti, 2007). Aktivitas susunan saraf pusat terjadi melalui kedua jaras adrenergik dan dopaminergik dalam otak dan masing-masing menimbulkan aktivitas lokomotor serta kepribadian stereotopik. Stimulasi pada pusat motorik di daerah media otak depan (medial forebrain) menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan euforia serta meningkatkan libido. Stimulasi pada ascending reticular activating system (ARAS) menimbulkan peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah. 7

Gambar 2. Struktur Kimia MDMA, NE, Dopamin, dan Serotonin. 5

Pengguna MDMA menggunakan MDMA untuk “rekreasi” dengan dosis tipikal rata-rata 75-100mg. pada penggunaan MDMA secara oral dengan dosis rekreasi, terdapat dua efek farmakodinamik akut, yaitu efek fisiologi akut dan efek subjektif akut. Efek subjektif akut yang sering dirasakan oleh pengguna MDMA adalah emosi berupa euforia, supel, ramah terhadap orang lain dan energik. keadaan menyenangkan yang terjadi pada efek subjektif akut tersebut dinamakan “entactogen”. Perasaan menyenangkan inilah yang menjadi alasan pengguna untuk menggunakan MDMA. Efek fisiologis utama yang terjadi pada penggunaan MDMA adalah peningkatan heart rate, peningkatan tekanan darah, midriasis dan peningkatan suhu tubuh. 5

(6)

Efek yang dilaporkan pada pengguna MDMA bervariasi berdasarkan dosis, frekuensi dan durasi penggunaan. Umumnya, efek yang diinginkan dari kebanyakan pengguna adalah yang di produksi oleh dosis rendah pada satu waktu. Hal ini, oleh karena itu baik sekali untuk membagi penggambaran efek yang terjadi menjadi efek akut dan efek kronik (jangka panjang), dan pada setiap kategori dijelaskan terpisah antara efek mental dan fisik. Efek kategori ketiga, terdiri dari toksisitas serius atau fatal yang terlihat dengan penggunaan dalam dosis tinggi atau pada individu yang sensitif dan akan dijelaskan terpisah.

1. Efek akut

a. Efek yang dinginkan

Efek yang diinginkan dari penggunaan MDMA mirip dengan obat lain yang populer dari kelompok amfetamin. Secara fisik, obat ini dapat membuat peningkatan bermakna dari kewaspadaan (selalu terjaga), daya tahan tubuh dan perasaan energi, keinginan seksual, dan menunda kelelahan dan mengantuk. Efek fisiologi yang menyertai dijelaskan sebagai perasaan euforia, merasa selalu sejahtera, ketajaman persepsi sensorik, sosiabilitas yang lebih besar, ekstraversi, dan peningkatan perasaan dekat kepada orang lain dan toleransi yang lebih besar pada pandangan dan perasaan mereka.

Efek selanjutnya adalah memberikan peningkatan yang menyebutkan MDMA mewakili dari kelas-kelas nyata dari ekstasi ini yaitu “empathogen” dan “enctactogen” yang mungkin bisa digunakan untuk tujuan psikoterapi. Sesuai dengan pengakuan yang dibuat sebelumnya untuk MDA, LSD, dan halusinogen lain tetapi walaupun diakui sukses pada percobaan non-controlled trial dengan MDA, tidak ada keuntungan yang bertahan lama penggunaan yang ditemukan setelah 10 tahun follow-up pada pasien yang diterapi dengan LSD. Tidak ada studi pembanding pada pasien yang diterapi dengan MDMA dan pada literatur klinis terbaru menunjukkan tidak ada referensi yang menunjukkan bahwa MDMA ini bisa digunakan dalam psikoterapi.

b. Efek yang tidak diinginkan

Seperti amfetamin, MDMA juga mempunyai efek samping pada banyak fungsi fisik bahkan dengan pemakaian dalam dosis menengah dan hanya bertujuan untuk rekreasional seperti yang dijelaskan sebelumnya. Akibat aksi dasar dari amfetamin mencakup peningkatan keinginan dan kewaspadaan, hal ini juga berhubungan dengan peningkatan tensi darah, yang bermanifestasi tension otot, rahang kaku, gigi terkatup rapat, dan gerakan spontan dari kaki. Peningkatan dari aktivitas motorik, bersama dengan aksi langsung dari obat pada sistem termoregulasi pada

(7)

otak, meningkatan temperatur tubuh. Kekakuan dan nyeri pada punggung bawah dan otot dari anggota gerak merupakan keluhan yang paling sering selama 2-3 hari pertama setelah penggunaan MDMA. Sakit kepala, mual, hilangnya nafsu makan, penglihatan kabur, mulut kering dan insomnia merupakan gejala fisik yang dilaporkan selama penggunaan MDMA dan tidak lama setelah digunakan. Frekuensi jantung dan tekanan darah juga selalu meningkat selama penggunaan obat kemudian akan selalu meningkat lebih dari normal selama beberapa hari.

Efek akut psikologis yang tidak diinginkan biasanya dilaporkan selama penggunaan obat mirip dengan adanya penggunaan berlebihan dari obat tersebut. Adanya peningkatan gairah, jika sudah berlebihan hal ini berubah menjadi hiperaktivitas, ide yang meloncat-loncat sehingga menyebabkan ketidakfokusan dari perhatian, dan insomnia. Keluhan lain yang sering dikeluhkan adalah halusinasi ringan, depersonalisasi, ansietas, agitasi dan perilaku yang tidak biasa atau sembrono. Biasanya gejala ini menuju kearah serangan panik, delirium, atau bahkan episode gejala psikotik yang biasanya tetapi tidak selalu dapat hilang secara cepat jika penggunaan obat diberhentikan. Sehari atau dua hari setelah penggunaan obat, keluhan mental dan mood yang paling sering dikeluhkan adalah susahnya berkonsentrasi, depresi, ansietas dan kelelahan. Gejala ini sangat menyerupai dalam miniatur reaksi putus obat setelah mengalami euforia jangka lama atau gejala manik jangka panjang yang disebabkan oleh penggunaan MDMA, kokain, dan obat stimulan susunan saraf yang lain dalam jumlah besar. 2. Efek kronik atau efek residual

a. Neurotoksisitas serotonin

Sebagian dari beberapa kecil suatu kelompok yang dilaporkan peningkatan atau resolusi dari emosional masalah sesorang setelah penggunaan MDMA pada psikoterapi. Efek jangka panjang hampir semuanya merupakan efek samping dari penggunaan MDMA. Efek ini berasal dari aksi neurotoksik oleh derivat metilendioksi dari amfetamin.

Kemampuan MDMA untuk meningkatkan konsentrasi dari seroronin pada sinaps mungkin mendasari produksi dari peningkatan mood dan gangguan dari fungsi sensoris. Akan tetapi, pada dosis yang lebih tinggi dari pelepasan serotonin pada sinaps tidak hanya memberikan gejala psikotik akut tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan sel yang melepas serotonin tersebut.

Kerusakan ini bisa dengan jelas digambarkan pada eksperimen penggunaan MDMA dan obat yang berhubungan pada hewan coba. Penelitian

(8)

kimiawi dan mikroskopik menunjukkan penurunan jumlah serotonin pada otak, penurunan ini bisa diidentifikasi dengan neuron yang mengandung serotonin dan molekul pentransport serotonin, dan jumlah degenerasi akson serotonergik dan ujung akson pada otak hewan coba yang diterapi dengan MDMA. Meskipun ada teori yang berlawanan pada teori neurotoksisitas dari MDMA. Hal ini sangat jelas ditunjukkan berhubungan dengan peningkatan secara masif dari aktivitas metabolik dan pelepasan neurotransmiter serotonergik dan kemungkinan juga neuron dopaminergik.

Pada manusia, hanya ada satu penelitian mengenai perubahan postmortem pada level serotonin dan metabolit utamanya pada otak pada pengguna MDMA jangka panjang. Level dari serotonin berkurang hingga 50-80% pada beberapa regio berbeda di otak, dibandingkan dengan otak kontrol pada yang bukan pengguna MDMA, di mana level dopaminnya tidak terganggu. Akan tetapi, beberapa tipe penelitian eksperimental pada manusia hidup menunjukkan bukti tidak langsung adanya neurotoksisitas serotonin seperti pada beberapa penelitian yang menggunakan seperti tersebut dibawah ini:

 Level metabolit serotonin pada cairan serebrospinal menunjukkan jumlah pelepasan selama aktivitas neuronal pada otak

 MRI dan proton magnetic resonance spectroscopy dapat mendukung mengestimasi dari jumlah neuron yang utuh pada beberapa bagian otak yang berbeda.

 Senyawa pelabel dengan afinitas yang tinggi dan selektif terhadap neuron serotonin, menunjukkan reuptake transporter atau untuk reseptor serotonin postsinaps yang diberikan kepada seorang objek tertentu. Kemudian digunakan PET dan SPECT untuk memantau lokasi dan jumlah senyawa pelabel tersebut di otak.

 Obat yang diketahui menstimulasi alur serotonergik pada otak diberikan dan respon endokrin yang melepaskan serotonin (perubahan level prolaktin dan kortisol) diukur.

Penelitian tersebut diatas digunakan untuk mengestimasi atau mengukur dari jumlah sel pelepas serotonin yang masih utuh berfungsi atau sel yang responsif terhadap serotonin pada subjek hidup. Dari penelitian tersebut diatas dapat disimpulkan pada bahwa adanya penurunan kadar serotonin secara tidak

(9)

langsung yang ditunjukkan secara tidak langsung dari indikator tersebut diatas pada penggunaan MDMA jangka panjang.

b. Masalah psikiatri jangka panjang

Hal ini menujukkan adanya efek neurotoksik dari MDMA pada sistem serotonin yang kemungkinan dapat menyebabkan berbagai macam masalah mental dan perilaku pada penggunaan obat selama beberapa bulan atau tahun. Masalah ini bervariasi pada setiap individu tetapi semua masalah ini mencakup fungsi dari serotonin yang diketahui memegang peranan penting dalam masalah gangguan mental dan perilaku. Seperti masalah berikut ini yang dijelaskan pada beberapa literatur yaitu:

 Gangguan memori, gangguan verbal dan visual, dengan derajat gangguan sesuai dengan intensitas penggunaan MDMA dan tidak ditemukan pada penggunaan obat lain yang tidak menggunakan MDMA. Defisit memori ini berhubungan dengan pengukuran SPECT dari fungsi serotonin. Pada suatu kasus ditunjukkan bahwa adanya defisit memori jangka panjang yang dihubungkan dengan perubahan otak bilateral pada gambaran MRI yang didahului dengan penggunaan dari MDMA.

 Gangguan penarikan keputusan (fungsi eksekutif), memproses memori, logika dan pemecahan masalah yang sederhana pada pengguna MDMA.  Impulsivitas yang semakin besar dan berkurangnya kontrol diri.

 Serangan panik yang berulang ketika seseorang tidak dalam pengaruh dari obat tersebut bahkan sampai beberapa bulan puasa tidak menggunakan obat tersebut

 Paranoid yang rekuren, halusinasi, deprsonalisasi, dan bahkan episode psikotik yang timbul beberapa waktu pada seseorang yang menghentikan penggunaan MDMA

 Depresi berat, yang beberapa waktu akan resisten pada beberapa pengobatan selain SSRI dan biasanya berhubungan dengan keinginan untuk bunuh diri.

c. Masalah fisik residual

Seperti pada masalah di psikiatrik, ada beberapa masalah fisik yang timbul setelah penggunaan obat selesai atau dimulai selama periode penggunaan obat tetapi menetap walaupun obat dihentikan. Beberapa hal tersebut meliputi:

 Kerusakan gigi (bruksism) dan kekakuan rahang digambarkan sebelumnya sebagai efek akut dari penggunaan MDMA yang akan menetap pada

(10)

periode tidak menggunakan MDMA dan hasilnya signifikan pada gigi belakang.

 Nyeri dan pegal pada otot, sama mekanismenya yaitu adanya peningkatan tegangan otot dan spasme yang bertanggung jawab juga pada kekakuan rahang dan juga terlihat terutama pada otot lain seperti pda otot pinggang bawah dan leher

 Sistem sirkulasi, efek akut dari MDMA pada sistem sirkulasi yang dijelaskan sebelumnya termasuk peningkatan dari tekanan darah tetapi pada efek residual jangka panjang menunjukkan hasil penurunan tekanan darah dan kontrol yang tidak baik dari frekuensi jantung dan tekanan darah oleh gangguan saraf otonomik. Perubahan pola regional dari aliran darah pada otak dilaporkan pada pengguna MDMA.

 Lesi neurologis, neurotoksisitas yang digambarkan sebelumnya bertanggung jawab pada 2 masalah jangka panjang dari sistem saraf, yang pertama adalah parkinson dan yang kedua adalah paralisis nervus abdusens baik salah satu atau bilateral yang disebabkan adanya kerusakan pada neuron dopaminergik.

Ada 4 tipe toksisitas yang sangat serius mengancam kehidupan yaitu: hepatik, kardiovaskuler, serebral dan hiperpireksia. Setiap bagian akan dijelaskan terpisah dibawah ini tetapi pola toksisitas ini bisa terjadi lebih dari satu pada setiap individu yang menggunakan MDMA.

1. Toksisitas hepatik

Proporsi tinggi dari laporan kasus toksisitas tinggi dari MDMA termasuk observasi pasien dengan jaundice. Beberapa penjelasan ditawarkan untuk hal ini termasuk kemungkinan dari reaksi alergi obat, kontaminan toksis dari individu tersebut terhadap obat tersebut, atau efek sekunder dari hiperpireksia, yang akan dijelaskan selanjutnya. Akan tetapi penjelasan yang paling mungkin adalah berhubungan dengan jalur metabolisme dari obat tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya MDMA dan obat yang berhubungan dengan MDMA dimetabolisme di hati dengan menggunakan enzim CYP p450 beragam sehingga membentuk CYP2D6. Produk yang langsung jadi dari reaksi ini akan diproses lebih jauh oleh enzim menjadi prosuk sekunder, beberapa metabolit sekunder ini sangat reaktif dengan glutation. Penurunan bermakna level dari glutation bebas menunjukkan adanya proses perubahan kimiawi (influks kalsium secara masif, perubahan oksidatif dalam membran lipid sel, dan selanjutnya) dan kemudian kearah kematian sel.

(11)

Gambaran klinis dari beberapa kasus bervariasi. Secara umum hal ini relatif ringan seperti pada hepatitis viral dengan jaundice, pembesaran hati, kecenderungan untuk peningkatan perdarahan, peningkatan enzim hati di darah, dan gambaran biopsinya tidak menunjukkan pastinya diagnosis dari toksisitas MDMA. Kesembuhan spontan biasanya terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan tetapi pada pengguna jangka panjang serangan akan berulang dari hepatitis. Beberapa penulis menyimpulan pada kasus hepatitis berulang pada dewasa muda, penggunaan MDMA bisa dicurigai sebagai penyebab. Andreu dkk. menemukan di rumah sakitnya “ekstasi” merupakan penyebab paling sering kedua untuk cedera hati pada pasien dibawah 25 tahun. Gambaran ini bisa menjadi lebih parah, akan tetapi progres penyakit ini bisa terjadi secara cepat untuk menghindari gagal hati dan akan menyebabkan fatal kecuali penderita ini mendapatkan transplantasi hati. 2. Toksisitas kardiovaskuler

Seperti yang diceritakan sebelumnya, MDMA dan obat lain yang berhubungan meningkatkan pelepasan tidak hanya serotonin, tetapi juga noradrenalin dan dopamin. Hal ini khusunya noradrenalin yang bertanggungjawab dari efek samping serius pada sistem kardiovaskuler. Efek ini terdiri dari 2 tipe dasar yaitu: hipertensi dengan konsekuensi ruptur pembuluh darah, perdarahan internal dan takikardi dengan konsekuensi peningkatan beban kerja jantung dan hasilnya risiko terjadi heart failure.

 Perdarahan intrakranial mayor dilaporkan, yang kemungkinan penyebab dari rupturnya pembuluh darah yang sudah di lemahkan dengan anomali kongenital atau penyakit yang mendasari dan ketika ditambahkan dari hipertensi yang terinduksi obat memberatkan hal ini.

 Perdarahan ptekie diobservasi di otak dan beberapa macam organ lain dari penelitian observasional pada otopsi pada beberapa banyak dari kasus fatal yang dijelaskan sebelumnya. Tipe hemoragik ini mempengaruhi pembuluh darah kecil dan secara instan lebih lemah dari pembuluh darah yang besar dan tidak membutuhkan kerusakan preeksisting padadinding pembuluh darah.  Perdarahan retina sudah di jelaskan dapat dilihat di autopsi.

 Kerusakan dinding pembuluh darah dan akan menyebabkan trombosis intravena.

 Gangguan serius pada irama jantung diobservasi diobservasi pada pengguna MDMA.

(12)

Salah satu konsekuensi dari penggunaan ekstasi adalah berkeringat sangat banyak sebagai hasil kombinasi dari aktivitas fisik yang bersemangat dan aksi farmakologi pada darah dengan mekanisme termoregulasi. Jika sodium dalam jumlah besar bisa hilang dari keringat, maka seorang penari akan meminum air untuk menghindari kepanasan, hasilnya adalah hemodilusi dan menyebabkan hiponatremia. Dan dengan mekanisme tambahan yang dapat berkontribusi dengan hasil yang sama adalah ketidak sesuaian sekresi dari kelenjar hipofisis hormon antidiuretik sehingga menyebabkan retensi air pada ginjal, tetapi pada banyak kasus kemungkinan penyebabnya adalah pemasukan air yang sebelumnya diikuti oleh berkeringat. Hal ini mengarahkan jalan lintasan air dari darah menuju jaringan termasuk otak. Terdapat 2 hal yang serius ketika hal tersebut terjadi yaitu inisiasi dari kejang seperti epilepsi, kompresi dari batang otak dan serebelum turun pada foramen magnum. Yang menunjukan disrupsi fatal dari respirasi atau kardiovaskuler.

4. Toksisitas dengan pola hiperpireksia

Pola ini merupakan toksisitas yang diinduksi MDMA yang paling berbahaya dari toksisitas lain. Dari catatan sebelumnya kombinasi reaksi obat, aktivitas fisik dan lingkungan yang panas. Contoh pola hiperpireksia yaitu rhabdomyolisis, myoglobinuria dan gagal ginjal, kerusakan hati.

2.4 Pemeriksaan MDMA dalam Forensik

Toksikologi forensik mempelajari tentang ilmu dan aplikasi toksikologi untuk kepentingan hukum. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kuantitatif maupun kualitatif dari racun sebagai bukti fisik serta melakukan interpretasi hasil analisis racun tersebut baik pada korban hidup maupun pada korban yang telah meninggal.9 Deteksi substansi toksik memegang sebuah peranan penting dalam forensik. Hal tersebut penting untuk menunjukkan apakah benar bahwa seseorang berada di bawah pengaruh obat-obatan pada suatu kejadian yang bermakna, baik kecelakaan atau tindak kriminal. 10

Kadar suatu substansi dalam darah atau plasma sering berhubungan dengan efek serebral yang dihasilkan pada manusia hidup, berbeda dengan yang terjadi pada jenazah. Hal ini diakibatkan proses kimia yang terjadi pada jenazah atau yang disebut proses tanatokemikal (thanatochemical-processes). Yang termasuk di antaranya adalah degradasi post-mortem,

(13)

redistribusi, dan terkadang dipengaruhi oleh produksi substansi post-mortem. Pada suatu substansi yang tidak stabil, kadar substansi tersebut dalam plasma dapat berkurang atau bahkan tidak terukur. 9

Untuk mendapatkan hasil yang valid dalam melakukan analisis toksikologi, kita perlu mengenali sifat dan stabilitas dari analit. Studi-studi yang dilakukan oleh Giorgi SN dan Meeker JE terhadap stabilitas kokain, benzoilekgonin, metamfetamin, amfetamin, morfin, kodein, dan fenisiklidin (PCP) selama 5 tahun, didapatkan bahwa hasil obat yang paling tidak stabil adalah kokain, benzoilekgonin, dan morfin. Sedangkan metamfetamin dan PCP bersifat stabil. 9

Penyalahgunaan turunan amfetamin seperti MDMA atau yang disebut ekstasi adalah suatu masalah publik dan sering mengakibatkan hal yang fatal. Dimana hal ini sering ditemui pada praktik forensik maupun medikolegal sehari-hari. Beberapa kasus yang didiskusikan oleh para ahli adalah ditemukannya pengemudi yang berkendara di bawah pengaruh (driving under the influence/DUI) obat-obatan, dalam hal ini MDMA. 9

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kedokteran Forensik dari

Ghent University, Belgia, ditemukan relevansi dari sampel spesimen post-mortem, termasuk pengambilan darah dan urin, beberapa jenis jaringan (misalnya hati, ginjal, otot, dan otak), rambut, vitreous humor, dan larva. Disimpulkan bahwa degradasi post-mortem MDMA sangat minimal, yang artinya evaluasi cairan atau sampel jaringan yang diambil post-mortem dapat mempresentasikan mendekati konsentrasi MDMA ante-mortem. 9

Pemeriksaan Toksikologi

Pemeriksaan Fisik pada Pasien Hidup

Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan penekanan pada daerah yang mungkin memberikan petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, termasuk tanda-tanda vital, mata, mulut, kulit, abdomen, dan sistem saraf. 11

1. Tanda-tanda vital

Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh) merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan toksikologi. Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-obatan amfetamin dan antimuskarinik. Sementara pernapasan yang cepat, hipertermia khas pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya.

(14)

2. Mata

Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat pada turunan amfetamin, kokain, LSD, atropin, dan obat antimuskarinik lain.

3. Sistem saraf

Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon, haloperidol, PCP, dan obat simpatomimetik lainnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, MDMA mempunyai efek mulut kering, kejang, jantung berdenyut lebih cepat, dan keringat keluar lebih banyak, kemudian efek selanjutnya mata kabur, hipertermia, paranoid, sulit konsentrasi, dan nyeri seluruh otot.

Perubahan Tanatologi yang Terjadi pada MDMA

MDMA merupakan substansi yang cukup stabil in vitro. Hingga saat ini, belum ada argumen yang menyatakan bahwa MDMA dimetabolisme post-mortem oleh bakteri, berbeda dengan nitrobenzodiazepin. Pada manusia, metabolisme dari metabolit aktif 3,4-metilendioksiamfetamin (MDA) adalah jalur minor; sementara pembentukan glukoronit atau metabolit konjugat sulfat 3, 4-dihidroksimetamfetamin (HHMA) dan 4-hidroksi-3-metoksimetamfetamin (HMMA) merupakan jalur predominan di metabolisme MDMA. MDA sebagai metabolit aktif dari MDMA biasanya ditemukan sekitar 5-10 % dari kadar MDMA dalam serum atau plasma. 9

Pemeriksaan Barang Bukti Mati pada Kasus Pemakaian Narkoba

Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sama dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensik, psikiater maupun ahli toksikologi. Pertanyaan–pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi apakah kejadian tersebut merupakan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun kemungkinan pembunuhan, jenis obat apakah yang digunakan, melalui cara bagaimanakah pemakaian obat tersebut, adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian, apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah merupakan pecandu berat, adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut, apakah jenis narkoba

(15)

yang digunakan memprovokasi penyakit-penyakit yang mungkin sudah ada pada korban, apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban.

Ringkasnya, penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek,11 yaitu : a. TKP (Tempat Kejadian Perkara);

b. riwayat korban; c. otopsi;

d. pemeriksaan toksikologi;

Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti-bukti adanya pemakaian narkoba. Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga, teman, maupun saksi-saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba. Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan sampel yang adekuat untuk pemeriksaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas penyuntikan maupun sayatan-sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba.

Pada pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda-tanda dari komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan paru, biasanya didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan-bahan narkoba yang masih utuh tetapi warna dari cairan lambung dapat memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi. Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha-usaha penyelundupan narkoba.

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah-daerah yang dicurigai merupakan tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda-benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik. Namun pada penyalahgunaan MDMA tidak ditemukan bekas suntikan, karena obat ini dikonsumsi secara oral, kecuali apabila korban diketahui mengonsumsi jenis obat-obat lain melalui intravena. 12

(16)

Temuan pada Otopsi

Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral seperti MDMA, mungkin tidak ada manifestasi eksternal yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari telunjuk bagian palmar yang digunakan untuk memegang pipa panas pada penggunaan oral.12

Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Sampel otopsi harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan pada hepar, jaringan pada otak, jaringan pada jantung, jaringan pada paru-paru, isi lambung dan rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif untuk beberapa hari setelah penggunaan pertama, dan positif untuk waktu yang lebih lama pada penggunaan kronis. Rambut juga dapat dianalisis untuk melihat positif tidaknya penggunaan MDMA.12 Cairan empedu dan urine secara khusus sangat penting pada kasus-kasus kematian akibat pemakaian opiat. Usapan mukosa hidung kadang-kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun heroin.13

 Penemuan Pada Otak

Studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin dan metabolit utamanya pada otak pada pengguna jangka panjang. Level serotonin berkurang 50%–80% pada regio yang berbeda pada otak, pada perbandingan dengan yang tidak menggunakan. Dapat memperlihatkan gambaran disseminated intravascular coagulation (DIC), edema dan degenerasi neuron nampak pada lokus ceruleus. Dalam sebuah studi postmortem dapat ditemukan adanya nekrosis glandula hipofisis, hal ini kemungkinan karena kurangnya suplai darah.12

 Penemuan Pada Jantung

Jantung adalah target organ, terkadang terjadi penambahan berat, terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga dapat ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis myofibril. Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan menyebabkan terjadinya peningkatan katekol dalam darah, jantung sering terdapat area iskemi dan mionekrosis yang dikelilingi oleh neutrofil dan makrofag.12

(17)

Dapat terdapat pembesaran hepatosit dan pada sitoplasma bisa mengandung banyak vakuola. Kasus intoksikasi yang menyebabkan hipertermia dengan kegagalan fungsi hati sering terdapat nekrosis hepatis masif, perlemakan, dilatasi sinusoidal dan inflamasi juga ditemukan.12

 Penemuan pada Ginjal

Pada ginjal mengakibatkan myoglobinuric tubular necrosis, sedangkan metamfetamine dapat menyebabkan glomerulonefritis peroliferatif akibat dari suatu systemic necrotizing vasculitis. Biasanya akan terjadi bila digunakan secara intravena, Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila terjadi overdosis.7

 Pemeriksaan Darah

Waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi pada darah dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya.12 Kebanyakan tes skrining darah adalah menggunakan teknik imunoassay. Dapat juga dengan menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi. Identifikasi dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat digunakan untuk tes simpel yang non-invasif.

 Tes Urin

Pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amfetamin (metode umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang digunakan). Periode deteksi amfetamin pada urin adalah 24-96 jam setelah penggunaan (rata-rata 72 jam). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH dan status hidrasi. 12  Tes Rambut

Analisis rambut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan derivatnya, namun penggunaannya tidak direkomendasikan. Tes rambut secara umum memerlukan sekitar 1.5 inci dari rambut. Ini menyediakan periode dekteksi sekitar 90 hari. Jika rambut seseorang kurang dari 1,5 inci, periode deteksinya akan lebih pendek. 12

Pemeriksaan Penunjang

Mass Spectrometry (MS) adalah teknik yang sekarang digunakan dalam banyak aspek ilmu forensik, tapi alat yang di gunakan masih terus berkembang untuk menyediakan peningkatan pada metode yang sekarang ada atau bahkan dalam aplikasi yang baru. MS dalam ilmu forensik menyediakan metode dalam banyak aplikasi untuk mengidentifikasi sebuah senyawa atau komponen dari sebuah senyawa campuran, yang terdiri dari formula molekul dengan struktur kimianya. Pengguanan MS secara luas dan juga kebutuhannya untuk dapat bekerja lebih cepat, efisien dan pengukuran yang lebih sensitif, mendorong dalam perkembangan

(18)

yang lebih serba guna dan lebih efisien. Format MS yang baru terbukti dalam penggunaanya untuj aplikasi forensiknya, bukan hanya itu format baru ini juga dapat di gunakan secara luas dalam penggunaannya dalam bidang kimia, biokimia, biologi, dan farmakologi, dan di antara bidang yang lainnya, MS juga menjadi alat yang penting dalam identifikasi bahan kimia, profil komposisi dan analisis struktur. Idealnya, teknik deteksi dan analisis haruslah kuat, sensitif, informatif, luas dalam segi aplikasinya dan spesifik dalam segi diskriminasi.14, 15

Banyak teknik analisis tersedia untuk analisis forensik, tapi MS mendominasi dalam beberapa aplikasi. Meskipun teknik Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC – MS) tradisional digunakan sebagai alat instrument yang penting dalam analisis forensik, teknologi MS yang baru dikembangkan memberikan pengingkatan dalam banyak hal. Peningkatan dalam hal proses ionisasi mungkin menjadi salah satu perkembangan yang paling penting, yang termasuk diantaranya teknik ESI, MALDI dan ambient atau atmospheric pressure ionization.13

Aplikasi yang saat ini paling mutakhir adalah dengan metode ambient ionization, khususnya pada direct analysis in realtime (DART). Perbedaan dari ambient ionization

dengan MS yang konventional adalah pada manipulasi kimia dari sampel pada instrument. Senyawa yang diperiksa diionisasi dalam udara terbuka langsung di depan tabung terbuka tempat masuk senyawa dari mass spectrometer sehingga hasilnya akan langsung terdeteksi. Perlu diingat bahwa metode ambient ionization dapat digunakan tanpa pemisahan secara kromatografik. Keuntungan utama dari ambient ionization adalah kegunaannya yang luas dalam ionisasi sampel dalam bentuk aslinya, tanpa perlu diekstraksi, derivatisasi atau proses sampel yang lain sebelum dilakukan analisis. Perkembangan dalam mass analyzers sangat berguna menyediakan manfaat yang langsung sehingga mass analyzers memiliki resolusi yang lebih tinggi dan dapat mengidentifikasi dengan lebih baik. 15

Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GCMS)

Dalam GCMS sampel yang digunakan harus dalam bentuk larutan yang akan di injeksikan kedalam alat yang digunakan dan akan di ekstraksi. Setelah pemisahan secara kromatografi, akan terjadi ionisasi melalui electron impact ionization, dimana 10 elektron volt menyebabkan electron dikeluarkan dari dalam sel, menyebabkan molekul ion kation radikal dengan berat dari senyawa yang ditemukan.14

(19)

Mass Analyzers

Banyak jenis dari mass analyzers digunakan dalam MS, termasuk quadrupole, TOF, orbitrap

dan instrument gabungan. Mass analyzers GC – MS yang ada pada umumnya digunakan pada laboratorium forensik menggunakan linear quadrupole, karena mudah digunakan dan relatif murah, efisien dalam segi transmisi ion ke detector dan dalam segi kegunaan dasarnya, yaitu menjadi filter massa dalam analisis kimia. Akurasi yang tinggi dalam pengukuran massa menjadi kuncinya, sehingga dapat mengidentifikasi tanpa perlu melakukan pemisahan secara kromatografi. 16

Liquid Chromatography – Mass Spectrometry (LCMS)

Ketika GCMS digunakan secara luas dalam bidang forensik, metode LCMS ada dengan metode yang dianggap lebih baik. LCMS menggunakan ESI untuk menghasilkan fase ion gas, sehingga lebih berguna bila digunakan untuk analisa bahan dalam jumlah yang besar, bahan yang tidak dapat menguap, seperti material biologik.16

Ambient ionization

Dalam dekade terakhir ini merupakan masa peralihan dalam pengembangan metode – metode ionisasi. Metode yang sederhana dan tepat menjadi faktor penting dalam pengambilan sampel dari senyawa di keadaan aslinya. Perkembangan ini memudahkan analisis dari senyawa yang sulit di proses bila menggunakan metode konvensional, termasuk senyawa yang tidak dapat menguap dan materi yang padat, juga sampel jaringan atau jaringan dengan susunan yang kompleks.16

Direct analysis in real time ionization

DART ionization mengandalkan mekanisme ionisasi fase gas, dan membutuhkan sampel yang sedikit untuk dapat diperiksa.DART menggabungkan desorpsi termal, transfer, dan penning ionization. DART dapat langsung digunakan pada sampel di TKP tanpa harus di ekstraksi terlebih dahulu.15, 16

2.5 Program Pengobatan atau Terapi dan Antidotum MDMA

Prinsip pengobatan pada toksisitas MDMA adalah farmakoterapi intervensif ,sebagai berikut: (1) dekontaminasi dengan arang aktif/sorbitol; (2) sedasi dengan benzodiazepin pada pasien

(20)

gelisah dan cemas; (3) pengobatan hipertermia dengan cepat pendinginan konveksi, penyemprotan air ke tubuh dan menggunakan kipas angin listrik untuk mengalirkan air, mencoba untuk mendinginkan suhu inti untuk 101 ° F dalam waktu 30-45 menit; (4) bantuan dari kejang otot dan/atau kram dengan benzodiazepin, (5) pencegahan rhabdomyolysis dengan cairan IV (manfaat furosemide atau natrium bikarbonat masih kontroversial); (6) kontrol kejang dengan benzodiazepin; dan (7) stabilisasi hemodinamik dan / atau gangguan kardiovaskular dengan nitroprusside atau nitrogliserin. 17, 18

Sementara kebanyakan pasien dengan MDMA overdosis meningkatkan dengan perawatan suportif, komplikasi yang mengancam jiwa hasil dari toksisitas berat. Kematian telah dilaporkan karena hipertermia berat (yaitu, stroke panas) disertai dengan disseminated intravascular coagulation, rhabdomyolysis, dan gagal ginjal akut. Kematian dari edema serebral dan kejang sekunder untuk hiponatremia dan syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) juga telah dilaporkan. Seperti dalam setiap toksisitas amfetamin, bahaya aritmia jantung dan ketidakstabilan kardiovaskular selalu harus diperhatikan. Perhatian jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC) dan tanda-tanda vital adalah standar penanganan dalam overdosis, dan pemeriksaan neurologis juga diperlukan. Menyediakan oksigen, memperoleh akses intravena, dan melakukan monitoring jantung. Penentuan kadar glukosa ditunjukkan kepada pasien dengan perubahan status mental. Jika seorang pasien hipoglikemik,pemberian tiamin untuk menjaga konsentrasi glukosa serum dengan pemantauan sering.

Jika toksisitas akut yang disebabkan oleh konsumsi diketahui, melakukan dekontaminasi gastrointestinal dengan pemberian arang aktif. Lavage Orogastric biasanya tidak diperlukan kecuali co-ingestant mengancam jiwa terlibat dan pasien datang dalam waktu 1 jam dari konsumsi. Irigasi seluruh usus dapat diindikasikan jika tubuh keracunan obat yang dicurigai. Meskipun gangguan pernapasan jarang, intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan pada pasien yang tidak dapat melindungi jalan napas mereka atau memiliki gangguan pernapasan karena kondisi seperti kejang, instabilitas kardiovaskular, atau trauma.

Pasien dengan hipertermia parah memerlukan langkah-langkah pendinginan agresif dan resusitasi cairan yang memadai. Morbiditas secara langsung berhubungan dengan tingkat keparahan dan durasi hipertermia. Pertimbangan manajemen adalah sebagai berikut: Menanggalkan pakaian pasien, Terapkan pendingin menguapkan air dan kipas angin,

(21)

Terapkan kompres es di pangkal paha dan ketiak, Lavage lambung es dapat dianggap, Kendali menggigil dengan benzodiazepin, jangan menggunakan antipiretik karena tidak ada manfaatnya.

Mengobati kejang dengan benzodiazepin. Kebanyakan kejang adalah sembuh dan berespon dengan baik untuk benzodiazepin. Melindungi jalan napas dan mempertimbangkan fenobarbital atau propofol pada pasien dengan gejala refrakter. Perlakukan yang mendasari penyebab dan cek elektrolit, terutama hiponatremia. Mulailah dengan pembatasan cairan, tapi pertimbangkan untuk menambahkan garam hipertonik dalam kasus refrakter atau berat; dalam kasus ini, menambahkan 3% saline dan furosemide dapat diindikasikan tetapi pada tingkat tidak lebih besar dari 0,5-1 mEq/L/jam. Selalu melakukan pengujian kehamilan pada pasien wanita dengan overdosis. MDMA, seperti semua amfetamin, dapat menjadi racun bagi janin dan dapat menyebabkan keguguran atau persalinan prematur. 17, 18

2.6 Medikolegal Penggunaan MDMA Undang-undang Narkotika Psikotropika

Narkotika dulu diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 yang mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan. Namun dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, dalam sindikat tingkat nasional maupun internasional.19

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.19

Narkotika dibedakan dalam 3 golongan sebagai berikut :

 Narkotika golongan I: Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: heroin, kokain dan ganja.

(22)

 Narkotika golongan II: Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan, digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: morfin, petidin, turunan/garam dalam golongan tersebut.

 Narkotika golongan III: Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan Contoh: kodein, garam-garam Narkotika dalam golongan tersebut.

Menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam 4 golongan sebagai berikut20:

 Psikotropika golongan I: Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan Contoh: MDMA, ecstasy, LSD, ST.

 Psikotropika golongan II: Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: amfetamin, fensiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfenidat (ritalin).

 Psikotropika golongan III: Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: fenobarbital, flunitrazepam.

 Psikotropika golongan IV: Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxide, nitrazepam (BK,DUM,MG).

Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Maka dibentuklah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang juga mengatur tentang Prekursor Narkotika dan sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap

(23)

pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan.1

Seperti halnya tentang proses hukum dalam penyalahgunaan Narkotika, maka dalam Pasal 56 ayat 2 Undang-undang Psikotropika ini menyatakan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang (h) meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang psikotropika.

Dalam beberapa poin dikatakan bahwa penyidik berhak meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, termasuk dalam hal ini seorang dokter yang dianggap sebagai profesi yang mengerti tentang anatomi dan proses yang terjadi dalam tubuh manusia. Seperti yang tertulis pada pasal 133 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dinyatakan dalam ayat (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Sedangkan dalam pasal 1 butir 28 dikatakan bahwa Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, dan merupakan kewajiban bagi seorang dokter untuk memberikan keterangan sesuai keilmuannya, seperti tercantum dalam pasal 179 KUHAP:

1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

2. Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

(24)

Bantuan dokter sebagai ahli yang dimintai keterangannya, dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk membentuk keyakinan hakim dalam memutuskan suatu perkara sesuai tercantum pada dalam pasal 183 KUHAP, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Menurut pasal 184 KUHAP (1) Alat bukti yang sah ialah:4

a. Keterangan saksi; yang dijelaskan dalam pasal 185 (1) bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

b. Keterangan ahli; diatur dalam pasal 186 KUHAP (1) Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

c. Surat; sebagaimana diatur dalam pasal 187 KUHAP bahwa surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

 Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

 Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

 Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;  Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.

d. Petunjuk; dalam pasal 188 (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

 Keterangan saksi,  Surat,

(25)

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan terdakwa; sebagaimana diatur dalam pasal 189 (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Sesuai dengan pasal-pasal tersebut diatas, keterangan seorang dokter dapat menjadi alat bukti berupa keterangan ahli ataupun surat. Keterangan ahli, apabila diberikan dalam bentuk lisan di persidangan dengan mengucapkan sumpah/janji sebelum atau jika dianggap perlu juga sesudah memberikan keterangan. Kategori surat bila diberikan dalam bentuk tertulis dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan sebagai dokter atau dengan lebih dahulu mengucapkan sumpah/janji sebagai ahli ketika hendak melakukan pemeriksaan.

Keterangan dokter menjadi disamakan nilainya dengan alat bukti jika sesuai pasal 162 (1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. (2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan dibawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang di ucapkan di sidang.

Dari berbagai pasal-pasal tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa adalah kewajiban seorang dokter untuk memberikan bantuan dalam setiap peradilan yang memintakan bantuan untuk keilmuannya termasuk dalam hal ini adalah permintaan bantuan dokter dalam menangani kasus penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika.1 Berikut adalah pasal-pasal mengenai narkotika sesuai dengan UU RI. 21

(26)

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau non-ekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk Narkotika.

4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.

5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.

6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.

8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.

9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun.

10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.

11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk Narkotika.

12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat kantor pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.

13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaanketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

(27)

14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

15. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

16. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.

17. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika 1. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam :

a. Narkotika Golongan I, b. Narkotika Golongan II, dan c. Narkotika Golongan III.

2. Penggolongan Narkotika sebagaimana di maksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran 1 dan mungkin bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

3. Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika 1. Narkotika Golongan 1 dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. 2. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan 1 dapat digunakan untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagansia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Pasal 43 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 1. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:

(28)

b. Rumah sakit;

c. Pusat kesehatan masyarakat; d. Balai pengobatan; dan e. Dokter

2. Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada: a. Rumah sakit;

b. Pusat kesehatan masyarakat; c. Apotek lain;

d. Balai pengobatan; e. Dokter; dan f. Pasien.

3. Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

4. Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:

a. Menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika

melalui suntikan; atau

c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

5. Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

(29)

Bab III Contoh Kasus

Seorang laki-laki usia 26 tahun ditemukan tergeletak di pinggir jalan setelah menelan beberapa tablet ekstasi. Setelah dibawa kerumah sakit laki-laki tersebut meninggal akibat hiperpireksia. Hasil pemeriksaan ditemukan berupa obat-obatan sejenis MDMA, MDA, dan paracetamol (kurang dari 10mg/L) namun tanpa ethanol. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan serum darah saat fase antermortem yaitu satu jam sebelum kematian dan serum darah post mortem yang diambil dari vena femoralis kanan dan kiri serta vena jugularis.

Konsentrasi MDMA dan MDA lebih tinggi pada sampel post mortem dari pada konsentrasi pada serum antemortem. 22

Sample (site) MDMA cons (mg/L) MDA conc (mg/L) MDMA PM/AM ratio MDA PM/AM ratio Collection time in relation to death AM blood 2,04 0,06 - - -1 hour PM Blood (femoral) 2,25 0,09 1,1 1,5 +2 days PM blood (jugular) 2,99 0,14 1,5 2,3 +2 days

(30)

Bab IV Penutup

4.1 Kesimpulan

3,4 – Metilendioksimetilamfetamine (MDMA) atau ekstasi ini ditemukan kembali dan populer pada tahun 1980 di Inggris). Mekanisme dari MDMA sendiri adalah merangsang pelepasan katekolamin dari presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap neuron serotonin yang menyebabkan pelepasan serotonin yang banyak dan menghambat reuptake pada presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin transporter. Maka lebih banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps. Peningakatan level serotonin menyebakan rasa senang seperti empto, euphoria, disinhibisi dan peningkatan perasaan ingin disentuh dan bersosial.

Dalam pemeriksaan terhadap jenazah yang diduga meninggal akibat intoksikasi dari MDMA, sulit ditemukan tanda khas secara fisik karena obat dikonsumsi secara oral. Maka dilakukan pemeriksaan otopsi dan akan ditemukan penemuan pada otak, paru–paru, jantung, hepar, ginjal, juga dilakukan pemeriksaan terhadap darah, urin dan rambut. Penanganan awal pada kasus intoksikasi MDMA yang masih hidup diberikan obat-obat untuk menurunkan tekanan darah atau menghentikan kejang. Dilakukan bilas lambung dan obat-obat diberikan untuk mempercepat pembuangan MDMA dari tubuh. Tidak terdapat antidotum spesifik untuk intoksikasi MDMA.

Dalam pembahasannya dalam aspek medikolegal maka tercantum dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang telah diperbaharui ke dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 dan Undang-Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

(31)

4.2 Saran

Setelah mengkaji dan memahami penggunaan ilmu kedokteran forensik dan medikolegal dalam mengidentifikasi intoksikasi Ekstasi (MDMA), maka kami menyarankan:

1. Agar ilmu kedokteran forensik dapat membantu menegakkan diagnosis intoksikasi MDMA dan dapat menentukan sebab kematian karena ekstasi.

2. Agar menghindari penyalahgunaan NAPZA.

3. Agar membatasi peredaran obat-obat terlarang yang berpotensi tinggi disalahgunakan oleh pasien maupun oleh tenaga kesehatan.

4. Agar ditindak tegas oknum yang terlibat dalam penjualan atau pengedaran obat-obat terlarang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

(32)

Daftar Pustaka

1. Suharto G. Peraturan perundangan. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2014. h.59-63.

2. Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Atmadja DS,dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Fakultas Universitas Indonesia, 2009. h.136-7.

3. Barcelpux DG.Medical Toxicology of Drug Abuse: Synthesized Chemicals and Psychoactive Plants. New Jersey: John Willey and Sons Inc. 2012. p.126-7.

4. Mas et al 1999, ‘Pharmacology of MDMA (Ecstasy)’, Diakses pada 30 Oktober 2015. http://www.health.gov.au/internet/publications/publishing.nsf/Content/drugtreat-pubs- modpsy-toc~drugtreat-pubs-modpsy-2~drugtreat-pubs-modpsy-2-3~drugtreat-pubs-modpsy-2-3-pmdm.

5. Upreti, V.V 2007, ‘Characterization and Pharmacodynamic Drug Interaction of 3,4-Methylenedioxyamphetamin (MDMA, Ecstasy)’, Dissertation, University of Maryland, Baltimore.

6. Rietjens, S.J, Laura, H, Remco, H.S.W, Jan, M 2012, ‘Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of 3,4-Methylenedioxymethamphetamine (MDMA): Interindividual Differences Due to Polymorphisms and Drug–Drug Interactions’, Reviem Article, University Medical Center Utrecht, Netherlands.

7. Japardi, S 2002, ‘Efek Neurologis dari Ekstasi dan Shabu-Shabu’, Universitas Sumatera Utara, Medan.

8. Kalan, Herold dkk. 2001. The pharmacology dan toxicologi of defition, “ecstasy” (MDMA) and related drugs. CMAJ 2001;165(7):917-28.

9. De Letter, et al. Post-mortem redistribution of MDMA: human and animal data. Ghent University, Belgium: Department of Forensik Medicine; in Current Pharmaceutical Biotechnology. 11 (5), 453-59. 2010.

10.Manela C. Pemilihan, penyimpanan, dan stabilitas sampel toksik pada korban

penyalahgunaan Narkotika; dalam Jurnal Kesehatan Andalas 4 (1). FK Unand: Bagian Forensik; 2015.

(33)

11. Budianto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Atmadja DS,dkk. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Fakultas Universitas Indonesia, 2009. h.136-7.

12.Stephen BG. Investigation of death from drug abuse. In: Spitz WU, Spitz DJ. Spitz and Fisher’s Medicolegal Investigation of Death. 4 th ed. Charles C Thomas Publisher LTD, USA.

13.Morris Hamilton; Wallach Jason. From PCP to MXE: a comprehensive review of the non-medical use of dissociative drugs. 2014. Drug test analysis. DOI

10.1002/dta.1620.

14.Tominaga M et al. Efficacy of drug screening in forensik autopsy: Retrospective investigation of routine toxicological findings. Leg Med (2015),

http://dx.doi.org/10.1016/j.legalmed.2015.01.001 .

15.Tominaga M et al. Efficacy of drug screening in forensik autopsy: Retrospective investigation of routine toxicological findings. Leg Med (2015),

http://dx.doi.org/10.1016/j.legalmed.2015.01.001 .

16.Lesiak Asthon; Shepard Jason. Recent advances in forensik drug analysis by DART-MS. BIOANALYSIS 6(6). 819-842. March 2014. DOI: 10.4155/bio.14.31.

17.Burgess C, O'Donohoe A, Gill M. Agony and ecstasy: a review of MDMA effects and toxicity. Eur Psychiatry. 2000 Aug. 15(5):287-94.

18.McCann UD, Eligulashvili V, Ricaurte GA.

(+/-)3,4-Methylenedioxymethamphetamine ('Ecstasy')-induced serotonin neurotoxicity: clinical studies. Neuropsychobiology. 2000. 42(1):11-6.

19.Republik Indonesia, Undang-undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika.

20.Republik Indonesia, Undang-undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

21.Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta: balai penerbit FKUI, 1994. h.13-5.

22.Elliot SP. MDMA and MDA concentrations in antemortem and in antemortem and postmortem specimens in fatalities following hospital admission. Journal of Analitycal Toxicology; Vol. 29, July/August. Birmingham; UK. 2005. p. 296-301.

(34)

Gambar

Gambar 1. Proses Metabolisme MDMA.  5
Gambar 2. Struktur Kimia MDMA, NE, Dopamin, dan Serotonin.  5

Referensi

Dokumen terkait

Dipandang dari sisi penelitian, menurut Dennings terdapat tiga paradigma besar dalam penelitian teknik informatika atau ilmu komputer, yakni teori, eksperimen yang merupakan

Form dialog open digunakan untuk memanggil atau membuka file dengan format .txt, .rtf, .doc., yang nantiya akan ditampilkan pada komponen RichEdit pada aplikasi

Hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang

Pada mata kuliah kapita selekta mahasiswa dituntut untuk bisa menganalisis, membuat peta konsep, dan menjelaskan konsep yang terdapat di dalam buku SMA kelas X dan XI..

a. Marimba: pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani, ruhani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran

Tapi ngge sering bangun sendiri mbak,, ngge mboten patek mbak, lek omat kulo teng sekolah di telpun ngoten ibuke.. ngge biasane tangklet, wis ning sekolah opo

Warta Perkaretan Vol 35 No 2 tahun 2016 berisi 7 artikel, terdiri atas 3 artikel hasil penelitian dan 4 artikel hasil review/tinjauan ilmiah khususnya dari Bidang :

On June 15, NetSolutions menjual barang kpd Kranz Company secara kredit, $700, terms FOB destination.. COGS