• Tidak ada hasil yang ditemukan

UKDW BAB I. I. Latar Belakang a. Seputar Kejahatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UKDW BAB I. I. Latar Belakang a. Seputar Kejahatan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

[1]

BAB I

I. Latar Belakang

a. Seputar Kejahatan

Permasalahan tentang keberadaan kejahatan telah menjadi pertanyaan yang cukup sering muncul dalam kajian berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berbagai perspektif diajukan untuk melihat permasalahan dalam kejahatan seperti filsafat, sosial-budaya dan juga teologis. Dalam kajian terhadap isu-isu teologis kejahatan menjadi salah satu topik yang tidak pernah berhenti dibahas dari waktu ke waktu.

Agama-agama pun memiliki cara dan sarana tersendiri untuk menunjukan dari mana kejahatan berasal. Tiap agama berdasarkan konteks dan kebutuhannya telah membangun suatu bangunan makna tersendiri tentang apa itu kejahatan. Tidak hanya agama, suatu kelompok masyarakat dari kebudayaan tertentu pun membuat juga bagi mereka suatu cara untuk mengungkapkan dari mana kejahatan berasal. Demikianlah dalam keterbatasannya, manusia terus berusaha untuk menemukan dari mana datangnya kejahatan yang terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Keterbatasan manusia ini tentu membatasi juga pengetahuan manusia akan kejahatan itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang bernafaskan kejahatan terjadi dengan begitu marak dalam kehidupan manusia. Tidak hanya kerap terjadi, tetapi kejahatan bisa menjadi begitu dekat dengan kita. Tindak kejahatan bisa terjadi di mana saja bahkan bisa terjadi pada diri sendiri.

Dalam kajian filsafat, kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat natural dan moral. Kejahatan yang bersifat natural adalah kejahatan yang terjadi oleh karena pergerakan alami alam ini. Gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus dipandang sebagai bagian dari kejahatan natural. Sedangkan, kejahatan yang muncul akibat kelalaian, kebodohan, arogansi dan kekejaman manusia digolongkan sebagai kejahatan moral.1 Dari uraian singkat ini muncul suatu nuansa bahwa kejahatan adalah sesuatu yang bagi kaidah-kaidah normal dianggap tidak normal. Sesuatu yang tidak mendatangkan kenyamanan bagi siapa saja yang mengalaminya. Sesuatu

1

Alvin C. Platinga, God, Freedom and Evil, terj: Irwan Tjulianto, ( Surabaya : Momentum, 2003) h.11

(2)

[2]

yang seharusnya tidak terjadi. Demikianlah kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang merugikan dan tidak seorang pun ingin hal tersebut menimpanya.

Kemungkinan akan timbulnya kejahatan pun tidak pernah benar-benar bisa diprediksi oleh manusia. Hal itu tentu berkaitan dengan keterbatasan manusia dalam menjangkau logika-logika dan kemungkinan tentang kejahatan. Meski demikian, penelusuran tentang kejahatan akan selalu memberi sumbangan yang berguna bagi kehidupan manusia. Sebab hanya dengan mengenal kejahatanlah kita dapat bersikap dengan benar serta tepat kepada kejahatan.

Kejahatan sendiri mengalami perkembangan makna yang terus menerus seiring berjalannya waktu. Kejahatan kini tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang melanggar hukum atau kesepakatan bersama. Kejahatan kini makin melebar pada segala sesuatu yang dianggap merugikan dan mengganngu kesejahteraan publik maupun pribadi. Secara keseluruhan masyarakat memandang bahwa segala sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya bisa dipahami sebagai kejahatan. Dalam terang ilmu sosial, kejahatan dianggap sebagai gejala sosial yang lahir dalam konteks ketidakadilan struktural. Menurut Quiney, kejahatan adalah suatu ketentuan mengenai perilaku manusia yang diciptakan oleh golongan berkuasa dalam masyarakat yang secara otomatis terorganisir2.

Semakin jelas bahwa dalam dunia ini dapat ditemukan berbagai jenis kejahatan. Keberadaan kejahatan seringkali menjadi pertentangan bagi keberadaan materi lain seperti kebaikan, agama dan Tuhan. Kejahatan menjadi lawan bagi segala sesuatu yang bernafaskan kebaikan dan keadilan. Kejahatan menjadi masalah dalam komunitas atau bahkan dalam masyarakat karena mengganggu keseimbangan dalam tatanan yang berlaku.

Bentuk-bentuk kejahatan yang kita kenal saat ini sungguh banyak jenis dan ragamnya. Setiap hari media menyuguhkan bagi kita bentuk-bentuk kejahatan tersebut. Tindak kriminal seperti pembunuhan, pencurian, pelecehan seksual semua menjadi sering kita saksikan terjadi secara berulang-ulang.

2

Ricard Quinney, the Social Reality of Crime, (Boston : Brown and Company, 1970) h. 7

(3)

[3]

Dengan begitu jelasnya kehadiran kejahatan dalam interaksi antar manusia, muncul pertanyaan tentang dari mana sesungguhnya asal kejahatan? Mengapa kejahatan hadir dalam realita yang dijalani umat manusia? Mengapa ada manusia-manusia yang jahat di sekeliling kita?

Pertanyaan ini membuat setiap orang yang meneliti akan kejahatan selalu ingin memberikan penjelasan sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya tentang kejahatan. Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa jawaban itu tidak akan pernah lengkap dan utuh. Dalam kesempatan kali ini, penulis dalam keterbatasannya pun ingin ikut menemukan variasi tentang asal-usul kejahatan di tengah kehidupan manusia, melalui narasi-narasi iman sebagai jalannya.

b. Seputar Mitos

Adalah mitos atau cerita rakyat yang menjadi bagian dari sistem bahasa. Sejatinya, mitos menyiratkan struktur makna sosial yang sangat familiar dan berpengaruh. Seringkali mitos memperoleh penerimaan tradisional dan historis. Dan gagasan tentang mitos selalu berkaitan dengan gagasan ideologi.3 Mitos maupun cerita rakyat menjadi wakil atas peristiwa-peristiwa penting dari suatu masa. Mitos memungkinkan kita untuk berbicara tentang fungsi sosial dan efek dari makna sosial. Mitos menyembunyikan identitas dirinya sebagai suatu makna sosial diantara banyak makna untuk tanda teks.

Mitos dapat dibedakan menjadi beberapa tipe. Diantaranya adalah mitos kosmogoni, mitos asal-usul, mitos mengenai dewa-dewa dan mahluk ilahi, mitos androgini dan mitos akhir dunia.4 Mitos bukan hanya merupakan hasil dari pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika semata. Melainkan lebih kepada orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang Ilahi. Bagi masyarakat Arkhais, mitos menjadi sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh dan model bagi kehidupan sehingga segala sesuatu di dalamnya dianggap benar dan pasti5. Mitos menceritakan bagaimana suatu realitas mulai bereksistensi. Tetapi dalam masyarakat kuno eksistensi tidak bermaksud untuk mencari sebab pertama (causa prima), prinsip terakhir, eksistensi dunia dan manusia, melainkan dianggap sebagai jaminan atas eksistensi dunia dan manusia. Mitos menceritakan interaksi Ilahi sebagai yang kudus dalam dunia. Mitos

3 Tony Thwaites, Introducing Cultural and Media Studies. (Yogyakarta: Jalasutra,2011) h.118 4

P.S. Harry Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade.(Yogyakarta: Kanisius, 1987) h.74

5

P.S Harry Susanto, Mitos,h.91

(4)

[4]

menceritakan peristiwa primodial (in lilo tempore = pada saat itu) yang mempunyai akibat pada masa kini, sehingga keadaan dunia menjadi sedemikian rupa.6

Telah lama dalam sejarah umat manusia, dapat ditemukan berbagai cerita rakyat atau pun mitos yang diciptakan untuk menggambarkan asal-usul kejahatan. Misalnya saja dalam mitologi Yunani, ada mitos tentang Kotak Pandora. Kejahatan digambarkan masuk ke dunia bersama dengan sakit penyakit, teror, masa tua, penderitaan dan berbagai hal buruk lain lewat kotak yang dibuka oleh Pandora, manusia yang diciptakan dengan sangat baik oleh para dewa. Atau, Aphopis dari Mesir Kuno. Aphopis dilambangkan sebagai penggambaran atas kejahatan. Aphopis digambarkan seperti naga dan ia menjadi musuh besar dari Ra, dewa kebaikan. Jelas bahwa untuk menggambarkan kejahatan terkadang manusia memerlukan cerita sebagai sarananya. Hal ini bukan semata-mata menunjukan ketidakmampuan manusia dalam menyusun logika atau nalar tetapi pilihan yang demikian menunjukan bahwa manusia terlibat secara emosional dalam perihal asal-usul kejahatan.

Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, penulis bermaksud untuk melihat kepada Kejadian 3 sebagai bagian cerita dari suatu masyarakat kuno yang mengandung di dalamnya berbagai simbol dan makna yang mengundang para pembaca untuk melakukan suatu proses hermeneutik.

c. Kejadian 3 Sebagai Cerita

Sepanjang sejarah dunia dapat ditemukan ada begitu banyak teks-teks yang bermakna bagi kehidupan manusia. Teks-teks yang berasal dari masa lalu sebagian masih bisa kita jangkau hingga kini, walau tidak bisa dipungkiri banyak juga teks-teks yang mungkin tersembunyi atau bahkan tersingkir dari peradaban manusia. Sebuah teks akan menjadi bermakna ketika kita mencoba meneliti bahasa yang digunakan. Itulah yang disebut dengan seni membaca, membaca bukanlah sesuatu yang sifatnya pasif. Tetapi, setiap orang yang terlibat di dalamnya melakukan proses memberi makna terhadap teks. Dalam proses pembacaan yang dinamis itulah teks menjadi berpindah dari keadaan yang tersembunyi menjadi keadaan yang lebih aktual.7

Penulis teks-teks di waktu yang lalu menuliskan ide dan gagasannya supaya meski raga mereka

6

P.S Harry Susanto, Mitos,h.97

7

Jan Fokkelman, Di Balik Kisah-Kisah Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008)h.18

(5)

[5]

telah tiada, namun ide dan pemikirannya masih terus hidup dan berguna bagi generasi setelahnya. Demikianlah teks-teks dalam Alkitab menjadi wakil dari pemikiran orang-orang di masanya.

Berangkat dari hal-hal tersebut, dapatlah kita melihat bahwa sebagai cerita, narasi dalam Kejadian 3 pun menunjukan suatu usaha dari sekelompok masyarakat yang ingin menerangkan siapa diri mereka melalui cerita. Cerita tersebut tidak hanya berhenti sebagai mitos tak berguna, tetapi menjadi gagasan-gagasan yang diberi bentuk dengan nyata.

Sesuai dengan judulnya garis besar kitab Kejadian banyak menceritakan tentang asal-usul dari berbagai peristiwa penting dalam sejarah iman Israel. Dalam bentuk cerita, bagian awal kitab Kejadian (termasuk Kejadian 3) merupakan bentuk-bentuk pertanyaan atau kegelisahan yang sedang mencari jawabannya. Cerita dimanfaatkan sebagai suatu daya yang menyimpan ingatan-ingatan iman bangsa Israel. Cerita-cerita ini tentu dipengaruhi oleh alam pikir dan budaya masal yang berkembang di sekitar Israel.

Demikianlah sebagai cerita, Kejadian 3 menjadi narasi yang menyaksikan pertanyaan-pertanyaan iman suatu bangsa. Dari pembacaan terhadap Kejadian 3 khususnya penulis mencoba menemukan bagaimana manusia bernarasi tentang dirinya, tentang sesamanya bahkan tentang kejahatan.

II. Rumusan Masalah

Kejadian 3 yang berkisah tentang manusia dan ular di Eden selama ini seringkali dipahami sebagai sebuah tragedi yang menyebabkan manusia kehilangan segala kualitas hidup yang baik di Eden. Selain pembacaan yang demikian, yang seringkali muncul dalam benak orang Kristen ketika menengok pada pasal-pasal awal kitab Kejadian adalah peristiwa yang erat kaitannya dengan dosa dan keselamatan. Secara umum, pembacaan dogmatis menunjukan bahwa dosa pertama-tama muncul dalam kisah di Eden ini.

Dosa dalam Perjanjian Lama memang berkaitan dengan banyak aspek, dalam Dictionary of

Friberg Lexicon dosa (dalam Perjanjian Lama) mencakup sesuatu yang cukup luas seperti :

 Dosa sebagai bentuk ketidaktaatan

(6)

[6]

 Dosa sebagai sesuatu yang berdampak pada kehidupan batin seseorang

 Carut-marut

 Kejatuhan manusia

 Kebebasan manusia

 Dosa sebagai suatu kekuatan

 Sesuatu yang menyalahi hukum moral

 Keturunan

 Dan lingkungan

Berdasarkan banyak referensi dapat dilihat bahwa dosa adalah sesuatu yang dinamis dan spesifik dan sering dibicarakan. Sedangkan kejahatan (evil) dalam Perjanjian Lama digambarkan sebagai sesuatu yang merepsentasikan fisik, batin dan moral. Kejahatan hadir sebagai lawan dari kebaikan (good) dan mengganggu keseimbangan tidak hanya manusia tetapi juga dunia. Maka dari itu, penulis kurang menyetujui pembacaan dogmatik yang menekankan narasi ini sebagai kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Penulis dalam penelitian kali ini ingin melihat proses bagaimana sebenarnya secara naratif sesuatu yang tidak beres itu digambarkan masuk ke dalam dunia manusia dan Allah yang stabil dan baik itu.

Penulis berasumsi bahwa narasi Kejadian 3 sesungguhnya merupakan suatu usaha untuk mencari tahu kembali apa dan bagaimana kejahatan masuk ke dalam dunia manusia. Bagaimana secara naratif proses itu digambarkan, apa makna di balik usaha manusia untuk mencerirakan kembali sisi gelapnya, kejahatannya.

Dalam kerancuan teologis terhadap pembacaan Kejadian 3 ini penulis mencoba menemukan suatu bangunan makna tentang kejahatan yang masuk ke dalam dunia manusia. Supaya pandangan kita terhadap kejahatan menjadi lebih berimbang, tidak sekedar tenggelam dalam romantisme manusia ideal namun mau melihat bahwa manusia adalah bagian dari proses masuknya kejahatan dalam dunia yang diciptakan baik ini.

Penelitian ini mencoba menguraikan sumber-sumber kejahatan yang bisa dilihat dari cerita-cerita iman manusia. Penulis mencoba menemukan bagaimana lewat narasi manusia beriman

(7)

[7]

menyatakan sikapnya tentang kejahatan dan dirinya sendiri. Paul Ricoeur sendiri telah lebih dahulu memberikan sumbangsih terhadap pencarian asal-usul kejahatan melalui mitos sebagai simbol yang dianggap mewakili jawaban akan asal kejahatan tersebut.

Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah : dari manakah asal kejahatan dalam diri manusia jika di lihat dari narasi iman dalam Kejadian 3? Dan bagaimana manusia bersikap terhadap kejahatan yang ada dalam dirinya?

III. Metode Penulisan

Seluruh penelitian ilmiah membutuhkan metode yang jelas. Metode yang dipilih sebagai alat nantinya akan menentukan juga hasil dari penelitian. Supaya tujuan dari penelitian ini tercapai, penulis mengajukan analisa sastra secara umum sebagai alat untuk mebedah teks tersebut. Melalui analisa unsur-unsur naratif dalam kritik sastra, penulis mencoba untuk menemukan suatu alur pemikiran naratif tentang kejahatan dalam diri manusia. Dengan pendekatan yang naratif sifatnya ini kita dapat melihat teks dalam kelazimannya, sebagaimana teks tersebut memiliki dunianya sendiri. Dalam pendekatan sastra ini, penulis menerapkan upaya metode deskriptif-analitik, artinya terlebih dahulu akan dideskripsikan fakta-fakta dalam teks yang kemudian akan dilanjutkan dengan analisis.

Dalam hal ini metode hanya berperan sebagai alat, segala sesuatu tetap dipertimbangkan berdasarkan tujuan utama. Oleh sebab itu penggunaan metode tidak hanya satu dan baku. Beberapa pendekatan lain yang dianggap relevan dan mendukung tujuan penelitian pun akan turut dipakai untuk menolong penelitian ini.

Melalui kritik sastra ini dapat juga diaplikasikan berbagai pendekatan sastra yang berguna untuk mendukung jalannya penelitian. Berikut adalah beberapa pendekatan tersebut: 8

a. Pendekatan mimetik : pendekatan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada semesta yang dianggap sebagai hal yang menjadi acuan dalam karya sastra.

8

Rh.Widada. Saussure Untuk Sastra : Sebuah Metode Kritik Sastra Struktural. (Yogyakarta : Jalasutra, 2009) h.27

(8)

[8]

b. Pendekatan ekspresif : pendekatan yang menitikberatkan pada penulis sebagai pencipta karya sastra.

c. Pendekatan pragmatik : pendekatan yang menitikberatkan pembaca sebagai sasaran atau penerima karya sastra.

d. Pendekatan objektif : pendekatan yang menitikberatkan pada karya itu sebagai dirinya sendiri.

Tidak ada pendekatan atau pun metode yang sempurna, berbagai metode yang berbeda perlu diterapkan untuk melihat kekurangan masing-masing lalu saling melengkapi. Oleh sebab itu, tentu tidak ada metode yang mutlak. Pendekatan sastra pun memiliki kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah cakupannya yang sangat luas dan ambiguitasnya. Untuk menelusur jejak eksplisit kritik sastra pun ternyata sulit. Memang ada banyak perdebatan dan kekacauan teoritis mengenai ini semua. M. Abrams yang pernah melakukan penelitian sastra terhadap sastra romantik, khususnya sastra Inggris abad ke-19 mengajukan suatu model yang dapat membantu untuk memahami situasi yang melingkupi karya sastra secara menyeluruh :

Semesta

Karya Pembaca Pengarang

Demikianlah baik semesta, karya, pembaca dan pengarang saling bergantung, terhubung dan mempengaruhi satu sama lain. Tidak dapat dipisahkan.

Meski pun metode ini memiliki kekurangan di beberapa bagian, namun dalam praktiknya ia tetap memberikan sumbangsih yang besar bagi proses suatu penelitian. Oleh karena tidak ada suatu metode yang mutlak, pemakaian beberapa pendekataan dalam satu proses tafsir tidak akan menjadi masalah. Sebaliknya, pendekatan-pendekatan yang dipakai bersamaan ini dapat saling menutupi kekosongan pendekatan lainnya. Dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini penulis selain melakukan pembacaan dengan pendekatan obyektif juga menggunakan pendekatan pragmatis sebagai strategi membaca atau menafsir teks.

Pendekatan pragmatis adalah suatu pendektan yang menitikberatkan fokusnya pada pembaca.

(9)

[9]

Perhatian yang besar terhadap pembaca didasari pada dua kebutuhan yang cukup mendesak, antara lain 1). Adanya kesadaran bahwa tafsir obyektif dengan menggunakan bahasa sebagai sarana kurang dapat diandalkan karena sifatnya yang ambigu. Bahasa tidak bisa menjadi satu-satunya sarana yang diandalkan untuk menggali makna karena bahasa terikat pada konteks. Arti sebuah kata selalu tergantung dari bagaimana kata tersebut digunakan. 2). Dari segi etis, beberapa metode penafsiran yang sudah ada sebelumnya dianggap tidak berpihak pada sebagian kelompok masyarakat. Cara-cara menafsir yang sudah ada merupakan bentuk dominasi dari golongan tertentu seperti kaum intelektual, laki-laki, orang kulit putih dan yang lainnya. Pendekatan pragmatis dianggap penting karena peka terhadap golongan atau kelompok minor yang diabaikan oleh masyarakat kebanyakan.9 Dalam pembacaan pragmatis pembaca sebagai penafsir diberikan ruang yang luas untuk bisa memahami kebutuhan sebagai pembaca. Ideologi pembaca juga dianggap berperan penting menentukan hasil dari penafsiran itu sendiri. Oleh sebab itu, pembaca pun harus memeriksa kembali ideologinya, agar pembaca paham betul apa saja yang hal-hal yang berpengaruh dalam dirinya ketika melakukan proses penafsiran tersebut.

Dalam penelitian kali ini penulis mengangkat pembacaan pragmatis sebagai sarana untuk mendekati teks dan mencoba menemukan hal-hal yang menarik bagi penulis selaku pembaca teks. Tentu sebagai pembaca, penulis mewakili juga pertanyaan dan kegelisahan suatu kelompok masyarakat terhadap teks suci dan realita di sekelilingnya. Dalam hal ini konsentrasi pembacaan akan meliputi pemahaman tentang asal kejahatan dalam narasi-narasi kuno seperti Kejadian 3.

Sebagai ruang lingkup penelitian, penulis mengajukan ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan kejahatan dan sisi gelap manusia, relasi Allah dan manusia, dan hukuman-hukuman. Oleh karena itu pembahasan dalam skripsi ini akan banyak mengacu kepada topik tersebut. Penulis menganggap bahwa hal ini terasa cukup kuat disoroti dalam teks, meskipun ada isu-isu lain yang bisa diangkat melalui teks, namun penulis memusatkan penelitian kepada hal-hal tersebut.

9

Robert Setio, Membaca Alkitab Menurut Pembaca, (Yogyakarta : Duta Wacana Press,2006) h.30-31

(10)

[10]

IV. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sebab kejahatan dalam narasi Kejadian 3. Penelitian ini juga memberikan alternatif terhadap pembacaan yang selama ini menekankan pokok-pokok dogmatis. Dalam penelusuran naratif kita juga mendapat kesempatan untuk menghargai teks sebagaimana mestinya, dilihat sesuai dengan kelazimannya.

Penulisan karya ilmiah ini juga menjadi upaya penulis untuk menghargai keberadaan mitos dan cerita rakyat lainnya yang tidak terpisahkan dari perjalanan iman manusia. Kecenderungan untuk membaca teks dalam nalar dan gaya modern seringkali mengabaikan berbagai nilai luhur dalam dunia simbol.

Penelitian ini juga bertujuan untuk meneliti bagaimana manusia beriman dahulu dan sekarang memproyeksikan imannya di tengah dunia yang jahat. menolong bagaimana manusia berelasi dengan dunia yang telah dimasuki oleh kejahatan itu sendiri.

V. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan disusun menjadi empat bagian atau empat bab. Bab I adalah bagian pendahuluan sekaligus pengantar. Pada bagian yang pertama ini akan dimuat latar belakang masalah, rumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama akan menjadi pengantar singkat namun padat yang akan membawa dan menuntun jalannya keseluruhan skripsi ini.

Bab II berisi pandangan-pandangan tokoh tentang tema dan topik yang akan diteliti. Pandangan dari berbagai tokoh ini memiliki konteks dan latar belakang tersendiri yang menolong penulis untuk menentukan pijakan utama ketika melihat kepada keseluruhan skripsi ini. Tokoh-tokoh tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda satu dan yang lain. Dalam bab ini juga penulis akan menentukan sikap dan memilih posisi penulis dengan menyertakan tanggapan dan argumentasi-argumentasi yang mendukung di dalamnya.

Bab III dalam skripsi ini berisikan penerapan pendekatan sastra terhadap teks Kejadian 3. Teks

(11)

[11]

akan didalami dengan dan dilihat melalui pendektan sastra khususnya pendekatan naratif. Dalam bab ini akan muncul penemuan-penemuan yang menarik yang berkaitan dengan topik. Berbagai unsur dalam teks akan dikaji.

Bab IV adalah bab terakhir. Bab ini berisi kesimpulan dan juga usaha untuk merelevansikan teks dengan konteks. Hasil analisis nantinya juga akan dirangkum dalam bab ini.

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga pengrajin mebel memiliki kesibukan dalam bekerja, membuat orang tua kurang pengawasan dan perhatian kepada remaja sehingga membuat remaja belum bisa sepenuhnya mandiri.

Tingkat pengetahuan ibu hamil berdasarkan definisi kebudayaan, terutama pada pertanyaan tentang kehamilan merupakan proses alamiah sebagai kodratnya sebagai perempuan,

f. Sebagaimana ketentuan Pasal 344 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah,

Jika bilangan-bilangan itu terdiri dari satu angka, susunan dua angka, atau susunan tiga angka, dan untuk susunan dua atau tiga angka tidak ada angka yang berulang dan

5. Pelayanan sertifikasi karantina pertanian yang cepat, tepat dan simpatik. Adanya kesatuan peran serta masyarakat dalam kegiatan karantina pertanian. Pencegahan dan penangkalan

[r]

MAKLUMAN: KES DIDENGAR OLEH TUAN MOHD ASRI BIN ABD.RAHMAN SIDIK DI KAMAR TIMBALAN PENDAFTAR (2) MAHKAMAH TINGGI MALAYA DI MELAKA. BIL

b.TOKO MODERN (minimarket, supermarket, departement store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan) dalam melaksanakan kegiatan operasional wajib menerapkan