• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOGIKA DAN PERANNYA DALAM ILMU KALAM, FILSAFAT DAN IRFAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LOGIKA DAN PERANNYA DALAM ILMU KALAM, FILSAFAT DAN IRFAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

LOGIKA DAN PERANNYA DALAM ILMU KALAM, FILSAFAT DAN IRFAN Perbedaan intelek dan reason

Sebelum lebih jauh membicarakan tentang Ilmu Kalam, Filsafat dan Irfan, perlu membahas dan mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara ketiga ilmu tersebut. yang perbedaannya terletak pada sumber-sumber ilmunya yang ada pada diri manusia. Pemahaman tentang sumber-sumber ilmu penting dalam menelaah ilmu-ilmu islam semisal Ilmu Kalam, Ilmu filsafat dan ilmu Irfan.

Sumber ilmu yang dimaksud dalam hal ini adalah reason dan intelek, dimana perbedaan keduanya memberikan pembeda pada ilmu yang dibentuknya.

Pada masa pasca renaissance,makna intelek telah direduksi sedemikian rupa menjadi reason, sehingga banyak yang menganggap derajat reason sama dengan intelek. Pereduksian makna ini juga berakibat pada perduksian pemaknaan terhadap hal-hal yang mengarah pada kesadaran akan Al Haq. Tuhan pun telah direlatifkan, dan manusia diturunkan derajatnya pada level psikis saja yang berefek pada cara pandangnya terhadap realitas. Fenomena ini berkembang seiring dengan berkembangnya pemikiran modernisme yang telah memutuskan manusia dari langit dan secara langsung telah memprofankan hal yang sakral.

Perbedaan esensial antara reason dan intelek menurut fritjof schuon dapat ditilik dalam kaitannya dengan kesadaran akan realitas, semisal perbandingan dua hal berikut ini :

”Aku memahami realitas” belum sampai pada realitas dan terletak pada derajat reason/ ilmu ushuli yang merupakan model pemikiran manusia

” Aku adalah realitas” telah sampai pada realitas atau yakin dan terletak pada derajat intelek/ilmu huduri dan bukan merupakan model pemikiran manusia. Derajat ini juga disebut supra rasional (beyond rational), bukannya irasional.

Menurut Fritjof schuon, meskipun secara ontologi/derajat wujud, intelek dan reason berbeda, tetapi secara essensi, keduanya adalah satu dan tidak terpisah. Intelek adalah sesuatu dalam diri/jiwa manusia yang tidak tercipta (uncreated) dan tidak bisa dicipta.

(2)

Intelek dalam satu pengertian adalah Divine. Dari Tuhan ke intelek, intelek adalah ciptaan ( created), dari rasional ke intelek, intelek tidak tercipta.

Untuk mendefenisikan intelek, fritjof schuon yang mengutip kata-kata Meister Eckhart ” Bahwa ada sesuatu dalam diri atau jiwa manusia yang tercipta dan tidak tercipta. Itulah intelek. Intelek yang tercipta adalah refleksi cahaya yang ada di pusat keberadaan manusia. Cotohnya adalah cahaya matahari terpancar ke bumi menghasilkan cahaya yang banyak.

Sementara intelek qalbu merupakan fakultas universal di manusia, walaupun sudah terkristalisasi dalam derajat yang berbeda, dia tetap divine. Intelek adalah human sejauhmana kita memiliki akses. Intelek adalah qalbu atau tahta singgasana arasy’. Intelek yang terbungkus dalam jubah human menyebabkan ia tampak human, hal ini dicontohkan pada: defenisi meja dengan warnanya. Esensi meja bukan warna cokelat tapi karena warna cokelat pada meja melekat seakan-akan memberi identitas yang aksidental pada meja.

Intelek bukan proses, dan esensinya adalah kesadaran. Contoh intelek adalah Muhammad sebagai nabi dalam penerimaan wahyu tidak melalui proses (beyond ruang dan waktu), karena telah sampai pada kesadaran dan mempunyai akses pada realitas lewat intelek.

Berbeda dengan tazkiyatun nafs yang merupakan usaha/upaya. Laysa lil insan illa ma sa’a. Ini merupakan intelek yang terbuka dengan wahyu.

Empirical Mikrokosmos Intellect Reason Makrokosmos Revelation/ Wahyu Agama

/Theological point of view

direct indirect Divine Intellect Metafisika/ Irfan Filsafat Teologi

(3)

Demikianlah gambaran Intelek yang esensinya adalah Divine/Ilahi yang termanifestasi mikrokosmis dan terhubung dengan manusia, sehingga seakan-akan tercipta. Jadi kelihatannya Human, dan sebaliknya dalam diri manusia ada sesuatu yang Divine. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa intelek dan reason mempunyai hubungan yag tidak terpisah, tetapi karena ada hijab dalam diri manusia sehingga reason dan intelek terpisah (tidak terhubung).

Kehadiran Intellect didalam diri manusia, memberikan semacam katakter kemanusiaan padanya, namun ia tetap divine dan akan sentiasa kekal dalam “divinity “nya.

Kini kita mengetahui perbedaan antara reason dan intelek, bahwa reason adalah produk pemikiran manusia (human mode) yang membutuhkan preposisi untuk memahami realitas, sementara intelek esensinya adalah kesadaran. Reason melahirkan kalam dan filsafat, sementara intelek melahirkan metafisika.

Ilmu Kalam, Filsafat dan Irfan

Kalam, Filsafat dan Irfan sebagai suatu ilmu, tentunya memiliki sumber-sumber ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sumber ilmu adalah salah satu yang menyebabkan perbedaan ketiganya.

Ilmu mempunyai objek yang dibahaskan, proposisi/masalah yang berkaitan dengan subjek/maudhu’nya.

Note; Penjelasan tentang subjek dan objek ilmu telah dijelaskan pada makalah Epistemologi )

Ilmu Kalam

Dalam peradaban intelektual islam, dari Muhammad sebagai figur central, perjalanan islam telah mengalami pengalaman intelektual secara esensial/substansial.

Jika agama dalam tradisi Hindu disebut sebagai ”upaya” untuk menyelamatkan manusia sebanyak-banyaknya, dalam Islam disebut dengan Rahmatan lil ”alamiin. Ini berarti banyak jalan keselamatan.

Contohnya dapat dilihat pada hal yang kecil, dalam shalat jamaah, seorang imam dianjurkan untuk memperhatikan jamaah di belakangnya yang paling minimal (dalam fiqih), sehingga Imam dianjurkan membaca ayat-ayat yang pendek saja.

(4)

Islam tradisional merupakan cetakan Divine telah memunculkan ilmu kalam, atau teologi.

Ilmu Kalam merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan, sifat-sifat Tuhan. Ilmu Kalam biasa disebut Teologi yang bersumber pada wahyu (Al Qur’an dan hadist) Awalnya merupakan kumpulan pendapat/argumen individu untuk membela keyakinannya.Setelah berkumpul, maka terbentuklah mashab Kalam.

Ilmu Kalam, tujuannya membela keyakinan subjeknya/maudhu’nya adalah objek-objek Iman (Rukun Iman), yang menyangkut keyakinan religius, tetapi unsur iman yang pasif. Unsur yang ada adalah justifikasi, defensif/apologetic, deskriptif.

Tugas Ilmu Kalam dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Mengeluarkan konsep-konsep Islam seperti eskatologi, nubuwwah, hukum 2. Deskriptif; Menjelaskan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, syariat, surga dan neraka

3. Justifikasi; Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dalil-dalil, adanya hari kiamat, dalil yang membuktikan surga dan neraka, hari kiamat dengan bersumber pada wahyu (Qur’an dan hadist)

4. Defensif; Membela keyakinan mereka dengan dalil-dalil apologetic.

Adapun tugas pembuktian tersebut bukan untuk mencari realitas atau hakikat, tetapi hanya menjustifikasi atau memberikan pembenaran terhadap pendapat/akidah mereka secara individual atau kolektif

Metode logika yang dipakai dalam Ilmu Kalam untuk mencapai tujuannya adalah burhan /rational demonstration berupa silogisme. Tentang metode logika, Menurut Aristoteles ada beberapa metode logika :

- Syair : untuk membangkitkan semangat tapi dalam bentuk premis analogis - Jadal/debat untuk menjatuhkan lawan dan pembenaran individual

- Burhan/rational demonstration

- Sophsitry; menampakkan yang salah jadi benar dan sebaliknya

Contoh : iblislah yang pertama kali melakukan kesalahan analogi dalam kisah kejatuhan Adam. Iblis tidak mau menyembah Adam karena Iblis menganggap dirinya terbuat dari api yang elemennya lebih tinggi dibanding Adam yang tercipta dari tanah/bumi.

(5)

Kesalahan analogi Iblis terjadi dimana Tuhan menjadikan Adam khalifah bukan karena terbuat dari tanah, tapi karena Tuhan telah mengajarkan semua Nama-Nama Tuhan pada nabi Adam sehingga nama-nama Tuhan termanifestasi dalam dirinya. Inilah yang menjadikan posisi/derajat nabi Adam lebih tinggi dibandingkan Iblis.

Objek ilmu kalam adalah rukun-rukun iman ( dalam hal ini tidak perlu dijelaskan secara rinci), tetapi yang perlu dipahami disini adalah subjek ilmu kalam yaitu manusia beriman.

Berbicara tentang iman, menurut Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin iman terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :

1. Iman lisani, meyakini secara lisan tapi qalbu mengingkari

2. Iman at taqlidi, beriman secara taqlid bukan burhani. Dalam level ini tidak ada unsur berpikir yang analitis atau biasa disebut iman ordinary yang belaku bagi kebanyakan manusia.

Contoh hal ini dapat dilihat pada zaman nabi dahulu, dimana iman terhadap nabi bisa saja terjadi atau berlaku hanya dengan melalui kejujuran nabi.

3. Al Iman al burhani, yaitu iman berdasarkan burhani atau aktifitas reasoning

4. Al iman al isyraqi as syhudi, atua iman melalui pancaran/iluminasi dan penyaksian. Inilah iman yang hakiki, dimana intelellect yang menyaksikan atau telah ada kesadaran kehadiran.

Pengertian syuhud disini ada dua yaitu subjek yang menyaksikan disebut shahid dan objek yang disaksikan yaitu al masyhud. Yang disaksikan bukan yang menyaksikan.

5. Al iman al isyraqi as syhudi, dalam pengertiannya, yang disaksikan dan yang menyaksikan adalah satu, yaitu Allah. Sebagaimana nama Allah adalah Al Mukmin.

Shahidallaahu annahu la ilaaha illa. ”shahidallahu” = Allah yang shahid, ”annahu la ilaaha”= Divine intellect, ” illa”= al mashud

(6)

Demikianlah, sebenarmya perbedaan antara mashab kalam bukan terletak pada substansinya tetapi pada ekspresinya saja, dan pertentangannya ada pada ahli kalam yang membentuk mashab kalam tersebut.

Ilmu Filsafat

Membahas tentang wujud (Maujud dan wujud atau existent dan existence). Maujud adalah sesuatu yang berwujud =buku+wujud. Objek pembahasannya adalah wujud mutlak. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya perbedaan antara ”aku memahami realitas” dan aku adalah realitas” merupakan perbedaan ontologi atau ekistensi/keberadaan.

Contoh, kasih sayang, matahari, langit, semuanya mempunyai keberadaan/eksistensi tetapi berbeda.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Epistemologi, untuk setiap pembagian, perlu ada objek seperti bentuk pembagiannya dan aspek pembagiannya.

Aristoteles membagi filsafat menjadi 2 berdasarkan pada keberadaan manusia

A. Filsafat Teoretis (membahas keberadaan/wujud yang secara eksternal dan mental tidak tergantung pada kehendak manusia)

Filsafat Teoretis terbagi 3, yaitu :

1. Keberadaan yang butuh materi secara eksternal dan mental.

Contoh pohon. ”pohon” keberadaannya butuh pada materi dan dalam defenisi juga butuh materi . seperti pohon adalah mempunyai ranting, dahan, daun, dll 2. Keberadaan yang butuh materi secara aksternal, tidak butuh secara

mental/internal

Contoh : angka 3 . 3 meja, 3 kucing (dalam level mental). Tapi defenisi angka 3 tidak butuh pada materi, seperti 3 adalah bilangan ganjil.

3. Keberadaan yang secara konkrit dan mental tidak butuh pada materi.

Contoh, korek api. Korek adalah sifat sebab, dan api adalah sifat akibat. Secara eksternal, keberadaan sebab dan akibat tidak butuh pada materi

Atau dapat dikatakan bahwa pembagian filsafat teoretis menurut Arietoteles ada tiga : 1. Metafisika/first philosophy : secara eksternal dan mental tidak butuh pada

materi

(7)

Dengan demikian, Aristoteles telah memasukkan metafisika sebagai bagian dari filsafat, atau metafisika merupakan produk reason, padahal sebenarnya yang dimaksud metafisika oleh Aristoteles disini adalah filsafat pada arti khususnya/khasnya.

B. Filsafat Praktis, yaitu membahas keberadaan/wujud yang tergantung pada kehendak manusia. Yang akan menghasilkan tindakan.

Kehendak dibagi menjadi beberapa aspek yaitu individual dan kolektif 1. Kehendak individual menghasilkan pembahasan tentang akhlak

2. Kehendak kolektif kecil menghasilkan pembahasan tentang rumah tangga/keluarga

Kehendak kolektif besar menghasilkan pembahasan mengenai politik/siyasah yang berdasarkan peraturan Ilahi dan peraturan humanis, contoh demokrasi Islam

Ilmu Filsafat tujuannya untuk menyingkap realitas, sumbernya adalah reason

Antara Metafisika dan Teologi/Kalam

Implikasi bahwa metafisika berasal dari Intellect (yang supra-individual dan divine) akan meletakkan metafisika bukan sekedar diatas filsafat tetapi juga diatas teology. Karena metafisika secara keseluruhannya, menurut Schuon, berasal dari “intellectual intuition” (sedangkan sebelumnya beliau menyatakan metafisika berasal dari Intellect), sementara agama (disini sinonim dengan teologi) pula berasal dari wahyu, yaitu Al Qur’an dan hadist

Lebih lanjut Schuon menjelaskan perbedaan antara wahyu dan “intellectual intuition” dari aspek “indirect” dan “direct”nya. Ketika manusia berhadapan dengan wahyu, relasinya dengan wahyu adalah relasi keimanan (faith). Dan melalui keimanan (dalam pengertian umumnya) ini, manusia akan berpatisipasi didalam Ilmu Ilahi. Tetapi partisipasinya adalah partisipasi yang tidak langsung (indirect) serta pasif.

Dengan kata lain, manusia dalam level individualnya (yakni “man as an individual”) melalui keimanannya kepada wahyu ( wahyu sebagai perantara manusia dengan Ilmu

(8)

Ilahi) akan berpatisipasi dalam Ilmu Ilahi. Sementara intuisi intelektual adalah partisipasi manusia secara “direct” serta “active” dalam Ilmu Ilahi. Disini tidak lagi ada perantaraan antara manusia dengan Ilmu Ilahi. Justru manusia disini akan terhubung dengan Ilmu Ilahi bukan dalam level individualnya tetapi dalam esensinya yang tidak berbeda dari Ilahi, karena manusia disitu adalah imej Ilahi (Divine Image). Oleh karena itu itu, disini ada keyakinan yang absolut karena yang mengetahui dengan yang diketahui telah menyatu dalam Intelek.

Wahyu akan menjelma melalui simbolisme religius, yang kemudian diterima oleh manusia dalam level individualnya melalui iman. Keimanan ini membentuk satu “religious belief” atau sistem kepercayaan dalam forma agama yang partikular dalam “mind” mereka. Ini berarti manusia ini akan melihat Kebenaran dalam satu sudut pandang yang khas dan partikular. Inilah yang dimaksudkan sebagai “a theological point of view.”/pandangan teologis.

Penerima wahyu adalah insan kamil yang diturunkan pada qalbunya pada maqam Wilayah (esoterik) – immanent. Yang immanent adalah Tuhan, sebagaimana salah satu nama Tuhan yaitu Al Wali (Wilayah). Dengan demikian, wahyu merupakan mukasyafah /penyingkapan.

Muhammad adalah manifestasi wahyu yang turun di qalbunya. Oleh sebab itulah, duduknya Muhammad adalah wahyu, makannya Muhammad adalah wahyu. Atau dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah Al Qur;an yang berjalan

Muhammad sebagai insan kamil yang telah menerima wahyu melalui pengkasyafan,mempunyai kemampuan dalam memanifestasikan dan mengekspresikan.

Mikrokosmos Intellectual intuition Makrokosmos Revelation/ Wahyu Agama Iman-ordinary sense /Theological point of view

indirect Divine Intellect

(9)

Olehnya, setiap nabi pasti wali, tapi tidak semua wali adalah nabi.

Pengkasyafan tentunya terjadi lewat intelek. Ibnu Sina membagi intelek pada beberapa level, yaitu :

• Intelek potensial yang ada pada diri setiap manusia

• Intelek bi almalakah terjadi karena manusia terbiasa menggunakan reasonnya sehingga malaqah dan menjadi sifat perbuatan

• Penyatuan melahirkan identitas. Intelektualnya teraktual

• Intelek Mustafat adalah akal yang bisa menerima atau disebut intelek aktif. Intelek aktif ini disebut juga Jibril as.

Reason sebagai satu sumber ilmu pada derajat tertentu untuk sampai pada intelek membutuhkan bimbingan wahyu layaknya wahyu akan mengawal reason agar tidak keluar dari batasannya yang akan membawa manusia pada kesalahan.

Pengkasyafan terjadi di alam barzakh (malakut). Yang menyebabkan manusia terhijab dari realitas, sehingga tidak mampu menyingkap adalah karena adanya hijab atau ilusi atau ego. Barzakh agung adalah Muhammad, sebab ia ada diantara Tuhan dan Manusia. Sebagaimana firman Tuhan, Muhammad adalah manusia tapi tidak seperti kalian.

Kasyaf ada dua, yaitu kasyaf maknawi dan kasyaf suri/formal. Menurut Ibnu Arabi, ilham adalah kasyaf maknawi tanpa kasyaf suri/formal, sementara wahyu adalah kombinasi kasyaf suri dan kasyaf maknawi.

Pada kasyaf suri, ada image formal barzakh seperti penglihatan, pendengaran, penciuman atau sentuhan. Kasyaf ini terjadi di alam mimpi, alam kubur. Demikianlah pada waktu Muhammad menerima menerima wahyu, terkadang terdengar dalam suara gemerincing bell, dsb. Dalam kasyaf maknawi, terkadang semua indera aktif. Kasyaf maknawi tidak memiliki form/image, melainkan hanya makna saja.

Dalam penyingkapan makna/kasyaf, dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu : 1. Kemampuan tafakkur

2. Al quwwah al aqiilah (reason yang lebih mendalam) 3. Al quwwah al mufaqqirah

4. Al quwwah al qalb

Ketika nabi diberikan wahyu, terjadi kasyaf dan nabi melihat image dan maknanya. Qalbu mengenal makna, indera mengenal form.

(10)

Wahyu termanifestasi dalam kehidupan manusia. Wahyu dengan demikian, dapat dikatakan sebagai intelek mikrokosmis, sementara intelek adalah wahyu makrokosmis. Tuhanpun berkomunikasi dengan manusia lewat wahyu.

Wahyu adalah sumber agama yang termanifestasi dalam syariat dan merupakan manifestasi kehendak Ilahi. Upaya manusia untuk memahami syariat inilah yang kemudian melahirkan fiqih. Contoh, Aqiimi shalat, dirikanlah shalat, melahirkan tafsiran fiqih tentang tata cara shalat.

Akidah dalam hal inipun merupakan satu produk wahyu.

The religious form” atau “dogma” sebenarnya mempunyai dua aspek, “ekstrinsik” dan “intrinsik”. Sudut pandang teologi hanya bisa melihat aspek “ekstrinsik”nya saja karena mayoritas manusia tidak ada akses pada aspek “intrinsicnya”nya. Kebanyakan manusia hanya bisa mengakses aspek “ekstrinsik” dengan iman, dan inilah satu-satunya “possible mode of participation in the Divine Truths” untuk yang mayoritas. Sementara aspek “intrinsik” hanya bisa di akses dengan Intellect. Maka itu metafisika, ketika berhadapan dengan “form” religius dapat menembus ke dalam dimensi internal “form” religius tanpa menimbulkan kontradiksi dengannya.

Dengan demikian jelaslah, bahwa pengkasyafan adalah intelek, dan seorang insan kamil ataupun seorang arif yang telah sampai pada intelek, membutuhkan sesuatu untuk mengekspresikannya kepada orang lain. Bentuk ekspresi ini terkadang dalam bentuk preposisi filosofis, burhan, puisi. Contoh ketika Tuhan mengekspresikan dirinya sebagai Muhiitun bikulli syai’in , Dia meliputi segala sesuatu di dalam dan luarnya. Makna Ini merupakan ekspresi metafisika atau hasil pengkasyafan.

Maka itu metafisika bisa menggunakan simbol atau form tersebut sebagai satu wasilah untuk mengekspresi Kebenaran, dan pada saat yang sama ia sadar akan relativitas form itu. Sementara teologi melihat form tersebut sebagai sumber untuk memahami Kebenaran. Inilah perbedaan fundamental antara metafisika dan teologi ketika berhadapan dengan form religius.

(11)

Untuk lebih jauh membahas perbedaan ini, penting untuk meninjau kembali seputar pembahasan ilmu. Pembagian ilmu dari sisi arti dan espeknya dapat dibagi, yaitu : Ilmu dalam arti ilmiah/sains bersifat empiris

Ilmu dalam arti filosofisnya merupakan mental existence Ilmu dari sisi aspeknya :

- Matematika dengan objek pembahasannya atau karakteristiknya adalah angka - Biologi dengan objek pembahasannya adalah tubuh manusia (strukturnya)

- Kedokteran dengan objek pembahasannya adalah kesehatan tubuh manusia, sebab sakitnya/gejala sakitnya/sistemnya.

• Ilmu Kalam membahas wujud dalam arti wujud partikular ( Ketuhanan ) dan Iman (dalam kaitannya dengan subjek iman yaitu manusia dan objek-objek iman atau keyakinan religius berupa rukun iman. ( Walaupun secara fundamental objek iman mencakup tiga hal, yaitu Tuhan, Nubuwwah atau kenabian dan Hari Kiamat).

• Ilmu filsafat membahas wujud

Wujud dapat dibagi dua, yaitu maujud/existent adalah segala sesuatu yang berwujud atau wujud partikular, dan existence atau wujud sebagai wujud atau wujud mutlak /existence per se

Contoh, apakah maikat eksis atau tidak ?wujud malaikat adalah non material tapi mempunyai karakter-karakter atau predikat yang disebutkan dalam Al Qor’an

Jika filsafat membahas wujud mutlak, irfan juga membahas tentang wujud mutlak. Wujud/keberadaan/eksistence per se /eksistensi sebagai wujud mutlak, yang mempunyai predikat atau karakter wujudnya, wujud yang mutlak bersyarat atau khas (wujud yang bersyaratkan bukan natural dan juga bukan angka). Wujud partikular = wujud universal+ kualitas/karakter. Setiap wujud partikular, pasti ada wujud universalnya, dan sebaliknya wujud universal tidak memungkinkan adaya wujud partikular.

(12)

Contoh, seorang laki-laki. Manusia Dia adalah ayah, guru, anak, dll

Irfan yang tujuannya adalah menyatu dengan realitas, sumbernya intelek, berfokus /maudhu objek pembahasannya adalah pada wujud mutlak yang tidak bersyarat/unconditional. Atau Wujud yang meliputi wujud pada filsafat, yaitu Wujud yang tidak terbatas. Merupakan pembahasan yang eksklusif.

Meskipun demikian, wujud mutlak memerlukan nama untuk mengekspresikan wujud mutlak tersebut. Tidak ada nama untuk realitas. Irfan menyebut dengan Cinta atau Al Haq. Semua nama-nama tersebut sifatnya hanya mendeskripsikan, sebab setiap nama yang diberikan pasti memberikan keterbatasan.

Seperti al awwalu wal akhiru, dzahir bathin, yang berarti Aku meliputi segalanya. Ayat ini merupakan ekspresi Tuhan terhadap kemutlakanNya.

Perlu diketahui bahwa pembahasan yang menyangkut ”defenisi” atau membahas apa? mengarah pada hal yang esensial, sementara pembahasan deskriptif menyangkut ”siapa” ? dengan menunjukkan karakter-karakternya.

Contoh : wujud kucing, berarti ada 2 wujud yaitu wujud + kucing.

Berbeda dengan wujud mutlak yang tidak memungkinkan ada wujud lain selain dirinya Untuk lebih jelasnya, perbedaan antara deskripsi dan defenisi sebagaiman perbedaan reason dan intelek dapat dilihat pada kisah Fir’aun dan Nabi Musa.

Fir’aun menaganggap nabi Musa sebagai ancaman dan ingin membuktikan bahwa nabi Musa bukan nabi, lalu Fir’aun mengumpulkan ahli sihirnya dan bertanya kepada Musa.

” Apa Tuhan semesta alam / Ma Rabbal ”Alamiin ?

Pertanyaan apa menuntut jawaban defenitif, harus mengenal esensi Tetapi Nabi Musa menjawab

Wujud

Realitas

Wujud material

Wujud mutlak conditional

(13)

baynahuma in kuntum muqiniin, yang artinya Tuhan Alam semesta, antara langit dan bumi, jika kalian adalah orang-orang yang yakin.

Jawaban Nabi musa adalah intelek, sudah mengenal Tuhan, sebagaimana orang-orang yang yakin. Jawaban ini menunjukkan tidak ada manusia yang bisa mengenal esensi Tuhan.

Jawaban nabi Musa kembali terhadap terhadap Fir’aun,

”Dan Tuhan Bapak-bapak Kalian,...jika kalian adalah orang yang berpikir – jawaban ini menurunkan kembali derajat menjadi –reason- yang menyiratkan akal arus aktif

(disinilah peran logika untuk mendeskripsikan dalam usaha menuju kesadaran). Schuon menjelaskan bahwa “metafisika” adalah ilmu yang tidak tergantung pada bentuk pemikiran manusia/human mode. Karena menurut Schuon, memiliki karakteristik yang transenden, dalam arti bahwa metafisika adalah sesuatu yang “supra-human thought” atau “supra-rational.”

Peran logika dalam Ilmu Kalam Filsafat dan Irfan

Apakah logika ?

Logika berada di wilayah ilmu ushuli yang menggunakan reason sebagai sumbernya. Logika adalah sesuatu yang memelihara pemikiran manusia dari kesalahan dengan syarat mengikuti disiplin ilmunya. Jika keluar dari disiplin atau memasukkan data yang salah, maka hasilnya akan salah. Jadi logika merupakan perangkat pikir yang terdiri dari preposisi-preposisi yang digunakan manusia untuk mengenal realitas.

Contoh : Tuhan awal dan juga akhir/Zahir dan bathin. Ayat ini berkesan bertentangan padahal merupakan gabungan/sintesis dari yang berlawanan.

Ayat tersebut bukannya illogical karena tidak mungkin awal juga sekaligus akhir. Tetapi perlu dipahami bahwa logical terbagi 2, yaitu infralogical dan supralogical.

Pengertian ayat Tuhan awal dan akhir, dzahir dan bathin merupakan hal yang supralogical, atau merupakan makna metafisika.

(14)

Contoh : Ucapan Allahu Akbar dalam shalat sebagai refleksi objek (Allah). Pada tahapan ini merupakan reason saja.

Ilmu ushuli yang berada pada tataran reson merupakan alat untuk membahasakan, mengkomunikasikan dan mengekspresikan pada orang lain. Atau logika merupakan preposisi bahasa untuk mengekspresikan pada orang lain.

Dengan demikian logika digunakan pada Ilmu Kalam untuk mengemukakan argumentasinya berupa dalil-dalil tentang subjek dan objek iman .

Filsafat menggunakan logika untuk menyingkap realitas melalui preposisi-preposisi. Sementara logika dalam metafisika/irfan adalah alat untuk mengekspresikan kesadaran atau realitas.

Lebih jauh, Irfan bukan hanya sekedar ilmu, tetapi merupakan sebuah jalan . Ilmu akumulatif, mengisyaratkan aku semakin bnyak, tetapi irfan bagi jalan spiritual adalah ilmu untuk menghilangkan aku.

Referensi

Dokumen terkait

Dari berbagai konsep Islam terkait pendelegasian tugas dan wewenang, serta tanggungjawab, maka implementasinya pada usaha bagi hasil perikanan tangkap yaitu, tiap-tiap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: tidak terdapat interaksi antara penggunaan model discovery learning dengan kemampuan akademik terhadap KPS siswa; model

Lembaga Madrasah Tsanawiyah Sabilul Ulum Mayong Jepara juga benar- benar di kelola dengan sedemikian rupa karena dengan visinya: “Terwujudnya Madrasah yang Islami,

Dr.Kariadi yaitu sebesar #$& (9&,%9:. !ada kasus rujukan, diagnosis pasien yang dikirim sangat penting artinya karena hal ini juga akan berpengaruh terhadap

Mengukur pengaruh kekasaran permukaan dinding hoper, sudut hoper, serta pemasangan pengaduk terhadap kemampuan alir serbuk silika pada metode deposisi serbuk screw feeder

Aplikasi mobile khususnya pada sistem oprasi android sudah banyak saat ini beredar baik yang sifatnya hanya untuk bermain ataupun yang dapat membantu masyaratkat,

Peserta didik menyampaikan hasil diskusi tentang keteladanan nabi Adam as baik secara kelompok maupun individualb. Peserta didik yang lain baik secara individual maupun kelompok

Mintalah seorang teman Anda untuk membacakan informasi berikut. Setahuku, sampai sekarang belum ada aturan legal yang membahas masalah kebebasan berekspresi di internet. Repot