• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIAPA MENIKMATI KEMITRAAN SEKTOR SWASTA DENGAN RUMAH SAKIT DAERAH: (STUDI KASUS RSUD X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIAPA MENIKMATI KEMITRAAN SEKTOR SWASTA DENGAN RUMAH SAKIT DAERAH: (STUDI KASUS RSUD X"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

SIAPA MENIKMATI KEMITRAAN SEKTOR SWASTA DENGAN

RUMAH SAKIT DAERAH:

(STUDI KASUS RSUD ‘X’)

Wahyu P Nugraheni

*

, Hasbullah Thabrany**, dan Mardiati Nadjib

**

Pendahuluan

Sejak awal tahun 1990an sudah sering terdengar bahwa beban pembiayaan rumah sakit pemerintah terlalu berat bagi pemerintah dan karenanya pemerintah berupaya menurunkan beban tersebut dengan berbagai kebijakan misalnya kebijakan swadana dan pembukaan pelayanan kesehatan swasta di rumah sakit publik. Berbagai rumah sakit besar membuka ruang VIP atau superVIP dengan tujuan untuk melakukan subsidi silang dari pasien yang mampu kepada pasien yang tidak mampu. Berbagai kebijakan subsidi silang tersebut ternyata tidak terbukti dapat terjadi rumah sakit pemerintah. Beberapa rumah sakit juga membuat kerja sama dengan pihak swasta, seringkali pihak ini adalah suatu badan yang dibentuk oleh karyawan rumah sakit sendiri, dengan alasan untuk mendapatkan dana guna menutupi kekurangan anggaran pemerintah.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada bukti bahwa pembukaan paviliun swasta atau pelayanan swasta di RSU dapat memberikan subsidi silang? Subsidi silang sendiri sebenarnya merupakan mekanisme yang menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan rumah sakit pemerintah. Namun persepsi yang belakangan ini belum difahami dan para direktur rumah sakit pemerintah sudah menerima begitu saja bahwa mereka mempunyai tanggung jawab itu. Di luar masalah siapa yang sebenarnya bertanggung jawab untuk melaksanakan subsidi silang, para direktur RSU sudah melakukan upaya-upaya tersebut, tanpa analisis yang memadai tentang bukti-bukti berhasilnay subsidi silang. Pada umumnya kebijakan pelayanan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia tidak didasari oleh fakta, namun lebih banyak didasari asumsi-asumsi. Salah satu upaya untuk membuktikan apakah benar terjadi subsidi silang pada pembangunan paviliun swasta, studi kasus ini dilakukan di salah satu rumah sakit di Indonesia.

Gambaran umum

RSUD “X” (selanjutnya disebut RSUD dalam artikel ini) merupakan rumah sakit pemerintah daerah yang didirikan pada tahun 1928 dengan 12 tempat tidur (TT) saat itu. Pada tahun 1994 rumah sakit ini menjadi unit swadana berdasarkan Keppres No. 25 Tahun 1991 dengan 341 TT yang terbagi dalam 4 (empat) kelas perawatan yaitu VIP, Kelas I, kelas II, dan kelas III. Namun unit swadana ini masih belum mampu menarik lebih banyak pasien karena diperkirakan persepsi masyarakat bahwa kualitas pelayanan RS ini rendah. Berdirinya PKS diawali dengan pemikiran bahwa RSUD ingin memberikan pelayanan yang bermutu bagi konsumen yang membutuhkan. Maka kapasitas tenaga medis yang ada dioptimalkan dan diupayakan fasilitas VIP setara dengan yang diberikan oleh rumah sakit swasta di sekitarnya. Namun dana pemerintah sangat terbatas. Dengan status rumah sakit unit swadana, rumah sakit ini diijinkan untuk bekerjasama dengan pihak ketiga. Bupati dan DPRD

* Badan Litbangkes Departemen Kesehatan RI

(2)

mengijinkan inovasi RSUD melaksanakan kerja sama dengan pihak swasta untuk mendirikan paviliun swasta yang didanai oleh investor swasta.

Pihak RSUD dan pihak investor sepakat untuk menjalin kerja sama yang bersifat Built,

Operation and Transfer (BOT), dimana pihak swasta membangun gedung beserta perlengkapan non

medis dan sebagian alat medis bernilai Rp 1 miliar (1994). Selama 10 tahun, pendapatan fasilitas paviliun ini, yang disebut PKS, (tidak termasuk honor dokter dan pemeriksaan penunjang) dibagi sebesar 60% untuk investor dan 40% untuk biaya operasional paviliun. Setelah 10 tahun tersebut gedung beserta kelangkapan paviliun tersebut menjadi milik RSUD. Pada tanggal 1 November 1995 PKS diresmikan. Fasilitas PKS dikelola terpisah dari RSUD yaitu oleh Koperasi Pegawai RSUD berdasarkan penunjukkan langsung oleh Direktur RSUD. Penunjukkan Koperasi sebagai pengelola PKS dilakukan dengan harapan agar manajemen dan pelayanan kepada pasien bisa lebih profesional.

Fasilitas PKS menjadi suatu unit organisasi yang terpisah dari manajemen RSUD dan dkelola sebagai suatu usaha Koperasi Pegawai RSUD. Komposisi pegawai PKS terdiri atas pegawai RSUD yang berstatus PNS dan pegawai honorer yang diangkat dan digaji oleh PKS. Unit PKS dipimpin oleh seorang dokter sebagai kepala PKS yang dibantu oleh seorang wakil kepala merangkap bendahara dan 5 orang kepala bagian. Unit PKS memiliki 46 TT yang terbagi dalam 4 (empat) kelas perawatan, yaitu: VIP (6 TT), Kelas I (12 TT), Kelas II (21 TT dan 3 TT anak), dan 4 TT untuk kasus One Day Care

(ODC). Unit PKS berdiri di atas tanah RSUD seluas 650 M² yang terdiri dari 2 lantai dengan luas

bangunan 1.180 M². Pada tahun 2001 kinerja PKS masih belum menunjukkan tingkat optimum seperti yang disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Kinerja PKS menurut kelas perawatan, tahun 2001

No. Indikator Kelas Perawatan Rata-rat

a VIP Kls I Kls II ODC

1 Jumlah pasien masuk 277 318 1.797 953 2 Jumlah hari rawat 1.103 1329 5.164 953 3 Jumlah pasien meninggal 5 7 76 0 4 Jumlah pasien yg dirujuk ke RS lain 11 7 18 0

5 Jumlah tempat tidur 6 12 24 4

6 BOR (%) 50,37 30,34 58,95 65,27 46,55

7 BTO 47 27 78 238 97,59

8 ALOS 3,91 4,09 2,76 1 3,59

9 TOI 3,85 9,39 1,92 0,53 5,05

Sumber: Dokumen PKS 2001

Dalam pelaksanaanya ditetapkan bahwa pasien PKS harus menggunakan fasilitas penunjang medis RSUD, misalnya rontgen, laboratorium dan lain lain, dengan cara pasien membayar langsung lewat PKS dengan tarif yang lebih mahal dari tarif pasien yang dirawat di RSUD. Dengan cara ini manajemen RSUD berharap bahwa pasien PKS sudah secara langsung menyumbang RSUD. Untuk pelayaran rawat inap atau operasi, pasin PKS harus membayar tarif swasta yang kurang lebih dua kali lebih mahal dari tarif RSUD untuk kelas perawatan yang sama.

(3)

Metoda Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi kasus dengan data kuantitatif diambil dari laporan RSUD dan data kualitatif dikumpulkan dari wawancara mendalam dengan berbagai pihak terkait di RSUD. Data kuantitatif yang berupa data kuangan dikumpulkan sejak unit PKS didirikan. Dara data yang lalu, yaitu sejak tahun 1996, peneliti melakukan analisis tren untuk bisa memperkirakan pendapatan dan pengeluaran di masa yang akan datang. Untuk mengetahui biaya-biaya yang menjadi beban PKS, peneliti melakukan analisis biaya dengan memperhitungkan berbagai komponen biaya, seperti biaya investasi gedung, biaya operasional, biaya peluang, dan berbagai biaya lain. Biaya investasi gedung disetahunkan dengan menggunakan formula distribusi dana memperhitungkan masa pakai gedung 20 tahun dan rata-rata biaya bunga setahun. Dengan cara ini, peneliti dapat memperkirakan nilai gedung dan alat yang akan menjadi milik RS dalam waktu 10 tahun setelah kontrak berakhir. Biaya peluang diperhitungkan dengan menanyakan kemauan membayar investor sekitarnya untuk sewa tanah di lokasi tersebut per meter persegi. Asumsi yang digunakan penulis adalah bahwa RS mungkin bisa mendapatkan hasil lebih besar dengan menyewakan tanah ketimbang kontrak kerja sama PKS ini. Harga sewa tanah diperhitungkan, bukan harga jual, karena kerja sama ini menggunakan sistem BOT.

Pengeluaran PKS dan distribusi hasil pendapatan ditelusuri untuk mendapatkan kepastian pihak atau perorangan mana yang mendapatkan manfaat terbesar. Penerimaan investor setiap tahun diperhitungkan dengan nilai uang sisa investor dengan melakukan konversi nilai masa depan (future

value) dari uang yang telah ditanamkan. Besarnya bunga yang digunakan untuk perhitungan ini,

digunakan rata-rata sebesar 20% setahun, lebih tinggi dari rata-rata bunga deposito.

HASIL dan Diskusi

Aspek Hukum

Landasan hukum kemitraan ini adalah Keppres No. 25 Tahun 1991.Selain itu juga didukung oleh ijin dari Mendagri dengan Nomor Surat: 4453106 PUOD pada tanggal 30 Sepember 1994.

Kemitraan yang dijalin oleh RSUD “X” dengan pihak investor swasta ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) yaitu tanggal 10 Oktober 1994 dimana kemitraan yang dimaksud adalah BOT, yaitu dengan pengertian bahwa pihak swasta menanamkan modal untuk pembangunan gedung PKS beserta isinya dengan nilai 1 milliar rupiah dengan prinsip bagi hasil selama 10 tahun terhitung sejak PKS mulai dioperasionalkan (grand opening 12 maret 1996) dan setelah masa 10 tahun, gedung PKS tersebut menjadi milik RSUD “X”. Kebijakan bagi hasil yang diterapkan adalah bagi hasil dari sewa kamar ruang rawat inap (tidak termasuk jasa medis) dimana formula pembagiannya adalah sebanyak 60 % diberikan kepada pihak investor swasta dan diberikan setiap satu bulan sekali.

Tabel 2. Gambaran Rekapitulasi Setoran Pendapatan dari Sewa Kamar pada Investor dan Koperasi, PKS-RSUD "X"

(4)

1996 (Rp.) (Rp.) 1997 (Rp.) 1998 (Rp.) 1999 (Rp.) 2000 (Rp.) 2001 Total Pendapatan dr Sewa Kamar 527.632.000 554.488.500 448.918.000 497.593.000 679.288.667 730.638.000 Bagi Hasil dg Investor(60%) 316.579.200 332.693.100 269.350.800 298.555.800 407.573.200 438.382.800 Setoran ke Koperasi - - 26.938.000 60.483.500 33.937.650 64.608.250 Sumber: Dokumen Keuangan PKS dan Laporan Keuangan KopPeg RSUD “X” 2001

2. Gambaran Biaya PKS-RSUD “X” Tahun 2001

Biaya-biaya yang terdapat di PKS dikelompokkan menjadi: (1) biaya investasi; (2) biaya operasional; dan (3) biaya pemeliharaan. Masing-masing kelompok biaya tersebut terdiri dari bermacam-macam komponen biaya yaitu: (1) biaya investasi meliputi: biaya AIC gedung, biaya AIC alat medis, biaya AIC alat non medis dan biaya sewa tanah; (2) biaya operasional meliputi: biaya obat dan bahan medis habis pakai, biaya alat kesehatan, biaya gaji, biaya insentif, biaya jasa medis, biaya ATK, biaya sarana umum, biaya makan, biaya laundry; dan (3) biaya pemeliharaan meliputi: biaya pemeliharaan gedung dan biaya pemeliharaan alat medis dan alat non medis.

Dalam menghitung biaya investasi di PKS ada beberapa hal yang harus diketahui yaitu bahwa gedung PKS dibangun oleh pihak investor swasta sebagai realisasi kemitraan dengan RSUD “X” dengan menanamkan modalnya senilai 1 milliar rupiah yang digunakan untuk pembangunan gedung PKS beserta isinya (alat medis, non medis dan linen). Biaya investasi ini kemudian dipilah-pilah menjadi biaya pembelian alat medis, non medis dan linen sebesar Rp. 239.282.350,-, dan kemudian sisanya adalah nilai gedung PKS saat itu yang selesai dibangun tahun 1995. Dari hasil pemilahan ini didapatkan nilai gedung PKS tahun 1995 seharga Rp. 760.717.650,-, nilai uang ini kemudian dihitung nilai setahun (disetahunkan) dengan rumus annualized invesment cost (AIC) sebagai berikut:

IIC (1+i)t

AIC =

L

Rp. 760.717.650 (1+0,1)6

AIC =

25

AIC = Rp. 53.906.309,-

(5)

Untuk biaya investasi alat medis, non medis dan linen diperoleh dengan mendaftar barang investasi yang dibeli oleh investor swasta (yang termasuk dalam nilai modal 1 milliar rupiah). Selain dari investor, PKS juga membeli alat medis, non medis dan linen mulai tahun 1996 sampai 2001 untuk melengkapi operasionalisasi PKS. Data biaya yang dikeluarkan baik oleh investor maupun PKS untuk pembelian alat medis, non medis dan linen tersebut selanjutnya dihitung dengan rumus AIC satu persatu sesuai dengan tahun pembelian dan harga beli. Dari perhitungan AIC maka diperoleh total biaya investasi alat medis dan non medis PKS tahun 2001 adalah sebesar Rp. 34.807.926,-

Sedangkan harga sewa tanah diperoleh dengan cara mewawancarai salah seorang informan yang berprofesi sebagai dokter dan kebetulan pernah menyewa tanah disekitar RSUD “X”. Kepada informan tersebut peneliti menanyakan bahwa seandainya informan tersebut sebagai seorang investor dan kemudian diminta membangun PKS seperti sekarang dengan kondisi keuangan saat tahun 2001, BOR 60% dan dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomis lainnya, maka berapa informan tadi berani membayar sewa tanah seluas 650 M² untuk satu tahun.

Dengan cara seperti itu maka dokter tersebut memberikan gambaran harga sewa tanah di sekitar wilayah RSUD “X” dan kemudian memberikan patokan harga sewa tanah untuk PKS adalah: Rp. 50.000,-/bulan/1 M². Sehingga harga sewa tanah PKS selama 1 tahun adalah :

= Rp.50.000,- x 12 bulan x 650 M² = Rp. 390.000.000,-

Biaya –biaya di PKS diperhitungkan dengan dua cara yaitu secara full cost yaitu menghitung biaya PKS dari seluruh komponen biaya (investasi, operasional dan pemeliharaan dan overhead cost) atau menghitung semua biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh PKS dan secara direct cost yaitu menghitung biaya PKS hanya dari komponen biaya operasional dan pemeliharaan saja atau hanya menghitung biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh PKS Dari penelusuran biaya di PKS tahun 2001 diperoleh hasil seperti dalam tabel dibawah ini:

Tabel 3 Rekapitulasi Biaya PKS (Full Cost) PKS-RSUD "X", Tahun 2001

No. Pusat Biaya Total Biaya

(Rp.) Dari Total % I

BIAYA INVESTASI

478.714.271 16.44% 1. Biaya AIC Pembangunan Gedung 53.906.309

(6)

No. Pusat Biaya Total Biaya

(Rp.) Dari Total % 2. Biaya AIC Peralatan Medis 13.360.279

3. Biaya AIC Peralatan non Medis 21.447.683

4. Biaya Sewa Tanah 390.000.000

II BIAYA OPERASIONAL 2.356.398.823 80.91%

1. Gaji PNS di PKS 172.911.912

2. Gaji PKS 252.079.800

3. Insentif 98.400.000

4. Jasa Medis 733.780.000

5. Biaya Obat, Bahan Medis & Alkes 603.625.000 6. Biaya Bahan Non Medis Habis Pakai 51.648.500

7. Biaya ATK 20.000.000

8. Biaya Makan 203.120.000

9. Biaya Laundry 85.000.000

10. Biaya Sarana Umum 61.135.111 11. Biaya Cleaning Service 68.998.500 12. Biaya Pengembangan Staf 5.700.000

III BIAYA PEMELIHARAAN 44,498,900 1.53%

1. Biaya Pemeliharaan Alat Medis & Non Medis 5,668,900 2. Biaya Pemeliharaan Gedung 31,830,000 3. Biaya Pemeliharaan Taman 7,000,000

IV BIAYA OVERHEAD 32,711,112 1.12%

1. Biaya Overhead 32,711,112

Total Biaya PKS (Full Cost) 2,912,323,106 100.00% Sedangkan rekap biaya PKS tahun 2001 yang dihitung secara direct cost dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 4 Rekapitulasi Biaya PKS (Direct Cost) PKS-RSUD "X", Tahun 2001

No. Pusat Biaya Total Biaya

(Rp.) Dari Total % I

BIAYA INVESTASI

- 0.00% 1. Biaya AIC Pembangunan Gedung -

2. Biaya AIC Peralatan Medis -

3. Biaya AIC Peralatan non Medis -

4. Biaya Sewa Tanah -

II BIAYA OPERASIONAL 2.180.634.900 98.00%

1. Gaji PNS di PKS

2. Gaji PKS 252.079.800

(7)

No. Pusat Biaya Total Biaya

(Rp.) Dari Total %

4. Jasa Medis 733.780.000

5. Biaya Obat, Bahan Medis & Alkes 603.625.000 6. Biaya Bahan Non Medis Habis Pakai 51.648.500

7. Biaya ATK 20.000.000

8. Biaya Makan 203.120.000

9. Biaya Laundry 85.000.000

10. Biaya Sarana Umum 58.283.100 11. Biaya Cleaning Service 68.998.500 12. Biaya Pengembangan Staf 5.700.000

III BIAYA PEMELIHARAAN 44.498.900 2.00%

1. Biaya Pemeliharaan Alat Medis & Non Medis 5.668.900 2. Biaya Pemeliharaan Gedung 31.830.000 3. Biaya Pemeliharaan Taman 7.000.000

IV BIAYA OVERHEAD - 0.00%

1. Biaya Overhead -

Total Biaya PKS (Direct Cost) 2.225.133.800 100.00%

Dari kedua perhitungan biaya tersebut diatas dapat dilakukan rekap biaya, dimana biaya-biaya tersebut dapat dipilah berdasarkan tempat/institusi yang mengeluarkan (sumber) biaya tersebut. Rekapitulasi ini penting untuk melihat besarnya subsidi RSUD “X” kepada PKS untuk menunjang kegiatan operasionalnya. Hasil rekap biaya berdasarkan sumber dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 5

Rekapitulasi Biaya Berdasarkan Sumbernya PKS-RSUD "X", Tahun 2001

No. Pusat Biaya Subsidi

RSUD “X” (Rp.) Jumlah Biaya PKS (Rp.) Jumlah Biaya (Rp.) I BIAYA INVESTASI 390.000.000 88.714.271 478.714.271

1. Biaya AIC Pembangunan Gedung - 53.906.309 53.906.309

2. Biaya AIC Peralatan Medis - 13.360.279 13.360.279

3. Biaya AIC Peralatan non Medis - 21.447.683 21.447.683

4. Biaya Sewa Tanah 390.000.000 - 390.000.000

II BIAYA OPERASIONAL 175.763.923 2.180.634.900 2.356.398.823

1. Gaji PNS di PKS 172.911.912 - 172.911.912

2. Gaji PKS - 252.079.800 252.079.800

3. Insentif - 98.400.000 98.400.000

(8)

No. Pusat Biaya Subsidi RSUD “X” (Rp.) Jumlah Biaya PKS (Rp.) Jumlah Biaya (Rp.)

5. Biaya Obat, Bahan Medis & Alkes - 603.625.000 603.625.000 6. Biaya Bahan Non Medis Habis Pakai - 51.648.500 51.648.500

7. Biaya ATK - 20.000.000 20.000.000

8. Biaya Makan - 203.120.000 203.120.000

9. Biaya Laundry - 85.000.000 85.000.000

10. Biaya Sarana Umum 2.852.011 58.283.100 61.135.111

11. Biaya Cleaning Service - 68.998.500 68.998.500

12. Biaya Pengembangan Staf - 5.700.000 5.700.000

III BIAYA PEMELIHARAAN - 44.498.900 44.498.900

1. Biaya Pemeliharaan Alat Med. & Non Med. - 5.668.900 5.668.900 2. Biaya Pemeliharaan Gedung - 31.830.000 31.830.000 3. Biaya Pemeliharaan Taman - 7.000.000 7.000.000

IV BIAYA OVERHEAD 32.711.112 - 32.711.112

1. Biaya Overhead 32.711.112 - 32.711.112

Total Biaya 598.475.035 2.313.848.071 2.912.323.106

Biaya Overhead RSUD “X” yang secara tidak langsung dinikmati oleh PKS terdiri dari biaya gaji, biaya pemeliharaan dan biaya cleaning service. Dengan menggunakan hasil perhitungan analisis biaya dan perhitungan unit cost RSUD “X” tahun 2000 yang dilakukan oleh RSUD “X”, maka didapat besarnya total biaya dari hasil distribusi I di unit penunjang sebesar Rp. 263.222.227,-. Biaya ini kemudian didistribusikan ke PKS dimana dalam hal ini diasumsikan sebagai unit produksi di RSUD “X”. Dasar pembobotan dalam melakukan distribusi tersebut adalah jumlah pegawai RSUD “X” yang ada di unit penunjang dan jumlah seluruh pegawai di PKS. Perhitungan biaya overhead dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 6 Biaya Overhead RSUD “X” di PKS PKS-RSUD "X", Tahun 2001 No.

Jenis Unit Penunjang RSUD”X” Jumlah Biaya Penunjang dr Distribusi I RSUD “X” (Rp.) Bobot

PKS Jumlah Biaya Penunjang Di PKS

(Rp.)

1 Manajemen 93.972.132 0.12 11.678.090

2 IPSRS 25.495.589 0.12 3.168.384

(9)

4 Farmasi 35.424.815 0.12 4.402.307

5 Diklat 7.570.955 0.12 940.857

6 Sterilisasi 14.787.612 0.12 1.837.684

Total Biaya Overhead 263.222.227 32.711.112

Gambaran Pendapatan PKS-RSUD “X” Tahun 2001

Dari laporan keuangan PKS dapat diketahui bahwa pendapatan total PKS dari kamar, jasa ambulance dan pendapatan fungsional lainnya tahun 2001 adalah sebesar Rp. 2.894.887.000,-

Perhitungan CRR dan SHU PKS-RSUD “X”

Setelah dihitung total biaya dan total pendapatan di PKS maka selanjutnya dapat dihitung tingkat pemulihan biaya (CRR) dan SHU di PKS. Perhitungan CRR secara full cost dan direct cost, dapat dilihat tabel di bawah ini.

Tabel 7 Perhitungan CRR (Full Cost & Direct Cost) PKS-RSUD "X", Tahun 2001 Cara Perhitungan Jumlah Hari Rawat=Q TR (Rp.) TC (Rp.) UC =TC/Q (Rp.) CRR=TR/TC (Rp.) Full Cost 7596 2.894.887.000 2,912,323,106 383,402 99,40% Direct Cost 7596 2.894.887.000 2.225.133.800 292,935 130,10%%

Perhitungan SHU secara direct cost dan full cost, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 8 Perhitungan SHU (Full Cost & Direct Cost)

PKS-RSUD "X", Tahun 2001 Cara Perhitungan (Rp.) TR (Rp.) TC SHU = (TR-TC) (Rp.)

Full Cost

2.894.887.000 2,912,323,106 (17.436.106)

Direct Cost

2.894.887.000 2.225.133.800 669.753.200

Forcasting Keadaan Keuangan PKS Selama 10 Tahun 1996 s/d 2005

Perkiraan keuntungan investor swasta dan RSUD “X” dalam masa kemitraan selama 10 tahun seperti yang terlihat dalam tabel 9, 10 dan 11 didasarkan pada data keuangan tahun 1996-2001. Dengan

(10)

dasar data tersebut maka dilakukan forecasting atau perkiraan dengan metode linear trend model sehingga diperoleh hasil ramalan selama 10 tahun.

Nilai investasi swasta tiap tahun selama 10 tahun masa kemitraan dihitung dengan dua cara yaitu (1) disesuaikan tingkat inflasi sebersar 10% dan (2) disesuaikan dengan tingkat suku bunga bank sebesar 15%. Sehingga untung/rugi (gain or loss) yang diterima oleh Investor dalam masa kemitraan 10 tahun tersebut diperoleh dari total pengurangan jumlah setoran yang diterima oleh investor swasta dari sewa kamar PKS dengan nilai investasi yang telah ditanam oleh pihak investor swasta. Dengan cara perhitungan tersebut maka diperoleh hasil bahwa selama masa kemitraan tersebut (10 tahun) pihak investor swasta mendapatkan keuntungan sebesar Rp.872.849.930,- (tingkat inflasi 10%) atau Rp.699.559.694,- (Suku Bunga Bank 15%) atau Rp.416.611.229,- (Suku Bunga Bank 20%).

Sedangkan tabel 11 menggambarkan hasil yang diperoleh pihak RSUD “X” selama masa kemitraan 10 tahun. Harga sewa tanah pada tabel 11 diperoleh dengan melihat harga patokan sewa tanah pada tahun 2001. Pada tahun tersebut harga sewa tanah seluas 650 m2 yang digunakan oleh PKS adalah sebesar Rp.390.000.000,-. Berdasarkan harga tersebut, maka untuk tiap kenaikan tahun dan tahun sebelumnya (dari tahun patokan 2001), harga sewa tanah diasumsikan naik/turun sebesar 5% per-tahun. Sedangkan untuk menilai harga gedung PKS selama masa kemitraan 10 tahun tersebut digunakan dasar perhitungan depresiasi gedung sebesar 5% tiap tahun.

Dengan metode perhitungan di atas, maka diperoleh hasil bahwa selama masa kemitraan tersebut pihak RSUD “X” justru mengalami kerugian sebesar (Rp. 3.108.259.938,-). Nilai tersebut diperoleh dari nilai sewa tanah selama 10 tahun dikurangi dengan jumlah SHU yang diterima oleh Koperasi Pegawai RSUD “X” dan nilai gedung PKS saat masa kemitraan berakhir.

Tabel 9 Perkiraan Keuntungan/Kerugian Investor Selama 10 Tahun (1996 s/d 2005)

ITEM Neraca Pada Tahun (Rp.) TOTAL

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Investasi Swasta 1.000.000.000 751.762.880 460.976.758 210.788.554 - - - Diterima Investor 316.579.200 332.693.100 269.350.800 298.555.800 407.573.200 438.382.800 282.222.724 308.636.906 318.909.089 323.474.503 Gain or loss (683.420.800) (419.069.780) (191.625.958) 87.767.246 407.573.200 438.382.800 282.222.724 308.636.906 318.909.089 323.474.503 872.849.930 Keterangan: - inflasi 10% per tahun

Tabel 10

(11)

ITEM 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 TOTAL Investasi Swasta 1,000,000,000 785,933,920 521,226,943 289,657,564 - - - Diterima Investor 316,579,200 332,693,100 269,350,800 298,555,800 407,573,200 438,382,800 282,222,724 308,636,906 318,909,089 323,474,503 Gain or loss (683,420,800) (453,240,820) (251,876,143) 8,898,236 407,573,200 438,382,800 282,222,724 308,636,906 318,909,089 323,474,503 699,559,694 Ket: Suku Bunga Bank 15%

Tabel 11

Perkiraan Keuntungan/Kerugian Investor Selama 10 Tahun (1996 s/d 2005)

ITEM 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 TOTAL Investasi Swasta 1,000,000,000 820,104,960 584,894,232 378,652,118 96,115,582 - - - Diterima Investor 316,579,200 332,693,100 269,350,800 298,555,800 407,573,200 438,382,800 282,222,724 308,636,906 318,909,089 323,474,503 Gain or loss (683,420,800) (487,411,860) (315,543,432) (80,096,318) 311,457,618 438,382,800 282,222,724 308,636,906 318,909,089 323,474,503 416,611,229 Ket: Suku Bunga Bank 20%

Tabel 12 Perkiraan Keuntungan/Kerugian RSUD “X” Selama 10 Tahun (1996 s/d 2005)

ITEM Neraca Pada Tahun (Rp.) TOTAL

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sewa tanah 301.774.566 317.657.438 334.376.250 351.975.000 370.500.000 390.000.000 409.500.000 429.975.000 451.473.750 474.047.438 3.831.279.441 Nilai gedung dg

Depresiasi 760.717.650 722.681.768 686.547.679 652.220.295 619.609.280 588.628.816 559.197.376 531.237.507 504.675.631 479.441.850 SHU diterima Kop. Peg.

RSUD "X" - - 26.938.000 30.483.500 33.937.650 34.608.250 33.522.115 40.439.307 42.086.257 42.615.634 SHU diterima Kop. Peg.

RSUD "X" (Cumulative)

- -

26.938.000 57.421.500 91.359.150 125.967.400 159.489.515199.928.822 242.015.079 284.630.714

Gain or loss 458.943.084 405.024.330 379.109.429 330.728.795 283.046.930 233.237.066 177.219.491 130.901.814 83.345.282 35.699.843 (3.108.259.938) Keterangan: - sewa tanah mrnggunakan harga patokan tahun 2001, dengan tingkat penurunan/kenaikan 5% per tahun

- depresiasi gedung 5%/tahun

PEMBAHASAN

Kemitraan mengandung makna saling menguntungkan. Hal ini seharusnya menjadi patokan dasar sebelum kemitraan tersebut dijalin. Adalah hal yang sangat tidak fair apabila dalam kemitraan terjadi kompetisi yang tidak sehat atau adanya pihak yang dirugikan.

Dengan misi dan tujuan yang telah ditentukan, pangsa pasar PKS adalah golongan menengah ke atas yang cukup mampu untuk membayar, dengan demikian perhitungan biaya pelayanan kesehatan yang ada di PKS perlu diketahui untuk menghindari inefisiensi dan masih adanya subsidi untuk golongan yang mampu membayar. Sebaliknya diharapkan terjadinya subsidi silang dari PKS kepada

(12)

RSUD “X” sebagai rumah sakit pemerintah yang konsumennya sebagian besar masyarakat golongan menengah ke bawah.

Melihat hasil forecasting selama 10 tahun masa kemitraan (tabel 9.10,11 dan 12) maka dapat dikatakan bahwa kemitraan tersebut tidak menguntungkan pihak RSUD “X” dan dapat dikatakan formula bagi hasil 60% untuk investor dan 40% untuk RSUD “X” sangat tidak fair. Dalam tabel 12 menunjukkan bahwa RSUD “X” mengalami kerugian sebesar (Rp.3.108.259.938,-) selama masa kemitraan tersebut. Sebaliknya pihak investor justru mendapatkan keuntungan sebesar Rp.872.849.930,- (tingkat inflasi 10%) atau Rp.699.559.694,- (Suku Bunga Bank 15%) atau Rp.416.611.229,- (Suku Bunga Bank 20%).

Keadaan tersebut sangat tidak "fair" bagi RSUD “X” apalagi bila melihat kembali pada konsep dasar kemitraan yaitu saling menguntungkan. Penentuan formula bagi hasil dari sewa kamar sebesar 60%-40% seharusnya ditinjau kembali sehingga kedua pihak bisa sama-sama saling untung dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan formula bagi hasil tersebut. Salah satu diantaranya adalah opportunity cost yang dikeluarkan oleh pihak RSUD “X” dalam kemitraan tersebut yaitu tanah yang disediakan oleh RSUD “X” untuk mendirikan PKS seluas 650 m2, yang mungkin tidak pernah diperhitungkan oleh pihak investor sebagai salah satu modal dari RSUD “X” dalam kemitraan tersebut. Seandainya tanah tersebut disewakan kepada pihak lain dan dengan memperhitungkan bunga bank, maka jelas pihak RSUD “X” sangat dirugikan. Dalam tabel 6.18 dapat dilihat opportunity cost RSUD “:X”dari sewa tanah seluas 650 m2 dalam masa kemitraan 10 tahun adalah sebesar Rp. 3.831.279.441,- Nilai uang tersebut merupakan jumlah yang cukup besar dan signifikan untuk diperhitungkan dalam kerjasama atau kemitraan dengan pihak swasta, terutama dalam menentukan formula bagi hasil keuntungan antara kedua belah pihak.

Masuknya pihak swasta dalam pembangunan kseehatan diharapkan dapat mengatasi sebagian masalah terbatasnya pembiayaan oleh pemerintah. Sehingga seharusnya di dalam kemitraan tersebut menghasilkan suatu solusi yang saling menguntungkan bagi kedua pihak.

Dilihat dari sisi ketenagaan jelas bahwa PKS masih menggunakan tenaga RSUD “X” disamping mengangkat sendiri pegawai honorer. Gani, A, (1992) menyatakan bahwa “…perlu diatur agar subsidi pemerintah tidak diberikan kepada swasta “for profit”. Bentuk subsidi tersamar selama ini adalah “penempatan” tenaga pemerintah pada rumah sakit swasta, baik secara formal (dengan izin) atau

(13)

informal (tanpa izin). Dalam kasus demikian, perlu dipertimbangkan kewajiban rumah sakit swasta tersebut atau tenaga dokter yang bersangkutan untuk membayar “institusional fee” atau “overhead fee” kepada pemerintah, dalam hal ini rumah sakit pemerintah tempat dokter tersebut bekerja…”

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa seluruh tenaga medis di PKS adalah pegawai RSUD “X” yang berstatus PNS dan beberapa tenaga paramedis serta administrasi di PKS adalah PNS RSUD “X”.

Institutional fee mungkin bisa dihitung dengan membobot waktu kerja pegawai RSUD “X” yang

digunakan di PKS dan kemudian hasil pembobotan tersebut dikalikan dengan jumlah gaji yang diterima oleh pegawai tersebut dari RSUD “X”.

Sesuai dengan SK Direktur RSUD “X” bahwa pengelolaan PKS diserahkan kepada Koperasi Pegawai RSUD “X" sebagai salah satu unit usaha koperasi tersebut. Sehingga dalam opersionalnya, PKS wajib memberikan pertanggung jawaban kepada rapat anggota koperasi terutama dalam hal keuangan. Sebagai salah satu unit usaha koperasi, maka PKS dituntut untuk menghasilkan keuntungan atau SHU yang maksimal kepada koperasi yang selanjutnya dibagikan kepada anggotanya. Dari hasil wawancara mendalam diketahui bahwa sebagian SHU koperasi setiap tahunnya dibagikan kepada anggota dan sama sekali tidak ada aliran sejumlah dana dari koperasi untuk RSUD “X”. Hal ini sungguh sangat "ironis" karena salah satu tujuan dan harapan dari kemitraan yautu terjadinya subsidi silang dari PKS sebagai unit swasta kepada RSUD "X" yang merupakan institusi pelayanan kesehatan yang sebvagian besar konsumennya adalah masyarakat golongan menengah kebawah, sama sekali tidak terwujud. Justru sebaliknya bahwa dengan kemitraan ini RSUD "X" sama sekali tidak merasakan manfaatnya.

Lebih ironis lagi adalah sebagian anggota koperasi tersebut adalah tenaga medis dimana dengan kemitraan ini mereka mendapatkan "keuntungan ganda" yaitu pertama, sebagai tenaga medis RSUD "X" yang bekerja di PKS tentu saja mendapatkan jasa medis yang besar (sesuai standar besarnya jasa medis di RS Swasta) dibandingkan dengan yang mereka terima dari RSUD "X" untuk pekerjaan yang sama dan yang kedua, sebagai anggota koperasi di RSUD "X" mereka juga berhak mendapatkan pembagian SHU PKS setiap tahunnya.

Melihat semua fakta di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya dalam kemitraan tersebut RSUD “X” sebagai institusi pemerintah sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apapun bahkan sebaliknya, RSUD “X” mengalami kerugian. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengkaji ulang

(14)

kebijakan yang mengatur kemitraan dengan pihak swasta utamanya dalam hal penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pembahasan Khusus

Besarnya Subsidi RSUD “X” Dalam Kegiatan Operasional PKS

Sebagai suatu unit swasta, PKS seharusnya tidak lagi mendapatkan subsidi dari

pemerintah dalam hal ini RSUD “X”. Adalah sesduatu yang janggal dan

memprihatinkan apabila RSUD “X” yang merupakan institusi pelayanan kesehatan

pemerintah untuk segmen kalangan menengah kebawah serta masih kekurangan dana

harus men”subsidi” atau menunjang biaya unit pelayanan kesehatan swasta yang

segmen pasarnya adalah kalangan atas atau masayarakat mampu.

Dalam tabel 6 dapat diketahui bahwa ketika biaya-biaya di PKS dihitung secara full cost, maka sebenarnya masih ada “subsidi” RSUD “X” untuk kegiatan operasional PKS. Total “subsidi” RSUD “X” kepada PKS adalah sebesar Rp.598.475.035,-. Komponen biaya di PKS yang masih ditunjang oleh RSUD “X” meliputi biaya investasi (sewa tanah), biaya operasional (biaya gaji dan biaya sarana umum) dan biaya overhead.

Sebagai suatu unit swasta yang berdiri di atas tanah RSUD “X”, PKS seharusnya membayar sewa tanah kepada RSUD “X”. Tetapi pada kenyataannya sejak mulai operasional (1996) sampai penelitian dilakukan (2002), PKS tidak pernah membayar sewa tanah kepada RSUD “X”. Dengan sistem analisis atau perhitungan biaya secara full cost maka seluruh komponen biaya di PKS harus diperhitungkan tanpa terkecuali, baik biaya investasi, biaya operasional maupun biaya pemeliharaan. Sehingga dalam hal ini RSUD “X” telah men”subsidi” atau menunjang PKS untuk biaya sewa tanah.

Dalam tabel 6 juga diketahui bahwa biaya sarana umum yang seharusnya ditanggung oleh PKS adalah sebesar Rp.61.135.111,- namun dalam kenyataanya pihak PKS hanya mengeluarkan sebesar Rp.58.283.100,-. Selisih nilai tersebut merupakan “subsidi” RSUD “X” kepada PKS untuk biaya sarana umum terutama untuk listrik dan air yaitu sebesar Rp. 2.852.011,-. Dengan

memperhitungkan tarif PLN dan air yang seharusnya dibebankan kepada PKS sebagai unit swasta serta dengan memperhitungkan jumlah pemakaian sesuai dengan catatan IPRS, maka jelas bahwa selama ini PKS tidak membayar kedua biaya tersebut sesuai dengan pemakaian. Hal ini tentu saja

(15)

tidak dibenarkan karena PKS sebagai unit swasta seharusnya mandiri dan tidak ditunjang lagi oleh RSUD “X.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya terbesar dalam PKS adalah komponen biaya operasional yaitu sebesar 80,31% dari seluruh biaya yang ada (full cost dan direct cost). Diantara komponen biaya operasional tersebut nilainya yang paling besar adalah biaya jasa medis yaitu Rp.733.780.000,- (31,14% dari total biaya operasional).

Tandiary, R, mengatakan bahwa biaya yang efisien untuk personil di rumah sakit swasta for

profit/pemodal adalah tidak lebih dari 20% dari keseluruhan revenue. Sehingga dengan melihat struktur

pembiayaan operasional PKS, dimana biaya personil yang meliputi gaji, insentif dan jasa medis sebesar 53,35%, maka dapat diperkirakan terdapat in-efisiensi di PKS. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi penerimaan PKS yang selanjutnya juga akan mempengaruhi penerimaan Koperasi sebagai induk usaha bagi PKS apabila tidak ada pengaturan untuk komponen biaya personil tersebut.

Hasil perhitungan biaya dan pendapatan di PKS tahun 2001 diperoleh hasil bahwa CRR PKS tahun tersebut adalah sebesar 99,40% (full cost) dan SHU yang diterima PKS pada tahun 2000 adalah negatif yaitu (RP.17.436.106,-) Hal ini menunjukkan bahwa bahwa PKS pada tahun 2001 berada dalam keadaan rugi artinya seluruh pendapatan yang diterima oleh PKS belum mampu untuk menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan oleh PKS. Di sisi lain PKS sebagai unit swasta di lingkungan RSUD “X” diharapkan dapat memberikan nilai lebih atau keuntungan bagi pengelolanya yaitu Koperasi Pegawai Negeri RSUD “X”, sehingga diaharapkan mampu memberikan subsidi silang terhadap RSUD “X” sehingga diharapkan ada pemerataan pelayanan bagi masyarakat luas.

Hasil wawancara mendalam mengenai pemanfaatan SHU di PKS diperoleh informasi bahwa pengelola PKS tidak memiliki wewenang dalam memanfaatkan SHU yang tiap tahunnya disetor ke koperasi. Bahkan dalam hasil wawancara juga diketahui bahwa selama ini PKS tidak melakukan subsidi silang kepada RSUD “X” sebagai induknya. subsidi silang yang dimaksud oleh pengelola PKS adalah bukan memberikan secara rutin sejumlah dana kepada RSUD “X” melainkan dengan memberlakukan tarif yang lebih tinggi dari pada tarif RSUD “X” terhadap pasien PKS untuk pemeriksaan medis penunjang yang memanfaatkan fasilitas dari RSUD “X”.

Penerapan mekanisme subsidi silang seperti pendapat informan atau pengelola PKS tersebut adalah kurang tepat, karena mungkin apabila dihitung secara cermat dan benar, tarif pemeriksaan penunjang medis yang dibebankan kepada pasien PKS memang sudah sesuai dengan unit cost atau

(16)

bahkan masih di bawah unit cost per pealayanan tersebut. Sehingga dengan demikian harus dilakukan analisis biaya terlebih dahulu terhadap pelayanan pemeriksaan penunjang medis untuk bisa mengatakan bahwa mekanisme tersebut merupakan subsidi silang PKS kepada RSUD “X”.

Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tarif pelayanan di rumah sakit pemerintah bahkan di puskesmas masih di bawah unit cost. Dengan melihat fenomena ini maka dapat dikatakan bahwa tarif pelayanan di rumah sakit pemerintah dalam hal ini RSUD “X” tidak bisa digunakan sebagai patokan untuk memberlakukan tarif yang lebih tinggi bagi pasien PKS dalam rangka menetapkan kebijakan subsidi silang di lingkungan RSUD “X”.

KESIMPULAN

Dengan melihat hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Kemitraan antara RSUD “X” dengan pihak investor swasta adalah menggunakan sistem BOT

(Built Operation Transfer) yaitu pihak swasta menanamkan modalnya untuk membangun gedung PKS dengan isinya senilai 1 miliar rupiah dengan kesepakatan bagi hasil dari sewa kamar selama 10 tahun dengan formula 60% untuk investor dan 40% untuk RSUD “X”, dan setelah masa 10 tahun tersebut gedung PKS beserta isinya menjadi milik RSUD “X”.

2. Biaya total PKS tahun 2001 adalah Rp.2.912.323,- (full cost) dan Rp. 2.225.133.800,- (direct cost). Dari perhitungan biaya tersebut diketahui bahwa selama tahun 2001 PKS masih disubsidi oleh RSUD “X” sebesar Rp. 598.475.035,- (sewa tanah, biaya operasional listrik dan air serta overhead

cost)

3. Pendapatan total PKS tahun 2001 adalah sebesar Rp. 2.894.887.000,-

4. CRR PKS pada tahun 2001 adalah 99,40% (full cost) atau dengan kata lain usaha PKS mengalami kerugian dimana pendapatan yang diterima belum mampu menutup seluruh biaya yang dikeluarkan. Sedangkan apabila dihitung secara direct cost maka CRR PKS tahun 2001 adalah 130,10%.

5. SHU PKS tahun 2001 adalah sebesar (Rp. 17.436.106,-) (full cost) dan Rp. 669.753.200,- (direct

cost). Pemanfaatan SHU PKS sepenuhnya menjadi wewenang Koperasi Pegawai sebagai

pengelola.Namun demikian dalam kegiatan opersionalnya PKS punya wewenang untuk melakukan diversivikasi pelayanan dan pengembangan SDM.

6. Dari wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa PKS tidak melakukan subsidi silang (dalam wujud menyetorkan sejumlah uang kepada RSUD “X”) melainkan dengan memberlakukan tarif

(17)

yang lebih tinggi kepada pasien PKS untuk pelayanan penunjang medis daripada tarif pasien RSUD “X” .

7. Trend atau kecenderungan biaya total dan pendapatan total PKS dari tahun 1996 sampai dengan 2001 adalah relatif meningkat walaupun pada tahun 1998 terjadi penurunan. Begitu juga untuk CRR dan SHU PKS .

8. Dengan melakukan forecasting menggunakan linier trend model menunjukkan bahwa setelah masa 10 tahun kemitraan, pihak investor swasta mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 872.849.930,- (tingkat inflasi 10%) atau Rp.699.559.694,- (Suku Bunga Bank 15%) atau Rp.416.611.229,- (Suku Bunga Bank 20%). sedangkan pihak RSUD “X” mengalami kerugian sebesar Rp. 3.108.259.938,-. Dengan melihat kondisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa formula bagi hasil 60% : 40 % kurang fair bagi pihak RSUD “X”.

(18)

Gambar

Tabel 1. Kinerja PKS menurut kelas perawatan, tahun 2001
Tabel 3  Rekapitulasi Biaya PKS (Full Cost)  PKS-RSUD "X", Tahun 2001
Tabel 6  Biaya Overhead RSUD “X” di PKS  PKS-RSUD "X", Tahun 2001  No.
Tabel 7 Perhitungan CRR (Full Cost & Direct Cost)   PKS-RSUD "X", Tahun 2001  Cara   Perhitungan   Jumlah Hari Rawat=Q  TR  (Rp.)   TC  (Rp.)  UC =TC/Q (Rp.)  CRR=TR/TC(Rp.)  Full Cost  7596 2.894.887.000 2,912,323,106 383,402  99,40% Direct Co
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap sintesa karbon Graphene dan CNT dengan struktur mikroporous dilakukan dengan mengalirkan gas oksidan (udara) terkompresi yang bertujuan untuk

[r]

Metode Discriminatively Regularized Least Square Classification (DRLSC) menggunakan dua grafik berdasarkan konsep keterhubungan data-data pada kelas yang sama

The phenomenon isn‟t happened to natural polymer modified concrete that has gradual increase of compressive strength (Figure 4).. increase „double‟ bonding

Contoh 4 :.. Mudah-mudahan bermanfaat ya, dan teman-teman dapat menentukan persamaan fungsi kuadrat dari contoh- contoh soal diatas. Dibawah ini diberikan contoh

Menyimak topik materi yang akan datang dan menutup kegiatan pembelajaran dengan hamdalah dan salamA.

Penelitian ini di lakukan untuk mengetahui respons pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai ( Glycine Max ) terhadap pemberian alelopati lalang ( Imperata cylindrica )

Acid reflux culprits include but are not limited to tomato based sauces, fried and fatty foods, chocolate, alcohol, citrus fruits, peppers, and caffeinated