• Tidak ada hasil yang ditemukan

SGD komunitas lapas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SGD komunitas lapas"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1.1

1.1 Latar BelakangLatar Belakang

Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak warga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak warga negara dan tanggung jawab negara. Hak asasi bidang kesehatan ini harus diwujudkan negara dan tanggung jawab negara. Hak asasi bidang kesehatan ini harus diwujudkan melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat.

individu, keluarga, dan masyarakat dengan menanamkan kebiasaan hidup sehat.

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan,  baik

 baik di di dalam dalam maupun maupun di di luar luar negeri negeri yang yang diakui diakui oleh oleh Pemerintah Pemerintah sesuai sesuai dengandengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 ayat (2) UU No. 38 Tahun 2014 ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 ayat (2) UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan)

tentang Keperawatan)

Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat,  baik

 baik sehat sehat maupun maupun sakit. sakit. (Pasal (Pasal 1 1 ayat ayat (3) (3) UU UU No. No. 38 38 Tahun Tahun 2014 2014 tentangtentang Keperawatan)

Keperawatan)

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berdasarkan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan. Para penghuninya hidup dengan aturan-aturan yang ditetapan keputusan pengadilan. Para penghuninya hidup dengan aturan-aturan yang ditetapan oleh lembaga, tetapi karakter dari penghuni-penghuni lain berpengaruh besar pada oleh lembaga, tetapi karakter dari penghuni-penghuni lain berpengaruh besar pada kehidupan mereka selama di LP. Mereka hidup terpisah dari masyarakat dan yang kehidupan mereka selama di LP. Mereka hidup terpisah dari masyarakat dan yang unik adalah penghuninya sama-sama mempunyai latar belakang masalah yang unik adalah penghuninya sama-sama mempunyai latar belakang masalah yang mengharuskan mereka mendapatkan hukuman dan pada umumnya akan diberi label mengharuskan mereka mendapatkan hukuman dan pada umumnya akan diberi label yang tidak baik dalam masyarakat. Penghuni LP kebanyakan adalah laki-laki, tetapi yang tidak baik dalam masyarakat. Penghuni LP kebanyakan adalah laki-laki, tetapi  jumlah wanita dan remaja juga ikut berpengaruh

 jumlah wanita dan remaja juga ikut berpengaruh pada populasi keseluruhan.pada populasi keseluruhan.

Umumnya para narapidana menjalani hukuman karena suatu tindakan yang Umumnya para narapidana menjalani hukuman karena suatu tindakan yang

(2)

 penggunaan obat-obat te

 penggunaan obat-obat terlarang, dll. rlarang, dll. Dalam makalah Dalam makalah ini, yang ini, yang disoroti adalah disoroti adalah tentangtentang  pembinaan

 pembinaan pada pada narapidana narapidana dengan dengan kasus kasus narkoba narkoba karena karena para para narapidana narapidana narkobanarkoba kondisinya sangat berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda kondisinya sangat berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda akibat penggunaan narkoba yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya akibat penggunaan narkoba yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya tingkat kesadaran akibat rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan tingkat kesadaran akibat rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan dan sifat overreaktif dan overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu dan sifat overreaktif dan overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu  penanganan

 penanganan khusus khusus pada pada narapidana narapidana narkoba narkoba dibandingkan dibandingkan dengan dengan narapidana narapidana yangyang lain.

lain.

Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk

memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk “Correctional setting”“Correctional setting” ..  perawat memberikan

 perawat memberikan pelayanan secarpelayanan secara mena menyeluruh. Dari yeluruh. Dari data disedata disebutkan bahwa butkan bahwa parapara narapidana paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan narapidana paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan (38,9%), daya tahan menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan (38,9%), daya tahan menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan gangguan-gangguan lain pada system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering gangguan lain pada system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering terjadi adalah gangguan tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan terjadi adalah gangguan tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan cemas (37,2%).

cemas (37,2%).

Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat menerapkan praktik

menerapkan praktik correctional setting correctional setting   pada LP Pemuda Tangerang Banten karena  pada LP Pemuda Tangerang Banten karena di LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum di LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum tersedia dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus tersedia dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus lain.

lain.

1.2

1.2 TujuanTujuan 1.

1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisiMahasiswa mampu menjelaskan definisi 2.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasiMahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi 3.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah kesehatan yang ada di cMahasiswa mampu menjelaskan masalah kesehatan yang ada di correctionalorrectional  setting 

 setting  4.

(3)

 penggunaan obat-obat te

 penggunaan obat-obat terlarang, dll. rlarang, dll. Dalam makalah Dalam makalah ini, yang ini, yang disoroti adalah disoroti adalah tentangtentang  pembinaan

 pembinaan pada pada narapidana narapidana dengan dengan kasus kasus narkoba narkoba karena karena para para narapidana narapidana narkobanarkoba kondisinya sangat berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda kondisinya sangat berbeda yaitu mempunyai karakter dan perilaku yang berbeda akibat penggunaan narkoba yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya akibat penggunaan narkoba yang telah dikonsumsinya. Diantaranya adalah kurangnya tingkat kesadaran akibat rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan tingkat kesadaran akibat rendahnya kamampuan penyerapan, keterpurukan kesehatan dan sifat overreaktif dan overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu dan sifat overreaktif dan overproduktif. Dengan kondisi demikian, maka perlu  penanganan

 penanganan khusus khusus pada pada narapidana narapidana narkoba narkoba dibandingkan dibandingkan dengan dengan narapidana narapidana yangyang lain.

lain.

Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam Perawat sebagai profesi yang berorientasi pada manusia mempuyai andil dalam memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk

memberikan pelayanan kesehatan di LP dalam bentuk “Correctional setting”“Correctional setting” ..  perawat memberikan

 perawat memberikan pelayanan secarpelayanan secara mena menyeluruh. Dari yeluruh. Dari data disedata disebutkan bahwa butkan bahwa parapara narapidana paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan narapidana paling banyak mengalami keluhan fisik seperti kurang nafsu makan (38,9%), daya tahan menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan (38,9%), daya tahan menurun (36.,9%), badan menjadi kurus (35,3%), dan gangguan-gangguan lain pada system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering gangguan lain pada system tubuh. Sedangkan keluhan mental yang paling sering terjadi adalah gangguan tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan terjadi adalah gangguan tidur (48,6%), sering lupa (48,3%), gelisah (44,2%) dan cemas (37,2%).

cemas (37,2%).

Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat Berdasarkan masalah-masalah kesehatan yang banyak dialami tersebut, maka perawat menerapkan praktik

menerapkan praktik correctional setting correctional setting   pada LP Pemuda Tangerang Banten karena  pada LP Pemuda Tangerang Banten karena di LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum di LAPAS ini tenaga medis dan tenaga Pembina khusus narapidana narkoba belum tersedia dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus tersedia dan narapidana narkoba dicampur menjadi satu sel dengan narapidan kasus lain.

lain.

1.2

1.2 TujuanTujuan 1.

1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisiMahasiswa mampu menjelaskan definisi 2.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasiMahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi 3.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah kesehatan yang ada di cMahasiswa mampu menjelaskan masalah kesehatan yang ada di correctionalorrectional  setting 

 setting  4.

(4)

BAB II BAB II PEMBAHASAN PEMBAHASAN 2.1

2.1 Tinjauan pustakaTinjauan pustaka 2.1.1

2.1.1 DefinisiDefinisi

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.yang baik dan bertanggung jawab.

2.1.2

2.1.2 Ciri ciri Ciri ciri warga binaan permasyarakatanwarga binaan permasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan

Warga Binaan Pemasyarakatan Terdiri dari:

Terdiri dari: 1.

1.  Narapidana Narapidana  Narapidana

 Narapidana adalah adalah terpidana terpidana yang yang menjalani menjalani pidana pidana hilang hilang kemerdekaan kemerdekaan didi LAPAS.

LAPAS. 2.

2. Anak Didik PemasyarakatanAnak Didik Pemasyarakatan

Anak Didik Pemasyarakatan adalah: Anak Didik Pemasyarakatan adalah: a.

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalaniAnak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani  pidana di LAPAS Ana

 pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.k paling lama sampai berumur 18 tahun.  b.

 b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkanAnak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan  pada

 pada negara negara untuk untuk dididik dididik dan dan ditempatkan ditempatkan di di LAPAS LAPAS Anak Anak paling paling lama lama sampaisampai  berumur 18 tahun.

(5)

c.

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinyaAnak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

sampai berumur 18 tahun. Penempatan Anak

Penempatan Anak Sipil di LAPAS Sipil di LAPAS Anak paling lama Anak paling lama 6 6 bulan bagi bulan bagi mereka yangmereka yang  belum

 belum berumur berumur 14 14 tahun, tahun, dan dan paling paling lama lama 1 1 tahun tahun bagi bagi mereka mereka yang yang pada pada saatsaat  penetapan pengadilan berumur 14

 penetapan pengadilan berumur 14 tahun dan.tahun dan.

2.1.3

2.1.3 KlasifikasiKlasifikasi 1.

1. Asas Pelaksanaan Sistem PembinaanAsas Pelaksanaan Sistem Pembinaan

Sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan Sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan  pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

 pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

a.

a.  pengayoman, pengayoman,  b.

 b.  persamaan perlakuan dan pelayanan, persamaan perlakuan dan pelayanan, c.

c.  pendidikan, pendidikan, d.

d.  pembimbingan, pembimbingan, e.

e.  penghormatan harkat dan martabat manu penghormatan harkat dan martabat manusia,sia, f.

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dankehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan g.

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orangterjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. (Pasal 5)

tertentu. (Pasal 5)

2.

2. Penggolongan Narapidana di Lembaga PemasyarakatanPenggolongan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan  penggolongan atas dasar:

 penggolongan atas dasar:

a.

a. umur,umur,  b.

 b.  jenis kelamin, jenis kelamin, c.

c. lama pidana yang dijatuhkan,lama pidana yang dijatuhkan, d.

d.  jenis kejahatan, jenis kejahatan, e.

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaankriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal 12)

(6)

3. Hak Narapidana (Pasal 14)

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;  b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan;

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

 j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang  berlaku.

2.1.4 Pertumbuhan dan perkembangan fisik kognitif dan psikososial

Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat. Secara kuantitas nampak dari hampir semua lembaga pemasyarakatan overcapacity. Banyaknya kasus pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan mutilasi; kasus pemerkosaan pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya dapat dilakukan oleh saudara, paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri; dan kasus korupsi juga makin marak melibatkan pejabat.

Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifactor, salah satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan  pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk teman ganknya dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian. Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan criminal.

(7)

Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Fungsi Lapas dalam kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif yang menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku; fungsi rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang salah menjadi lebih benar; dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia  baru yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif secara sosial dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih urgent untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran keilmuan maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental  para petugas pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan.

Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang membutuhkan penanganan psikolog antara lain :

1. Overcapacity sel akan menimbulkan perasaan ketersesakan yang mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara  berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya baik itu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas  pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi

satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan.

2. Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan  politik berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar yang menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara teoritis, berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah  proses keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat hidup yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk meraihnya. Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela toleransi individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-respon yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai  pada situasi krisis emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan

(8)

 program yang sangat dibutuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terj adi tindakan  bunuh diri atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas.

3. Pada masing-masing terpidana mati, meskipun memiliki kondisi yaitu menunggu proses eksekusi yang telah dijadwalkan, ternyata memiliki kondisi  psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan

dan perlakuan psikologis yang berbeda.

Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi masing-masing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga  bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik menemukan insight sangat membantu terpidana dalam menghadapi situasi yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis.

Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada  proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu  berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk  pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi  perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan masa pidananya di Lapas Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan  para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan

motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu.

Khususnya pada Anak Didik Pemsyarakatan (ADP), perlu penanganan  psikologis yang lebih khusus agar perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan  bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan solusi penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi  psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial, rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka

(9)

mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka. Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan.

Selain itu, diperlukan program yang memberi kesempatan pada ADP untuk mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Program-program untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola asuh yang  penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku petugas  pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu mengembangkan manifestasi pola pikir yang positif disertai kemampuan meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia  pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas dan moral.

Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi  psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan. Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya sehingga tentunya akan menjadi masalah psikologis ganda, baik bagi WBP  perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya.

2.1.5 Masalah kesehatan

a. Karakteristik Responden 1. Umur

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel Median SD Min-Maks

(10)

Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa responden mempunyai nilai tengah 32,00 tahun dengan standar deviasi 10,833 tahun. Umur minimal responden 19 tahun dan umur maksimal responden 59 tahun.

2. Pendidikan

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pendidikan di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel Pendidikan Frekuensi %

Pendidikan Tidak sekolah 2 2,8

SD 13 18,3

SMP 22 31,0

SMA 28 39,4

Perguruan Tinggi 6 8,5

71 100,0

Pada tabel 2 terdapat variabel pendidikan dimana sebagian besar responden  berpendidikan SMA yaitu sebesar 39,4% (28 orang) dan sangat sedikit responden

Tidak Sekolah sbesar 2,8% (2 orang). b. Analisis Univariat

1. Lingkungan Fisik Ruang Tahanan

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel Kategori Frekuensi (%)

Kepadatan Padat 4 100,0

Tidak Padat 0 0,0

Luas Ventilasi Tidak memenuhi

syarat 0 0,0

Memenuhi syarat 4 100,0

Suhu Tidak normal 0 0,0

 Normal 4 100,0

Pencahayaan Tidak memenuhi

syarat 3 75,0

Memenuhi syarat 1 25,0

Kelembaban Tidak memenuhi

(11)

Memenuhi syarat 3 75,0

Total 4 100,0

a) Kepadatan Hunian Kamar

Dari tabel 3 didapatkan bahwa kepadatan hunian kamar responden yang menunjukkan padat yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan 1 orang mendapatkan 2m². Ruangan untuk narapidana berjumlah 4 kamar dengan jumlah penghuni 23 orang pada kamar 1, 35 orang pada kamar 2, 35 orang pada kamar 3, 31 orang  pada kamar 4. Dengan jumlah tersebut, maka responden yang menempati kamar  berukuran 48m² mendapatkan 2m² perorang yang seharusnya mendapatkan 4m² sehingga dinyatakan padat. Sebagai contoh kamar 1, apabila setiap 1 orang  penghuni mendapatkan 4m² maka penghuni kamar 1 berjumlah 12 orang. Dalam

kenyataannya, kamar 1 berpenghuni 23 orang.

Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam ruangan akan mengalami pencemaran. Selain mempengaruhi kualitas udara, kepadatan hunian juga mempengaruhi kemudahan dalam proses penularan  penyakit pernafasan seperti ISPA.

Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan maka apabila dala m ruangan tersebut terdapat penderita ISPA akan terjadi pencemaran udara oleh mikroorganisme penyebab ISPA yang berasal dari droplet penderita. Kepadatan merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.

b) Luas Ventilasi

Dari tabel 3 didapatkan bahwa luas ventilasi kamar responden yang memenuhi syarat yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan luas ventilasi per kamar 8m². Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa masing-masing ruangan terdapat 4 buah ventilasi berupa jendela dengan ukuran 2x1 meter sehingga didapatkan ventilasi  per ruangan 8m² yang mana jika diukur dengan luas ruangan hasilnya 4,8m². Dengan hasil itu, 4,8m² ≥10% luas lantai. Luas ventilasi yang memenuhi syarat disebabkan karena ventilasi yang digunakan berupa jendela yang terbuat dari kaca

(12)

yang dapat dibuka dan ditutup. Jendela tersebut juga dilengkapi dengan besi-besi sebagai keamanan tetapi udara bisa tetap masuk.

Fungsi ventilasi selain sebagai masuknya udara juga untuk menjaga tempat tinggal dalam tingkat kelembaban yang optimum karena kelembaban dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab  penyakit).

c) Suhu

Dari tabel 3 didapatkan bahwa ruangan responden yang berada pada suhu ruangan normal yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan suhu ruangan antara 28,6º-29,6ºC. Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa suhu ruangan pada kamar 1 sebesar 29,1ºC, kamar 2 sebesar 29,6ºC, kamar 3 sebesar 29,4ºC dan kamar 4 sebesar 28,6ºC dimana dari semua kamar responden suhu ruangan berada pada kisaran 18º-30ºC. Suhu yang normal disebabkan karena dipengaruhi salah satunya suhu adalah karena ventilasi yang ada dimana di lembaga pemasyarakatan menggunakan ventilasi berupa jendela yang dapat dibuka dan ditutup.

Suhu juga berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu berguna untuk membebaskan bakteri dan virus karena suhu yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA sebesar 4 kal i.

d) Pencahayaan

Dari tabel 3 didapatkan bahwa pencahayaan ruangan responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 75,0% (3 kamar) dengan pencahyaan <60 lux (42 lux) dan >120 lux (130-151 lux), danpencahayaan ruangan responden yang memenuhi syarat yaitu sebesar 25,0% (1 kamar) dengan pencahayaan 78,5 lux. Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa pencahayaan pada kamar 1 sebesar 42 lux, kamar 2 sebesar 130 lux, kamar 3 sebesar 151 lux dan kamar 4 sebesar 78,5 lux. Maka sebanyak 3 kamar dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat karena  pencahayaan <60 lux dan >120 lux.Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena sinar matahari masuk langsung melalui jendela yang ada tanpa terhalang sehingga pencahayaan cukup tinggi >120 lux.

Dalam penggunaan jendela, sinar matahari yang masuk terlalu banyak dapat  berpengaruh pada tingginya suhu ruangan namun dengan sinar matahari yang mudah masuk ke dalam ruangan juga berperan mematikan bibit penyebab  penyakit.Sinar matahari yang masuk terlalu sedikit juga berpengaruh pada

(13)

 berkembangnya bibit penyakit. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat dapat  berperan terjadinya ISPA dari faktor lingkungan.

e) Kelembaban

Dari tabel 3 diapatkan bahwa kelambaban udara kamar responden yang memenuhi syarat yaitu sebesar 75,0% (3 kamar) dengan kelembaban antara 40% hingga 55% dan kelembaban udara kamar responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 25,0% (1 kamar) dengan kelembaban 35%.Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa kelembaban pada kamar 1 sebesar 55%, kamar 2 sebesar 35%, kamar 3 sebesar 40% dan kamar 4 sebesar 42% dimana sebanyak 3 kamar yang memenuhi syarat karena kelembaban berada pada kelembaban normal yaitu 40%-70%. Sedangkan 1 kamar dengan kelembaban <40% sehingga dikategorikan tidak memenuhi syarat. Kelembaban udara yang memenuhi syarat karena didukung oleh adanya ventilasi yang memenuhi syarat yaitu jendela yang luasnya ≥10% dari luas lantai. Dari hasil pengukuran, sebesar 25,0% (1 kamar) dengan kelembaban tidak memenuhi syarat karena salah satu jendela terhalang oleh perlengkapan dari responden yang ada sehingga udara dan cahaya matahari yang membuat kelembaban tidak memenuhi syarat.

Kelembaban udara yang <40% dari kelembaban normal dapat mempengaruhi  penurunanan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Penurunan daya tahan tubuh terjadi ketika kondisi ruangan panas oleh pencahayaan yang berlebihan maka proses radiasi dan konduksi tubuh melalui kulit menurun serta tidak terjadi evaporasi. 2. Personal Hygiene dan Kebiasaan Merokok

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Personal Hygiene dan kebiasaan Merokok Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel Kategori Frekuensi (%)

Personal hygiene Buruk 20 28,2

Baik 51 71,8 Kebiasaan Merokok Ya 66 93,0 Tidak 5 7,0 Total 71 100,0

(14)

a) Personal Hygiene

Dari tabel 4 didapatkan bahwa sebagian besar responden yang personal hygiene baik yaitu sebesar 71,8% (51 orang) dan sebagian kecil responden yang  personal hygiene buruk yaitu sebesar 28,2% (20 orang). Hal ini disebabkan

karena kebersihan yang meliputi pakaian, badan dan handuk sebagian besar memenuhi syarat. Dapat dilihat dari frekuensi mandi responden 2 kali sehari sebesar 66,2% (47 orang). Hal ini terjdi karena kemudahan responden dalam mengakses air untuk kebutuhan mandi. Dari kebersihan pakaian responden, sebesar 70,4% (50 orang) mencuci pakaian menggunakan air dan deterjen, dan sebesar 53,5% (38 orang) selalu dipisah dalam mencuci pakaaian dikarenakan tempat mencuci yang luas dan air yang mencukupi. Responden mendapatkan  peralatan mandi seperti sabun dan deterjen melalui kantin yang ada di dalam

lembaga pemasyarakatan. Selain itu, di lembaga pemasyarakatan mempunyai fasilitas dimana peralatan mandi seperti sabun, deterjen, dan lain-lain diberikan selama 3 bulan sekali, namun apabila peralatan habis sebelum 3 bulan tersebut, maka kebutuhan tersebut ditanggung masingmasing penghuni.

Personal hygiene merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene adalah dampak fisik banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya personal higiene dengan baik seperti gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dantelinga, dan gangguan fisik pada kuku.

b) Kebiasaan Merokok

Dari tabel 4 didapatkan bahwa responden yang mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebesar 93,0% (66 orang) dan responden yang tidak mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebesar 7,0% (5 orang). Hal ini disebabkan karena responden sudah mempunyai kebiasaan merokok sebelum tinggal di lembaga  pemasyarakatan. Kebiasaan merokok juga dilakukan narapidana didalam lembaga  pemasyarakatan karena tidak terdapat aturan larangan merokok sehingga kebiasaan merokok narapidana tidak dibatasi waktu dan tempat. Dalam hal ini  bisa dilihat dari tingkat konsumsi rokok responden, sebesar 1,5% (1 orang) dengan tingkat konsumsi rokok tinggi, sebesar 37,9% (25 orang) dengan tingkat konsumsi rokok sedang dan sebesar 60,6% (40 orang) dengan tingkat konsumsi rokok rendah. Konsumsi rokok narapidana bisa dilakukan di dalam ataupun di

(15)

luar kamar sel dan juga secara tidak langsung terbantu oleh adanya kantin di dalam lembaga pemasyarakatan yang menjual batang rokok sehingga kebutuhan akan rokok bisa terpenuhi sewaktu-waktu. Selain dari kantin, peran teman juga  berpengaruhi karena kebutuhan rokok bisa jadi didapat dari sanak saudara yang  berkunjung. Dengan itu, teman yang tidak mempunyai uang untuk membeli  batang rokok di kantin dapat mengkonsumsi rokok dari pemberian temannya.

Dari hasil penelitian, sebesar 45,5% (30 orang) sudah mengkonsumsi rokok  pada kategori umur remaja awal yaitu pada umur 12-16 tahun dimana umur tersebut sedang aktif mencari teman dalam pergaulan. Remaja mulai merokok  berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa  perkembangannya yaitu masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini sering terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan  perkembangan sosial. Bahwasannya perilaku merokok bagi remaja merupakan  perilaku simbolisasi. Simbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan

daya tarik terhadap lawan jenis. 3. Masalah Kesehatan

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Masalah Kesehatan Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel Kategori Frekuensi (%)

ISPA Ya 28 39,4 Tidak 43 60,6 Skabies Ya 42 59,2 Tidak 29 40,8 Total 71 a) ISPA

Dari tabel 5 didapatkan bahwa responden yang tidak menderita ISPA yaitu sebesar 60,6% (43 orang) dan responden yang menderita ISPA yaitu sebesar 39,4% (28 orang).Dari hasil crosstabs antara penderita ISPA dan kebiasaan merokok, diantara responden yang menderita ISPA terdapat 26,0% (25 orang) mengkonsumsi rokok, sedangkan responden yang menderita ISPA terdapat 2,0% (3 orang) tidak mengkonsumsi rokok.

(16)

Responden yang mengkonsumsi rokok terdapat 35,5% (30 orang) yang telah mengkonsumsi rokok dari remaja awal, meskipun tingkat konsumi rokok tinggi hanya sebesar 1,5% (1 orang) namun tetap memungkinkan terjadinya ISPA, hal ini dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan membolehkan narapidana merokok dimana saja termasuk didalam kamar narapidana yang mana asap dari rokok dapat menyebabkan pencemaran udara dalam ruangan yang dapat merusak mekanisme paru-paru bagi orang yang menghisapnya.

Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi salah satunya oleh kepadatan hunian. Dari 4 kamar narapidana ada, semua masuk dalam kategori padat dimana kepadatan di dalam kamar yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan penghuninya dan akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.

b) Skabies

Dari tabel 5 didapatkan bahwa responden yang menderita skabies yaitu sebesar 59,2% (42 orang) dan responden yang tidak menderita skabies yaitu sebesar 40,8% (29 orang). Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya skabies yaitu buruknya personal hygiene. Salah satu indikator personal hygiene buruk yaitu penggunaan handuk dimana sebesar 29,6% (21 orang) mandi menggunakan handuk bersama. Penggunaan handuk secara bersama diduga menjadi salah satu cara penularan skabies apabila handuk yang digunakan oleh penderita skabies membawa tungau  sarcoptes scabiei  berpindah dari handuk ke tubuh penjamu (host) yang kemudian menginfeksinya.

Selain penggunaan handuk bersama, tidur dengan penderita skabies bisa menjadi faktor resiko dalam menularkan skabies dimana aktivitas tungau sarcoptes scabiei banyak lakukan dimalam hari ketika orang tidur, ditambah kondisi kamar yang padat akan memudahkan terjadinya kontak fisik sehingga  penularan penyakit meningkat.

Penularan skabies terjadi ketika perlengkapan kebersihan seperti sabun dan handuk, fasilitas asrama serta fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat penduduk. Pemakaian alat dan fasilitas umum bersama-sama membuat kebersihan kurang maksimal salah satunya kebersihan badan.

(17)

2.1.6 Program Pemerintah di Lembaga Permasyarakatan

Dalam sejarahnya Lembaga Pemasyarakatan Malang merupakan tempat tahanan, pada waktu itu belum dikenal adanya lembaga pemas yarakatan, yang pada zaman kolonial Belanda digunakan untuk mendidik para narapidana yang melakukan tindak pidana. Namun dalam perkembangannya lembaga tersebut lebih difungsikan untuk menahan para pejuang yang memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Sampai pada tahun 1964 nama penjara berlaku dan setelah itu  berubah menjadi lembaga pemasyarakatan, perubahan ini terjadi setelah

diadakannya kongres di Bandung, yang menghasilkan Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506 tanggal 17 juni 1964. Setelah sistem kepenjaraan di ganti dengan sistem pemasyarakatan, peran Negara dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan warga negaranya yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan menjadi lebih besar.

Peran Negara dalam hal ini melalui Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, banyak melakukan perubahan dalam hal pola pembinaannya, karena sekarang lembaga pemasyarakatan lebih manusiawi dalam pemberian pembinaan kepada narapidananya. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri juga mengalami perkembangan dalam memberikan pembinaan, karena hal tersebut merupakan aturan yang telah dibuat  Negara untuk lebih menghargai manusia.

Beberapa peran Negara dalam pembinaan narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang meliputi, pertama, peran Negara dalam  pemberian pendidikan, maksudnya adalah Peran Negara dalam hal ini adalah sebagai penyedia sarana dan prasarana atas terselenggaranya berbagai macam  pendidikan, pelatihan-pelatihan, dan diklat kepada petugas. Bentuk-bentuk Pendidikan yang ada Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang meliputi Pendidikan Umum, Pendidikan Jasmani, dan Pendidikan Rohani.

Kedua, pemberikan ketrampilan kepada warga binaan maksudnya adalah Peran Negara dalam hal ini adalah sebagai penyedia anggaran, sarana, prasarana,  perlengkapan, peralatan, dan semua kebutuhan yang di butuhkan guna menunjang

(18)

ketrampilan yang dipelajari di dalam Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang yaitu: keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha kecil, keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan minat dan bakat masingmasing narapidana, dan keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri, pertanian, dan perkebunan, dengan teknologi madya/tinggi.

Ketiga, peran regulasi. Peran negara dalam hal ini adalah sebagai perencana,  pembuat, pelaksana, dan yang melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang, kebijakan, dan aturan-aturan yang telah di buatnya dalam pemberian pembinaan kepada narapidana wanita, sehingga dapat terlaksana dengan baik dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran regulasi yang digunakan Negara dalam menjalankan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, meliputi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Keempat adalah peran negara sebagaiperan konsumsi. Maksud Peran Negara disini adalah sebagai pengguna anggaran yang telah diberikan oleh Negara untuk menjalankan roda organisasi. Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malangsangat tergantung dari anggaran yang diberikan oleh Negara dalam melakukan pembiayaan para aparaturnya, pemenuhan sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan, proses pembinaan, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Kelima adalah peran negara sebagai peran distribusi social. Peran Negara disini adalah sebagai pelaksana atau pengelola anggaran yang di gunakan dengan sebaikbaiknya untuk menjalankan roda organisasi dan pemberian pembinaan kepada narapidana wanita. Anggaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan semua kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang,

(19)

meliputi pembayaran gaji pegawai, gaji pegawai meliputi gaji pokok dan tunjangannya, pemenuhan sarana dan prasarana, yang dimaksud dengan sarana dan  prasarana disini adalah infrakstruktur, perlengkapan dan peralatan kantor,  petugas/pegawai, dan narapidana, kemudian transportasi, pemenuhan proses  pembinaan, yang dimaksud dengan pemenuhan proses pembinaan disini adalah  pemenuhan kelengkapan penunjang implementasi program pembinaan seperti:  peralatan dan perlengkapan pembinaan ketrampilan, pemasaran ketrampilan, dan mendatangkan para ahli-ahli untuk memberikan pelatihanpelatihan kepada narapidana maupun petugas, dan pemenuhan kebutuhan seharihari, seperti kebutuhan makan, minum, perawatan bangunan, keperluan wanita, keperluan  peribadatan, dan pemenuhan biaya operasional.

Menurut Montesquieu dalam Soehino (2008, h.117), Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang ataukekuasaan menjalankan  pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Montesquieu, Pemerintah adalah  badan eksekutif dalam suatu Negara yang mempunyai peran yang telah diberikan  Negara untuk mengelola, dan menjalankan fungsi dari Negara yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyatnya, sedangkan fungsi pemerintah sendiri adalah selain menjalankan peran Negara juga memberikan pelayanan dengan sebaik- baiknya kepada masyarakatnya. Hal ini bertujuan untuk menyejahterakan serta memakmurkan rakyatnya dimanapun berada, tidak terkecuali dengan masyarakat yang berada di dalam lembaga Pemasyarakatan.

Beberapa fungsi pemerintah yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, yaitu: Fungsi pengaturan yang ada di dalam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, meliputi pemberian aturan atau tata tertib kepada narapidana. Pemberian peraturan dan tata tertib ini bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang.

Kemudian fungsi pelayanan, pemerintah dalam memberikan pela yanan kepada masyarakatnya bertujuan untuk menyejahterakan serta memakmurkan rakyatnya dimanapun berada, tidak terkecuali dengan masyarakat yang berada di dalam lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemerintah sebagai fungsi pelayanan, maksudnya

(20)

kepada narapidana, seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga  binaan pemasyarakatan yang menyebutkan tahap pembinaan ada 3, yaitu : Tahap

awal, Tahap Lanjutan, dan Tahap Integrasi. Setiap tahapan inilah fungsi  pemerintah sebagai fungsi pelayanan diterapkan. Berikut ini merupakan pelayanan

yang diberikan pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang kepada narapidana, yaitu: a. Pelayanan Pendidikan,  b. Pelayanan Beragama, c. Pelayanan Ketrampilan, d. Pelayanan Makan, e. Pelayanan Administrasi,

f. Pelayanan Sarana dan Prasarana, g. Pelayanan kesehatan, dan

h. Pelayanan konseling.

Dan yang terakhir fungsi pemerintah sebagai fungsi pemberdayaan, fungsi  pemerintah sebagai fungsi pemberdayaan adalah pemerintah dalam hal ini pihak

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, dapat melakukan kerjasama dengan instansi lain dan memanfaatkan sumberdaya yang ada guna mendukung terlaksananya program pembinaan. Tujuan fungsi pemberdayaan ini adalah sebagai sarana untuk menunjang pemberian keterampilan dan pelatihan kepada penghuni Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang seperti: petugas dan narapidana.

Beberapa bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini  pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, dengan instansi  pemerintah terkait, Badan-badan Kemasyarakatan, maupun perorangan dalam

menunjang fungsi pemberdayaan, adalah sebagai berikut:

a. Dalam Pembinaan kesadaran beragama Pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Kemenag Kota/Kabupaten Malang, Yayasan Aisyah, Rohmatul Ummat, gereja-gereja seluruh Kabupaten/Kota Malang, Muhammadiyah, dan NU.

(21)

 b. Dalam Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Universitas – Universitas terkemuka yang ada di Malang dan juga kantor sospol di Malang.

c. Dalam Pembinaan Keintelektualan selain dari petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri yang memberikan pendidikan,  juga mengundang guru melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

KAB/Kota Malang.

d. Dalam Pembinaan Kesadaran Hukum selain dari petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri yang memberikan penyuluhan,  juga bekerja sama dengan Universitas terkemuka yang ada di Malang, Kejaksaan  Negeri, dan juga Kepolisian.

e. Dalam Pembinaan kemandirian pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang bekerjasama dengan Raisa Ang dalam pemasaran pernak pernik dan hasil dari menyulam, merajut, dan bordir.

f. Dalam pemberian Asimilasi pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang juga melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan Negeri dan Kementerian Hukum dan Ham melalui Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Keberadaan petugas atau pegawai Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan roda organisasi dan juga sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dalam menjalankan program pembinaan narapidana memiliki peran yang sangat besar, karena petugas/pegawailah yang langsung berhubungan dengan narapidana.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan petugas/pegawai Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang ini merupakan uraian dari tugas yang diberikan kepada setiap bagian dan seksi yang ada di Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang, dengan adanya pembagian tugas dan wewenang dalam setiap  pelaksanaannya akan membuat petugas/pegawai lebih fokus terhadap  job

description masing-masing, sehingga akan membuat roda organisasi dapat berjalan dengan baik, terencana, dan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM.

Peranan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam pembuatan program  pembinaan yang tepat dan sesuai dengan minat dan bakat dari narapidana sangatlah

(22)

 pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas : memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan, membuat penilaian atas pelaksanaan  program pembinaan dan pembimbingan, atau menerima keluhan dan pengaduan

dari Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pola pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sangat mengedepankan button up  dan juga top down approach seperti model implementasi yang di utarakan oleh Brian W, Hogwood dan Lewis A. Guun (1978,1986) dalam Wahab (2008, h.71). Model mereka seringkali disebut dengan “the top down approach” atau melakukan pembinaan dengan mendengar, mengamati, dan mendapatkan usulan dari petugas sendiri ataupun narapidana, maksudnya petugas Lembaga Pemasyarakatan tidak serta merta melakukan  pembinaan atau menjalankan program pembinaan kepada narapidana tanpa  persetujuan dari narapidana, tetapi mereka melakukan jaring aspirasi untuk mengetahui program pembinaan apa yang cocok dan mudah diterapkan kepada Warga binaan. Berikut ini merupakan Alur Pembuatan Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang:

Sumber : Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang

Peran Negara dalam implementasi program pembinaan yang ada di dalam Lembaga

Implementasi Program Pembinaan

Dikaji oleh Kepala Lembaga

Permasyarakatan, sudah sesuai dengan peraturan atau belum Sidang Tim

Pengamat

Permsyarakatan (TPP)

Usul dari warga binaan atau petugas lembaga

Evaluasi program pembinaan

(23)

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sangat besar, hampir disetiap sendi-sendi organisasi peran negara dapat dirasakan manfaatnya. Dengan peran Negara yang besar dampaknya secara otomatis tujuan dari Negara juga akan mudah untuk diraih, yaitu menyejahterakan masyarakatnya. Tetapi dalam kenyataanya tidak menutup kemungkinan adanya faktor-faktor yang mendukung ataupun adanya faktor-faktor yang menghambat dalam mencapai tujuan Negara tersebut.

Peran negara dalam implementasi program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang tersebut terdapat beberapa faktor yang menjadi pendukung dan penghambat. Faktor pendukung peran negara dalam implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah:

Pertama, adanya pelatihan-pelatihan bagi petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sehingga kinerja petugas/pegawai dapat lebih optimal. Kedua, adanya bantuan dari narapidana sendiri yang disebut dengan “Tamping” dalam proses pembinaan. Ketiga, adanya struktur organisasi sendiri dalam narapidana, seperti : Kepala Kamar, dan Kepala Blok.

Keempat, adanya dukungan dari pemerintah dalam proses pembinaan berupa diberikannya sertifikat bebas narkoba bagipetugas, pelatihan-pelatihan bagi  petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, diberikannya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 oleh Menteri Hukum dan Ham Indonesia Andi Matalatta. Dengan diperolehnya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 menjadikan pelayanan dan pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi lebih terstruktur dan transparan, maksudnya adalah narapidana bebas untuk mencari tahu pembinaan apa yang akan di jalankan dan juga narapidana lebih mengetahui tata cara dalam melakukan proses pengajuan  pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), dan Cuti Menjelang Bebas

(CMB).

Kelima, adanya kerja sama dengan instansi pemerintah yang lain, seperti : Kementerian Agama Kabupaten/Kota Malang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kab./Kota Malang, Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan Negeri, dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Dan adanya dukungan dari pihak swasta maupun lembaga keagamaan dalam proses pembinaan di dalam Lembaga

(24)

Keberhasilan peran negara dalam implementasi program pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, tidak terlepas dari upaya Petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri. Dengan di perolehnya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 membawa dampak yang  positif bagi kinerja petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA

Malang, sehingga perlakuan yang diberikan oleh petugas kepada narapidana yang  berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang juga ikut  berubah. Petugas/pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang memperlakukan narapidana selayaknya bukan di penjara, tetapi layaknya di asrama  putri maupun pondok pesantren, dalam hal pembagian kamar hingga perlakuan terhadap narapidana di buat semanusiawi mungkin oleh petugas/pegawai. Kemudian dalam hal pembagian makanan, narapidana tidak perlu mengantri untuk mendapatkan makanan, tetapi petugas di bantu dengan narapidana yang disebut dengan “Tamping” yang mempersiapkannya di ruang makan, hal ini merupakan contoh kecil dari pelayanan dan pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang. Berikut ini merupakan indikator-indikator Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang dalam memperoleh ISO 9001:2000  pada tahun 2008 adalah:

a. Berjalannya Model proses Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang,

 b. Ketersediaannya sarana dan prasarana penunjang pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang,

c. Melakukan pelatihan-pelatihan ± 4 kali dalam 1 tahun,

d. Adanya kerja sama dengan pihak ketiga (Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan Negeri, Kementerian Hukum dan Ham melalui Balai Pemasyarakatan (BAPAS), dan instansi pemerintah/swasta),

e. Adanya Premi (upah hasil kerja),

f. Standart bahan baku yang harus ada dan sesuai dengan kebutuhan,

g. Adanya target dalam pembebasan bersyarat (PB) dan cuti menjelang bebas, h. Menerapkan dengan baik Surat Edaran,

i. Standart makan yang memenuhi Gizi,  j. Chek list untuk daftar narapidana.

Dalam melaksanakan implementasi program pembinaan kepada narapidana wanita Petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang

(25)

sangat mengedepankan sistem kekeluargaan maksudnya adalah petugas/pegawai memperlakukan narapidana wanita sebagai keluarga meskipun masih ada  batasanbatasan antara petugas dengan narapidana, hal ini dilakukan karena sangat membantu narapidana dalam menjalankan program pembinaan dan segala bentuk kegiatan yang diberikan oleh petugas.

Metode yang dipakai oleh petugas/pegawai dalam implementasi program  pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah dengan cara memberikan motivasi-motivasi kepada narapidana agar narapidana merasa sedang tidak menjalani hukuman melainkan sedang belajar untuk disiplin. Petugas/pegawai memberikan motivasi ketika narapidana mengalami masalah maupun kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, sehingga narapidana tidak bosan atau  jenuh dalam menjalani masa hukumannya.

Selain adanya faktor yang mendukung Peran Negara dalam implementasi  program pembinaan narapidana wanita, di Lembaga Pemasyarakatan manapun juga menghadapi permasalahan ataupun hambatan, hal ini tidak terlepas karena  perkembangan zaman semakin pesat dan mengharuskan setiap manusia untuk mengikutinya. Program pembinaan narapidana yang dilakukan di Lembaga  pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang sebenarnya sudah berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai peraturan  pelaksananya, namun dalam pelaksanaannya kurang berjalan dengan optimal karena adanya akibat over capacity  atau kelebihan penghuni, kurangnya sarana  prasarana, dan kekurangan petugas/pegawai, maka pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi tidak efektif sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Berikut ini beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat peran negara dalam implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah:

a. Masih kurang lengkapnya Sarana dan Prasarana,  b. Kurangnya jumlah petugas/pegawai,

c. Kurangnya keberagaman dari program pembinaan, d. Minimnya Anggaran Lembaga Pemasyarakatan,

(26)

Dengan masih adanya permasalahan yang di hadapi oleh petugas/pegawai lembaga  pemasyarakatan akan membuat implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi terhambat dan akan membuat pelaksanaannya menjadi kurang berjalan dengan efektif.

2.1.7 Pelayanan kesehatan

Kondisi kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) Indonesia sejak tahun 2000-an telah terbawa ke suatu titik yang memprihatinkan. Ledakan epidemi HIV di kalangan pengguna napza suntik di Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya turut pula masuk ke dalam rutan dan lapas-lapas karena intensifikasi penegakan hukum kasus-kasus narkoba sejak direvisinya kebijakan napza di tanah air pada tahun 1997. Keprihatinan ini mengundang perhatian berbagai pihak termasuk pemerintah untuk merespon situasi yang telah menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan di dalamnya.

Departemen Hukum dan HAM RI sendiri sebagai sektor yang langsung mengelola sistem pemasyarakatan, melalui Ditjen Pemasyarakatannya pada tahun 2005 telah merumuskan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba  pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009. Dokumen tersebut kemudian menjadi refleksi akan perlindungan seluruh warga negara, termasuk penghuni lapas dan rutan, akan layanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia.

Pemerintah sebagai aparatur negara memiliki unit-unit kerja berdasarkan sektor  baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi lintas sektor dibutuhkan untuk memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah melalui tugas-tugas  pokok dan fungsinya, termasuk produk-produk kebijakannya. Perkembangan situasi di Indonesia, khususnya dalam merespon berbagai permasalahan, turut pula menimbulkan perkembangan sistem pemerintahan termasuk bertambahnya lembaga atau institusi negara yang memiliki tugas khusus terhadap permasalahan spesifik. Walaupun demikian, layanan publik sebagai wujud dari perlindungan HAM harus tetap menjadi perhatian utama untuk dapat meningkatkan kualitas hidup warga negara Indonesia termasuk penghuni lapas dan rutannya. Ketersediaan

(27)

dan peningkatan mutu layanan tersebut, selain harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat (publik), juga hanya akan terjadi ketika unit-unit kerja pemerintah sebagai yang berkewajiban menyediakan layanan dapat berkoordinasi untuk mencapai cita-cita tersebut.

a. Instansi Vertikal Bidang Pemasyarakatan

Lapas dan rutan merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kebijakan dan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, UPT mendapatkan dukungan baik berupa bimbingan teknis maupun pendanaan dari APBN (pusat). Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan UPT sesuai dengan kebutuhan bidang tugasnya masing-mas ing (bagian-bagian). Bimbingan teknis pemasyarakatan kepada lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang bersangkutan. Secara umum, lapas dan rutan memilki peran utama pelayanan atau pelaksanaan teknis di bidang pemasyarakatan. Kantor wilayah adalah instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM RI  berkedudukan di provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan HAM RI. Terdapat Divisi Pemasyarakatan untuk membawahi  bidang pemasyarakatan. Divisi ini melaksanakan sebagian tugas kantor wilayah di  bidang pemasyarkatan berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarkatan. Instansi ini juga menyusun rencana kegiatan dan anggaran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Peran utama instansi di tingkat kantor wilayah ini adalah supervisi pelaksanaan teknis dan koordinasi di bidang  pemasyarakatan.

Departemen Hukum dan HAM merupakan instansi pusat yang menaungi bidang  pemasyarakatan. Bidang ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

yang peran utamanya adalah perumusan kebijakan untuk bidang-bidang kerja di lingkup direktorat jenderal termasuk bimbingan teknis dan evaluasi.

Masing-masing instansi yang telah diuraikan di atas bertanggung jawab dalam menyusun dan melaksanakan rencana kerja masing-masing sesuai dengan peran

(28)

di atasnya (vertikal). Secara hukum, instansi ini merupakan instansi dengan domain ‘pemasyarakatan’ mulai dari perumusan kebijakan, pengawasan, hingga  pelaksanaan teknis. Jika menyinggung masalah pela yanan kesehatan, maka domain tersebut berada pada departemen lain dimana saat ini telah didesentralisasi  –  otonomi daerah.

b. Desentralisasi Bidang Kesehatan

Secara umun peran instansi-instansi untuk bidang kesehatan tidak jauh berbeda dengan instansi vertikal, yaitu terdapat perumusan kebijakan, pengawasan, dan  pelayanan/pelaksanaan teknis. Namun yang menjadi perbedaan adalah tiap

tingkatan daerah memiliki kebijakan masing-masing di bidang tersebut, dan untuk  pelaksanaan teknis paling banyak dilakukan di tingkat kota/kabupaten. Kebijakan, yang berkonsekuensi pada anggaran, bidang ini mau tidak mau mengikuti kebijakan dan arah pembangunan pemerintah kota/kabupaten secara umum. Upaya  penanggulangan penyakit bisa saja tidak seragam antara daerah satu dengan yang

lainnya. Sebagai contoh, terdapat perencanaan dan anggaran untuk pemberantasan muntaber di daerah A, namun tidak di daerah B. Namun jika terdapat wabah muntaber di daerah B, maka pemerintah pusat atau provinsi dapat membantu  pemerintah kota/kabupaten tersebut.

c. Memadukan Instansi Vertikal dalam Desentralisasi Kesehatan

Untuk menjawab masalah-masalah kesehatan di lapas dan rutan yang  berkedudukan di wilayah suatu kabupaten atau kota, maka pemaduan kedua jenis instansi dan bidang perlu dilakukan. Hal ini bukan hanya untuk perencanaan dan kebijakan, namun juga bimbingan teknis, pengawasan, dan evaluasi pelayanan. Lapas dan rutan memiliki klinik kesehatan, namun klinik ini tentunya tidak dapat  berfungsi sebagaimana layaknya puskesmas atau rumah sakit dengan fasilitas dan

anggaran operasionalnya. Karena lapas dan rutan berada di wilayah kabupaten atau kota, dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM berada di tingkat provinsi, maka kepala UPT pemasyarakatan diharapkan berperan untuk mengkoordinasikan  pelayanan kesehatan dengan pemerintah kota/kabupaten. Lapas dan rutan bersama dinas kesehatan dan jajarannya diharapkan dapat menjalin hubungan kerja sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka anggaran,

(29)

 perencanaan, dan pembinaan teknis upaya-upaya pelayanan kesehatan di lapas dan rutan dapat terlaksana dan berkesinambungan.

Di tingkat kantor wilayah atau provinsi juga diharapkan terjadi perpaduan tersebut. Sesuai dengan peran utamanya, divisi pemasyarakatan kanwil melakukan koordinasi dan bimbingan teknis pelayanan kesehatan melalui kerja sama dengan dinas kesehatan provinsi beserta jajarannya. Dengan kata lain, untuk ‘bidang  pemasyarakatan’ tiap-tiap tingkatan instansi bekerja secara vertikal, namun untuk ‘bidang layanan kesehatan’ bekerja secara horizontal. Sehingga apa yang tertulis dalam paragraf penutup Ringkasan Eksekutif Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan  Negara di Indonesia 2005-2009, Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan

HAM RI dan yang menjadi kewajiban negara ini dapat terwujud sebagaimana tertulis di bawah ini:

“Selanjutnya, narapidana/tahanan yang menderita sakit mendapatkan hak  pelayanan kesehatan serta dapat mengikuti kegiatan baik di bidang bimbingan

hukum maupun bidang pelayanan sosial di lapas/rutan.” 2.1.8 Peran Perawat

Peran perawat kesehatan kelompok binaan di lembaga permasyarakatan meliputi beberapa aspek yaitu :

1. Pemberi asuhan keperawatan ( care provider )

Peran perawat pelaksana (care provider) bertugas untuk memberikan pelayanan  berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada klien (individu, keluarga, maupun komunitas) sesuai dengan kewenangannya. Asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan, sehingga masalah yang muncul dapat ditentukan diagnosis keperawatannya, perencanaannya, dan dilakukan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan yang dialaminya, kemudian dapat dievaluasi tingkat  perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui hal yang

(30)

Apabila penghuni lapas terserang penyakit segera melakukan perawatan dengan tata cara penghuni lapas melakukan pendaftaran, pemanggilan tahanan, melakukan anamnesis dan pemeriksaan, terakhir pengambilan obat.

2. Peran sebagai penemu kasus

Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan berperan dalam mendeteksi serta dalam menemukan kasus serta melakukan penelusuran terjadinya penyakit yang menyerang para penghuni lapas.

3. Peran sebagai pendidik kesehatan ( Health Educator )

Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan harus memberikan pendidikan kepada para penghuni lapas. Pendidikan kesehatan ini  bertujuan untuk mengurangi angka sakit antar penghuni lapas.

4. Peran sebagai kolaborator

Perawat melakukan koordinasi terhadap semua pelayanan kesehatan serta  bekerjasama (kolaborasi) dengan tenaga kesehatan lain dalam perencanaan  pelayanan kesehatan serta sebagai penghubung dengan institusi pelayanan kesehatan dan sektor terkait lainnya. Misalnya apabila terdapat penghuni lapas yang sakit maka terlebih dahulu dibawa ke klinik yang ada di lapas dan apabila saran dan prasarana di klinik tidak memadai maka penghuni lapas dapat dibawa ke rumah sakit di luar lapas.

5. Peran sebagai konselor

Perawat sebagai konselor melakukan konseling keperawatan sebagai usaha memecahkan masalah secara efektif. Kegiatan yang dapat dilakukan perawat antara lain menyediakan informasi, mendengar secara objektif, memberi dukungan, memberi asuhan dan meyakinkan klien, menolong klien mengidentifikasi masalah dan faktor - faktor terkait, memandu klien menggali  permasalahan, dan memilih pemecahan masalah yang dikerjakan. Dengan adanya konseling maka muncul pendekatan baik secara psikologis dan fisik bisa dilakukan dengan bimbingan lapas maupun kepala lapas.

(31)

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

a. Pengkajian

1. Pengkajian Sosial a. Umur

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja  berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti  bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan

usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.

Dalam institusicorrectional  juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

 b. Fisik

Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja  berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti  bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan

(32)

Dalam institusicorrectional  juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

c. Genetik

Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam correctional  setting adalah jenis kelamin dan etnisitas.

Jenis kelamin

Secara umum fasilitas dalam institisi correctional terpisah antara pria dan wanita. Sehingga perawat yang bekerja dengan tahanan pria tidak bekerja seperti tahanan wanita .Namun apapun gender, perawat mungkin menemukan masalah yang unik dalam kelompok baik pria maupun wanita. Tahanan wanita mengalami masalah kesehatan yang berbeda karena jumlah mereka kecil.

Etnisitas

Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam populasi penjara. Anggota kelompok minoritas mempunyai status kesehatan yang rendah dan memiliki resiko terkena penyakitmenular selama dipenjara. Perawat perlu mengkaji kelompok minoritas ini untuk mengetahui masalah utama yang terjadi pada kelompok ini. 2. Pengkajian Epidemiologi

Perawat dalamcorrectional setting perlu mengkaji klien secara individu untuk mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan meliputi penyakit menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan.

Penyakit menular meliputi TBC, HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual lain.

(33)

Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat penyakit agar pasien yang terinfeksi dapat diisolasi.

B. HIV AIDS

Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi dan riwayat atau gejala infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada semua tahanan.

C. Hepatitis B dan penyakit seksual lain

Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual dan hepatitis B serta waspada adanyatanda fisik dan gejala penyakit ini.

D. Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain : diabetes, penyakit jantung, dan  paru serta kejang.

Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus mengkaji adanya penyakit / kondisi kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan tingkat kejadian yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja.

E. Cedera

Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus dikaji oleh perawat. Cedera mungkin diakibatkan karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau kecelakaan yang terjadi selama di tahanan. Perawat harus memperhatikan potensial terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda –  tanda trauma.

F. Kehamilan

3. Pengkajian Perilaku dan lingkungan

Faktor –  faktor yang mempengaruhi kesehatan di correctional setting  meliputi diet,  penyalahgunaan obat, merokok, kesempatan berolahraga / rekreasi , serta  penggunaan kondom di lingkungan correctional setting 

Gambar

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa
Tabel  2  Distribusi  Frekuensi  Pendidikan  di  Lembaga  Permasyarakatan  Klas  IIA Ambarawa
Tabel  4  Distribusi  Frekuensi  Personal  Hygiene  dan  kebiasaan  Merokok Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa
Tabel  5  Distribusi  Frekuensi  Masalah  Kesehatan  Responden  di  Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

FMEA ( Failure Mode And Effect Analysis) adalah Metode kualitatif dalam analisa keandalan yang banyak digunakan untuk mendukung upaya-upaya perbaikan desain, keselamatan, dukungan

"Pegawai melaksanakan tugas berdasarkan tugas pokok dan fungsi, dan pegawai dalam melaksanakan kegiatan yang menjadi wewenangnya harus disertai dengan dukungan sarana dan

Faktor lain yang berpotensi cukup tinggi untuk terjadinya medication error dan sering dijumpai adalah racikan pada resep yang berisi tiga kombinasi jenis obat dan adanya obat

Manajeman Kearsipan untuk Lembaga Negara, Swasta, dan Perguruan Tinggi.. Jakarta: PT

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang, untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih

Sedangkan hasil penelitian terhadap faktor kesejahteraan terhadap produktivitas buruh pada proyek konstruksi adalah, (1) perusahaan telah memahami kemampuan

Metode optimasi yang digunakan adalah Simplex Lattice Design yang bertujuan untuk menentukan konsentrasi PGA dan sukrosa yang tepat dan diperoleh sifat fisik sirup yang

Sedangkan sistem drainase adalah serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/ atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan