• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI PENYELESAIAN MASALAH ALJABAR BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL DAN GAYA BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 14 AMBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESKRIPSI PENYELESAIAN MASALAH ALJABAR BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL DAN GAYA BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 14 AMBON"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRAL PAGE 105

DESKRIPSI PENYELESAIAN MASALAH ALJABAR BERDASARKAN TAKSONOMI SOLO DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL DAN

GAYA BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 14 AMBON Syafruddin Kaliky Dosen Pendidikan Matematika IAIN Ambon

0813 4353 8779, E-mail: kalikysyafrruddin@yahoo.co.id ABSTRACT

The study aimed at describing problem solving on algebra based on SOLO taxonomy viewed from initial ability and learning style of grade VIII students of SMP (junior high school). The study was descriptive with qualitative approach which used the researcher as the main instrument; whereas the supporting instruments were test of initial ability, questionnaire of learning style, test of problem solving on Algebra, and guided interview. Test of initial ability used was limited to high initial ability and low initial ability. Whereas, learning style consists of visual learning style, auditory and kinesthetic.

The results of the study revealed that students solving Algebra problem based on the fulfillment of SOLO taxonomy indicators, namely the first subject with high initial ability and visual learning style tended to achieve extended abstract level; whereas, the second subject tended to achieve relational level. Subject with high initial ability and auditoria learning style tended to achieve relational level. Subject with high initial ability and kinesthetic learning style tended to achieve extended abstract level. Subject with low initial ability and visual learning style tended to achieve multistruktural level. Subject with low initial ability and auditoria learning style tended to achieve transition period at multistruktural level. Subjek with low initial ability and kinesthetic learning style tended to achieve multistructural level.

Key Words: Problem Solving Based on SOLO Taxonomy, Initial Ability and Learning Style

(2)

INTEGRAL PAGE 106

A.PENDAHULUAN

Dalam pembelajaran matematika, penyelesaian masalah merupakan hal yang sangat penting. Seperti yang diketahui bahwa hasil penyelesaian masalah siswa berbeda-beda. Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran matematika adalah menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi kelak di masyarakat. Aktivitas pembelajaran idealnya tidak hanya difokuskan pada upaya untuk mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan juga bagaimana menggunakan segenap pengetahuan yang diperoleh untuk menghadapi situasi baru atau menyelesaikan masalah-masalah khusus matematika.1 Selain itu, penyelesaian masalah merupakan suatu proses kognitif dalam mencari solusi yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.2

Begitu pentingnya penyelesaian masalah sehingga di sekolah-sekolah, siswa lebih dituntut untuk harus dapat menyelesaikan masalah yang diberikan. Namun hal yang sering ditemukan di sekolah terkait kesulitan siswa yang sering dialami dalam menyelesaikan masalah yang ada. Kesulitan siswa tersebut diantaranya kurangnya pemahaman siswa terhadap suatu masalah dalam bentuk verbal yaitu kurang mampu memahami makna kalimat, kesulitan memanipulasi model matematika, serta sulit dalam menafsirkan hasil yang diperoleh ke dalam bentuk verbal.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Pramita tentang “Analisis Kesalahan Menyelesaikan Soal Cerita Persamaan Linear Dua Variabel (PLDV) pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 18 Makassar”. Dari penelitian ditemukan bahwa ada tiga kesalahan yang sering dilakukan siswa yaitu (1) siswa tidak memahami kalimat dalam soal dan siswa tidak dapat membuat model matematika dari soal, (2) siswa tidak mampu membuat pemisalan soal dengan

1 Wena, Made. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. (Jakarta: Bumi Aksara.2011).hlm.52.

2

(3)

INTEGRAL PAGE 107

tepat, (3) siswa sulit dalam menafsirkan kembali hasil yang diperoleh ke dalam bentuk verbal.

Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran sering di temui bahwa kelemahan guru dalam proses belajar mengajar yaitu memberikan contoh kepada siswa bagaimana menyelesaikan suatu masalah, tapi tidak memberikan kesempatan sepenuhnya kepada siswa untuk menemukan sendiri. Sedemikian sehingga siswa menjadi kurang kreatif, akibatnya siswa hanya mampu menyelesaikan masalah bila telah diberikan caranya oleh guru.

Selain dari pada itu, kemampuan awal juga turut dalam mempengaruhi hasil belajar siswa. Seperti yang kita ketahui bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang memiliki materi-materi yang hirarki. Menurut Gagne dalam Ernest, topik hanya dapat dipelajari ketika hirarki dari prasyarat telah dipelajari dan dikuasai. Begitu pentingnya materi prasyarat sehingga dalam pembelajaran siswa dituntut untuk harus menguasai materi prasyarat sebelum mempelajari materi selanjutnya. Namun kenyataan yang terjadi bahwa dalam pembelajaran guru jarang bahkan tidak pernah mengecek kemampuan awal siswa terkait materi prasyarat sebelum materi disajikan, sehingga ketika guru menyajikan materi, siswa sulit dalam menyerap informasi yang ada yang berdampak pada pemahaman siswa sekaligus penyelesaian masalah. Oleh karena itu, agar pembelajaran menjadi terarah dengan baik jika siswa memiliki kemampuan awal yang baik juga. Baik dan tidaknya hasil yang diperoleh tergantung seberapa besar siswa menyerap informasi yang diberikan.3

DePorter dan Hernacki menjelaskan bahwa taraf kecerdasan dan penyelesaian masalah siswa berbeda-beda4. Hal ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan gaya belajar yang dimiliki oleh setiap siswa. Memahami gaya belajar setiap siswa adalah hal yang penting.5

3 Ernest, Paul. The Philosophy of Mathematics Education, (published in the Taylor &

Francis e-Library : RoutledgeFalmer the Taylor & Francis Group.2004).hlm.238.

4 DePorter, Bobbi., Hernacki, Mike. 2009. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.hlm.30. 5

Bachtiar, Soeseno.Memahami Psikologi Anak Didik. (Yogjakarta: Pinang Merah Publisher.2012).hlm.27.

(4)

INTEGRAL PAGE 108

Gaya belajar siswa merupakan salah satu komponen dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas. Siswa mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyerap informasi yang diberikan oleh guru. Ada siswa yang belajar dengan memaksimalkan penggunaan indra pendengaran (auditorial) yang bercirikan ketertarikan yang lebih pada suara dan kata-kata. Adapula siswa yang mengandalkan indra penglihatan (visual) dalam proses pembelajaran. Siswa yang termasuk gaya belajar jenis ini tertarik dengan warna, bentuk dan gambar-gambar hidup. Serta ada juga siswa yang senantiasa menggunakan dan memanfaatkan anggota gerak tubuhnya dalam proses pembelajaran (kinestetik). Siswa yang termasuk jenis gaya belajar ini senang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan tubuh.

Sangat penting seorang pengajar mengenali gaya belajar yang dimiliki oleh setiap siswa. Oleh karena guru perlu tahu bagaimana sebenarnya jalan atau proses matematika itu bisa dipahami atau dikuasai oleh siswa. Dengan mengetahui gaya belajar siswa akan sangat membantu guru dalam proses pembelajaran. Guru dapat membantu siswa memaksimalkan penyelesaian masalah matematika dan mendorong siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka berdasarkan gaya belajarnya sendiri agar berpengaruh terhadap berfikir logis, analisis dan kreatifitas siswa. Dengan demikian sekolah akan menjadi tempat yang menyenangkan bagi guru, siswa dan semua pihak yang terlibat di dalamnya.6

Salah satu tehnik yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur kualitas respon siswa dalam menyelesaikan suatu masalah adalah taksonomi SOLO. Biggs dan Collis dalam Jhon Biggs, menjelaskan SOLO sebagai sebuah kerangka kerja untuk memahami, meningkat dari yang sederhana sampai yang kompleks atau abstrak. Hal ini kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO (structure of the observed learning outcome). Taksonomi SOLO mengelompokkan tingkat respon siswa pada lima level berbeda dan bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural (pre-structural), level 1: unistruktural (

(5)

INTEGRAL PAGE 109 structural), level 2: multistruktural (multy-structural), level 3: relasional (relational), dan level 4: abstrak yang diperluas (extended abstract).7

Siswa pada tingkat prastruktural dapat menolak memberikan respon atau menjawab tanpa dasar yang logis, tingkat unistruktural dapat menarik kesimpulan berdasarkan satu hubungan data atau informasi secara konkret, tingkat multistruktural dapat menarik kesimpulan berdasarkan dua atau lebih hubungan data atau informasi, namun masih terpisah, tingkat relasional dapat menarik kesimpulan berdasarkan dua atau lebih hubungan data atau informasi secara terintegrasi, dan tingkat extended abstrak dapat berpikir deduktif dan dapat menyusun prinsip umum atau hipotesis berdasarkan informasi yang diberikan.

Taksonomi SOLO berperan menentukan kualitas respon siswa terhadap suatu masalah. Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai alat menentukan kualitas jawaban siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh dari hasil jawaban siswa, selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian proses kognitif yang ingin diukur.

Acuan untuk menyusun alat evaluasi yang dilakukan berdasarkan taksonomi SOLO berguna memantau pertumbuhan pengetahuan matematika siswa, dan dikembangkan khusus untuk bidang geometri, pengukuran, pola dan fungsi (aljabar) serta statistic.8

Aljabar merupakan salah satu materi yang di ajarkan di SMP/MTs. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, aljabar (algebra) merupakan cabang matematika yang menggunakan tanda-tanda atau huruf-huruf untuk menggambar atau mewakili angka-angka dalam penyelesaian masalah. Kita seringkali menjumpai masalah yang tidak dapat langsung kita selesaikan, khususnya masalah yang berkaitan dengan aljabar. Agar lebih mudah dalam menyelesaikan suatu masalah maka masalah tersebut harus diubah dahulu dalam bentuk aljabar.

7 Jhon, Biggs. 2011. SOLO TAKSONOMI. e Time Professional Development.

(http://sup.ujf-grenoble.fr/spip.php?action=acceder_ document& file= pdf%2 FSolo Taxonomy Handout 2.pdf ) didownload pada tanggal 10 Juni 2013.

8

Webb, Norman L., Coxford, Arthur F. Assessment In The Mathematics Classroom. (Madison: University of Wisconsin.1993). hlm.135.

(6)

INTEGRAL PAGE 110

Di sekolah menengah awal, aspek yang paling sulit mengembangkan pemecahan aljabar kalangan siswa adalah notasi aljabar, konsep variabel, fungsi dan sifat bilangan. Keempat konsep dasar telah disorot sebagai ide besar aljabar dan harus dikembangkan dalam rangka membangun fondasi yang kuat dari pemecahan aljabar di kelas.9

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut untuk mengetahui gambaran penyelesaian masalah aljabar berdasarkan taksonomi solo ditinjau dari kemampuan awal dan gaya belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 14 Ambon ”.

B.KAJIAN PUSTAKA 1. Taksonomi SOLO

SOLO adalah The Structure of the Observed Learning Outcome atau struktur hasil belajar yang dapat diamati. SOLO adalah kerangka kerja berdasarkan pengembangan dari teori kognitif oleh Piaget. Tapi Biggs dan Collis menyarankan bahwa ada jelas perbedaan antara perkembangan dan pembelajaran. Kerangka SOLO tidak mengidentifikasi tahap perkembangan seorang siswa tetapi mengidentifikasi tingkat respon terhadap tugas oleh siswa.10. Jadi taksonomi SOLO adalah klasifikasi respon nyata dari siswa tentang struktur hasil belajar yang dapat diamati.

Taksonomi SOLO dirancang terutama dengan tujuan untuk menilai hasil belajar siswa. Taksonomi SOLO berfokus pada struktur respons seseorang, untuk menggambarkan kualitas pembelajaran.11

Menurut Biggs dan Collis dalam Aoyama, tiap tahap kognitif terdapat struktur respon yang sama dan makin meningkat dari yang sederhana sampai yang kompleks. Diketahui bahwa ketika siswa menjawab tugas yang diberikan, respon terhadap tugas tersebut dapat terlihat dalam lima tahap mulai dari tahap prastruktural sampai tahap extended abstract. Deskripsi masing-masing tahap

9 Lean, Lim Hooi & Yew, Wun Thiam. Assessing Algebraic Solving Ability: A Theoretical Framework. (Canada: Canadian Center of Science and Education.2012). (journal International Education Studies); Vol. 5, No. 6.

10

Aoyama, Kazuhiro. 2007. Investigating A Hierarchy Of Students’ Interpretations Of Graphs. (International Electronic Journal of Mathematics Education). Volume. 2, No. 3

(7)

INTEGRAL PAGE 111

sebagai berikut (Brabrand & Dahl dalam journal SOLO analysis of competence progression):12

SOLO 0: "Tingkat Prastruktural"

Ciri-ciri siswa pada level prastruktural adalah menolak untuk memberi jawaban, menjawab secara tepat atas dasar pengamatan dan emosi tanpa dasar yang logis dan mengulang pertanyaan.13

Apabila siswa diberikan masalah dan tidak ada upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jenis perintah yang digunakan untuk menjalankan suatu alogaritma tidak bermakna. Hal ini berarti siswa tersebut tidak memahami pertanyaan atau tugas yang harus dia selesaikan. Dia melakukan sesuatu yang tidak relevan, tidak melakukan identifikasi terhadap konsep-konsep yang terkait dan sering menulis fakta-fakta yang tidak ada kaitannya. Siswa yang berkarakteristik seperti ini dikategorikan pada level prastruktural.14

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa siswa pada level prastruktural belum bisa mengerjakan tugas yang diberikan secara tepat artinya siswa tidak memiliki keterampilan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan tugas. Siswa yang termasuk pada tahap ini tidak melakukan respon yang sesuai dengan pertanyaan yang diberikan sehingga jika siswa tersebut memberikan respon maka respon tersebut tidak relevan dengan informasi yang diberikan. Tugas tidak diserap tepat, para siswa belum benar-benar memahami dan menggunakan cara untuk menyelesaikannya.

SOLO 1: "Tingkat Unistruktural"

Ciri-ciri siswa pada level unistruktural adalah dapat menarik kesimpulan hanya berdasarkan satu data yang cocok secara konkrit.15

Menurut Nulty dalam Thohari, siswa pada level ini memberikan satu desain eksperimen, dengan satu hipotesis. Desain eksperimen ini bersifat

12 Aoyama, Kazuhiro. op.cit. 13

Asikin, M. 2003. Pengembangan Item Tes Dan Interpretasi Respon Mahasiswa Dalam Pembelajaran Geometri Analit Berpandu Pada Taksonomi Solo. (Jurnal pendidikan dan pengajaran IKIP Negeri Singaraja,) No.4 TH.XXXVI

14 Hawkins, W & Hedberg, J.G.1986. Evaluating LOGO: Use of the SOLO Taxonomy.

Australian Journal of Educational Technology. 2(2)

http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet2/hawkins.html.

(8)

INTEGRAL PAGE 112

konvergen dengan hanya ingin mengetahui satu jawaban. Desain eksperimen tersebut diasumsikan dapat menemukan jawaban hanya dengan satu tahapan (jika x maka y). Terkait dengan problem solving, siswa hanya memberikan satu solusi, dan dia menyatakan solusinya hanya itu (walaupun yang sebenarnya problem tersebut adalah divergen).16

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada level ini siswa bisa merespon dengan sederhana pertanyaan yang diberikan akan tetapi belum bisa dipahami respon yang diberikan oleh siswa. Siswa pada level ini mencoba menjawab pertanyaan secara terbatas yaitu dengan cara memilih satu informasi yang ada pada pertanyaan yang diberikan. Tanggapan siswa hanya berfokus pada satu aspek yang relevan.

SOLO 2: "Tingkat Multistruktural"

Ciri-ciri level multistruktural adalah dapat menarik kesimpulan berdasarkan dua data atau lebih atau konsep yang cocok, namun berdiri sendiri atau terpisah.17

Menurut hasil penelitian Nulty dalam Thohari, menunjukkan bahwa siswa memberikan lebih dari satu desain eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis, yaitu siswa yang dikategorikan pada level ini. Desain eksperimen tersebut konvergen, namun dapat memberikan beberapa kemungkinan jawaban. Siswa pada level ini menggunakan dua atau lebih penggal informasi, namun urutan informasi tersebut sering gagal memberikan penjelasan mengapa atau apa hubungan diantara sekumpulan data tersebut. Terkait dengan problem solving, siswa pada level ini memberikan beberapa solusi dari suatu permasalahan.18

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan merespon masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan yang dapat mereka buat, namun hubungan-hubungan tersebut belum tepat.

16 Thohari, Khamim. MengukurKualitasPembelajaranMatematikaDenganGabungan Taksonomi Bloom dan SOLO. (http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/ SOLO.pdf) didownload tanggal 7 juni 2013.

17 Asikin.. op.cit

(9)

INTEGRAL PAGE 113

SOLO 3: "Tingkat Relational"

Ciri-ciri siswa pada level relasional yaitu dapat berpikir secara induktif, dapat menarik kesimpulan berdasarkan data atau konsep yang cocok serta melihat dan mengadakan hubungan-hubungan antara data atau konsep tersebut.19

Nulty dalam Thohari, menemukan bahwa siswa pada level ini dapat memberikan lebih dari satu desain eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis, dan dapat mengaitkan desain hipotesis secara bersama-sama. Siswa pada level ini dapat memberikan lebih dari satu interpretasi dari suatu argumen. Siswa dapat memberikan beberapa solusi untuk suatu problem divergen, dan memberikan hubungan antar solusi yang mungkin. Siswa pada level ini juga dapat mengaitkan hubungan antara fakta dan teori serta tindakan dan tujuan. Siswa mulai mengaitkan informasi-informasi menjadi satu kesatuan yang koheren, sehingga siswa memperoleh konklusi yang konsisten.20

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kemampuan siswa pada level relasional mampu memecahkan suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan dapat menjelaskan kesetaraan model tersebut.

SOLO 4: "Tingkat Extended Abstract"

Ciri-ciri siswa pada level extended abstract ciri yaitu dapat berpikir secara induktif dan deduktif, dapat mengadakan atau melihat hubungan-hubungan, membuat hipotesis, menarik kesimpulan dan menerapkannya pada situasi lain.21

Nulty dalam Thohari, juga mendiskripsikan siswa dapat memberikan lebih dari satu desain eksperimen dengan lebih satu hipotesis. Dia memberikan suatu dasar untuk mendesain eksperimen dan membuat hipotesis dari masalah awal. Diagnosis yang dilakukan tidak selalu konvergen, sehingga memungkinkan adanya temuan-temuan baru dan teori baru. Desain eksperimen tersebut menggunakan pendekatan tahap ganda. Dia memberikan lebih dari satu interpretasi tentang suatu argumen, sehingga dapat mengaitkan keterpaduan diantara interpretasi tersebut untuk membentuk suatu gagasan baru. Dalam hal

19

Asikin.. op.cit

20 Thohari, Khamim. op.cit 21 Asikin.. op.cit

(10)

INTEGRAL PAGE 114

pemecahan masalah, siswa pada level ini dapat mungkin, melakukan justifikasi terhadap solusi-solusi tersebut untuk membangun struktur baru.22

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa pada tahap ini sudah menguasai materi dan memahami soal yang diberikan dengan sangat baik sehingga siswa sudah mampu untuk merealisasikan ke konsep-konsep yang ada. 2. Kemampuan Awal

Pada umumnya, kemampuan awal merupakan kemampuan yang telah dimiliki siswa dalam pelajaran matematika sebelum diberikan perlakuan. Kemampuan awal yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kemampuan prasyarat siswa. Menurut Piaget dalam Ernest, Pelajar harus menguasai operasi pada satu tahap sebelum dia siap untuk berpikir dan beroperasi pada tingkat berikutnya.23

Sejalan dengan pendapat di atas, Gagne dalam Ernest, berpendapat bahwa topik hanya dapat dipelajari ketika hierarki dari prasyarat telah dipelajari. Topik (item pengetahuan) pada tingkat tertentu dalam hirarki dapat didukung oleh satu atau lebih topik pada tingkat yang lebih rendah berikutnya. Setiap individu tidak akan dapat belajar topik tertentu jika ia telah gagal mencapai salah satu topik bawahan yang mendukungnya.

3. Gaya Belajar

Gaya belajar adalah sebuah pendekatan yang menjelaskan mengenai bagaimana individu belajar atau cara yang ditempuh oleh masing-masing orang untuk berkonsentrasi pada proses dan menguasai informasi yang sulit dan baru melalui persepsi yang berbeda.24 Gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap, kemampuan mengatur dan mengolah informasi.25 Selanjutnya, Gaya belajar menurut Keefe dalam Ghufron, adalah suatu karakteristik kognitif, afektif, perilaku psikomotorik, sebagai indikator yang bertindak relatif stabil untuk siswa merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap lingkungan belajar.26

22Thohari, Khamim. op.cit 23 Ernest, Paul. op.cit.,hlm.238.

24 Ghufron. 2013. Gaya Belajar. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.hlm.42. 25

Suparman. Gaya Mengajar yang Menyenangkan Siswa. (Yogyakarta: Pinus Book Publisher. 2010).hlm.63.

(11)

INTEGRAL PAGE 115

Senada dengan Keefe, James and Gardner dalam Ghufron, berpendapat bahwa gaya belajar adalah cara yang kompleks dimana para siswa menganggap dan merasa paling efektif dan efisien dalam memproses, menyimpan dan memanggil kembali apa yang telah mereka pelajari. Sementara Kolb dalam Ghufron,mengatakan bahwa gaya belajar merupakan metode yang dimiliki individu untuk mendapat informasi, sehingga pada prinsipnya gaya belajar merupakan bagian integral dalam siklus belajar aktif.

Pengelompokkan gaya belajar menjadi tiga, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik. Berikut ini ciri-ciri dari ketiga gaya belajar tersebut.27

a. Gaya belajar visual

Gaya belajar ini biasanya disebut sebagai gaya belajar pengamatan. Gaya belajar ini sangat mengandalkan indra penglihatan (mata) dalam proses pembelajaran. Siswa yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung untuk duduk di depan agar dapat melihat dengan jelas. Mereka berpikir menggunakan gambar-gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan video. Di dalam kelas, siswa visual lebih suka mencatat sampai detil-detilnya untuk mendapatkan informasi.

b. Gaya belajar auditorial

Gaya belajar ini biasanya disebut sebagai pendengar. Para siswa yang memiliki gaya belajar ini umumnya memaksimalkan penggunaan indra pendengar (telinga) dalam proses penangkapan dan penyerapan informasi. Siswa dengan gaya belajar auditorial dapat mencerna makna yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan hal-hal auditorial lainnya. Siswa seperti ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.

(12)

INTEGRAL PAGE 116

c. Gaya belajar kinestetik

Gaya belajar seperti ini biasanya disebut juga gaya belajar penggerak. Hal ini disebabkan karena siswa-siswa dengan gaya belajar ini senantiasa menggunakan dan memanfaatkan anggota gerak tubuhnya dalam proses pembelajaran atau dalam usaha memahami sesuatu. Siswa-siswa yang termasuk jenis ini senang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan tubuh seperti merangkak, berjalan, dan biasanya kemampuan mereka berjalan lebih cepat. Mereka senang digendong, diayun-ayun, dan selalu mencari kontak fisik. C.METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi dan mendeskripsikan penyelesaian masalah aljabar siswa berdasarkan taksonomi SOLO ditinjau dari kemampuan awal dan gaya belajar. Deskripsi penyelesaian masalah yang dimaksud adalah gambaran respon jawaban siswa yang dicapai. Respon siswa akan tercermin dalam 5 tingkatan yakni prastruktural, unistruktural, multistruktural, relasional, dan extended abstract (abstrak yang diperluas).

2. Subjek penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 14 Ambon, dengan menetapkan kelas VIII9 dan VIII10 untuk diberikan tes kemampuan awal dan angket gaya

belajar dalam rangka memilih siswa untuk dijadikan subjek penelitian, sehingga terpilih untuk kemampuan awal tinggi masing-masing 2 siswa dengan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik, dan untuk kemampuan awal rendah masing-masing 2 siswa dengan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik.. 3. Instrumen dan Teknik pengumpulan data

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Pada penelitian ini juga digunakan instrumen pendukung lainnya yaitu: (1) Tes kemampuan awal, (2) angket gaya belajar, (3) Tes penyelesaian masalah aljabar berdasarkan taksonomi SOLO, dan (4) Pedoman wawancara. Soal pada tes kemampuan awal memuat soal-soal pengetahuan awal siswa tentang persamaan linear satu variabel (PLSV), sehingga dari data yang diperoleh, peneliti dapat

(13)

INTEGRAL PAGE 117

menentukan kategori kemampuan awal siswa. Angket gaya belajar digunakan untuk mengetahui apakah seorang siswa termasuk gaya belajar visual, auditorial, atau kinestetik. Item pertanyaan merupakan ciri-ciri dan kebiasaan yang dimiliki setiap gaya belajar. Sementara soal pada tes penyelesaian masalah aljabar dibuat beracuan pada indikator taksonomi SOLO dan digunakan untuk mendeskripsikan penyelesaian masalahnya serta dapat menentukan kecenderungan level berpikirnya. Pedoman wawancara digunakan agar lebih mendetail memperoleh data dan lebih akurat menelusuri mengenai respon siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Instrumen penelitian ini dikembangkan oleh peneliti sendiri yang terlebih dahulu distandarkan dengan melakukan validasi oleh validator.

4. Prosedur pelaksanaan penelitian

Secara garis besar prosedur pelaksanaan penelitian dapat dilakukan berdasarkan tahap-tahap diantaranya merancang, validasi instrument, orientasi lapangan dan observasi sekolah, penentuan subjek penelitian, pengumpulan data, analisis data, dan selanjutnya menyusun deskripsi penyelesaian masalah aljabar berdasarkan taksonomi SOLO ditinjau dari pengkategorian tes kemampuan awal dan gaya belajar.

5. Teknik analisis data

Proses analisis data dimulai sejak pengumpulan data sampai pada saat peneliti menyelesaikan tugas di lapangan. Ketika peneliti mulai mengumpulkan data, analisis dilakukan terhadap pertanyaan yang diajukan berdasarkan respon subjek. Misalkan, jika respon subjek terhadap pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan tujuan penelitian dan menurut analisis peneliti, respon yang diberikan tidak menarik untuk diungkapkan, maka diajukan pertanyaan dengan kalimat yang berbeda, namun tetap dalam inti permasalahan. Tetapi, jika respon subjek menarik untuk diungkap, meskipun tidak sesuai dengan tujuan penelitian, maka peneliti mengajukan pertanyaan yang sifatnya menggali. Data yang telah terkumpul dan masih dalam bentuk rekaman, selanjutnya ditransformasi ke dalam bentuk transkrip wawancara.

(14)

INTEGRAL PAGE 118

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Deskiripsi Penyelesaian Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi SOLO Siswa Berkemampuan Awal Tinggi Dengan Gaya Belajar Visual a. Level unistruktural

Dalam menyelesaikan masalah, subjek DO dan IF cenderung menggunakan satu penggal informasi yang jelas dalam merespon masalah yang diberikan, sehingga menyelesaikan dengan sederhana masalah tersebut. Informasi yang digunakan subjek berdasarkan satu fakta konkret. Fakta konkret tersebut berupa gambar. Berkaitan dengan gaya belajar, subjek cenderung mengandalkan visualnya dalam menyerap informasi yang ada sehingga cenderung memberikan jawaban tepat dan benar.

b. Level multistruktural

Subjek cenderung menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari soal dalam menyelesaikan masalah, namun subjek cenderung belum memadukan informasi secara bersama-sama melainkan masih bersifat independen. Informasi-informasi tersebut berupa gambar ataupun pernyataan awal serta level unistruktural. Untuk TPM-01, subjek DO cenderung menggunakan logika dengan hanya mengamati pola bilangan yang membentuk kelipatan, sementara subjek IF cenderung menghitung langsung dengan merujuk pada gambar. Untuk TPM-02, subjek DO dan IF cenderung langsung menghitung tiap angka yang masuk dengan merujuk pada pernyataan awal.

c. Level relasional

Subjek DO dan IF dalam menyelesaikan masalah cenderung memadukan penggalan-penggalan informasi yang diperoleh secara terpisah, serta cenderung berpikir secara induktif dalam menghasilkan persamaan dari masalah dengan benar. Dalam menarik kesimpulan, subjek berdasarkan pada konsep yang cocok serta cenderung membuktikan persamaan yang dibuat dengan berpandu pada level pertama.

d. Level extended abstract

Dalam membuat suatu persamaan baru, subjek DO dan IF cenderung berpikir deduktif untuk menghubungkan informasi-informasi tersebut serta

(15)

INTEGRAL PAGE 119

menarik kesimpulan untuk membangun suatu konsep baru dan menerapkannya. Subjek DO cenderung menyusun suatu dugaan dalam membuat suatu prinsip yang berlaku umum dengan tepat. sementara subjek IF masih keliru dalam menyusun persamaan yang dibuat. Hal ini dikarenakan subjek tidak memahami inti dari masalah yang diberikan. Ini mengindikasikan bahwa subjek mencoba menyusun suatu dugaan dalam membuat suatu prinsip yang berlaku umum, namun belum tepat.

2. Deskiripsi Penyelesaian Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi SOLO Siswa Berkemampuan Awal Tinggi Dengan Gaya Belajar Auditorial

a. Level unistruktural

Subjek NY dan BG dalam menyelesaikan masalah cenderung memberikan jawaban tepat untuk TPM-01 maupun TPM-02, dengan cara langsung memanfaakan gambar yang ada. Hal ini menunjukan subjek cenderung menggunakan satu penggal informasi yang jelas dalam merespon masalah yang diberikan berdasarkan pada satu fakta konkrit. Jawaban subjek hanya berfokus pada satu aspek yang relevan.

b. Level multistruktural

Dalam menyelesaikan masalah, subjek NY dan BG cenderung memanfaatkan informasi yang ada pada soal, dimana subjek mencoba mengamati pola bilangan yang terbentuk dari level unistruktural tanpa harus menghitung langsung pada gambar untuk TPM-01. Selanjutnya untuk TPM-02, subjek NY dan BG langsung merujuk pada pernyataan awal dan berpandu pada level unistruktural. Subjek cenderung menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari masalah yang ada namun belum memadukan informasi-informasi tersebut secara bersama-sama melainkan masih bersifat independen.

c. Level relasional

Subjek NY dan BG cenderung berpikir induktif dengan memadukan informasi-informasi yang terpisah dalam menyelesaikan masalah yang diberikan, sehingga diperoleh persamaan yang tepat. Dalam menarik kesimpulan, subjek

(16)

INTEGRAL PAGE 120

berdasarkan pada data yang cocok serta cenderung membuktikan persamaan yang dibuat dengan berpandu pada level sebelumnya.

d. Level extended abstract

Subjek NY dan BG cenderung tidak berpikir deduktif sehingga tidak menghubungkan informasi-informasi tersebut serta tidak menarik kesimpulan dengan tepat untuk membangun suatu konsep baru dan menerapkannya. Hal ini menunjukan subjek tidak memahami masalah yang diberikan.

3. Deskiripsi Penyelesaian Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi SOLO Siswa Berkemampuan Awal Tinggi Dengan Gaya Belajar Kinestetik

a. Level unistruktural

Subjek AW dan NM dalam menyelesaikan masalah cenderung menggunakan satu penggal informasi yang jelas dalam merespon masalah yang diberikan. Jawaban tepat yang diberikan subjek didasarkan pada fakta konkrit yaitu melalui gambar untuk TPM-01 maupun TPM-02. Terkhusus untuk TPM-02, subjek NM dalam menyelesaikan dengan membuat formula dari informasi yang ada pada soal. Subjek hanya berfokus pada satu aspek yang relevan.

b. Level multistruktural

Dalam menyelesaikan masalah, subjek AW dan NM cenderung menggunakan logika dimana subjek mencoba menemukan pola yang terbentuk dari level unistruktural untuk TPM-01. Sementara untuk TPM-02, subjek dalam menjawab dengan merujuk pada pernyataan awal. Subjek cenderung menggunakan penggalan-penggalan informasi yang ada pada soal, namun belum memadukan informasi-informasi tersebut secara bersama-sama.

c. Level relasional

Subjek AW dan NM cenderung berpikir induktif dengan menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari masalah yang diberikan. Subjek selanjutnya memadukan informasi-informasi tersebut sehingga memperoleh persamaan dengan tepat. Dalam menarik kesimpulan, subjek AW dan NM berdasarkan pada data yang cocok serta cenderung membuktikan persamaan yang dibuat dengan berpandu pada level unistruktural.

(17)

INTEGRAL PAGE 121

d. Level extended abstract

Subjek AW dan NM cenderung berpikir induktif dan deduktif dengan menggunakan dua penggal informasi yang ada pada soal, serta memadukannya secara bersama-sama sehingga memperoleh persamaan baru dengan tepat baik untuk TPM-01 maupun TPM-02. Subjek cenderung menyusun suatu dugaan dalam membuat suatu prinsip yang berlaku umum, serta membuktikannya dengan berpandu pada level unistruktural.

4. Deskiripsi Penyelesaian Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi SOLO Siswa Berkemampuan Awal Rendah Dengan Gaya Belajar Visual a. Level unistruktural

Subjek AA dan FU dalam menyelesaikan masalah cenderung hanya merespon dengan melihat pada gambar untuk TPM-01 maupun TPM-02. Berkaitan dengan gaya belajarnya, subjek cenderung mengandalkan visualnya untuk mengamati dengan baik gambar yang ada pada soal sehingga menjawab dengan tepat masalah tersebut. Ini menunjukan subjek cenderung menggunakan satu penggal informasi dengan jelas. Jawaban subjek hanya berfokus pada satu aspek yang relevan.

b. Level multistruktural

Dalam menyelesaikan masalah, subjek AA dan FU cenderung menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari masalah yang diberikan, namun belum memadukan informasi-informasi secara bersama-sama. Untuk TPM-01 subjek cenderung menghitung langsung banyaknya paku payung dengan hanya membayangkan banyaknya gambar dengan berpandu pada level unistruktural. Selanjutnya untuk TPM-02, subjek cenderung memanfaat pernyataan awal.

c. Level relasional

Subjek AA dan FU cenderung tidak memahami masalah yang diberikan, sehingga tidak memiliki bayangan untuk menyelesaikannya. Subjek juga cenderung tidak berpikir induktif dengan dua penggal informasi atau lebih dari masalah yang diberikan. Adapun persamaan yang dibuat subjek, namun tidak berlandaskan alasan yang logis.

(18)

INTEGRAL PAGE 122

d. Level extended abstract

Subjek AA dan FU cenderung tidak memahami masalah yang diberikan. Subjek juga cenderung tidak berpikir induktif dan deduktif dengan menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari masalah, sehingga cenderung tidak membuat persamaan yang diminta. Selain itu, subjek cenderung tidak menyusun suatu dugaan dalam membuat suatu prinsip yang berlaku umum.

5. Deskiripsi Penyelesaian Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi SOLO Siswa Berkemampuan Awal Rendah Dengan Gaya Belajar Auditorial

a. Level unistruktural

Dalam menyelesaikan masalah, subjek SS dan AL cenderung merujuk pada gambar secara langsung dalam menjawab masalah untuk TPM-01 maupun TPM-02. Pada awalnya subjek mengalami kekeliruan dalam menjawab TPM-01, namun dapat diperbaiki ketika wawancara berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh gaya belajarnya yaitu auditorial. Dari penyelesaiannya, subjek cenderung menggunakan satu penggal informasi yang jelas dalam merespon, sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan sederhana. Jawaban subjek hanya berfokus pada satu aspek yang relevan.

b. Level multistruktural

Subjek SS dan AL cenderung menggunakan dua penggal informasi atau lebih dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Subjek SS dalam menyelesaikan hanya dengan melihat pola yang terbentuk untuk TPM-01 namun hasil yang diperoleh keliru, sementara AL cenderung langsung membuat persamaan namun tidak relevan dengan masalah yang diberikan. Untuk TPM-02 subjek SS dan AL langsung merujuk pada pernyataan awal untuk mencari banyaknya angka yang keluar. Subjek cenderung melihat hubungan yang terbentuk dari informasi yang ada namun masih terbatas.

c. Level relasional

Subjek SS dan AL cenderung memahami masalah yang diberikan, namun sulit dalam membuat model atau persamaan dari ide awal yang dijelaskan untuk TPM-01 maupun TPM-02. Kesulitan dalam membuat model sehingga menuntut

(19)

INTEGRAL PAGE 123

subjek untuk membuat persamaan yang tidak relevan. Subjek juga cenderung tidak memahami konsep penjumlahan dengan variabel yang berbeda. Hal ini menunjukan subjek tidak berpikir induktif dengan menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari masalah yang diberikan.

d. Level extended abstract

Subjek SS dan AL cenderung tidak memahami masalah yang diberikan, sehingga tidak menjawab masalah tersebut. Subjek juga cenderung tidak berpikir induktif maupun deduktif dengan menggunakan informasi yang ada pada soal. 6. Deskiripsi Penyelesaian Masalah Aljabar Berdasarkan Taksonomi

SOLO Siswa Berkemampuan Awal Rendah Dengan Gaya Belajar Kinestetik

a. Level unistruktural

Dalam menyelesaikan masalah, subjek IM dan RJ cenderung memanfaatkan gambar yang ada pada soal yang diberikan sehingga menjawab dengan sederhana masalah tersebut. Jawaban tepat yang diberikan subjek berdasarkan satu fakta konkret. Fakta konkret tersebut hanya melalui gambar untuk TPM-01 maupun TPM-02. Namun untuk subjek RJ dalam menyelesaikan masalah untuk TPM-02 dengan cara memformulasikan pernyataan awal pada soal. Hal ini mengindikasikan bahwa subjek cenderung menggunakan satu penggal informasi yang jelas dalam merespon masalah yang diberikan. Subjek hanya fokus pada satu aspek yang relevan.

b. Level multistruktural

Subjek IM dan RJ cenderung menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari soal yang diberikan, namun belum memadukan informasi-informasi secara bersama-sama. Dalam menyelesaikan masalah, subjek langsung menghitung dengan membuat gambar secara merapat kemudian menghitung banyaknya paku payung untuk TPM-01. Sementara untuk TPM-02, subjek cenderung merujuk pada pernyataan awal.

c. Level relasional

Dalam menyelesaikan masalah yang diberikan, subjek IM dan RJ cenderung mengalami kesulitan dalam membuat memodelkan atau membuat

(20)

INTEGRAL PAGE 124

persamaan dari ide awal yang dijelaskan untuk TPM-01 maupun TPM-02. Kesulitan yang dialami subjek sehingga memaksakan untuk membuat persamaan yang tidak relevan. Selain itu, Subjek IM juga cenderung tidak memahami konsep suatu persamaan. Hal ini terlihat dengan jawaban subjek terkait persamaan yang diperoleh yaitu 14. Hal ini mengindikasikan subjek cenderung berpikir induktif dengan menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari soal, namun cenderung tidak mampu menarik kesimpulan berupa persamaan berdasarkan data yang cocok dengan benar.

d. Level extended abstract

Subjek IM dan RJ cenderung tidak berpikir deduktif dengan menghubungkan informasi-informasi yang ada pada soal yang diberikan, serta tidak menarik kesimpulan dengan benar untuk membangun suatu konsep baru dan menerapkannya. Subjek cenderung menyusun suatu dugaan namun masih keliru. E.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Dari keterpenuhan indikator level taksonomi SOLO maka subjek pertama berkemampuan awal tinggi dengan gaya belajar visual dalam menyelesaikan masalah aljabar, cenderung mencapai level Extended abstract. Sementara untuk subjek kedua berkemampuan awal tinggi dengan gaya belajar visual dalam menyelesaikan masalah aljabar, cenderung mencapai level relasional. Hal ini dikarenakan subjek tidak memahami inti dari masalah yang diberikan, sehingga keliru dalam membuat persamaan baru.

2. Dari keterpenuhan indikator level taksonomi SOLO maka subjek berkemampuan awal tinggi dengan gaya belajar auditorial, dalam menyelesaikan masalah aljabar cenderung hanya mencapai level relasional.

Hal ini dikarenakan Kedua subjek pada tahap extended abstract tidak menguasai materi dan tidak memahami masalah yang diberikan sehingga tidak merealisasikan ke konsep-konsep yang ada. Selain itu, kedua subjek cenderung tidak menyusun suatu dugaan dalam membuat suatu prinsip yang berlaku umum.

(21)

INTEGRAL PAGE 125

3. Dari keterpenuhan indikator level taksonomi SOLO maka subjek berkemampuan awal tinggi dengan gaya belajar kinestetik dalam menyelesaikan masalah aljabar cenderung mencapai level Extended abstract.

4. Dari keterpenuhan indikator level taksonomi SOLO maka subjek berkemampuan awal rendah dengan gaya belajar visual dalam menyelesaikan masalah aljabar cenderung mencapai level multistruktural. Hal ini dikarenakan pada tahap relasional maupun extended abstract, Kedua subjek cenderung tidak berpikir induktif maupun deduktif dengan menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari soal, sehingga cenderung tidak menyatakan jumlah gambar dan jumlah paku payung untuk membantu Lisa menggantung gambar untuk tes penyelesaian masalah 01, serta tidak membantu mewakili kerja mesin fungsi yang rusak tersebut untuk tes penyelesaian masalah 02,ke dalam bentuk persamaan x dan y dengan benar.

5. Dari keterpenuhan indikator level taksonomi SOLO maka subjek berkemampuan awal rendah dengan gaya belajar auditorial dalam menyelesaikan masalah aljabar cenderung mencapai masa transisi pada level multistruktural. Hal ini dikarenakan dalam menyelesaikan masalah untuk tes penyelesaian masalah 01, kedua subjek cenderung menjawab dengan menggunakan logika. Dimana subjek pertama cenderung hanya memperhatikan pola pada banyaknya gambar untuk level dua yang membentuk kelipatan, sementara subjek kedua cenderung membuat persamaan berdasarkan logika sendiri. Namun tidak relevan dengan soal yang diberikan.

6. Dari keterpenuhan indikator level taksonomi SOLO, maka subjek berkemampuan awal rendah dengan gaya belajar kinestetik dalam menyelesaikan masalah aljabar cenderung mencapai level multistruktural. Hal ini dikarenakan pada tahap relasional maupun extended abstract, Kedua subjek cenderung tidak berpikir induktif maupun deduktif dengan menggunakan dua penggal informasi atau lebih dari soal, sehingga cenderung tidak menyatakan jumlah gambar dan jumlah paku payung untuk membantu Lisa menggantung gambar untuk tes penyelesaian masalah 01, serta tidak

(22)

INTEGRAL PAGE 126

membantu mewakili kerja mesin fungsi yang rusak tersebut untuk tes penyelesaian masalah 02,ke dalam bentuk persamaan x dan y dengan benar. F. DAFTAR PUSTAKA

Aoyama, Kazuhiro. 2007. Investigating A Hierarchy Of Students’ Interpretations

Of Graphs. (International Electronic Journal of Mathematics Education). Volume. 2, No. 3

Asikin, M. 2003. Pengembangan Item Tes Dan Interpretasi Respon Mahasiswa Dalam Pembelajaran Geometri Analit Berpandu Pada Taksonomi Solo. (Jurnal pendidikan dan pengajaran IKIP Negeri Singaraja,) No.4 TH.XXXVI.

Brabrand, Claus dan Dahl, Bettina. Using the SOLO Taxonomy to Analyze Competence Progression of University Science Curricula. Denmark. (SOLO analysis of competence progression).

Bachtiar, Soeseno. 2012. Memahami Psikologi Anak Didik. Yogjakarta: Pinang Merah Publisher.

DePorter, Bobbi., Hernacki, Mike. 2009. Quantum Learning. Bandung: Kaifa. Ernest, Paul. 2004. The Philosophy of Mathematics Education, published in the

Taylor & Francis e-Library : RoutledgeFalmer the Taylor & Francis Group.

Ghufron. 2013. Gaya Belajar. Yogyakarta: Pusaka Pelajar.

Hawkins, W & Hedberg, J.G.1986. Evaluating LOGO: Use of the SOLO Taxonomy. Australian Journal of Educational Technology. 2(2) http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet2/hawkins.html.

Jhon, Biggs. 2011. SOLO TAKSONOMI. e Time Professional Development. (http://sup.ujf-grenoble.fr/spip.php?action=acceder_ document& file= pdf%2 FSolo Taxonomy Handout 2.pdf ) didownload pada tanggal 10 Juni 2013.

Lean, Lim Hooi & Yew, Wun Thiam. 2012. Assessing Algebraic Solving Ability: A Theoretical Framework. Canada: Canadian Center of Science and Education. (journal International Education Studies); Vol. 5, No. 6. Pramita Dewi. 2011. Analisis Kesalahan Menyelesaikan Soal Cerita Sistem

Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 18. Program Pasca UNM. Tesis. Tidak dipublikasikan.

Santrock, John. W. 2011. Psikologi Pendidikan Edisi II. Jakarta. Kencana.

Suparman. 2010. Gaya Mengajar yang Menyenangkan Siswa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.

Thohari, Khamim. Mengukur Kualitas Pembelajaran Matematika Dengan

Gabungan Taksonomi Bloom dan SOLO.

(http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/ SOLO.pdf) didownload tanggal 7 juni 2013.

Webb, Norman L., Coxford, Arthur F. 1993. Assessment In The Mathematics Classroom. Madison: University of Wisconsin.

Wena, Made. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Referensi

Dokumen terkait

Menulis artikel menjadi kebiasaan di kalangan akademisi yang dipacu melalui berbagai aktivitas penguatan sumber daya penulisan sebagai kepatuhan untuk melaksanakan

Suspense sebagai akibat adanya konflik dapat timbul dari adanya resiko atau sebuah taruhan besar yang dihadapi tokoh utama, hambatan yang berimbang sehingga menimbulkan

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu tentang Manajemen Sumber Daya Manusia, yang berkaitan dengan pengaruh Tata Ruang

Raw materials for cell growth media is green banana skin, pure cultures (Sacharomyces cerevisiae) (FNCC-3049), culture media starter (bean sprouts, sugar, agar, ammonium... Auxiliary

Dari penghitungan tersebut telah diperoleh beberapa hasil yaitu mengenai waktu, kecepatan., penurunan benang, debit udara dan daya yang digunakan dalam mesin tenun selama

PENGETERAPAN STRATEGI DISIPLIN KERJA DALAM UPAYA MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN (Studi pada PT. PLN Persero Gresik).. Adalah hasil karya saya sendiri, bukan “duplikasi” dari

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sistem case-based reasoning ini sudah dapat berfungsi untuk melakukan diagnosa awal

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Disiplin Kerja yang ditunjukkan oleh para pegawai yang bekerja di Dinas Pendapatan Kota Manado memberikan pengaruh yang penting terhadap