• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

Badan Tenaga Nuklir Nasional

J. Tek. Peng. Lim. Vol. 13 No. 1 Hal. 1-79 Juni 2010 Jakarta ISSN 1410-9565

 

(2)

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc.

(Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)

Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T.

Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

e-mail : ptlr@batan.go.id

(3)

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Jurnal enam bulanan Pertama terbit Juni 1998 Penanggung Jawab / Pengarah Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc.

(Ka. PTLR BATAN)

Pemimpin Redaksi merangkap Ketua Editor Dr. Ir. Budi Setiawan M.Eng. (PTLR BATAN)

Editor

Dr. Ir. Djarot S. Wisnubroto, M. Sc. (PTLR BATAN) Dr. Pratomo Budiman Sastrowardoyo (PTLR BATAN)

Dr. Sri Harjanto (Universitas Indonesia) Dr. Thamzil Las (Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah)

Heny Suseno, S.Si., M.Si. (PTLR BATAN) Ir. Sucipta, M. Si. (PTLR BATAN)

Mitra Bestari

Dr. Sahat M. Panggabean (Kementerian Negara Riset dan Teknologi) Dr. Muhammad Nurdin (Universitas Haluoleo)

Tim Redaksi Endang Nuraeni, S.T.

Yanni Andriani, S.T. Adi Wijayanto, A.Md.

Penerbit

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif Badan Tenaga Nuklir Nasional

Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15310, Indonesia Tel. +62 21 7563142, Fax. +62 21 7560927

(4)

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Pengantar Redaksi

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Volume 13 Nomor 1, Juni 2010. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah memuat karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan.

Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah pada tahun ini melakukan proses Re-akreditasi dan telah mendapatkan kembali Sertifikat Akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) No. 284/AU1/P2MBI/05/2010, SK Kepala LIPI Nomor : 452/D/2010, Tanggal : 6 Mei 2010 dengan Akreditasi B. Harapan dari Dewan Redaksi semoga akreditasi ini akan memberikan gairah baru serta dapat memacu kreativitas bagi para fungsional untuk menulis dan memasukkan karya tulis ilmiah di masa yang akan datang.

Semoga penerbitan jurnal ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan limbah.

(5)

Volume 13 Nomor 1 Juni 2010

Daftar Isi

Aisyah : Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi ( 1-13 )

Heru Sriwahyuni, Suryantoro : Pengaruh Kandungan Limbah Resin dan Bahan Aditif Bentonix Terhadap Karakterisasi Hasil Sementasi ( 14-21 )

Wati : Tahanan Jenis Gelas-limbah dan Kapasitas Panas Untuk Operasi Melter Pada Vitrifikasi Limbah Cair Aktivitas Tinggi ( 22-29 )

Sucipta, B.Setiawan, Pratomo B.S., D.Suganda : Pemilihan Wilayah Potensial Untuk Disposal Limbah Radioaktif di Pulau Jawa dan Sekitarnya ( 30-42 )

Budi Setiawan : Interaksi Radiocesium Dengan Host Rock Dibawah Pengaruh pH dan Kekuatan Ion Larutan ( 43-48 ) Heny Suseno, Sumi Hudiyono PWS., Budiawan, Djarot S Wisnubroto ; Bioakumulasi Merkuria Anorganik dan Metil Merkuri Oleh Oreochromis Mossambicus: Pengaruh Konsentrasi Merkuri Anorganik dan Metil Merkuri Dalam Air ( 49-62 ) Muh. Nurdin, Maulidiyah ; Particle Size Analysis of Titanium Dioxide By Atomic Force Microscopy ( 63-71 )

Heni Susiati, Eko Kusratmoko, Aris Poniman : Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Melalui Pendekatan Penginderaan Jauh di Perairan Pesisir Semenanjung Muria ( 72-79 )

(6)

JURNAL TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH

Pedoman Penulisan Naskah

Redaksi Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah menerima naskah/makalah karya tulis ilmiah dari kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang pengelolaan limbah yang meliputi aspek-aspek pengolahan limbah, penyimpanan limbah, dekontaminasi-dekomisioning, keselamatan lingkungan dan radioekologi kelautan untuk penerbitan pada bulan Juni dan Desember setiap tahun.

Ketentuan penulisan naskah :

1. Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan berupa karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, survei, pengkajian atau studi literatur.

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format: menggunakan kertas A4, 1 kolom dengan margin atas, bawah, kiri dan kanan masing-masing 3 cm (1,18”). Gunakan jenis huruf “Arial” ukuran 9. Jumlah halaman naskah termasuk gambar dan tabel maksimal 20 halaman,

3. Sistematika penulisan meliputi JUDUL, ABSTRAK, KATA KUNCI, PENDAHULUAN, TATA KERJA, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH (bila ada), DAFTAR PUSTAKA. Untuk makalah pengkajian dan perancangan dapat menyesuaikan.

4. Judul tulisan menggunakan huruf Kapital, bold, font 14. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar, bold, font 11, sedangkan alamat penulis berupa Nama Unit Kerja, Instansi dan alamat Instansi.

5. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dengan spasi 1, font 9 dan Judul tulisan dicantumkan kembali di dalam abstrak sebagai kalimat pertama. Abstrak berbahasa Inggris ditulis dalam format Italic.

6. Bab dan Sub-bab dalam tulisan tidak bernomor tapi dibedakan dengan huruf besar dan huruf kecil, bold, font 9 7. Penulisan “Tabel” dan “Gambar” dibelakangnya diserta dengan angka Arab dan penjelasannya. Contohnya:

i) . Tabel 1. Hasil Analisis X-RF ……… (ditulis di atas Tabel) ii) . Gambar 2. Kurva Kesetimbangan ………. (ditulis di bawah Gambar)

8. Pustaka yang dikutip dalam teks diberi nomor angka Arab di belakangnya sesuai dengan urutan pemunculan dalam Daftar Pustaka. Contoh: Standar IAEA memberi arahan bahwa kegiatan siting umumnya dilaksanakan melalui 4 tahapan utama [3],...

9. Penulisan Daftar Pustaka menggunakan format sebagai berikut:

Buku referensi :

[1] Akhmediev, M. and Ankiewicz, Y.: A Solution, Nonlinear Pulses and Beams, Chapman & Hall, London (1997).

Artikel yang terdapat dalam buku referensi:

[2] Dean, R.G.: Freak waves: A Possible Explanation, in Water Wave Kinetics, Editor: Torum, A and Gudmestad, O.T., Kluwer, Amsterdam, 609 – 612, (1990).

Artikel dari jurnal :

[3] Choppin, G.R.: The Role of Natural Organics in Radionuclide Migration in Natural Aquifer Systems, Radiochim. Acta 58/59, 113, (1992)

Artikel dalam proceeding

[4] Chung, F., Erdös, P., Graham , R.: On Sparse Sets Hitting Linear Forms, Proc. of the Number Theory for the Millennium, I, Urbana, IL, USA, 57 – 72, (2000).

10. Dewan Redaksi berhak untuk menolak suatu tulisan yang dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Dewan Redaksi dapat mengedit naskah tanpa mengurangi makna.

12. Isi tulisan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

13. Naskah diserahkan dalam bentuk cetakan 2 rangkap disertai compact disk (CD) berisi file naskah dalam format MS Word.

(7)

PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI

Aisyah

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 ABSTRAK

PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI. Saat ini beberapa rumah sakit di Indonesia telah memanfaatkan sumber radiasi dalam bidang radioterapi baik untuk diagnostik maupun untuk terapi. Pemanfaatan sumber radiasi tertutup dalam radioterapi antara lain dalam brachyterapy, teleterapy, bone densitometry, whole blood irradiation ataupun pada gamma radiosurgery knife. Sejalan dengan ini tentu saja akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas. Sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan benar agar terjamin keselamatan manusia dan lingkungan hidup. Sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif merupakan pusat pengelolaan limbah radioaktif secara nasional. Pada umumnya limbah radioterapi yang diterima Pusat Teknologi Limbah Radioaktif dari rumah sakit berupa sumber radiasi tertutup 60Co, 137Cs, dan 226Ra. Perlu dikembangkan beberapa opsi dalam strategi pengelolaan sumber radiasi bekas, yaitu pengembalian ke pemasok, pengiriman ke pemasok yang lain, pengiriman ke pengguna lain ataupun pengiriman ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. Pengelolaan sumber radiasi bekas yang dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif melalui beberapa tahapan proses, yaitu kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning. Kondisioning sumber radiasi bekas non 226Ra. dilakukan dalam shell drum 200 liter, shell beton 950 ataupun 350 liter tergantung dari aktivitas dan dimensi sumber radiasi bekas. Sumber radiasi bekas 226Ra dikondisioning dalam tabung baja tahan karat, Long Term Storage Shield dan kemudian dimasukkan dalam drum 200 liter. Penyimpanan sementara sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning dilakukan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Radioaktif Aktivitas Rendah dan Sedang. Tahapan paling akhir dari pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi adalah penyimpanan lestari sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah, penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dangkal, sedangkan untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dalam.

Kata kunci: Sumber radiasi, radioterapi, limbah radioaktif.

ABSTRACT

MANAGEMENT OF SPENT RADIATION SOURCE FROM RADIOTHERAPY. Nowadays the use of radioactive source for both radiodiagnostic and radiotherapy in Indonesian hospital increases rapidly. Sealed source used in radiotherapy such as for brachytherapy, teletherapy, bone densitometry, whole blood irradiation and gamma knife (radiosurgery). Caused the waste of spent radiation sources were generated. These spent radiation sources must be treated correctly in order to maintain the safety of both the public and the environment. According to the Act No.10/1997, Radioactive Waste Management Center is the national appointed agency for the management of radioactive waste. The option for waste management by hospitals needs to be expound, either by re-exporting to the supplier of origin, re-exporting to other supplier, re-use by other licensee or sending to the Radioactive Waste Management Center. Usually the waste sent by the hospitals to the center comprises of sealed radiation source of 60Co, 137Cs or 226Ra. The management of spent radiation source in the center is carried out in several steps i.e. conditioning, temporary storage, and long-term storage (final disposal). The conditioning of non 226Ra is carried out by placing the waste in a 200 litter drum shell, 950 or 350 litter concrete shells, depends on the activity and dimension of the spent radiation source. The conditioning of 226Ra is carried out by encapsulating the waste in a stainless steel container for long-term storage shield which then placed in a 200 litter drum shell. The temporary storage of the conditioned spent radiation source is carried out by storing it in the center’s temporary storages, either low or medium activity waste. Finally, the conditioned spent radiation source is buried in a disposal facility. For medium half-life spent radiation source , the final disposal is burial it in a shallow-land disposal; mean while, for long half-life spent radiation source, the final disposal is burial it in a deep geological disposal .

(8)

PENDAHULUAN

Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran untuk tujuan diagnostik maupun terapi dirasakan sangat bermanfaat, baik dengan menggunakan sumber radiasi terbuka maupun sumber radiasi tertutup (sealed radiation sources). Pemanfaatan radiasi pengion dalam bidang radioterapi sudah berjalan cukup lama di beberapa rumah sakit di Indonesia. Radioterapi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengobati penyakit dengan memanfaatkan kemampuan radiasi pengion yang dapat membunuh sel-sel yang tumbuh abnormal seperti tumor atau kanker. Pada umumnya radionuklida berumur paro pendek dimanfaatkan sebagai sumber radiasi terbuka, sedangkan dalam sumber radiasi tertutup memanfaatkan radionuklida berumur paro pendek, menengah maupun panjang tergantung dari maksud penggunaannya.

Berbeda dengan sumber radiasi terbuka, sumber radiasi tertutup dikemas dalam kapsul dengan integritas yang tinggi dimana didalam kapsul mengandung radionuklida spesifik dengan derajad kemurnian yang tinggi. Untuk setiap penggunaan, dipilih jenis radioisotop dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan tujuan yang dimaksud. Untuk sumber dengan aktivitas tinggi, biasanya dikemas menggunakan dua buah kapsul baja tahan karat. Radioisotop yang digunakan pada umumnya berupa sumber pemancar gamma tetapi dapat juga sumber beta untuk keperluan kalibrasi ataupun sumber alfa untuk penandaan anatomi.

Setiap tahun pemanfaatan sumber radiasi tertutup dalam bidang radioterapi terus meningkat, sehingga akan menimbulkan sumber radiasi bekas sebagai limbah radioaktif. Sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan benar agar terjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup baik untuk generasi saat ini yang sedang menikmati pemanfaatan iptek nuklir maupun untuk generasi mendatang.

Dimasa lampau Indonesia banyak menggunakan 226Ra sebagai sumber radiasi yang dipakai dalam brakhiterapi. Sumber radiasi 226Ra merupakan radionuklida yang berumur panjang, sehingga akan menyulitkan dalam pengelolaan sumber bekasnya. Oleh karena itu beberapa negara maju telah menghentikan pemakaian sumber radiasi 226Ra sejak sekitar tahun 1960. Atas rekomendasi International Atomic Energy Agency (IAEA), Indonesia juga telah menghentikan pemakaian sumber radiasi 226Ra, sehingga beberapa saat yang lalu terdapat sumber radiasi bekas 226Ra yang masih tersebar di beberapa rumah sakit. Namun demikian saat ini Departemen Kesehatan (DEPKES) telah berupaya menarik sumber radiasi bekas tersebut dan dikirim ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) untuk dikelola, sehingga hanya tinggal sebagian saja sumber radiasi bekas 226Ra yang masih tersimpan di rumah sakit.

Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Badan Pelaksana, dalam hal ini Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sedangkan dalam pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan, mengelompokkan atau menyimpan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana [1]. Dari kedua pasal ini jelas bahwa pihak penimbul limbah (dalam bidang radioterapi adalah rumah sakit) yang mempunyai sumber radiasi bekas wajib menyimpan sementara limbah yang dihasilkannya dengan memenuhi standar keselamatan sebelum dikirim ke PTLR- BATAN. Adanya kendala dalam pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR, maka dengan seizin Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) maka pihak pengguna dapat memperpanjang waktu penyimpanan sementara sumber radiasi bekasnya.

Sampai dengan saat ini banyak rumah sakit di Indonesia telah mengirimkan sumber radiasi bekas radioterapi ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan. Sumber radiasi bekas radioterapi yang diterima PTLR berupa sumber tertutup dengan radionuklida 60Co, 137Cs, dan 226Ra [2]. Selain melakukan pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR, terdapat beberapa opsi yang dapat dilakukan oleh pihak pengguna dalam pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Perlu diterapkan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang efisien dan efektif agar pengelolaan limbah dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi proses kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan akhir.

Tulisan ini menjelaskan tentang pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi yang telah dilakukan oleh PTLR dan juga hal-hal yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan sumber radiasi bekas terkait dengan kemajuan pemanfaatan iptek nuklir saat ini. Tulisan ini dibuat pada Tahun 2009 yang merupakan perpaduaan antara kajian dan pengalaman PTLR selama ini dalam menangani sumber radiasi bekas radioterapi .

PEMANFAATAN SUMBER RADIASI DALAM RADIOTERAPI

Radioterapi merupakan pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang kedokteran dengan menggunakan radionuklida dalam bentuk sumber radiasi terbuka maupun tertutup. Sumber radiasi

(9)

terbuka biasanya digunakan dalam aktivitas rendah, sedangkan sumber radiasi tertutup digunakan dalam radiologi dengan aktivitas rendah sampai sedang. Tabel 1 dan 2 menyajikan pemanfaatan sumber radiasi terbuka dan tertutup dalam radioterapi [3].

Sumber radiasi terbuka biasanya digunakan melalui metode in vitro dan in vivo. Pada in vitro biasanya digunakan cairan radionuklida seperti 25I, 57Co, 58Co dan 14C untuk mempelajari dinamika fungsi tubuh manusia dengan sampel berada diluar tubuh manusia, sedangkan pada metode in vivo digunakan untuk mengamati fungsi tubuh menggunakan gamma kamera. Dalam metode in vivo digunakan radionuklida sebagai tracer dalam memonitor fungsi-fungsi tubuh. Sebagai contoh dosis untuk 99mTc adalah 40 – 800 MBq, sedangkan untuk pemakaian radionuklida 67Ga,111In, 201Tl dosis diatur antara 40 – 400 MBq. Yodium -131 telah dipakai secara luas dalam pengobatan thyrotoxicosis dan ablasi jaringan thyroid atau dalam pengobatan penyakit kanker dengan dosis individu 200 MBq -11 GBq [3,4]. againya

Sumber radiasi tebungkus telah digunakan secara luas dalam beberapa terapi dan diagnosis, seperti dalam brachyterapy secara manual, remote after-loading brachyterapy, teleterapy, blood irradiation dan untuk maksud lainnya. Dalam penggunaannya, ada beberapa sumber radiasi tertutup seperti 192I, 137Cs dan 198Au yang ditempelkan langsung pada pasien seperti pada terapi eye plaques. Brachyiterapy dilakukan dengan cara penyinaran pada jarak sangat dekat bahkan pada kondisi tertentu sumber radiasi tertutup dimasukkan kedalam tubuh pasien. Sumber radiasi yang digunakan adalah 226Ra, 137Cs, 60Co dan 192Ir. Sebelum ada rekomendasi IAEA, penggunaan sumber radiasi 226Ra dalam brachyterapy cukup popular. Saat itu sumber 226Ra yang digunakan mempunyai aktivitas maksimum 4 GBq (100 mg) dengan aktivitas rata-rata sumber sekitar 200 MBq (5,6 mg) untuk yang berbentuk jarum dan sekitar 260 MBq (7mg) untuk yang berbentuk kapsul. Saat ini penggunaan sumber radiasi 226Ra dalam brachyterapy telah dihentikan dan diganti dengan sumber radiasi 60Co, 137Cs. Sumber radiasi tertutup 60Co juga digunakan dalam teleterapi, dalam pisau pembedahan (gamma radiosurgery knife) dimana kira-kira 200 buah sumber 60Co diarahkan pada bagian yang sangat kecil dari tubuh pasien. Selain untuk terapi, beberapa sumber radiasi tertutup seperti 137Cs dan 60Co juga digunakan dalam iradiator sel darah (whole blood irradiation). Saat ini sumber radiasi tertutup juga digunakan dalam stenosis untuk pelengkap pada angioplasty selama kateterisasi [3,4].

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER RADIASI BEKAS RADIOTERAPI

Dalam setiap pemanfaatan iptek nuklir yang menggunakan bahan radioaktif termasuk pemanfaatan dalam bidang radioterapi, akan ditimbulkan limbah radioaktif. Limbah radioaktif akan muncul tatkala sumber radiasi yang digunakan dalam radioterapi menjadi tidak efektif, yaitu ketika: a) Aktivitas sumber telah meluruh sampai pada aktivitas yang tidak lagi dapat digunakan seperti

tujuan yang dimaksud

b) Prosedur klinis atau program eksperimen menggunakan sumber radiasi ini dihentikan

c) Sumber radiasi bocor ataupun peralatan pendukung operasional untuk sumber radiasi menjadi kadaluarsa atau sulit dioperasikan.

Sumber radiasi yang sudah tidak efektif dalam pemakainnya, biasanya dikategorikan sebagai sumber radiasi bekas dan diperlakukan layaknya seperti limbah radioaktif. Limbah radioaktif ini harus dikelola dengan benar sesuai dengan standar yang berlaku agar terjamin keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Tabel 1. Pemanfaatan Sumber Radiasi Terbuka dalam Radioterapi [3]

Radionuklida Waktu Paro Penggunaan Dosis setiap penggunaan

22Na 2,605 tahun Diagnosis medis Sampai 1MBq 32P 14,3 jam Terapi klinis Sampai 200MBq 42K dan 43K 12,4 dan 22,2 jam Pengukuran klinis Sampai 5MBq

45Ca 4,54 hari Diagnosis medis Sampai 100 MBq 51Cr 27,7 hari Pengukuran klinis Sampai 5 MBq 57Co 271,7 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq 59Fe 45,5 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq 67Ga 3,3 hari Pengukuran klinis Sampai 200 MBq 67Cu 2,6 hari Terapi klinis Sampai 1 GBq

(10)

75Se 119,78 hari Pengukuran klinis Sampai 10 MBq 75 Br, 76Br 98 menit, 16,2 jam Diagnosis medis -

77Br 57 jam Pengukuran klinis Sampai 5 MBq 85Sr 64,8 hari Diagnosis medis Sampai 50 MBq 89Sr 50,5 hari Terapi klinis Sampai 300 MBq

90Y 2,7 hari Terapi klinis Sampai 300 MBq 99mTc 6,0 jam Pengukuran klinis Sampai 100 MBq 111In 2,8 hari Pengukuran klinis Sampai 50 MBq

124I 4,2 hari Diagnosis medis Sampai 500 MBq 125I 60,1 hari Pengukuran klinis Sampai 500 MBq 131I 8,0 hari Terapi klinis Sampai 11,1 GBq 127Xe 36,4 hari Diagnosis medis Sampai 200 MBq 133Xe 5,3 hari Pengukuran klinis Sampai 400 MBq 153Sm 47 jam Terapi klinis Sampai 8 GBq

169Er 9,3 hari Terapi klinis Sampai 500 MBq 186Re, 188Re 3,8 hari, 17 jam Terapi klinis Sampai 500 MBq 198Au 2,7 hari Pengukuran klinis Sampai 500 MBq 201Tl 3,0 hari Pengukuran klinis Sampai 200 MBq

Tabel.2. Pemanfaatan Sumber Radiasi Tertutup dalam Radioterapi [3]

Radionuklida Waktu Paro Penggunaan Dosis Setiap Penggunaan

241Am 153Gd 125I 433 tahun 244 hari 60.1 hari Bone densitometry 1 – 10 GBq 1 – 40 GBq 1 – 10 GBq 198Au 137Cs 226Ra 60Co 90Sr 103Pd 125I 192Ir 106Ru 90Y 2.7 hari 30 tahun 1600 tahun 5.3 tahun 29.1 tahun 17 tahun 60.1 hari 74 hari 1.01 tahun 2.7 hari Manual brachyterapy 50-500 MBq 30-300 MBq 50-500 MBq 50-1500 MBq 50-1500 MBq 50-1500 MBq 200-1500 MBq 5-100 MBq 10-20 MBq 50-500 MBq 32P 89Sr 192Ir 14.3 hari 50.5 hari 74 hari Vaskular brachyterapy 200 MBq 150 MBq 0.1-1 TBq 137Cs

192Ir 30 tahun 74 hari Remote after loading brachyterapy

0.03-10 MBq 0.1-200 TBq

60Co

137Cs 5.3 tahun 30 tahun Teletherapy 0.1-200 TBq 500 TBq

137Cs

60Co 5.3 tahun 30 hari Whole blood irradiation 50-1000 TBq 2-100 TBq 60Co 5.3 tahun

(11)

Tiap Negara di dunia dapat mempunyai strategi pengelolaan limbah radioaktif termasuk sumber radiasi bekas yang berbeda-beda tergantung dari tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir yang dimilikinya. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh BATAN. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif yang merupakan salah satu institusi di BATAN memiliki tugas pokok mengelola limbah radioaktif yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kemajuan iptek nuklir saat ini, khususnya dalam bidang radioterapi akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas yang beragam. Oleh karena itu PTLR perlu menerapkan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang diterapkan seperti yang disajikan pada Gambar 1. Strategi ini diterapkan sebagai acuan bagi pengelola sumber radiasi bekas baik di tempat pengguna maupun di pusat pengelolaan limbah radioaktif, agar pengelolaan sumber radiasi bekas dapat terlaksana dengan efektif dan efisien [3,5]. Seperti yang tertera pada Gambar 1, strategi pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi dilakukan sebagai berikut:

1. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek (< 100 hari). Pengelolaan dilakukan dengan memasukan sumber radiasi bekas dalam wadah guna peluruhan sampai aktivitasnya mencapai tingkat kliren, untuk selanjutnya sumber radiasi bekas dapat dilepas dari pengawasan sebagai limbah non radioaktif. Dalam hal ini pengelolaan sumber radiasi bekas dilakukan di tempat pengguna (rumah sakit) dengan pengawasan BAPETEN

2. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah (< 30 Tahun). Pengelolaan dilakukan dengan kondisioning sumber radiasi bekas dalam wadah, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dekat permukaan (Near Surface Disposal). Pengelolaan sumber radiasi bekas ini dilakukan di PTLR dibawah pengawasan BAPETEN

3. Sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang (>30 tahun). Pengelolaan dilakukan dengan kondisioning sumber radiasi bekas dalam Long Term Storage Shield (LTSS), penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari pada tanah dalam (Deep Geological Disposal). Pengelolaan sumber radiasi bekas ini dilakukan di PTLR dibawah pengawasan BAPETEN.

Pemanfaatan sumber radiasi dalam radioterapi berada dalam perijinan dan pengawasan BAPETEN, dimana BAPETEN selalu mendorong agar sumber radiasi yang berasal dari luar negeri maka tatkala menjadi sumber radiasi bekas sebaiknya dikembalikan ke negara asalnya (pemasok).

(12)

KONDISIONING SUMBER RADIASI TERTUTUP BEKAS RADIOTERAPI

Sampai dengan saat ini banyak rumah sakit di Indonesia telah mengirimkan sumber radiasi tertutup bekas radioterapi ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan seperti yang disajikan pada Tabel 3. Pada umumnya sumber radiasi bekas radioterapi yang berasal dari rumah sakit adalah sumber radiasi tertutup yaitu 60Co, 137Cs dan 226Ra. Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari hasil kondisioning.

Kondisioning sumber radiasi bekas radioterapi dilakukan dengan mempertimbangkan fakta bahwa sampai dengan saat ini belum ada kriteria yang spesifik dalam pengelolaan sumber radiasi tertutup bekas. Oleh karena itu, sebaiknya mempertimbangkan ide retrievability dan reversibility, sehingga teknik kondisioning diupayakan tidak menyulitkan penanganan suatu saat nanti. Misalnya harus dihindari kesulitan atau biaya yang tinggi untuk rekondisioning sumber radiasi bekas tersebut. Perlu dihindari juga pengolahan sumber radiasi bekas dengan imobilisasi langsung dalam matriks tertentu (semen) karena hal ini dirasa belum tentu kompatibel dengan langkah pengolahan dimasa mendatang. Oleh karena itu kondisioning harus dilakukan dengan prinsip kemudahan membongkar kembali sumber radiasi bekas terkondisioning tersebut di masa mendatang. Kondisioning limbah sumber radiasi bekas ini diperlukan sebelum penyimpanan jangka panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lepasnya bahan radioaktif ke lingkungan dan untuk meminimalkan paparan radiasi.

Ada beberapa metode kondisioning sumber radiasi bekas radioterapi yang telah dilakukan PTLR [5,6,7]:

1. Sebelum proses kondisioning, dilakukan proses prekondisioning yaitu melakukan dismantling secukupnya dengan sumber radiasi tetap berada dalam kontainernya. Hal ini untuk mencegah paparan radiasi yang terlampau tinggi.

2. Untuk limbah sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek, kondisioning dilakukan dengan menempatkan sumber radiasi bekas dalam wadah shell drum 200 liter, shell beton 350 atau 950 liter tergantung dimensi dan aktivitas sumber radiasi bekas tersebut. Kemudian wadah yang telah berisi sumber radiasi bekas tersebut disimpan dalam tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang sampai aktivitasnya meluruh dan memenuhi tingkat kliren. Selanjutnya sumber radiasi bekas tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai limbah non radioaktif.

3. Sumber radiasi bekas non 226Ra yang mempunyai waktu paro panjang dan aktivitasnya cukup tinggi, kondisioning dilakukan dengan menempatkan sumber radiasi bekas dalam wadah yang berupa kotak baja tahan karat yang berukuran 120x80x60 cm atau drum baja tahan karat 60 liter atau drum baja 100 liter untuk kemudian dilakukan penyimpanan di tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT) dengan maksud untuk proses peluruhan sampai aktivitasnya terkategorikan sebagai limbah aktivitas rendah/sedang. Selanjutnya dilakukan kondisioning sumber radiasi bekas ini dalam shell beton 950 atau 350 liter tergantung dari dimensi dan aktivitas sumber radiasi bekas tersebut. Hasil kondisioning kemudian disimpan dalam tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang.

4. Khusus untuk sumber radiasi bekas 226Ra yang merupakan radionuklida dengan waktu paro panjang yaitu 1600 tahun, sumber radiasi bekas ini harus dikelola dengan tingkat keselamatan yang tinggi (strong safe), karena sumber radiasi bekas ini dalam masa peluruhannya senantiasa memproduksi gas radon yang berbahaya bagi kesehatan.

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif telah melakukan kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra sesuai dengan standar IAEA dengan proses sebagai berikut [8,9]:

z Sejumlah tertentu sumber 226Ra yang berupa jarum atau kapsul dimasukkan kedalam tabung baja tahan karat dengan dimensi tabung 110 x 20x 0,8 mm.

z Sumber 226Ra merupakan radionuklida yang dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga tabung baja tahan karat yang telah berisi sumber radiasi bekas 226Ra dilas rapat, agar gas radon tidak lepas ke lingkungan.

z Pengelasan tabung baja tahan karat dilakukan dengan tungsten inert gas (TIG) dan dilakukan pengujian kebocoran hasil lasan dengan metode Vacum buble test

z Tabung baja tahan karat yang telah terisi sumber bekas 226Ra dan telah lolos uji pengelasan , kemudian dimasukkan dalam Long Term Storage Shield (LTSS) yang terbuat dari Pb dengan maksud sebagai perisai radiasi untuk membatasi paparan radiasi yang cukup tinggi

z Long Term Storage Shield kemudian dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan sementara di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang.

(13)

Tabel 3. Sumber Radiasi Bekas Radioterapi yang Telah Dikelola PTLR (2004-2007) [5]

No. Asal Limbah Jenis Radionuklida Jumlah

(buah)

1 RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta 60Co 2

137Cs 13

226Ra 30

2 RSUD Dr Soetomo, Surabaya 60Co 1

137Cs 1

226Ra 62

3 RS Elizabet, Medan 60Co 1

137Cs 1

226Ra 39

4 RS Syaiful Anwar, Malang 60Co 1

226Ra 2 5 RS Karyadi, Semarang 60Co 1 226Ra 40 6 RS DR Wahidin SH, Makasar 60Co 1 137Cs 1 7 RS Dr Mohamad Hoesin,.Palembang 60Co 1 137Cs 8 226Ra 12

8 RS Hasan Sadikin, Bandung 60Co 1

137Cs 1

9 RS Dr Sarjito, Yogjakarta 60Co 1

137Cs 1

10 RS Sanglah, Denpasar 60Co 1

11 RS Telogo Rejo, Semarang 60Co 1

12 RSU Pringadi, Medan 60Co 1

137Cs 3

226Ra 1

13 Depkes 137Cs 15

226Ra 21

Gambar 2 menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas dalam tabung baja tahan karat tempat wadah sumber radiasi bekas 226Ra, pengelasan tutup tabung yang telah berisi sumber radiasi bekas 226Ra dalam wadah Pb, LTSS dan penempatan LTSS dalam drum 200 liter. Sedangkan Gambar 3A menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas tertutup non 226Ra dalam shell drum 200 liter dan Gambar 3B menyajikan kondisioning sumber radiasi bekas tertutup non 226Ra dalam shell beton 950 atau 350 liter.

PENYIMPANAN SUMBER RADIASI TERTUTUP BEKAS RADIOTERAPI

Terdapat dua tahapan dalam penyimpanan sumber radiasi bekas radioterapi yang telah terkondisioning, yaitu penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Tempat penyimpanan sementara dimaksudkan sebagai fasilitas untuk menempatkan sumber radiasi bekas dalam suatu sistem yang memungkinkan suatu saat untuk diambil kembali baik untuk maksud pemanfaatan lain maupun untuk penanganan lebih lanjut. Penyimpanan sementara ini termasuk didalamnya menyimpan sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning, dimana suatu saat sumber tersebut masih dapat diambil kembali secara utuh.

(14)

Gambar 2 Kondisioning Sumber Radiasi Bekas 226Ra [8,9]

A. Tabung Baja Tahan Karat Wadah Sumber Radiasi Bekas 226Ra B. Pengelasan Tabung Baja Tahan Karat

C. LTSS Untuk Memuat Tabung Baja Tahan Karat D. Pemuatan LTSS dalam Drum 200 Liter

Hasil kondisioning sumber radiasi bekas non 226Ra baik dalam wadah shell drum 200 liter, shell beton 350 atau 950 liter yang telah dilakukan PTLR disimpan sementara ditempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang, sedangkan untuk hasil kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra terdapat dua opsi penyimpanan sementara, yaitu:

- Long Term Storage Shield dimasukkan dalam shell drum 200 liter untuk kemudian disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah dan Sedang.

- Long Term Storage Shield dimasukkan dalam drum baja tahan karat 60 liter untuk kemudian dimasukkan dalam lubang PSLAT.

Sesuai dengan rekomendasi IAEA, PTLR memilih menyimpan sumber radiasi bekas 226Ra dalam shell drum 200 liter dan kemudian disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang [9,10].

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif memiliki dua tipe tempat penyimpanan sementara, yaitu [6]: 1. Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas rendah dan sedang. Tempat penyimpanan

sementara ini diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan limbah radioaktif dengan aktivitas rendah dan sedang yang berupa sumber radiasi bekas radioterapi yang telah terkondisioning, limbah radioaktif non sumber bekas baik limbah sebelum diolah maupun limbah hasil kondisioning. Tempat penyimpanan ini memiliki kapasitas tampung 520 shell beton 950 atau 350 liter dan 1700 drum 200 liter atau drum 100 liter. Mengingat adanya peningkatan dalam pemanfaatan Iptek Nuklir di bidang radioterapi, maka jumlah limbah radioaktif juga meningkat. Sementara itu kondisi fasilitas penyimpanan sementara untuk limbah aktivitas rendah /sedang yang ada saat ini telah penuh.

A

B

(15)

Oleh karena itu PTLR telah membangun Fasilitas Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas rendah/sedang yang baru.

Gambar 3. Kondisioning Sumber Radiasi Tertutup Bekas Non 226Ra dalam [5,6,7] Shell Drum 200 liter

Shell Beton 950 atau 350 liter

2. Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi. Tempat ini diperuntukkan sebagai tempat peluruhan limbah radioaktif yang berumur paro panjang ataupun limbah berumur paro pendek namun mempunyai paparan radiasi yang cukup tinggi. Fasilitas ini merupakan sistem penyimpanan kering yang memiliki 2 bentuk yaitu bentuk persegi dan sumuran. Ada 20 buah sumuran dengan kapasitas total 120 drum 100 liter atau drum 60 liter.

Gambar 4A menunjukkan Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah/Sedang di PTLR dan Gambar 4B menunjukkan PSLAT di PTLR [6]. Selama sumber radiasi bekas berada dalam tempat penyimpanan sementara, harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama periode penyimpanan atau lebih lama lagi. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa penyimpanan harus aman, khususnya yang berkaitan dengan radiasi, kontaminasi, resiko kebakaran dan keselamatan fisik lainnya dengan secara kontinyu dilakukan pengontrolan.

Penyimpanan akhir merupakan bagian ujung akhir dari tahapan pengelolaan sumber radiasi bekas radioterapi. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pemilihan tipe penyimpanan lestari, diantaranya adalah jenis radionuklida dalam sumber radiasi bekas, aktivitas dan waktu paronya. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro pendek (<100 hari), maka sumber radiasi bekas ini hanya memerlukan penyimpanan sementara guna proses peluruhan sampai tingkat kliren, untuk selanjutnya dapat dilepaskan dari kontrol regulasi sehingga tidak memerlukan penyimpanan akhir. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro menengah (<30 tahun), maka penyimpanan sementara untuk proses peluruhan sampai tingkat aman memerlukan waktu kurang lebih 10 kali waktu paro. Selanjutnya penyimpanan akhir sumber radiasi bekas ini dilakukan pada penyimpanan dekat permukaan dengan kedalaman beberapa meter sampai puluhan meter. Untuk sumber radiasi bekas dengan waktu paro panjang (>30 tahun), penyimpanan lestari dilakukan pada penyimpanan tanah dalam dengan kedalaman antara 500-1000 meter, sehingga dapat memproteksi dan mengisolasi sumber radiasi bekas dari lingkungan hidup selama ribuan tahun [11].

PEMBAHASAN

Pemanfaatan sumber radiasi dalam bidang radioterapi disamping bermanfaat bagi manusia, juga terdapat resiko dan bahaya yang timbul. Tingkat bahaya yang timbul tergantung pada jenis sumber radiasi, bentuk, jenis pemakaian, kondisi sumber yang ada, karakteristik fisik, radionuklida, aktivitas dan jumlah. Pengontrolan jumlah sumber radiasi bekas yang dimiliki harus senantiasa dilakukan agar tidak terjadi bahaya akibat adanya insiden jumlah. Sebagai contoh adanya insiden jumlah sumber radiasi bekas, dimana akhirnya sumber radiasi bekas tersebut ditemukan berada di pedagang logam

Sumber

radiasi

tertutup

Drum

baja

dengan

Lubang

pemuata

n

sumber

A

Drum baja

dengan lapisan

dinding

dalam semen

Sumber radiasi

tertutup bekas

Lubang

pemuatan

sumber

radiasi bekas

B

Sumber

radiasi

tertutup

shell beton

950 atau

350 liter

(16)

bekas, sehingga terjadi kontaminasi pada publik. Pengamanan dan proteksi fisik dari sumber radiasi bekas menjadi masalah yang sangat serius terutama di fasilitas pengguna seperti rumah sakit, dimana pengamanan fasilitas rumah sakit pada umumnya tidak seketat seperti lazimnya pengamanan di fasilitas nuklir. Oleh karena itu pengelolaan sumber radiasi bekas harus mendapat perhatian yang serius terutama di tempat pengguna.

Gambar 4. A). Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Rendah danSedang [10] B). Tempat Penyimpanan Sementara Limbah Aktivitas Tinggi [10]

Sesuai dengan strategi pengelolaan sumber radiasi bekas yang disajikan pada Gambar 1 tampak bahwa hanya terdapat dua opsi dalam pengelolaan sumber radiasi bekas yaitu dikembalikan ke pemasok ataupun di kelola oleh PTLR. Pemilihan salah satu opsi untuk suatu jenis sumber radiasi bekas tergantung dari beberapa faktor seperti aktivitas, kandungan radioisotop, kontrak pembelian dan kondisi fisik dari sumber radiasi bekas. Perlu dipertimbangkan bahwa biaya penyimpanan lestari dari beberapa sumber radiasi bekas yang memiliki aktivitas yang rendah bisa lebih besar dari harga pengadaan sumber radiasi awal. Sedangkan pengembalian sumber radiasi bekas pada pemasok tidak selalu menjadi pilihan, karena pengembalian ke pemasok kadang terhambat akibat persoalan dalam mendapatkan persetujuan yang tepat atau problem kontainer pengangkutan. Pada umumnya dalam situasi tertentu lebih disukai untuk mengembalikan sumber radiasi bekas pada pemasok, apalagi jika hal ini sudah termasuk dalam perjanjian saat pembelian sumber radiasi tersebut. Namun demikian, terkadang timbul kendala tatkala pemasok tidak lagi mampu untuk menerima sumber radiasi bekas tersebut, atau kendala dalam pengangkutan sumber radiasi bekas tersebut ke tempat asal pemasok . Dalam kasus seperti ini akan lebih baik jika sumber dikirim ke pusat pengelolaan limbah radioaktif. Sumber radiasi bekas yang dikembalikan ke pemasok dimungkinkan oleh pemasok untuk didaur ulang dan dijadikan sumber radiasi baru untuk keperluan tertentu. Pengiriman sumber radiasi bekas ke pemasok yang lain merupakan salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan. Banyak institusi diluar negeri (pemasok lain) yang secara rutin memperbaharui sumber radiasi bekas ini dengan alasan agar lebih ekonomis. Sumber bekas yang akan dikirim ke pemasok atau ke pusat pengolahan limbah radioaktif harus dikemas dan diangkut dengan kontainer khusus seperti kontainer timbal yang dilengkapi dengan overpack. Pengangkutan harus memenuhi standar peraturan yang telah ditetapkan standar internasional (IAEA`transport regulation). Sebelum pengangkutan, harus dipastikan bahwa sumber tidak bocor dan integritas penahan radiasi harus kuat selama pengangkutan. Pengangkutan harus disertai dengan dokumen sumber radiasi tersebut termasuk hasil tes usap untuk mengetahui apakah ada kebocoran kemasan. Jika didapati adanya kebocoran kemasan, maka harus dilakukan pengepakan kembali untuk menghindari terjadinya kontaminasi pada kontainer pengangkutan. Dilakukan tes usap kembali pada kemasan sumber untuk memastikan bahwa sudah tidak terjadi kebocoran kemasan.

Opsi pemindahan sumber radiasi bekas ke pengguna lain sangat dimungkinkan, yaitu ketika aktivitas sumber tidak lagi cocok untuk pemakaian semula namun sumber masih tetap memiliki aktivitas yang dapat digunakan untuk pemakaian yang lain. Hal ini khusus terdapat pada sumber radiasi dengan aktivitas yang tinggi sepert 137Cs dan 60Co. Sumber radiasi yang tidak dapat digunakan lagi sebagai

(17)

terapi klinis mungkin masih dapat digunakan untuk pemakaian yang lain dengan persyaratan tingkat aktivitas yang lebih rendah. Pemindahan sumber ke pengguna lain yang disetujui baik didalam maupun diluat negeri merupakan opsi yang menguntungkan secara ekonomi baik dari sisi cara mendapatkan sumber maupun pengelolaan sumber radiasi bekas tersebut. Dalam kasus ini terdapat dua pengguna yang pada saat yang sama mempunyai status pemanfaatan sumber radiasi yang berbeda. Pengguna pertama menganggap sumber tersebut sebagai sumber radiasi bekas sedang pengguna ke dua menganggap bahwa sumber radiasi tersebut masih dipakai.

Kejelasan status sumber radiasi menjadi sangat penting, apalagi tatkala menyangkut status sumber radiasi yang masih potensiil namun pemanfaatannya dihentikan. Sebagai contoh sumber 226Ra yang berumur paro panjang yang telah digunakan dalam dunia kedokteran pada waktu lampau, dan saat ini pemakaiannya diganti dengan radionuklida yang berumur paro pendek dan mempunyai kestabilan kimia yang lebih baik seperti 137Cs. Pihak pengguna tidak mengangap bahwa sumber radiasi 226Ra sebagai sumber radiasi bekas dengan alasan pasien tidak mau melepaskan terapi dengan sumber 226Ra yang telah lama dilakukannya dan juga pasien ingin backup terapi dengan sumber 226Ra terhadap penggantian terapi dengan 137Cs, sehingga beberapa sumber 226Ra oleh rumah sakit tidak dianggap sebagai sumber radiasi bekas atau limbah radioaktif. Sumber radiasi ini disimpan selama beberapa dekade dalam kontainer dan beberapa diantaranya dalam kondisi yang buruk. Tingginya biaya penyimpanan sementara/akhir atau tidak adanya opsi yang cocok terhadap sumber radiasi tersebut menjadi penghalang untuk penanganan sumber radiasi tersebut sepantasnya, sehingga sumber radiasi tersebut tetap disimpan walaupun sampai waktu yang belum dapat dipastikan. Sumber radiasi tersebut disimpan di gudang sehingga akuntabilitas dari sumber radiasi tersebut bisa buruk atau sumber radiasi bekas tersebut menjadi tak bertuan atau dapat terjadi pencurian. Untuk memperjelas status, maka sumber radiasi tersebut dikategorikan sebagai sumber bekas yang tidak terpakai lagi (disused sealed radioactive sources), sehingga segala dokumen dari sumber ini dikategorikan sebagai sumber radiasi yang tidak terpakai atau sumber radiasi bekas dan sebagai limbah radioaktif

Pengiriman sumber radiasi bekas ke PTLR pada umumnya menjadi pilihan bagi pengguna karena hal ini dianggap cukup efisien dan ekonomis. Seperti yang disajikan pada Tabel 3 terlihat bahwa banyak rumah sakit yang telah mengirimkan sumber radiasi bekasnya ke PTLR yang berupa 60Co, 137Cs dan 226Ra. Diantara ke tiga sumber radiasi bekas tersebut yang perlu mendapat perhatian lebih penting adalah sumber radiasi 226Ra yang memiliki waktu paro 1600 tahun dan dalam masa peluruhannya mengeluarkan gas radon yang sangat berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu kondisioning sumber radiasi 226Ra.dilakukan dengan konsep strong safe conditioning. Direkomendasikan oleh IAEA bahwa kondisioning sumber radiasi bekas tersebut dilakukan dengan enkapsulasi yang mempunyai tingkat integritas yang tinggi sehingga dapat mengatasi masalah emanasi gas radon yang timbul dari peluruhan Ra-226 tersebut. Oleh karena itu digunakan tabung baja tahan karat yang dilas rapat sebagai wadah sumber radiasi bekas 226Ra. Disamping pengujian kebocoran hasil lasan, maka perlu memperhitungkan kekuatan tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra dengan cara menghitung jumlah gas radon 222Rn yang selalu terbentuk setiap saat peluruhan. Setiap peluruhan 226Ra menghasilkan 1 atom gas Rn-222 dan juga 5 atom gas helium. Pembentukan gas-gas ini akan mengakibatkan tekanan berlebih pada rongga jarum atau kapsul 226Ra, sehingga memungkinkan terjadinya deformasi plastis pada sumber radiasi 226Ra dan bahkan dapat terjadi penekanan pada tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra tersebut. Tekanan dalam tabung ini tergantung dari aktivitas sumber radiasi bekas 226Ra yang terkungkung didalamnya dan juga volume bebas dalam tabung. Tekanan yang diakibatkan oleh gas 222Rn hasil peluruhan 226Ra sekitar 0,2 atmosfir per tahun untuk 1 gram 226Ra.. Berdasarkan pada hasil perhitungan untuk tabung wadah 226Ra dengan dimensi tabung 110x20x0,8 mm, volume bebas dalam tabung 10 cm3, aktivitas sumber bekas 226Ra dalam tabung 4 GBq (≈ 1Ci), tegangan belah sebesar 1,084x102 kN/cm2 dan tegangan putus 1,1 x 103 kN/cm2, maka tabung baja tahan karat wadah sumber radiasi bekas 226Ra dapat bertahan sampai 5,42x106 tahun [12]. Oleh karena itu harus selalu dipertimbangkan ketahanan paket kondisioning termasuk tanda identititas yang harus tetap jelas selama periode penyimpanan atau lebih lama lagi. Disamping itu perlu pengontrolan terhadap paparan dosis yang diterima personil selama tahapan proses kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra. Dalam tahapan proses tersebut penerimaan dosis paparan dominan terjadi pada tahap pewadahan sumber radiasi bekas 226Ra ke dalam tabung baja tahan karat, pengelasan dan pada saat uji kebocoran tabung akibat pengelasan. Aktivitas total dalam satu tabung yang direkomendasikan IAEA adalah 4 GBq atau setara dengan 100 mg226Ra. Namun dengan memperhatikan aspek keselamatan radiasi dan kondisi fasilitas kerja di IPLR maka setiap tabung hanya mempunyai aktivitas total 2 GBq atau setara dengan 50 mg 226Ra sehingga setiap tabung rata-rata berisi 10 buah sumber 226Ra. Berdasarkan hasil pemantauan penerimaan dosis pada pekerja pada saat kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra di PTLR, memang terjadi kenaikan

(18)

penerimaan dosis pekerja pada saat kondisioning sumber bekas226Ra, namun kenaikan ini masih dibawah nilai batas dosis (NBD) yang diijinkan [13]. Dengan demikian peningkatan penerimaan dosis tersebut tidak akan memberikan dampak radiologis terhadap pekerja dan program proteksi radiasi yang dilakukan selama proses kondisioning sumber radiasi bekas 226Ra dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang direncanakan.

Tahap berikutnya setelah kondisioning sumber radiasi bekas adalah penyimpanan sementara yang kemudian dapat diikuti dengan penyimpanan akhir. Tempat Penyimpanan sementara untuk maksud peluruhan dari sumber radiasi bekas dengan waktu paro yang pendek harus ditetapkan waktu yang cukup untuk meluruhkan aktivitas sumber sampai batas dimana sumber sudah dapat dikategorikan sebagai bahan tidak aktif dan dapat dibuang sebagai limbah non radioaktif. Dalam hal ini harus dipastikan bahwa sisa aktivitas sumber radiasi dibawah tingkat kliren dan semua label yang ada dalam sumber harus dihilangkan. Penentuan waktu penyimpanan sementara yang tepat akan mengurangi biaya pengamanan sumber radiasi bekas tersebut. Adanya masalah biaya dan kesulitan pengiriman sumber radiasi bekas PTLR, dapat mengakibatkan sejumlah sumber radiasi bekas tertahan di fasilitas pengguna, sehingga memerlukan pengawasan, pengamanan dan dokumentasi terhadap seluruh sumber radiasi bekas yang disimpan. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1997, pihak pengguna dapat menyimpan sendiri limbah radioaktif termasuk sumber radiasi bekasnya untuk sementara waktu ataupun dapat diperpanjang dengan ijin BAPETEN. Untuk itu pihak pengguna harus menjaga integritas kemasan sumber, proteksi fisik dan dibutuhkan pencatatan yang teliti selama penyimpanan sumber radiasi bekasnya. Selama sumber radiasi bekas disimpan di tempat penyimpanan sementara, maka perlu memperhatikan hal-hal berikut [10]:

1. Seluruh informasi teknik terkait dengan sumber seperti jenis sumber, aktivitas sumber, tanggal produksi dan sebagainya harus akurat .

2. Harus dilakukan inspeksi dan pengamanan fisik seperti kunci pengaman, sistem alarm, kemasan yang berat dan sebagainya

3. Jadwal perawatan gedung, kunci dan peralatan penanganan perlu dilakukan

4. Program pelatihan operator harus dilakukan dengan memperbaharui pelatihan secara berkala 5. Untuk antisipasi perpanjangan penyimpanan, maka harus dilakukan tes usap secara berkala

sesuai dengan persyaratan pengawasan.

Untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro menengah dan panjang setelah penyimpanan sementara suatu saat nanti perlu dilakukan penyimpanan akhir . Penyimpanan akhir sumber radiasi bekas ini masih perlu penelitian yang lebih jauh lagi, diantaranya perlunya dikembangkan sistem penyimpanan lestari terhadap sumber radiasi bekas yang memenuhi standar keselamatan terutama dengan kondisi host rock yang memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai fasilitas penyimpanan akhir. Selain itu aspek ekonomi, serta aspek keamanan untuk mencegah kemungkinan intrusi oleh pihak yang tidak dikehendaki (terorisme atau kejahatan lainnya), baik untuk penyimpanan dekat permukaan (near surface disposal) maupun penyimpanan tanah dalam (geological disposal) juga perlu dipertimbangkan dengan seksama [11].

KESIMPULAN

Pemanfaatan sumber radiasi terbuka dan tertutup dalam radioterapi telah berjalan cukup lama di beberapa rumah sakit baik untuk maksud diagnostik maupun terapi. Sumber radiasi tertutup yang digunakan dalam radioterapi yang digunakan pada umumnya 60Co, 137Cs dan 226Ra. Sejalan dengan hal ini tentu akan ditimbulkan limbah radioaktif yang berupa sumber radiasi bekas. Menurut UU No.10 Tahun 1997, PTLR merupakan badan pengelola limbah radioaktif tingkat nasional termasuk mengelola sumber radiasi bekas radioterapi. Untuk itu maka dalam strategi pengelolaan sumber radiasi bekas terdapat dua opsi bagi penimbul sumber radiasi bekas, yaitu mengembalikan sumber radiasi bekasnya ke pemasok atau mengirimkan sumber radiasi bekasnya ke PTLR untuk dilakukan pengelolaan. Adanya kendala dalam pengiriman sumber radiasi bekas ke pemasok ataupun pengiriman ke PTLR, maka perlu dipertimbangkan opsi lain yaitu pemanfaatan kembali sumber radiasi bekas tersebut dengan mengirimkan sumber radiasi bekas ke pemasok lain untuk diperbaharui ataupun dikirim ke pengguna lain untuk dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan kondisi sumber radiasi bekas tersebut..

Pengelolaan sumber radiasi bekas meliputi kondisioning, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari. Sumber radiasi bekas non 226Ra, kondisioning dilakukan dalam shell drum 200 liter, shell beton 950 liter ataupun shell beton 350 liter tergantung dari aktivitas dan dimensi sumber radiasi bekas tersebut. Sedangkan untuk sumber bekas 226Ra kondisioning dilakukan dalam LTSS dan kemudian LTSS dimasukkan dalam drum 200 liter. Sumber radiasi bekas yang telah terkondisioning

(19)

selanjutnya disimpan dalam tempat penyimpanan sementara dan selanjutnya dilakukan penyimpanan akhir.

Dalam rangka mempertimbangkan penyimpanan akhir yang ekonomis dengan tetap memenuhi standar keselamatan dan keamanan sumber radiasi bekas dari intrusi pihak yang tidak dikehendaki maka perlu dikembangkan sistem penyimpanan akhir baik untuk penyimpanan dekat permukaan maupun untuk penyimpanan tanah dalam. Untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro menengah seperti sumber radiasi bekas 60Co dan 137Cs, penyimpanan akhir dilakukan pada penyimpanan dekat permukaan sedangkan untuk sumber radiasi bekas yang berumur paro panjang seperti226Ra, penyimpanan akhir akan dilakukan pada penyimpanan tanah dalam.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Republik Indonesia: Undang- Undang No.10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran (1997). [2] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, Data Penerimaan Limbah Radioaktif dari BATAN, Industri

dan Rumah Sakit.dari Tahun 2004 – 2006, PTLR-BATAN, Serpong (2007).

[3] IAEA: Management of Waste from The Use of Radioactive Material in Medicine, Industry, Agriculture, Research and Education, Safety Guide No.WS-G-2.7, IAEA-Vienna (2005).

[4] IAEA: Handling and Processing of Radioactive Waste From Nuclear Applications, Technical Series Report No. 402 A, IAEA-Vienna (2001).

[5] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: Pengelolaan Llimbah dari Industri di BATAN, P2PLR-BATAN, Serpong (2002).

[6] Pusat Teknologi Limbah Radioaktif: Laporan analisis Keselamatan Rev.5, PTLR-BATAN, Serpong (2006).

[7] IAEA: Handling,Conditioning and Storage of Spent Sealed Radioactive Sources , IAEA-TECDOC-1145, IAEA-Vienna (2000).

[8] IAEA: Conditioning and Interim Storage of Spent Radium Sources, TECDOC-886, IAEA-Vienna (1996).

[9] Al-Mughrabi,M.: Technical Manual for Conditioning of Spent Radium Sources, IAEA-Vienna (1998).

[10] IAEA: Interim Storage of Radioactive Waste Packages, Technical Reports Series No. 390, IAEA-Vienna (1999).

[11] IAEA: Disposal of Radioactive Waste, DS 354 draft 1, 2006-02-07, Vienna.

[12] Suryantoro, Nurokhim: Pengaruh Pembentukan Gas Terhadap Ketahanan Kapsul Stainless Steel Penampung Sumber Tertutup Bekas Radium, Prosiding Hasil Penelitian Dan Kegiatan Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif Tahun 2004, P2PLR-BATAN, Serpong, 113-118 (2005)

[13] Untara, dkk.: Evaluasi Penerimaan Dosis Radiasi Eksterna Terhadap Pekerja Dalam Pengolahan Limbah Radium, Prosiding Hasil Penelitian Dan Kegiatan Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif Tahun 2004, P2PLR-BATAN, Serpong, 137-141 (2005).

[14] IAEA: Borehole Facilities for Disposal of Radioactive Waste, Safety Standar Series DS 335, Vienna (2005).

[15] IAEA: Safety Consideration in The Disposal of Disused Sealed Radioactive Sources in Borehole Facilities, IAEA-TECDOC 1368, IAEA-Vienna (2003).

(20)

PENGARUH KANDUNGAN LIMBAH RESIN

DAN BAHAN ADITIF (BETONMIX)

TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL SEMENTASI

Heru Sriwahyuni, Suryantoro

Pusat Teknologi Limbah Radioaktif – BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 ABSTRAK

PENGARUH KANDUNGAN LIMBAH RESIN DAN BAHAN ADITIF (BETONMIX) TERHADAP KARAKTERISTIK HASIL SEMENTASI. Telah dilakukan penelitian pengaruh kandungan limbah resin dan bahan aditif terhadap karakteristik hasil sementasi. Limbah resin yang berasal dari RSG-GAS disementasi dengan penambahan bahan aditif untuk meningkatkan ketahanan fisika kimia hasil sementasi. Dibuat sampel dengan variasi kandungan limbah antara 10 – 60 % berat dengan penambahan bahan aditif sebanyak 2 %, diameter sampel adalah 45 mm dan tinggi 50 mm. Kemudian hasil sementasi dengan penambahan bahan aditif dibandingkan dengan hasil sementasi tanpa penambahan bahan aditif. Uji kualitas blok semen meliputi uji pelindihan, uji kuat tekan dengan menggunakan alat Paul Weber dan pengukuran densitas hasil sementasi ditentukan dengan cara menimbang dan mengukur volume sampel. Hasil percobaan menunjukkan bahwa hasil optimal diperoleh pada sampel dengan penambahan bahan aditif aditif betonmix 2 % dan kandungan limbah 30% berat. Hasil pengukuran densitas optimal adalah 1,493 g/cm3 dengan kuat tekan 10,69 N/mm2. Hasil dari percobaan ternyata lebih kecil dibandingkan dengan standar IAEA untuk hasil sementasi. Kata kunci : Limbah resin, bahan aditif, karakteristik sementasi

ABSTRACT

THE EFFECT OF SPENT RESIN LOADING AND ADDITIVE MATERIAL MIXTURE TO CHARACTERISTIC OF CEMENTATION RESULT. Experiment of the effect of spent resin-additive material mixture to the characteristic of cementation result has been done. Resin wastes originated from RSG facility were immobilized with cementation method by adding additive material to increase chemico-physical durability of cementation results. Samples were varied from 10 – 60 % weight of waste loading with 2% addition of additive material. Sample dimension was 46 mm dia and 50 mm height. Cementation result and then were compared among without added and with added additive material. Qualities of samples were tested with leaching test, compression strength test by using paul weber apparatus and density measurement was determined by weighting and measuring of sample’s volume. The experiment results showed that optimal result of sample with 2% adding additive material was in 30% of waste loading with density of sample was 1,493 g/cm3 and compression strenght was 10,69 N/mm2. Experiment results were less than IAEA standard for cementation result testing.

Keywords : Resin waste, additive, characteristics of cementation

PENDAHULUAN

Kegiatan operasi Reaktor Serba Guna G. A. Siwabessy telah menyebabkan air pendingin primer reaktor menjadi radioaktif. Unsur radioaktif tersebut berasal dari hasil reaksi fisi bahan bakar nuklir dengan netron yang sebagian besar tertahan oleh kelongsong dan sebagian lagi terlepas secara difusi menembus dinding kelongsong kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi air pendingin primer. Unsur radioaktif dapat pula terjadi akibat reaksi aktivasi air pendingin primer. Untuk menurunkan aktivitas air pendingin tersebut digunakan resin penukar ion. Akibat penangkapan radionuklida yang terus menerus, resin menjadi jenuh dan tidak dapat digunakan lagi sehingga diperlakukan sebagai limbah radioaktif. Pada bulan Mei tahun 2008 PRSG mengirimkan limbah resin sebanyak 7000 liter dengan aktivitas total sebesar 345076199.9 Bq atau sebesar 49296,59998 Bq/7000 liter (1,331008 .10-3 Ci/m3 ) ke Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) [1].

Secara umum resin adalah senyawa hidrokarbon terpolimerisasi sampai tingkat yang tinggi yang mengandung ikatan-ikatan hubung silang (cross-linking) serta gugusan yang mengandung ion-ion yang dapat dipertukarkan [2,3]. Berdasarkan gugus fungsionalnya, resin penukar ion terbagi menjadi dua yaitu resin penukar kation dan resin penukar anion. Resin penukar kation mengandung kation yang

(21)

dapat dipertukarkan, sedang resin penukar anion mengandung anion yang dapat dipertukarkan. Secara umum rumus struktur resin penukar kation dapat dilihat pada Gambar 1 dan resin penukar anion Gambar 2 [2].

Limbah resin ini kemudian diolah melalui pemadatan (solidifikasi) menggunakan matriks semen sehingga diperoleh hasil pemadatan sebagai blok beton. Matriks semen yang merupakan campuran dari material semen, pasir dan air akan bereaksi secara kimia dan mengeras, memberikan hasil pemadatan berupa beton [4]. Untuk meningkatkan kekuatan hasil sementasi maka ditambahkan bahan aditif. Bahan aditif yang digunakan dalam penelitian ini adalah betonmix (Merk dagang). Betonmix merupakan cairan yang tidak berwarna dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas blok beton, sehingga kualitas pengungkungan imobilisasi unsur radioaktifnya meningkat.

Gambar 1. Resin Penukar Kation

Gambar 2. Resin Penukar Anion

CH

CH

2

CH

CH

2

CH

SO

3-

H

+

CH

2

CH

CH

2

SO

3-

H

+

CH

2

CH

CH

CH

2

SO

3-

H

+

SO

3-

H

+

CH

CH

2

CH

CH

2

CH

2

NMe

3+

Cl

-CH

CH

2

CH

2

NMe

3+

Cl

-

CH

2

CH

2

CH

2

CH

CH

CH

2

CH

2

NMe

3+

Cl

-

CH

2

NMe

3+

Cl

(22)

-TATA KERJA

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah resin berasal dari Pusat Reaktor Serba Guna, bahan aditif (betonmix), semen portland tipe I, aquades, pot polietilen diameter 45 mm dan tinggi 50 mm. Peralatan yang digunakan antara lain mixer, neraca analitik, gelas arloji, spatula, gelas ukur, wadah plastik 1800 ml, alat uji tekan Paul Weber, alat cacah Multi Channel Analyzer (MCA). Kegiatan ini seluruhnya dilakukan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif pada tahun 2009.

METODE

Pembuatan blok semen dengan kandungan limbah 10 sampai dengan 60 %, dimana dicampurkan air/semen dengan perbandingan 35% berat, dan kandungan limbah divariasi antara 10% sampai 60 %, ditambahkan bahan aditif sebanyak 2% berat. Adonan diaduk dengan menggunakan mixer elektrik sampai campuran terlihat homogen. Adonan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam cetakan pot polietilen berdiameter 45 mm dan tinggi 50 mm dan didiamkan selama 28 hari (curing time).

Penentuan densitas dan kuat tekan dilakukan setelah sampel didiamkan selama 28 hari. Sampel ditimbang dan diukur dimensinya untuk memperoleh densitas sampel, densitas sampel dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (1). Selanjutnya sample diuji tekan dengan menggunakan alat buatan Paul Weber dan kekuatan tekan ditentukan dengan persamaan (2).

ρ=

m

V

(1)

P=

F

A

(2)

dimana : ρ = densitas (g/cm3), P = kuat tekan (N/cm2), m = massa (g), V = volume (cm3), dan A = luas area (cm2).

Pengukuran laju pelindihan dilaksanakan setelah didapat hasil sementasi berupa blok semen dengan kandungan limbah yang optimum. Uji pelindihan dilakukan dengan cara merendam sampel ke dalam gelas beker berisi air demin sebanyak 1000 ml yang berperan sebagai media pelindih. Pada hari ke-2, 3, 5, 7, 9 sampai hari ke-60 air pelindih diambil sebanyak 500 ml dan dicacah menggunakan alat cacah MCA.

Pengukuran konduktivitas larutan pelindih di ukur dengan menggunakan alat ukur konduktivitimeter. Pengukuran konduktivitas dilakukan pada minggu ke 1 sampai minggu ke 13.

Dan yang terakhir adalah pengukuran langsung aktivitas radionuklida pada blok beton hasil imobilisasi yang dilakukan dengan menggunakan alat cacah MCA, dengan jarak antara MCA dan sampel adalah 5 cm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Limbah resin yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pusat Reaktor Serba Guna yang disimpan di Interm Storage 1 dalam drum no. 50 dengan paparan radiasi dalam jarak 1 m adalah 0,7 µSv/jam. Limbah resin yang belum diolah, dicacah menggunakan MCA untuk mengetahui kandungan dan aktivitas radionuklida dalam limbah tersebut. Dari hasil pencacahan terlihat ada beberapa radionuklida yang terdeteksi yaitu : Mn-54 dengan aktivitas 9,74. 10-5 (µCi/ml), Co-60

dengan aktivias 2,57. 10-3 (µCi/ml) dan Cs-137 dengan aktivitas 6,99. 10-5 (µCi/ml).

Penentuan densitas dan kuat tekan blok semen

Penentuan densitas dilakukan untuk mengetahui karakteristik campuran semen dengan penambahan bahan aditif dan limbah resin. Hasil pengukuran densitas dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1, dibuat grafik densitas versus kandungan limbah yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Secara umum dari Gambar 3. dapat dilihat bahwa penambahan kandungan resin telah mengakibatkan terjadinya penurunan densitas beton limbah secara linier. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi ikatan antara resin dan semen merupakan interaksi ikatan fisika. Dengan pendekatan persamaan regresi linier maka penurunan densitas terhadap persen berat kandungan limbah pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif adalah f(x)=-0,02x + 1,82 dan pada blok semen dengan penambahan bahan aditif adalah f(x) = -0,02x + 1,97.

(23)

Tabel 1. Pengukuran Densitas Blok Semen No Kandungan

Limbah (%)

Densitas (g/cm3)

Tanpa Aditif Ditambah aditif

1 0 1,838 2,035 2 10 1,670 1,776 3 20 1,592 1,515 4 30 1,159 1,493 5 40 1,079 1,380 6 50 0,956 1,122 7 60 0,943 0,931

Gambar 3. Pengaruh kandungan resin bekas terhadap densitas beton-limbah

Penambahan bahan aditif betonmix pada hasil sementasi telah mampu menurunkan viskositas campuran beton, resin dan air sehingga campuran menjadi lebih keras. Dari data yang diperoleh, penambahan bahan aditif mampu meningkatkan densitas blok semen limbah sebesar 8,24%. Densitas yang diperoleh pada kondisi optimal dengan kandungan limbah 30% adalah 1,493 g/cm3 dan ternyata nilai tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan olehIAEA (International Atomic Energy Agency), dimana untuk standar IAEA mempunyai nilai antara 1,70 – 2,50 g/cm3 [5].

Dari percobaan pengaruh perbandingan kandungan limbah resin dengan semen terhadap kuat tekan didapat data yang ditampilkan pada Tabel 2.

0

10

20

30

40

50

60

70

0

0.5

1

1.5

2

2.5

f(x) = -0.02x + 1.97

f(x) = -0.02x + 1.82

Tanpa bahan aditif Linear Regression for Tanpa bahan aditif

Ditambah bahan aditif Linear Regression for Dita-mbah bahan aditif

Kandungan Limbah (%)

D

ens

ita

s (

g/

cm

3)

(24)

Tabel 2. Pengukuran Kuat Tekan Blok Semen No Kandungan Limbah (%)

Kuat Tekan (N/mm3)

Tanpa Aditif Dengan aditif

1 0 12,58 14,47 2 10 10,69 13,21 3 20 6,29 12,58 4 30 1,26 10,69 5 40 0,63 4,40 6 50 0,63 1,26 7 60 0,32 0,63

Berdasarkan data dari Tabel 2, dibuat grafik hubungan kuat tekan versus kandungan limbah resin yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh kandungan resin bekas terhadap kuat tekan beton-limbah

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa semakin tinggi kandungan resin mengakibatkan penurunan kuat tekan baik untuk blok semen tanpa penambahan bahan aditif maupun dengan blok semen dengan penambahan bahan aditif. Pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif pada kandungan limbah 10% sampai 20 % penurunan kuat tekan belum signifikan, selanjutnya pada kandungan limbah 30% sampai 40% terjadi penurunan kuat tekan secara signifikan. Penurunan kuat tekan cenderung linier pada blok semen antara 50% sampai 60%. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada blok semen tanpa penambahan bahan aditif dengan kandungan limbah antara 10% sampai 20 % menunjukkan bahwa ikatan semen masih mampu mengungkung limbah resin dengan baik, sehingga tekanan swelling dari limbah resin masih dapat ditahan oleh kekuatan ikatan semen. Pada kandungan limbah resin 30% sampai 40% porsi kekuatan swelling menjadi meningkat seiring peningkatan kandungan limbah, sehingga kemampuan kekuatan semen untuk mengimbangi kekuatan swelling

0 10 20 30 40 50 60 70 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Tanpa bahan aditif Ditambah bahan aditif

Kandungan Limbah (%) K u at T e ka n ( N /m m 2 )

(25)

menurun. Pada kandungan limbah 50% sampai 60 % kekuatan semen hanya berfungsi sebagai pengikat antar butiran resin sehingga kuat tekan sampelnya menjadi rendah.

Pada sampel blok semen dengan penambahan bahan aditif, kuat tekan yang diperoleh lebih besar besar dibandingkan dengan kuat tekan tanpa aditif. Penurunan kuat tekan tidak begitu signifikan antara kandungan limbah 10% sampai 30%, dan menjadi signifikan setelah kandungan limbah 30%. Penambahan bahan aditif meningkatkan kuat tekan blok semen limbah dikarenakan aditif mampu meningkatkan kekerasan dari blok semen limbah sehingga ikatan blok semen limbah menjadi lebih kuat.

Dari data yang diperoleh, blok semen dengan kandungan limbah 30 % dengan penambahan bahan aditif 20% mempunyai kuat tekan yang paling tinggi yaitu 10,69 N/mm2 tetapi harga tersebut belum memenuhi kriteria standar IAEA, dimana standar IAEA untuk kuat tekan adalah 20 – 50 N/mm2 [5].

Pengukuran laju pelindihan

Pada percobaan uji pelindihan blok semen selama hampir 2 bulan, seluruh larutan pelindih setelah dicacah dengan MCA tidak terdeteksi adanya lepasan radionuklida. Hal ini dikarenakan radionuklida Co-60, Cs-137 dan Mn-54 terikat oleh resin penukar kation, dan resin telah terimobilisasi dalam matriks semen. Pada keadaan tersebut sangat sukar terjadi pelindihan radionuklida yang telah terikat oleh resin yang telah terimobilisasi dalam matriks semen.

Pengukuran konduktivitas dan kerapuhan blok semen

Untuk mengetahui bahwa blok semen limbah mengalami pelindihan juga digunakan metode lainnya yaitu dengan cara mengukur konduktivitas cairan penlindih dengan alat konduktivitimeter yaitu mengukur secara total ion-ion yang terlarut kedalam larutan pelindih. Dari Gambar 5, dapat diketahui bahwa semakin lama waktu pelindihan, pelepasan ion-ion terlarut ke larutan pelindih akan mengalami kejenuhan.

Dari hasil penelitian, blok semen tanpa penambahan bahan aditif mempunyai kelarutan lebih tinggi dibandingkan blok semen dengan penambahan bahan aditif. Hal ini menunjukkan penambahan bahan aditif dapat menurunkan pelepasan unsur-unsur semen-limbah ke dalam larutan pelindih.

Pada sampel tanpa aditif dan dengan penambahan bahan aditif, semakin tinggi kandungan limbah resin kelarutannya semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi limbah resin kemampuan kekuatan swelling yang melawan kekuatan ikatan semen semakin besar sehingga blok semen hasil imobilisasi menjadi lebih rapuh.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 10/ 7/ 2009 10/ 14/ 2009 10/ 21/ 2009 10/ 28/ 2009 11/ 4/ 2009 11/ 11/ 2009 11/ 18/ 2009 11/ 25/ 2009 12/ 2/ 2009 12/ 9/ 2009 12/ 16/ 2009 12/ 23/ 2009 12/ 30/ 2009 1/ 6/ 2010 Tanggal kondu kt iv it as ( m ik ro si e m en/ c m ) TA-0% TA-10% A-0% A-10% A-20% A-30%

Gambar 5. Pengaruh bahan aditif dan waktu pelindihan terhadap konduktivitas larutan pelindih blok semen

Hasil pengamatan secara visual disajikan pada Gambar 6, dimana blok semen hasil sementasi mulai dari kandungan limbah 30% sampel hasil imobilisasi terlihat merekah pecah dari atas sampai

Gambar

Gambar 1 Strategi Pengelolaan Sumber Radiasi Bekas Radioterapi di PTLR [3,5]
Gambar 2 Kondisioning Sumber Radiasi Bekas  226 Ra [8,9]
Gambar 3. Kondisioning Sumber Radiasi Tertutup Bekas Non  226 Ra dalam [5,6,7]
Gambar 4.   A). Tempat Penyimpanan Sementara  Limbah Aktivitas Rendah danSedang [10]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada fasilitas produksi radioisotop, limbah radioaktif cair dihasilkan dari proses pelindihan atau pendinginan material, dalam jumlah kecil akan mengandung pengotor yang

Tabel 4 menjelaskan, terdapat perubahan kedalaman muka airtanah piezometrik yang berkorelasi dengan perubahan head hidrolika, seperti pada sumur observasi bekas lubang

Sensor ini hanya bisa bekerja apabila terdapat sumber energi yang alami, pada umumnya sumber radiasi adalah matahari, sedangkan pada malam hari atau apabila permukaan bumi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh pra rancangan pengolahan konsentrat desalinasi dengan konsep ZDD dan diperoleh produk komersial yaitu NaCl

Pada lantai 1, yaitu pada Ruang Tamu (Main-Entrance), botol bekas digunakan sebagai dinding partisi sekaligus menjadi celah ventilasi, dimana fungsi botol bekas ini untuk

Lapisan pengungkung yang digunakan adalah baja stainless steel (S~; 304). Baja ini tahan karat dan apabila terjadi kontaminasi dapat dibersihkan atau didekontaminasi dengan

Hal ini dapat terjadi karena semakin tinggi kandungan limbah akan diikuti dengan semakin banyaknya bentonit berpilar BP 1 maupun kandungan uranium yang ada dalam blok polimer-

Pengemasan Setelah Masuk TPS Jenis Limbah Karakteristik Kemasan Ukuran WWT Sludge Beracun Jumbo Bag 2 Ton Water Coolant Beracun Drum Baja 200 L Bahan Kimia Kadaluwarsa Korosif,