• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMIKIRAN AL-MAWARDI TENTANG PENGANGKATAN KEPALA NEGARA. Muhammad bin Habib al-mawardi al-bashri. 1 Mawardi dilahirkan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PEMIKIRAN AL-MAWARDI TENTANG PENGANGKATAN KEPALA NEGARA. Muhammad bin Habib al-mawardi al-bashri. 1 Mawardi dilahirkan di"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

53 A. Biografi Al-Mawardi

1. Riwayat Hidup Al-Mawardi

Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri.1 Mawardi dilahirkan di Bashrah pada tahun 364 H. atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi, berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah yang dihadapinya.2 Sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Masa kecil Mawardi dihabiskan di Baghdad hingga tumbuh dewasa. Mawardi merupakan seorang pemikir Islam yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada dinasti Abbasiyah.

Selain sebagai pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Banyak karya-karyanya dari berbagai bidang ilmu seperti ilmu bahasa, sastra, tafsir, dan politik. Bahkan ia dikenal sebagai tokoh Islam pertama yang menggagas tentang

1 Munawir Sjadzali,

Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarata: UI

Press, 1990, hlm. 58.

2 Imam al-Mawardi,

Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Cet. ke-1, 1994,

(2)

teori politik bernegara dalam bingkai Islam dan orang pertama yang menulis tentang politik dan administrasi negara3 lewat buku karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul

“Al-Ahkam al-Sulthaniyah”.

a. Riwayat pendidikan al-Mawardi

Riwayat pendidikan al-Mawardi dihabiskan di Baghdad saat Baghdad menjadi pusat peradaban, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ia mulai belajar sejak masa kanak-kanak tentang ilmu agama khususnya ilmu-ilmu hadits bersama teman-teman semasanya, seperti Hasan bin Ali Jayili, Muhammad bin Ma'ali al-Azdi dan Muhammad bin Udai al-Munqari.4 Ia mempelajari dan mendalami berbagai ilmu keislaman dari ulama-ulama besar di Baghdad. Mawardi merupakan salah seorang yang tidak pernah puas terhadap ilmu. Ia selalu berpindah-pindah dari satu guru keguru lain untuk menimba ilmu pengatahuan. Kebanyakan guru Mawardi adalah tokoh dan imam besar di Baghdad. Di antara guru-gurunya adalah:

1) Ash-Shaimari

Nama lengkapnya adalah Abu Qasim Abdul Wahid bin Hasan al-Shaimari. Ia merupakan seorang hakim dan ahli fiqh bermadzhab Imam Syafi'i. Ash-Shaimari juga sebagai guru yang

3 Qamaruddin Khan,

Al-Mawardi’s Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi “Kekuasaan,

Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000, hlm. 37.

4 Imam al-Mawardi,

(3)

aktif dalam menulis. Banyak karya-karyanya dalam bentuk buku yang di gunakan sebagai silabus dalam belajar oleh murid-muridnya, antara lain; Idlah min Madzhab, Qiyas wa al-Ulul, al-Kifayah dan al-Irsyad. Dari ash-Shaimarilah Mawardi

mendalami ilmu fiqh, kemudian seperti laiknya seorang murid seperti halnya teman-teman seangkatannya, ia mengembangkan ilmu yang telah didapatkan.

2) Al-Minqari

Al-Minqari memiliki nama lengkap Muhammad bin Udai al-Minqari. Nama Minqari disandarkan pada bani Minqar bin Ubaid bin Muqais bin Umar bin Ka'ab bin Sa'id bin Zaid Munah bin Tamim bin Maru bin Add bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudlar bin Nazar bin Su'ad bin Adnan.

3) Al-Jayili

Nama lengkapnya adalah Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jayili Ia salah satu pakar hadits yang sezaman dengan Abi Hanif

4) Muhammad bin al-Ma'alli al-Azdi, salah seorang pakar Bahasa Arab.

5) Abu Hamid al-Isfiraini.

Ia seorang guru besar dan tokoh terkenal yang memiliki nama lengkap abu Hamid Ahmad bin Abi Thahir Muhammad bin

(4)

Ahmad al-Isfiraini. Ia adalah tokoh madzhab Imam Syafi'i yang lahir pada tahun 344 H.

6) Al-Baqi

Al-Baqi memiliki Nama lengkap Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad al-Bukhari al-Ma'ruf al-Baqi. Panggilan al-Baqi diberikan dari nama daerah di Baghdad. Ia salah satu murid dari Abi Ali bin Abi Hurairah. Al-Baqi dikenal sebagai ulama besar dan guru bahasa Arab dan sastra. Ia meninggal dunia pada tahun 398.5 Dari al-Baqi Mawardi mendapatkan banyak ilmu khususnya tentang tasawuf. Dan masih banyak guru-guru Mawardi yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.

Dari beberapa gurunya, Abu Hamid al-Isfiraini merupakan guru yang paling berpengaruh terhadap karakteristik Mawardi. Dari Abu Hamid-lah Mawardi mendalami madzhab Syafi’i dalam kuliah rutin yang diadakannya di sebuah Masjid yang terkenal dengan Masjid Abdullah ibnu al-Mubarak di Baghdad hingga ia terkenal sebagai ulama besar madzhab Imam Syafi’i.6

Dengan kedalaman ilmu dan ketinggian akhlaknya, membuat Mawardi terkenal sebagai seorang panutan yang berwibawa dan disegani baik oleh masyarakat umum maupun oleh pemerintah.

5

Ibid., hlm. 57-60.

6 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Djambatan, 1992,

(5)

Setelah selesai belajar dari guru-gurunya, ia kemudian mengajar di Baghdad. Banyak ulama terkemuka hasil bimbinganya, di antaranya: 1) Abdul Malik bin Ibrahim Ahmad Abu Fadlil Hamdani

al-Faradli al-Ma'ruf al-Maqdisi

2) Muhammad bin Ahmad bin Abdul Baqi bin Hasan bin Muhammad

3) Ali bin Sa'id bin Abdurrahman 4) Mahdi bin Ali al-Isfiraini 5) Ibnu Khairun

6) Abdurrahman bin Abdul Karim 7) Abdul Wahid bin Abdul Karim 8) Abdul Ghani bin Nazil bin Yahya 9) Ahmad bin Ali bin Badrun

10) Abu Bakar al-Khatib7 dan masih banyak lagi murid-murid di bawah bimbingan Mawardi yang tidak mungkin penulis sebutkan semua.

Disamping mengajar, Mawardi menekuni kegiatan ilmiah. Banyak karya tulisnya dalam bentuk kitab atau buku dari berbagai

7 Nama lengkap Abu Bakar al-Khatib adalah Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin

Mahdi al-Hafidh Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 392 H. di antara murid-murid Mawardi, Abu Bakar Khatib merupakan murid yang paling cerdas dan memiliki daya hafal yang kuat, sehingga ia digolongkan sebagai Muhadisin (orang yang pandai dan hafal hadits). Di samping berguru dengan Mawardi ia juga belajar pada beberapa guru, antara lain; Abu Ishaq al-Syairazi dan Abi Nashar bin Shibaghi. Abu Ishaq mengatakan, "Sungguhnya abu bakar adalah seorang murid dan tokoh besar di dar al-qutni yang memiliki pengetahuan dan daya hafal yang kuat tentang hadits" (Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, hlm. 61).

(6)

cabang ilmu, seperti ushul fiqh, fiqh, hadits, tafsir dan politik, dan ini hanya sebagian dari karya-karyanya.8

Menurut sejarah, Mawardi tidak menghendaki buku-buku karangannya diedarkan pada masa hidupnya, karena takut akan berubah niat menjadi riya dan akan mengurangi nilai-nilai pahala dari apa yang telah ia usahakan, serta mengakibatkan amalnya itu tidak diterima oleh Allah. Buku-buku karyanya baru diketahui setelah ia mendekati ajal. Kepada seorang murid yang ia percayai, Mawardi berpesan agar buku-buku karyanya yang diletakkan di suatu tempat supaya diambil dan disebarluaskan. Muridnyapun hanya menemukan beberapa buku saja dari sekian banyak buku yang disebutkan oleh al-Mawardi.9

b. Karir politik al-Mawardi

Situasi politik dunia Islam pada masa al-Mawardi yakni sejak akhir abad X sampai dengan pertengahan abad XI M. mengalami kekacauan dan kemunduran bahkan lebih parah dibandingkan masa sebelumnya.10 Yaitu pada masa kekhalifahan Mu’tamid, al-Muqtadir dan puncaknya pada kekuasaan khalifah al-Muti’ pada akhhir abad IX M. Di masa ini tidak ada stabilitas dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban serta pemegang kendali yang menjangkau seluruh penjuru dunia

8 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,

Ensiklopedi Islam, loc. cit.

9

Ibid.

10 Munawir Sjadzali,

(7)

Islam lambat laun meredup dan pindah ke kota-kota lain. Kekuasaan khalifah mulai melemah dan harus membagi kekuasaannya dengan para panglimanya yang berkebangasaan Turki atau Persia, karena tidak mungkin lagi kedaulatan Islam yang begitu luas wilayahnya harus tunduk dan patuh kepada satu orang kepala negara.11 Pada masa itu kedudukan khalifah di Baghdad hanya sebagai kepala negara yang bersifat formal. Sedangkan kekuasaan dan pelaksana pemerintah sebenarnya adalah para penglima dan pejabat tinggi negara yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa wilayah di beberapa wilayah. Bahkan dari sebagian golongan menuntut agar jabatan kepala negara bisa diisi oleh orang-orang yang bukan dari bangsa Arab dan bukan dari keturunan suku Qurasy. Namun tuntutan tersebut mendapat reaksi dari golongan Arab yang ingin mempertahankan hegemoninya bahwa keturunan suku Quraisy sebagai salah satu syarat untuk bisa menjabat sebagai kepala negara dan keturunan Arab sebagai syarat menjadi penasehat dan pembantu utama kepala negara dalam menyusun kebijakan. Mawardi merupakan salah satu tokoh yang mempertahankan sayrat-syarat tersebut.12

Untuk mensiasati masa-masa sulit yang penuh dengan kekacauan ini, pada tahun 429 H. khalifah al-Qadir mengumpulkan empat orang ahli hukum yang mewakili empat madzhab fiqih untuk

11

Ibid., hlm. 59.

12

(8)

menyusun ikhtisar. Di antaranya, Mawardi yang dipilih untuk mewakili madzhab Syafi’i dan menulis kitab al-Iqna’. Al-Quduri

dipilih untuk mewakili Madzhab Hanafi dan menulis kitab al-Mukhtasyar, sedangkan dua kitab lainnya tidak begitu penting, dan

Mawardi mendapat pengakuan dari khalifah atas karyanya yang terbaik. Untuk menghargai jasanya itu, Mawardi diangkat sebagai Aqdi al-Quddah (Hakim Agung) setelah menjadi hakim di beberapa

daerah.13 Pengangkatan tersebut mendapat kritikan dan memunculkan keberatan oleh beberapa ahli hukum terkemuka seperti at-Thayib al-Thabari dan al-Sinsari yang menyatakan, bahwa tak seorangpun berhak atas posisi itu kecuali Allah. Namun Mawardi tidak menghiraukan keberatan itu dan tetap mempertahankan pengangkatannya sebagai Aqdi al-Quddah dengan alasan bahwa para

ahli hukum yang sama sebelumnya telah mengakui gelar al-Muluk al-A'zam (Raja Agung) bagi Jalal ad-Daulah, seorang pemimpin

kaum Buwaiyah, meskipun Mawardi sendiri tidak mengakui secara positif kemegahan gelar tersebut.14

Al-Mawardi memulai karirnya sebagai hakim. Karena kecerdasan, kejujuran dan ketinggian akhlaknya ia diangkat menjadi hakim di Baghdad oleh khalifah Qadir. Bukan hanya itu, ia juga sangat disenangi dan dihormati oleh berbagai golongan karena kecakapan diplomasinya. Ia sering membantu dalam menyelesaikan

13 Qamaruddin Khan,

Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 36.

14

(9)

perselisihan sehari-hari dengan pihak istana.15 Setelah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk melaksakan tugasnya sebagai hakim, akhirnya ia kembali dan menetap di Baghdad dan mendapatkan kedudukan terhormat dari pemerintah dan keluarga istana sampai akhir hayatnya dengan jabatan terakhir sebagai Hakim Agung (Aqd al-Qudad). Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib

al-Mawardi al-Bashri meninggal di Bagdad pada tahun 450 H. atau 1059 M.

2. Karya-karya Al-Mawardi

Al-Mawardi merupakan penulis yang sangat produktif. Kesibukannya sebagai hakim tidak menyurutkan produktifitasnya untuk berkarya. Bahkan disela-sela tugasnya sebagai hakim yang harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia masih bisa mengajar dan membimbing para muridnya di samping menulis buku. Menurut sejarah, masih banyak buku karangannya yang belum ditemukan yang ia simpan dan hanya beberapa buku saja yang ditemukan oleh muridnya dari buku-buku yang ia sebutkan.16

Adapun karya-karyanya yang ditemukan dari berbagai cabang ilmu dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain:

a. Al-Hawial-Kabir17

15

Ibid., hlm. 37.

16 Tim penyusun IAIN Syarif Hidayatullah,

loc. cit.

17

Al-Hawi al-Kabir merupakan kitab yang terkenal sebagai kitab fiqh paling lengkap

(10)

b. An-Nukat wa al-Uyuni18 c. Adab al-Qadi d. An-Nawawi e. Al-Amtsal wa al-Din f. A’lam an-Nubuwah g. Qunun al-Wizarat h. Siyasat al-Malik

i. Adab ad-Dunya wa al-Din19

j. Al-Iqna

k. Dan al-Ahkam al-Sulthaniyah20

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Al-Mawardi

Secara psikologis maupun kodrati, setiap indvidu akan terbentuk oleh situasi dan kondisi lingkungan di mana ia hidup. Begitu juga karakter dan alam pemikiran al-Mawardi sangat dipengaruhi oleh situasi politik pada

kehidupan baik yang bersifat ubudiyah maupun amaliyah dalam perspektif madzhab Imam Syafi'i. Sejauh yang penulis temukan kitab ini terdiri dari muqadimah dan 18 juz.

18 Dalam kitab ini Mawardi melakukan elaborasi, sebuah studi komparatif tafsir dari

beberapa ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an

19 Ini adalah kitab monumental yang ditulis oleh Imam al-Mawardi yang bernuansa

tasawuf. Kitab ini berisi tentang manajemen, moralitas dan etika dalam kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan agama yang terdiri dari etika dalam bergaul dan hidup bermasyarakat, etika dalam mencari dan memanfaatkan ilmu, etika dalam agama, tentang akhlaqul karimah, kejujuran, kearifan, kesabaran, sopan santun, musyawarah dan lain-lain.

20 Al-Ahkam al-Sulthaniyah merupakan kitab prestisius karya al-Mawardi dalam bidang

politik. Kitab ini berisi tentang berbagai persoalan politik dan tata negara dalam bingkai Islam, di antaranya tentang pengangkatan kepala negara, pengangkatan menteri, pengangkatan gubernur, pengangkatan pimpinan jihad, kepolisian, kehakiman, imam shalat, pemungutan zakat, harta rampasan perang, jizyah dan kharaj, hukum dalam otonomi daerah, tanah dan eksplorasi air, tanah

yang dilindungi dan fasilitas umum, hukum iqtha’, administrasi negara, dan tentang ketentuan kriminalitas. Kitab ini yang membuat Mawardi terkenal sebagai political scientist baik dalam

dunia politik maupun akademik. Buku ini mendapat perhatian besar di dunia barat dan non muslim bahkan sampai ke penjuru dunia hingga saat ini.

(11)

masa itu. Konsep dasar hukum dan politik yang di gagas oleh Mawardi merupakan hasil dari sebuah pengalaman perjalanan hidupnya. Terjadinya pemberontakan, kudeta, kekacauan dan gangguan stabilitas negara, mengilhami Mawardi untuk menyumbangkan ide-ide politiknya dalam bingkai Islam. Banyak gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam bentuk buku terutama dalam ranah hukum dan politik sebagai upaya untuk mengatasi dan mengantisipasi kekacauan yang berkepanjangan tersebut. Dengan adanya hukum dan aturan-aturan yang tegas dalam pemerintahan, dirahapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dan setiap rakyat akan patuh pada hukum dan aturan-aturan tersebut. Seperti contoh, ketika terjadi pemberontakan dan tuntutan agar selain dari keturunan Quraisy orang bisa menduduki jabatan sebgai kepala negara, maka Mawardi memasukkan aturan hukum bahwa selah satu syarat untuk dapat menjadi kepala negara harus dari keturunan suku Quraisy. Disamping itu selama dinasti Abbasiyah berkuasa, kepala negara dijabat oleh orang-orang Quraisy termasuk khalifah al-Qadir pada masa Mawardi. Dari sini tampak bahwa pemikiran Mawardi cenderung mendukung status quo serta mempertahankan legalitas hegemoni Quraisy, hal ini di sebabkan karena posisinya sebagai aparat negara.

Selain faktor suhu politik dan kondisi sosial, karakter pemikiran Mawardi juga terinspirasi oleh tokoh-tokoh klasik abad sebelum masehi, seperti Plato dan Aristoteles serta periode Islam klasik seperti ibnu Abi Rabi. Hal ini terungkap dalam teori proses terbentuknya negara. Sebagaimana plato, Aristoteles juga mengatakan, “the people is zoon

(12)

politicon” artinya manusai sebagai makhluk politik yang mempunyai

kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya. Sedangkan Abi Rabi berpendapat, bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, sehingga mereka saling memerlukan, membantu, berkumpul dan menetap di suatu tempat.21 Begitu juga Mawardi yang berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan sosial, menciptakan ketenteraman dan keseimbangan dalam kehidupan, maka manusia atau masyarakat harus mendirikan negara dan mengangkat seorang kepala negara. Namun Mawardi memasukkan nilai-nilai syari’at dalam teorinya tersebut.22 Di antara beberapa pengaruh tersebut, yang paling besar adalah situasi dan kondisi pada masa itu.

C. Proses Pengangkatan Kepala Negara

Dari uraian bab II yang penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama abad pertengahan dan pakar politik Islam sepakat bahwa mengangkat kepala negara merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam komunitasnya. Secara implisit Allah banyak menyinggung dalam beberapa ayat al-Qur’an tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin. Meskipun demikian Islam tidak memberikan aturan baku bagaimana proses pemilihan dan pengangkatan seorang kepala negara, dan Nabipun tidak memberikan rambu-rambu yang jelas tentang kepemimpinan bagi generasi

21 Munawir Sjadzali,

op. cit., hlm. 61.

22 Imam Al-Mawardi,

Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah. Terj. Abdul

Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 15.

(13)

sesudahnya. Akan tetapi beliau menyerahkan kepada umatnya secara musyawarah untuk memilih orang yang mereka kehendaki.23

Fakta sejarah politik Islam membuktikan, proses pengangkatan kepala negara setelah wafatnya Nabi Muhammad, yang dimulai dari Abu Bakar sebagai khalifah pertama mengalami perubahan dari masa ke masa. Hal ini dapat dilihat dari proses pemilihan dan pembaiatan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad melalui musyawarah, meskipun terjadi perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan kelompok Ansor.24 Kemudian terpilihnya Umar Ibn Khaththab sebagai amirul mukminin setelah Abu Bakar melalui mandat yang diberikan oleh Abu Bakar kepada Umar Ibn Khaththab. Sedangkan pemilihan Usman Ibn Affan sebagai pengganti Umar Ibn Khaththab melalui musyawarah ahlul halli wal aqdi (dewan pemilih)

yang ditunjuk oleh Umar.25 Sementara Ali Ibn Abi Thallib diangkat menjadi khalifah atas desakan para pengikutnya setelah melalui pertikaian dan perebutan kekuasaan dengan Muawiyyah. Adapun kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, tipu daya dan pemberontakan.26 Kemudian ketika Muawiyyah akan turun tahta, ia mengumumkan penggantinya kepada putaranya (Yazid).27 Sejak itu pula sistem pengangkatan kepala negara dilakukan secara turun temurun (memberikan mandat kepada putra mahkota).

23 Hasan Ibrahim Hasan,

Tarikh Islami: Siyasy wa Diny wa Tsaqafi wa al-Ijtima’i,Juz I, Beitur:Dar al-Fikr, 1964, hlm. 428.

24 Pengantar Abd. Salam Arief dalam Manouchehr Paydar, loc. cit. 25

Ibid., hlm. ix.

26 Badri Yatim,

Sejarah Peradaban Islam, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2000,

hlm. 42.

27 Qamaruddin Khan,

(14)

Dari sini Mawardi mencoba memberikan solusi untuk mengurangi otoritas kepala negara dan upaya menciptakan nuansa politik yang lebih demokratis dengan menciptakan blue print tentang prosedur pengangkatan

kepala negara. Menurut Mawardi, untuk memilih dan mengangkat kepala negara dapat dilakukan denga dua cara, yaitu; pertama, denga cara dipilih

oleh ahlul-halli wal-aqdi, kedua, dengan pemberian (penyerahan) mandat

dari kepala negara terdahulu (sebelumnya).

1. Persidangan Ahlul Halli wal Aqdi Untuk Memilih dan Mengangkat Kepala Negara

a. Pengertian ahlul halli wal aqdi

Secara fungsianoal, dewan perwakilan umat yang pada gilirannya disebut ahlul halli wal aqdi, telah dipraktekkan oleh Nabi

Muhammad ketika memimpin pemerintahan di Madinah. Nabi Muhammad telah meletakkan landasan filosofis sistem pemerintahan yang memiliki corak demokratis. Hal ini tampak ketika Muhammad dalam memimpin negara Madinah, menghadapi persoalan yang bersifat duniawi dan menyangkut kepentingan umat yang mengharuskan melibatkan para sahabat untuk memecahkan persoalan tersebut. Meskipun secara kelembagaan dewan tersebut tidak terornagisir dan tidak terstruktur, namun keberadaan mereka sangat penting dalam pemerintahan Islam yang selalu diajak bermusyawarah oleh Nabi ketika beliau menghadapi masalah yang tidak ada petunjukanya dalam al-Qur'an. Sedangkan keanggotaan

(15)

mereka tidak melalui pemilihan secara seremonial, tetapi melalui seleksi alam. Mereka adalah para sahabat yang dipercaya oleh umat sebagai wakil mereka yang selalu diajak untuk bermusyawarah oleh Muhammad.

Karena Islam merupakan gerakan ideologis, maka fenomena yang melekat pada gerakan tersebut adalah bahwa orang-orang yang pertama ikut dalam gerakan tersebut dan orang-orang yang berjasa atas gerakan yang dilancarkan oleh Muhammad untuk ekspan dan menyebarkan ajaran Islam, dianggap sebagai sahabat sejati dan sekaligus sebagai penasehat Muhammad. Oleh karena itu, pemilihan ini tidak melalui pemilihan secara formal atau melalui pemungutan suara, tetapi secara alami melalui ujian praktek dan pengorbanan mereka terhadap gerakan Islam. Dengan demikian, dewan perwakilan umat tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok orang-orang yang pertama masuk Islam yang setia mendampingi Muhammad, dan kelompok orang-orang yang memiliki jasa besar dengan wawasan dan kemampuan mereka.28 Inilah fenomena yang diyakini oleh para politikus Islam sebagai embrio lahirnya dewan perwakilan rakyat atau ahlul halli wal aqdi dalam pemerintahan

Islam.

Istilah ahlul halli wal aqdi barasal dari tiga suku kata, yaitu ahlun, hallun dan aqdun. Dalam kamus bahasa arab kata

ﻞْهَا

ٌ

28 Abul A’la al-Maududi,

The Islamic Law and Constitutional. Terj. Asep Hikmat

(16)

mempunyai arti ahli atau keluarga,29 sedangkan kata

ﱠﻞَﺣ

berarti membuka atau menguraikan,30 sedangkan

َﺪ

َاَﻗ

memiliki arti mengikat atau

ٌﺪْﻗَا

berarti kesepakatan.31 Dari ketiga suku kata tersebut dapat dirangkai menjadi sebuah kata (istilah) yang mempunyai arti "orang-orang yang mempunyai wewenang melonggarkan dan mengikat."32

Dalam terminologi politik ahlul halli wal aqdi adalah dewan

perwakilan (lembaga legislatif) sebagai representasi dari seluruh masyarakat (rakyat) yang akan memilih kepala negara serta menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.

Dalam hal ini, Mawardi mendefinisikan ahlul halli wal aqdi

sebagai kelompok orang yang dipilih oleh kepala negara untuk memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang lama.33 Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang unsur-unsur dari

ahlul halli wal aqdi.

Abdul Karim Zaidan berpendapat, ahlul halli wal aqdi adalah

orang orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakilnya karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan

29 Mahmud Yunus,

Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah

dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973, hlm. 53.

30Ibid., hlm. 106. 31

Ibid., hlm. 275.

32 J. Suyuthi Pulungan,

Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, Cet. ke-5, 2002, hlm. 66.

33 Lihat

(17)

kejernihan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.34

Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, ahlul halli wal aqdi

ialah para ulama, pemimpin, pemuka rakyat yang mudah dikumpulkan untuk memimpin umat dan mewakili kepentingan-kepentingannya.35 Beberapa ulama yang lain memberikan istilah

ahlul halli wal aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu orang-orang

yang memiliki kompetensi untuk memilih.36

Muhammad Abduh berpendapat, bahwa ahlul halli wal aqdi

sama dengan ulil amri,37seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an:

ﹺﺮﻣ َﻷﹾﺍ ﻰﻟﻭﹸﺍﻭ ﹶﻝﻮﺳﺮﻟﺍﺍﻮﻌﻴﻃﹶﺍﻭ َﷲﺍﺍﻮﻌﻴﻃﹶﺍ ﺁﻮﻨﻣﹶﺍ ﻦﻳ ﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺍﺂﻳ

ﻢﹸﻜﻨﻣ

)

ﺀﺂﺴﻨﻟﺍ

:

59

(

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulul amri di antara kamu."38 (QS.

an-Nisa: 59)

Lebih lanjut Abduh menjelaskan dengan lebih rinci beserta unsur-unsurnya dengan mengatakan, "Ahlul halli wal aqdi terdiri dari

para amir, para hakim, para ulama, para pemimpin militer, dan

34 J. Suyuthi Pulungan,

op. cit., hlm.67.

35 Dhiauddin Rais,

An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie

al-Kattani “Teori Politik Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001, hlm. 178.

36

Ibid., hlm. 176.

37 J. Suyuthi Pulungan,

op. cit., hlm. 68.

38 Departemen Agama RI,

Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989,

(18)

semua pimpinan yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik."39

Pendapat yang sama di sampaikan oleh Rasyid Ridha, ia mengatakan bahwa ulil amri adalah ahlul halli wal awdi yang terdiri

dari para ulama, para pimpinan militer, para pemimpin pekerja untuk kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani, para tokoh wartawan.40

Al-Razi juga menyamakan pengertian ahlul halli wal aqdi

dengan ulil amri. Demikian juga al-Maraghi yang berpendapat sama

dengan Abduh dan Ridha.41

b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota ahlul halli wal aqdi

Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota ahlul halli wal aqdi, Mawardi berpendapat, untuk dapat menjadi anggota ahlul halli wal aqdi seseorang harus memenuhi tiga kriteria sebagai

syarat, yaitu:

1) Mempunyai kredibilitas dan keseimbangan yang memenuhi semua kriteria. Yaitu kepercayaan masyarakat atas dirinya bahwa ia benar-benar mempunyai kemampuan secara umum dan memiliki karakter yang baik yang meliputi sifat dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. 39 J. Suyuthi Pulungan, loc. cit. 40 Ibid., hlm. 69. 41 Ibid.

(19)

2) Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala negara dengan syarat-syaratnya.

3) Mempunyai pendapat yang kuat dah hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk diberi amanat memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.42

c. Jumlah anggota ahlul halli wal aqdi

Mawardi tidak menjelaskan secara pasti berapa jumlah anggota ahlul halli wal aqdi yang akan memilih dan mengangkat

kepala negara, ia hanya menjelaskan tentang beberapa pendapat kelompok ulama tentang jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi yang bisa memilih dan mengangkat seseorang untuk menjabat

sebagai kepala negara.

Dalam hal berapa jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi yang bisa memilih dan mengesahkan pengangkatan kepala

negara, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dari berbagai kelompok.

Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pengangkatan

kepala negara hanya sah jika diikuti oleh mayoritas anggota ahlul halli wal aqdi dari seluruh negeri sehingga kepemimpinannya itu

42 Imam Al-Mawardi,

Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm.

(20)

mendapat penerimaan secara tulus dan pengakuan secara umum. Dasar hukum yang dijadikan alasan oleh kelompok ini adalah adanya fakta baiat Abu Bakar untuk memangku kekhalifahan yang hanya berdasarkan pemilihan orang-orang yang ada bersamanya dan pelaksanaan baiatnya tidak menuggu datangnya orang-orang yang tidak berada di tempat saat itu. Namun berapa prosentase yang dimaksud dengan “mayoritas”, para penganut kelompok ini tidak menjelaskan secara rinci.43

Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa jumlah minimal

yang dapat mengesahkan pengangkatan kepala negara adalah lima orang yang sepakat untuk mengangkat seseorang sebagai pemangku jabatan itu, atau satu orang mencalonkan seseorang kemudian disetujui oleh empat orang lainnya. Ada dua hal yang menjadi landasan hukum oleh kelompok ini, yaitu:

1) Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh lima orang yang sepakat untuk membaiatnya, kemudian dikuti oleh beberapa orang lainnya, di antaranya Umar ibn Khaththab, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Asid Ibn Hudhair, Basyar ibn Saad, Dan Salim Maulana Abi Huzaifah.

2) Terbentuknya dewan syura yang dibuat oleh Umar yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu orang dari mereka sebagai

43

(21)

pemimpin negara dengan persetujuan lima orang yang lainnya. Pengikut ini mayoritas fuqaha dan mutakallimin dari Bashrah.44

Ketiga, kelompok dari ulama Kuffah. Meraka berpendapat

bahwa pengangkatan kepala negara dapat dilakukan oleh tiga orang, yaitu satu orang memangku jabatan kepala negara dengan persetujuan dua orang, sehingga satu orang menjadi pejabat dan dua orang menjadi saksi. Mereka mendasarkan hal ini dengan analogi pada akad pernikahan yang sah dengan satu wali dan dua orang saksi.45

Keempat, kelompok ini berpendapat bahwa pengangkatan

kepala negara dapat dilakukan oleh satu orang. Mereka mendasarkan hal ini dengan pembaiatan Ali oleh Abbas, Abbas berkata kepada Ali, “Bentangkanlah tanganmu untuk aku baiat.” Maka orang-orang berkata, ”Paman Rasulullah telah membaiat anak pamannya, maka tidak ada orang yang menentangnya karena hal itu adalah hukum dan hukum satu orang dapat sah.”46

d. Proses memilihan dan pengangkatan kepala negara

Dalam suksesi kepemimpinan melalui persidangan ahlul halli wal aqdi, hal yang paling utama yang harus dilakukan adalah

mempelajari siapa saja orang yang memenuhi kriteria dan syarat untuk memangku jabatan kepala negara. Setelah memilih beberapa orang calon, dewan pemilih menyeleksi dan memilih orang yang 44 Ibid., hlm. 20. 45 Ibid. 46 Ibid.

(22)

paling utama dan paling lengkap syaratnya, serta orang yang mempunyai konduite bagus di mata masyarakat harus diutamakan, sehingga masyarakat akan membaiatnya dan mematuhinya. Jika

ahlul halli wal aqdi telah menetapkan seseorang untuk memangku

jabatan sebagai kepala negara, maka hal tersebut harus ditawarkan kepada pihak terpilih. Jika ia setuju maka dewan pemilih segera membaiat yang diikuti oleh masyarakat dan baiat itu menjadi sah baginya. Sedangkan jika ia menolak dan tidak mau memangku jabatan tersebut, maka ia tidak dapat dipaksa untuk memangkunya karena akad kepemimpinan itu adalah akad saling ridha dan hasil pilihan bebas dan tidak dapat dilakukan dengan paksaan dan tekanan. Setelah ia menolaknya maka jabatan itu ditawarkan kepada orang lain yang juga berkopenten untuk memangkunya.47

Jika ada dua orang calon pemimpin negara yang mempunyai kapasitas kompetensi yang sama maka didahulukan memilih calon yang lebih tua usianya. Meskipun demikian, jika yang dibaiat adalah calon yang lebih muda, hal tersebut tetap sah.

Jika salah satu dari calon itu lebih berpengalaman dan yang kedua lebih berani, maka dalam memilih salah satu dari dua calon itu harus diperhatikan kebutuhan negara pada saat itu. Jika negara saat itu membutuhkan keksatriaan dan keberanian seorang pemimpin karena berkembangnya ancaman dari luar negara dan timbulnya

47

(23)

pemberontakan di dalam negara, maka calon yang lebih berani lebih berhak untuk memangku jabatan kepala negara. Sementara itu jika negara sedang membutuhkan tokoh berpengetahuan dan pandai karena diperlukan untuk menenangkan dan mengalahkan orang-orang yang menyimpang dan para pembuat bid’ah, maka orang-orang yang lebih berpengetahuan dan lebih pandai menjadi calon yang lebih berhak.48 Adapun tindakan meminta jabatan kepala negara oleh seseorang boleh dilakukan dan tidak membaut gugur atas dirinya untuk menjadi calon kepala negara walaupun.

Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang dua orang yang memperebutkan jabatan pemimpin negara, sementara keduanya mempunyai kompetensi yang seimbang. Sekelompok fuqaha berpendapat bahwa nama keduanya diundi dan yang namanya keluar diangkat menjadi kepala negara. Sementara kelompok yang lain berpendapat bahwa para pemilih bebas menentukan pilihan mereka, siapa yang mereka kehendaki tanpa harus melalui undian.

Jika ahlul halli wal aqdi telah memilih seseorang yang

terbaik, kemudian mereka membaiatnya untuk memangku jabatan sebagai kepala negara namun ternyata kemudian ada orang yang lebih baik dan lebih berkompeten dari yang mereka pilih, maka baiat

48

(24)

mereka tetap berlaku bagi yang pertama dan tidak boleh berpindah kepada orang yang kedua.49

Jika ahlul halli wal aqdi dalam persidangan sengaja memilih

seseorang yang memiliki profil yang lebih sedikit kompetensinya untuk dibaiat menjadi kepala Negara, sementara ada orang yang memiliki profil yang lebih berkompeten, maka dalam kasus ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu;

Pertama, jika hal itu dilakukan karena adanya alasan yang

kuat yang mengharuskan mereka membuat keputusan seperti itu, seperti orang yang lebih kompeten itu tidak sedang musafir atau sedang sakit atau juga orang yang lebih sedikit kompetensinya itu ternyata lebih ditaati oleh masyarakat, maka baiat bagi orang tersebut itu sah dan kepemimpinannya juga sah.

Kedua, jika pemilihan dan pembaiatan tidak karena alasan

yang kuat, maka ulama berselisih pendapat, di antaranya adalah Jahizh, bahwa baiatnya tidak sah karena jika pemilihan pemimpin ditujukan untuk memilih yang terbaik maka pemilihan itu tidak boleh dialihkan kepada bukan tokoh terbaik. Hal ini seperti ijtihad dalam menentukan hukum syara’. Namun mayoritas fuqaha dan mutakallimin berpendapat bahwa jabatan orang itu legal dan baiat terhadapnya sah, dan keberadaan orang yang lebih berkompeten itu tidak menjadi penghalang bagi orang yang sedikit kompetensinya itu

49

(25)

untuk memangku jabatan sebagai kepala negara jika memang orang itu telah mencukupi syarat-syarat untuk memangku jabatan tersebut.50

2. Pemberian (Penyerahan) Mandat oleh Kepala Negara Terdahulu Sudah menjadi budaya orang Arab sejak zaman dahulu, seorang ayah memberikan pangkat dan kedudukan serta semua kemuliaan yang ditinggalkan kepada anak-anaknya, khsusunya kepada putra sulung sebagai pemegang janji (waliyyu al-ahdi) dan kekuasaan. Tradisi ini

masih berlangsung hingga sekarang, bahkan tidak hanya terbatas di kalangan orang Arab saja, akan tetapi sudah merambah di beberapa wilayah di sekitar Arab. Hal ini yang menurut sosiolog disebut 'suksesi' (at-ta'aqub), yaitu perpindahan hak-hak yang berupa pangkat, derajat

dan kedudukan.51

Di kalangan suku Quraisy, pemberian mandat jabatan kepada anak atau kerabat terdekat sudah berlaku bahkan sebelum Islam datang. Bermula dari Qushayi52 bin Kilab sebagai pendiri suku Quraisy. Sebagai pendiri dan penguasa pertama dalam pemerintahan Quraisy, di penghujung usianya Qushayi memberikan mandat kepada putranya, Abdi Dar, hak penjagaan, pertolongan, parairan, musyawarah dan

50

Ibid., hlm. 22.

51 Khalil Abdul Karim,

Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Markaziyyah. Terj. M.

Faisol Fatawi "Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan",Yogyakarta: LKiS, Cet. ke-1, 2002, hlm. 14

52 Suku (pemerintahan) Quraisy berdiri pada pertengahan abad IV M, sedangkan Qushayi

sebagai pendirinya meninggal pada tahun 480 M. Untuk lebih jelasnya baca 'Khalil Abdul Karim,

(26)

panji peperangan. Qushayi melakukan ini agar Abdi Dar memeproleh kemuliaan yang tinggi dibandingkan saudara-saudaranya yang lain yang hidup bersama ayah mereka dengan status sosial terhormat di kalangan suku Quraisy. Ini merupakan budaya orang-orang Arab yang masih berlangsung sampai ke generasi berikutnya.53

Setelah pangkat, kedudukan dan kemuliaan tersebut berpindah dari Qushayi kepada Abdi Dar dan anak cucunya, hal serupa juga dilakukan oleh Hasyim, Abdi Syam, Naufal bin Abdi Manaf dan Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Mereka sepakat mengambil alih kemuliaandari anak cucu Abdi Dar, hak penjagaan, pertolongan, perairan, musyawarah dan panji peperangan. Mereka mengaku sebagai orang yang berhak menyandang kehormatan dan kemuliaan yang diwarisinya.54 Tradisi ini yang berlaku sejak lama inilah yang menjadi cermin dan sumber inspirasi sistem pemerintahan dan kekuasaan Islam baik pada masa kekhalifahan Khulafa'ur Rasyidin, rezim Umayyah dan dinasti Abbasiyah terutama pada wilayah suksesi kepemimpinan, di samping Islam tidak memiliki konsep baku dan rinci tentang suksesi tersebut, meskipun ada celah pada periode yang begitu singkat dalam sejarah panjang pemerintahan Islam yang memiliki nuansa demokratis di

53 Orang-orang Arab khususnya suku Quraisy sangat menjaga dan menjunjung tinggi

prestise, reputasi, kehormatan dan kemuliaan. Semua itu mereka peroleh dari jabatan dan kedudukan yang mereka kendalikan. Dengan mewariskan jabatan dan kedudukan mereka kepada anak cucunya, maka kehormatan dan kemuliaan akan tetap lestari dan terjaga di sepanjang sejarah hingga generasi berikutnya. Bahkan di zaman modern ini tradisi dan fenomena tersebut masih berlangsung dan dapat ditemukan di beberapa wilayah, seperti pewarisan jabatan dan status sosial, pewarisan sekte-sekte agama dan tokoh-tokoh sufi dan kelompok-kelompok pinggiran. (Baca 'Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy)

54 Khalil Abdul Karim,

(27)

awal-awal kekuasaan Islam.55 Namun setelah dua masa tersebut berlalu, sistem pemerintahan yang demokratis kembali menjadi pemerintahan monarki dengan sistem pewarisan jabatan. Dan hal ini tidak ditentang oleh kaum muslimin bahkan sistem tersebut dipertahankan oleh genarasi berukitnya. Terjadinya peperangan antara Ali dan Aisyah serta Ali dan Mu'awiyah tidak untuk mempertahankan prinsip dan sistem pemerintahan yang pernah berlaku pada masa Khulafaur Rasydin, tetapi lebih pada perebutan kekuasaan politik.56

Menurut Al-Mawardi, pengangkatan kepala negara dengan menyerahkan mandat kepada seseorang oleh kepala negara sebelumnya boleh dilakukan dan telah disepakati legalitasnya. Dalam hal ini Mawardi mendasarkan pandangannya pada dua moment yang telah dilakukan oleh muslimin:

Pertama, Abu Bakar telah menyerahkan mandat jabatan kepala

negara kepada Umar, kemudian kaum muslimin mengakui legalitas jabatan tersebut dan membaiatnya.

55 Dalam ranah suksesi, setidaknya ada dua celah yang lebih bersifat demokratis dalam

perjalanan panjang pemerintahan Islam, yaitu pertama, pada masa transisi antara kepemimpinan

Muhammad dan pemerintahan Abu Bakar, di mana Abu Bakar terpilih menjadi kepala negara menggantikan Muhammad melalui majelis musyawarah yang terdiri dan beberapa tokoh Islam yang mewakili dua golongan yaitu Anshar dan Muhajirin. Kedua, transisi antara kekuasaan Umar

bin Khaththab dan pemerintahan Usman bin Affan, di mana usman dipilih menjadi kepala negara melalui dewan perwakilan (ahlul halli wal aqdi) yang mewakili seluruh masyarakat.

56 Qamaruddin Khan,

(28)

Kedua, Umar menyerahkan mandat kepada dewan syura untuk

memilih kepala negara sebagai penggantinya, dan masyarakat menerima masuknya enam orang dalam dewan tersebut yang dipilih oleh Umar.57

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam memberikan mandat jabatan sebagai kepala negara, yaitu:

1) Pemberian mandat kepada orang lain (bukan anaknya atau orang tuanya)

Pemberian mandat jabatan kepada seseorang yang bukan anak dan orang tuanya, boleh dilakukan dengan cara mengucapkan baiat sendirian tanpa bermusaywaran terlebih dahulu dengan dewan pemilih.

Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama, apakah persetujuan dewan pemilih menjadi syarat bagi legalitasnya atau tidak. Sebagian ulama dari Bashrah berpendapat bahwa persetujuan dewan pemilih merupakan syarat bagi legalitas bait di hadapan umat. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa baiat tersebut sah walaupun tanpa persetujuan dewan pemilih, karena baiat Abu Bakar terhadap Umar tidak bergantung pada persetujuan sahabat yang lain.

2) Pemberian mandat kepada anak atau orang tuanya

Jika pemberian mandat dilakukan kepada anak atau orang tuanya, maka terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang boleh

57 Imam Al-Mawardi,

Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm.

(29)

tidaknya ia melakukan baiat sendirian tanpa persetujuan dewan pemilih. Ada tiga kelompok ulama yang berpendapat dalam masalah ini:

a) Kelompok pertama, berpendapat bahwa kepala negara tidak boleh melakukan baiat atas anak atau orang tuanya sebelum ia melakukan musyawarah dengan dewan pemilih dan mereka setuju atas keputusannya itu.

b) Kelompok kedua, mengatakan bahwa kepala negara boleh melakukan bait kepada anak atau orang tuanya tanpa bermusyawarah terlebih dahulu dengan dewan pemilih karena ia adalah pemimpin umat yang perintahnya wajib ditaati.

c) Kelompok ketiga, berpendapat bahwa kepala negara boleh membaiat orang tuanya tanpa persetujuan dewan pemilih, namun tidak boleh melakukan baiat sendirian terhadap anaknya karena tabiat manusia mempunyai kecenderungan untuk memihak kapada anaknya lebih besar dari pada kecenderungan memihak orang tuanya.58

Setelah kepala negara memilih seseorang yang memiliki kapabilitas berdasarkan persyaratan yang sah, maka kepala negara harus menawarkan atas kesediannya untuk manerima mandat jabatan sebagai kepala negara. Karena legalitas mandat tersebut bergantung pada persetujuan atas pihak yang dipilih untuk menduduki jabatan

58

(30)

tersebut. Jika pihak yang diberi mandat bersedia untuk menduduki jabatan sebagai kepala negara, maka jabatan tersebut sah dan rakyat wajib mematuhinya. Tetapi jika pihak yang diberi mandat tidak bersedia untuk memangku jabatan sebagai kepala negara, maka kepala negara tidak boleh memaksa dan ia harus memilih orang lain sebagai penggantinya. Mandat yang telah diberikan oleh kepala negara kepada seseroang yang telah bersedia menerima jabatan tersebut, tidak boleh dicabut kembali selama kondisinya tidak berubah dan ia masih dalam koridor syari’at Islam dan tidak melakukan tindakan yang menyebabkan ia diberhentikan dari jabatanya tersebut.59

Kepala negara tidak boleh memberikan mandat jabatannya kepada orang yang tidak ada di tempat dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati. Jika kepala negara meninggal, sedangkan orang yang diberi mandat jabatan oleh kepala negara tidak ada di tempat saat kepala negara meninggal dunia, maka ahlul halli wal aqdi tetap mengutamakan ia sebagai penggantinya. Jika ia

berada di tempat yang jauh di belahan dunia dan rakyat khawatir akan mendapatkan bahaya atas keterlambatanya, maka ahlul halli wal aqdi mengangkat pejabat sementara untuk melaksanakan

tugas-tugas kepala negara sampai penerima mandat tersebut kembali. Jika kepala negara mengundurkan diri dari jabatannya, jabatan tersebut

59

(31)

secara otomatis berpinda kepada orang yang diberi mandat jabatan dan pengunduran dirinya dianggap sebagai kematiannya.60

Dalam hal pemberian mandat jabatan kepala negara kepada dua orang atau lebih, Mawardi perpendapat, pemberian mandat jabatan kepala negara kepada dua orang atau lebih dengan meletakkan urutan di antara mereka, boleh dilakukan dan status mandatnya sah. Seperti contoh, kepala negara berkata: “Kepala negara setelahku adalah si A. Jika si A meninggal maka kepala negara setelahnya adalah si B. Dan jika si B meniggal maka jabatan kepala negara di jabat oleh si C.” Mawardi mendasarkan argumennya pada peristiwa ketika Nabi Muhammad memberikan mandat pimpinan perang dalam perang Mu’tah kepada Zaid bin Haritsah dan beliau bersabda: “Jika Zaid terluka, pimpina perang dipegang oleh Ja’far bin Abi Thallib. Jika Ja’far terluka, pimpinan perang dipegang oleh Abdulah bin Ruwayah. Dan jika Abdullah terluka, pimpinan perang bisa dipilih oleh kaum muslimin.61 Dalam perang tersebut Zaid dan komando perang diambil alih oleh Ja’far. Setelah Ja’far ikut terbunuh, kendali perang dipegang oleh Abdullah. Dan ketika Abdullahpun gugur dalam perang, kaum muslimin memilih Khalid bin Walid sebagai penggantinya.62

Sedangkan mengangkat dua orang atau lebih sebagai kepala negara, baik melalui persidangan ahlul halli wal aqdi maupun

60 Ibid. 61 Ibid., hlm. 32. 62 Ibid.

(32)

melalui mandat dalam waktu dan tempat yang sama tidak boleh dilakukan dan jabatan keduanya tidak sah.63 Seperti contoh, kepala berakta: “Setelahku jabatan kepala negara dipegang oleh si A dan si B,” Atau “Telah kuberikan mandat jabatanku kepada si A dan si B.”

D. Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi oleh Calon Kepala Negara

Tentang syarat-syarat menjadi kepala negara tidak disinggung secara jelas baik dalam al-Qur’an dan sunnah. Hanya dalam hadits diterangkan bahwa seorang pemimpin harus dari suku Quraisy dan ini satu-satunya syarat yang dijelaskan oleh Nabi untuk menjadi seorang pemimpin. Nabi bersabda:

ﹴﺶﻳﺮﹸﻗ ﻦﻣ ﹸﺔﻤﺋ َﻷﺍ

)

ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

Artinya: “Para pemimpin adalah dari suku Quraisy”64

Dalam kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, ada kecenderungan mengutamakan orang-orang terdekat dengan Muhammad, memiliki tingkat keimanan dan keshalehan yang tinggi serta dari kaum Quraisy. Hal ini dapat dilihat pada fakta terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pasca wafatnya Nabi Muhammad. Ia lebih pantas dan berhak untuk menggantikan Nabi (sebagai khalifah) dengan alasan bahwa dialah orang yang paling dekat dengan Nabi dan ia sering mewakili Nabi baik dalam urusan shalat (imam

63

Ibid., hlm. 23.

64

(33)

shalat) maupun dalam urusan umat dan dia dari suku Quraisy, demikian juga Khalifah Umar, Utsman dan Ali.

Sejak berakhirnya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan dimulainya kekuasaan dinasti Umayyah hingga Abbasiyah, kategori-kategori yang disyaratkan untuk dapat menjadi kepala negara tersebut lenyap seiring berlakunya sistem yang diterapkan oleh para penguasa pada masa itu. Dinasti Umayyah dan Abbasiyah menggunakan sistem turun temurun (memberikan mandat kekuasaan kepada putra mahkota) yang secara otomatis mereka mensyaratkan bahwa syarat untuk menjadi kepala negara adalah keturunan dari suku Quraisy, karena dalam kenyataannya penguasa-penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyah adalah keturunan dari suku Quraisy.

Dalam masalah ini Mawardi memasukkan beberapa term sebagai syarat yang harus dimiliki kepala negara. Menurut Mawardi, untuk dapat di calonkan sebagai kepala negara, maka seseorang harus memenuhi tujuh kriteria sebagai syarat yang harus dimiliki, yaitu;

1. Keseimbangan (al-‘adalah) yang memenuhi semua kriteria.

Yaitu seorang calon kepala negara harus memiliki kredibilitas secara menyeluruh dalam dirinya yang meliputi adil, jujur, bertabiat dan watak baik, berakhlak baik, mendahulukan kepentingan umat dan taat terhadap syariat agama.

(34)

2. Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya dapat melakukan ijtihad untuk menghadapi kejadian-kejadian yang timbul dan untuk membuat kebijakan hukum.

Hal ini harus dimiliki oleh calon kepala negara karena tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sebuah pemerintahan akan selalu terjadi gejolak sosial politik yang mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat dan negara.

3. Lengkap dan sehat fungsi panca indranya.

Seorang calon kepala negara harus memiliki kelengkapan fungsi panca indra. Jika salah satu panca indranya mengalami gangguan atau tidak berfungsi, maka hal tersebut akan menghalanginya untuk bisa menjabat kepala negara, karena gangguan tersebut akan menghambat ia untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala negara saat ia terpilih dan diangkat menjdi kepala negara. Antara lain:

a. Bisa mendengar (tidak tuli) b. Bisa melihat (tidak buta) c. Bisa berbicara (tidak bisu)

d. Bisa merasakan dan membedakan rasa makanan e. Bisa mencium bau

4. Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalangi untuk bergerak dan bertindak. Di antaranya:

a. Lengkap kedua matanya

(35)

c. Lengkap akalnya (tidak gila atau sakit jiwa) d. Tidak dalam tawanan musuh

Jika seseorang berada dalam tawanan musuh, maka ia akan terhalang untuk bisa menjadi kepala negara, karena ia tidak mungkin dapat menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan ia dianalogikan sebagai orang yang kehilangan anggota tubuh yang membuat ia tidak bisa bertindak, seperti kehilangan kedua tangan dan kedua kaki. 5. Visi pemikirannya baik sehingga ia dapat menciptakan kebijakan

bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan umat. Karena kepala negara adalah pengganti fungsi kenabian yang bertugas mangatur kehidupan masyarakat serta memelihara, menjalankan dan mengembangkan agama,65 maka seorang kepala negara harus memiliki visi pemikiran yang baik, maju dan wawasan luas.

6. Mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat, yang

membuatnya mempertahankan rakyatnya dan memerangi musuh. Syarat ini mutlak dibutuhkan apalagi saat situasi sosial politik sedang kacau dan stabilitas negara terganggu, maka seorang kepala negara dituntut untuk berani bertindak dan membuat kebijakan yang bersifat melindungi rakyat dan memerangi musuh.

7. Mempunyai nasab dari suku Quraisy

Dalam hal ini Mawardi merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad:

65

(36)

ﹴﺶﻳﺮﹸﻗ ﻦﻣ ﹸﺔﻤﺋ َﻷﺍ

)

ﺪﲪﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

“Para pemimpin adalah dari kalangan siku Quraisy.” 66

Alasan ini diperkuat dengan pidatonya Abu Bakar pada hari Saqifah di hadapan kaum Anshar dengan menyebutkan sabda Nabi tersebut. Selain dua alasan tersebut, Mawardi mendasarkan argumennya pada sabda Nabi yang berbunyi:

ﺎﻫﻮﻣﺪﹶﻘﺗ ﹶﻻﻭ ﺎﺸﻳﺮﹸﻗ ﺍﻮﻣﺪﹶﻗ

)

ﱪﻃ ﻩﺍﻭﺭ

ﱏﺍ

(

“Angkatlah individu dari suku Quraisy dan jangan kalian lengkahi (mendahului) mereka.”67

Ketujuh syarat tersebut harus dipenuhi saat seseorang dipilih atau diberi mandat untuk menjabat sebagai kepala negara.

E. Masa Jabatan Kepala Negara

Islam tidak memberikan batasan berapa lama jabatan kepala negara bahkan dalam teori politik islampun tidak ditemukan tentang masa jabatan kepala negara. Secara historis masa jabatan kepala negara tidak pernah ditentukan. Dan realita menunjukkan bahwa sejak zaman Abu Bakar sampai rezim Abbasiyah, masa jabatan dan berakhirnya jabatan kepala negara mengalami perbedaan. Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun dan berakhir karena sakit dan meniggal dunia. Umar bin Khaththab menjadi

66

Ibid., hlm. 18.

67

(37)

kepala negara selama sepuluh tahun (13-23 H atau 634-644 M). Jabatannya berakhir dengan kematian karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang budak dari Persia. Sementara Utsman bin Affan memerintah selama kurang lebih 12 tahun (23-35 H atau 644-655 M). Jabatannya berakhir karena ia meninggal terbunuh oleh kaum pemberontak. Sementara Ali bin Abi Thallib memegang jabatan kepala negara selama enam tahun (35-40 H atau 655-660 M). Kekuasaannyapun berakhir karena ia dibunuh oleh salah seorang dari kaum Khawarij yang kecewa atas kepemimpinannya.68 Begitu juga pada masa kekuasaan dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tidak adanya kaseragaman dalam hal masa jabatan kepala negara dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik yang berbeda pula. Dari sini dapat lihat bahwa masa jabatan kepala negara berlaku seumur hidup.

Tentang masa jabatan kepala negara, al-Mawardi tidak memberikan ketentun pasti berapa lama (tahun) kepala negara mengemban tugasnya. Namun seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa Mawardi berpendapat, kepala negara yang telah dipilih atau diberi mandat tidak boleh diberhentikan dengan membatalkan baiatnya atau mencabut mandatnya selama kondisinya belum berubah dan ia tidak melakukan hal-hal yang membuat dirinya diturunkan dari jabatannya.

Dengan demikian, menurut Mawardi ada dua hal yang menyebabkan habisnya masa jabatan kepala negara, yaitu:

68 Badri Yatim,

(38)

1. Meninggalnya Kepala Negara

Hal ini sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya, bahwa seseorang yang telah dipilih dan dibaiat baik melalui persidangan ahlul halli wal aqdi maupun melalui pemberian mandat oleh kepala negara

untuk menggantikannya, maka jabatan tersebut berlaku baginya setelah kepala negara sebelumnya meninggal dunia atau menyatakan mengundurkan diri dan pengunduran dirinya dianggap sebagai meninggal dunia.

2. Diberhentikan (Diturunkan) dari Jabatannya

Seorang kepala negara dapat diberhentikan dari jabatannya karena ia telah keluar dari kompetensi69 sebagai kepala negara. Menurut Mawardi ada dua hal yang menyebabkan seseorang keluar dari kompetensinya sebagai kepala negara, yaitu:

a. Kredibilitas dan reputasinya rusak

Rusaknya kredibilitas dan reputasi seorang kepala negara bisa terjadi karena dua hal, antara lain:

1) Karena ia menuruti syahwatnya

Hal ini berkaitan dengan berbuatan tubuh, yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at, seperti melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat, menuruti hawa nafsu dan lain sebagainya. Jika kepala seorang kepala

69 Yang dimaksud dengan kompetansi di sini adalah wewenang yang disertai kemampuan

(39)

negara melakukan hal ini, maka ia telah keluar dari kompetensi jabatannya dan ia bisa diturunkan dari jabatan tersebut.

Jika ia telah menemukan kredibilitas dan reputasinya serta kembali ke jalan yang benar setelah ia diturunkan dari jabatan kepala negara, ia tidak dapat secara langsung memangku jabatannya kembali. Untuk mendapatkan jabatannya kembali, ia harus melalui pemilihan dari awal.70

2) Karena ia melakukan perkara-perkara syubhat

Hal ini berkaitan dengan aqidah, yaitu dengan melakukan takwil (penafsiran) terhadap masalah yang syubhat sehingga ia menghasilkan takwil yang menyimpang dari kebenaran.71

b. Terjadi ketidak lengkapan pada anggota tubuh

Ketidaklengkapan yang terjadi pada anggota tubuh ada tiga macam, di antaranya:

1) Kekurangan pada panca indra

Ada tiga jenis bentuk kekurangan pada panca indra, yaitu: a) Kekurangan pada indra yang dapat menghalangi seseorang

untuk menjalankan jabatan kepala negara.

Bentuk kekurangan pada indra yang dapat menghalangi seseorang untuk menjalankan jabatan kepala negara ada dua macam, yaitu:

70 Imam Al-Mawardi,

Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm.

39.

71

(40)

(1) Hilangnya akal

Hilangnya akal seseorang dibedakan menjadi dua, yaitu:

(a) Hilangnya akal yang terjadi secara temporer dan memiliki harapan untuk normal kembali, seperti pingsan. Menurut Mawardi hal ini tidak membuat gugurnya seseorang untuk memangku jabatan kepala negara.72

(b) Hilangnya akal yang terjadi secara terus menerus dan tidak ada harapan untuk sembuh, seperti gila atau sakit jiwa. Jika seorang kepala negara menjadi gila atau mengidap sakit jiwa dan dokter atau ahli jiwa menyatakan bahwa gilanya tersebut tidak bisa sembuh dan tidak ada harapan untuk normal kembali, maka jabatan yang dipangkunya gugur dan ahlul halli wal aqdi bisa memilih kepala negara yang baru.73

(2) Hilangnya penglihatan

Hilangnya indra penglihatan dapat menghalangi seorang kepala negara untuk melanjutkan jabatannya. Jika hal ini terjadi pada saat ia menjabat sebagai kepala negara, maka jabatan tersebut bisa dicabut. Dalam hal ini Mawardi memberikan alasan, orang yang buta tidak boleh

72

Ibid., hlm. 40.

73

(41)

memegang jabatan kehakiman dan tidak dapat memberikan kesaksian, apalagi jabatan kepala negara yang secara hirarki lebih tinggi kedudukannya.74 Jika kepala mengalami rabun yang tidak dapat melihat di malam hari, hal ini tidak menghalanginya untuk meneruskan jabatannya. Adapun lemahnya penglihatan, jika ia masih bisa mengenali orang yang ia lihat, hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk meneruskan memangku jabatannya sebagai kepala negara. Namun jika ia hanya mengetahui bahwa ada seseorang tanpa mengenali orang tersebut ketika ia melihatnya, maka jabatannya sebagai kepala negara bisa di cabut.75

b) Kekurangan pada indra yang tidak menghalangi seseorang untuk menjalankan jabatan kepala negara.

Kurangnya panca indra yang tidak menyebabkan seseorang terhalang untuk meneruskan jabatan kepala negara yaitu rusaknya indra penciuman sehingga dapat menangkap bau dan hilangnya indra pengecap sehingga ia tidak bisa membedakan rasa makanan. Hal ini tidak menjadikan rusaknya kompetensi sebagai kepala negara karena tidak

74

Ibid., hlm. 41.

75

(42)

mengganggu dan mempengaruhi dalam menjalankan tugas dan membuat kebijakan.76

c) Kekurangan pada indra yang diperdebatkan pengaruhnya terhadap seseorang untuk memangku jabatan kepala negara.

Bentuk kekurangan ini ada dua macam, yaitu tuli dan gagu (bisu). Kedua kekurangan ini dapat menghalangi seseorang untuk menjadi kepala negara. Namun diperdebatkan apakah seseorang yang mengalami kekurangan ini pada saat memangku jabatan kepala negara bisa menghalangi untuk meneruskan jabatannya. Ada beberapa kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang masalah ini:

Pertama, kelompok ulama yang berpendapat, dengan

mengalami kekurangan dua hal tersebut, maka seorang kepala negara telah keluar dari kompetensi jabatannya, dengan alasan kekurangan tersebut sama dengan hilangnya indra penglihatan yang membuat ia diberhentikan dari jabatan kepala negara.

Kedua, kelompok ulama yang berpendapat, bahwa

kedua kekuarangan tersebut tidak membuat ia keluar dari kompetensi jabatan kepala negara, karena ia masih bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat, kecuali ia mengalami

76

(43)

kekurangan yang menghalangi bekerja dan membuat kebijakan.

Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat, jika ia

dapat menulis dengan baik dan bisa dipahami, ia tidak dianggap keluar dari kompetensi kepala negara dan dapat meneruskan jabatannya.77

2) Kekurangan pada anggota tubuh

Kurang lengkapnya anggota tubuh dibagi menjadi empat macam, antala lain:

a) Kekurangan anggota tubuh yang menghalangi seseorang untuk meneruskan memangku jabatan kepala negara, yaitu hilangnya anggota tubuh yang dapat menghalanginya untuk bekerja, seperti hilangnya kedua tangan atau kedua kaki. Kepala negara yang mengalami keadaan ini tidak boleh meneruskan jabatannya karena ia tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya dengan baik.78

b) Kekurangan anggota tubuh yang tidak menghalangi seseorang untuk meneruskan jabatan sebagai kepala negara, yaitu kekurangan yang tidak mengurangi kemampuan kepala negara untuk bekerja dan membuat kebijakan serta tidak membuat penampilannya menjijikkan, seperti terpotongnya kemaluan dan dua buah zakarnya, karena hal ini tidak

77

Ibid., hlm. 42.

78

(44)

mempengaruhi kemampuannya untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala negara.79

c) Kekurangan anggota tubuh yang dapat mengganggu kemampuan untuk menjalankan pekerjaannya sebagai kepala negara, seperti hilangnya salah satu tangan atau kaki. Dalam hal ini terdapat dua kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang apakah ia dapat meneruskan jabatannya atau harus diturunkan dari jabatan kepala negara.

Pertama, kelompok ulama yang mengatakan bahwa ia

harus turun dari jabatan kepala negara, karena kekurangan yang ia alami adalah kekurangan yang menghalanginya untuk dipilih dan diangkat menjadi kepala negara.

Kedua, kelompok ulama yang berpendapat, bahwa ia

boleh meneruskan menjalankan tugasnya sebagai kepala negara, walaupun kekurangan yang ia alami adalah kekurangan yang menggugurkan ia untuk dipilih dan diangkat menjadi kepala negara.80

d) Kekurangan anggota tubuh yang membuat seseorang terlihat buruk dan tidak berwibawa, namun tidak mengganggu dan mengurangi kemampuannya untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala negara, seperti hilangnya batang hidung atau hilangnya salah satu matanya. Hal ini tidak membuat ia

79

Ibid., hlm. 42.

80

(45)

keluar dari kompetensi jabatan dan tidak rusak legalitasnya sebagai kepala negara.81

3) Kekurangan dalam melakukan tindakan

Yang dimaksud kekurangan dalam melakukan tindakan adalah ketridakmampuan kepala negara untuk memegang kendali pemerintahan dan mengambil kebijakan.

Kekurangan dalam melakukan tindakan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu:

a) Karena terkuasai, yaitu karena jabatan fungsional sebagai kepala negara di kuasai oleh para pembantunya sehingga kendali pemerintahan dipegang oleh para pembantunya. Jika para pembantu yang memegang kendali pemerintahan tidak melanggar aturan dan tidak keluar dari syari’at agama atau berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, maka ia diangap sebagai pelaksana kebijakan kepala negara dan kepala negara tidak boleh diturunkan dari jabatannya. Jika meraka melakukan perbuatan melanggara hukum seperti melakukan kemungkaran dan keluar dari koridor sayri’at agama, mereka tidak boleh diakui dan harus dimintai pertolongan kepada pihak yang bisa menangkap dan menghapus hegemoni kekuasaannya.82 81 Ibid. 82 Ibid., hlm. 45.

(46)

b) Karena tertawan, yaitu karena secara fisik kepala negara ditawan oleh musuh dan ia tidak dapat membebaskan dirinya dari penawanan tersebut, sehingga ia tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai kepala negara. Dalam hal ini rakyat mempunyai kewajiban untuk menolong dan menyelamatkannya selama masih ada harapan untuk bisa membebaskannya, baik dengan cara perang maupun dengan cara menebus. Jika tidak ada harapan untuk diselamatkan dan dibebaskan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Jika kepala negara berada dalam tawanan kaum

musyrikin, maka status kepemimpinannya gugur dan dewan pemilih harus mengadakan pemilihan kepala negara sebagai penggantinya. Jika kepala negara yang tertawan memberikan mandat jabatannya kepada seseorang, maka mandat tersebut tidak sah, karena pemberian mandat tersebut dilakukan setelah ia keluar dari jabatan kepala negara. Namun jika pemberian mandat dalam kondisi masih ada harapan untuk bisa diselamatkan dan dibebaskan, maka mandat tersebut sah karena jabatannya masih mempunyai kekuatan hukum.

(2) Jika ia tertawan oleh kaum muslimin yang memberontak, ia tetap diakui validitasnya sebagai kepala negara meskipun kaum benberontak itu mengangkat salah

(47)

seorang dari mereka untuk menjadi kepala negara dan pengangkatan tersebut tidak sah. Kepala negara yang tertawan oleh pemberontak bisa menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya untuk sementara waktu sampai ia bebas dari tawanannya. Jika kepala negara tidak bisa menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya sementara waktu, ahlul halli wal aqdi bisa menunjuk

seseorang untuk menggantikan jabatan tersebut. Jika kepala negara mengundurkan diri atau meninggal dalam tawanan, pejabat yang ditunjuk tidak bisa secara langsung menjadi kepala negara dan jabatannya sebagai kepala negara sementara ikut gugur bersamaan dengan meninggalnya kepala negara tersebut.83

83

Referensi

Dokumen terkait

8 PPID Provinsi Jawa Timur memperoleh penghargaan dari Komisi Informasi Pusat masuk 10 besar sebagai Badan Publik dalam rangka implementasi UU Keterbukaan Informasi

pada PT. 4) Berdasarkan hasil penelitian dan data yang telah diolah, maka dapat disimpulkan bahwa budaya kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan pada

Namun dalam hal OCB, kedua RS tersebut perawatnya dianggap banyak yang menghabiskan waktu untuk pembicaraan di luar pekerjaan ( conscientious yang rendah), tidak

Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUH Pidana, manakala kepentingan-kepentingan hukum tertentu dari seseorang itu mendapat serangan secara melawan hukum dari

Disarankan apabila terjadi sengketa perbankan syariah yang tidak dapat diselesaikan lewat musyawarah, maka forum penyelesaian selanjutnya adalah lewat peradilan agama

 Portopolio  Laporan resume kasus yang diperoleh dari penelusuran mesin pencari (search engine). Pembelajaran Remedial dan Pengayaan.

yang optimal dengan cara memproduksi 2 jenis produk yaitu kaos lengan panjang dan celana panjang untuk dapat menghasilkan keuntungan atau laba yang paling

potensi sumber daya alam lain yang kita miliki yaitu potensi kawasan pesisir khususnya daerah sindulang kecamatan Tuminting. Yang pada kenyatannya daerah yang berpotensi