• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Gambaran Umum Subyek Penelitian

4.1.1 SDN 6 Bukit Tunggal

SDN 6 Bukit Tunggal merupakan sekolah negeri yang pada awalnya berdiri pada tahun 1995. Pada tahun 1995-2002, sekolah ini diberi nama SDN Palangka 31. Kemudian pada tahun 2002-2006 nama sekolah ini berubah nama menjadi SDN Bukit Tunggal 6 dan pada tahun 2006 hingga sekarang sekolah ini berubah menjadi SDN 6 Bukit Tunggal.

Sekolah ini memiliki 18 rombongan belajar (rombel) dan 14 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah

mulai menggunakan kurikulum 2013. Adapun

ketenagaan di sekolah ini terdiri dari satu 1 orang kepala sekolah, 19 orang guru kelas, 9 orang guru bidang studi, 2 orang staf tata usaha, 1 orang penjaga sekolah, 1 orang petugas kebersihan, dan 1 orang satpam. Kualifikasi pendidikan dari para pegawai meliputi 18 orang berpendidikan S1, 7 orang berpendidikan D2, 5 orang berpendidikan SPG, dan 4 orang lulusan SMA.

Jumlah peserta didik di sekolah ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Saat ini jumlah peserta didik di SDN 6 Bukit Tunggal Palangka Raya adalah 518 orang. Sekolah ini

(2)

32

statistik 10.1.14.60.02.031 dan telah terakreditasi A. Sekolah ini terletak di Jl. Sapan III, Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Visinya adalah unggul dalam prestasi dan peduli terhadap lingkungan, siap menghadapi era globalisasi, berbudi pekerti luhur, berakhlak mulia, serta

berwawasan lingkungan. Misinya adalah

menumbuhkan semangat belajar secara intensif dan menyeluruh, meningkatkan kompetensi guru dan pegawai di bidang pendidikan dan teknologi serta lingkungan hidup, dan terciptanya lingkungan sekolah

yang bersih, sehat, indah, nyaman, aman,

kekeluargaan, dan menyenangkan. Tujuan sekolah ini adalah menjadikan peserta didik berprestasi, beriman, jujur, terampil, berpengetahuan yang luas sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

4.1.2 SMPN 3 Palangka Raya

SMPN 3 Palangka Raya merupakan sekolah negeri yang terletak di Jl. Kutilang Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sekolah ini menempati area seluas 27.014 m2 dan memiliki nomor statistik 20.1.14.60.03.003 dan pada tahun 2009 mendapatkan akreditasi A. Pada tahun ajaran 2013/2014, sekolah ini memiliki 26 rombel dan 26 ruang kelas. Saat ini sekolah sudah mulai menggunakan kurikulum 2013.

(3)

33 Adapun pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah ini terdiri dari 1 orang kepala sekolah, 4 orang wakil kepala sekolah, dan 75 orang gabungan dari guru tetap maupun tidak tetap/guru bantu dan staf TU. Kualifikasi pendidikan dari para pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah ini terdiri dari 67 guru tetap/PNS dan 2 guru tidak tetap/guru bantu yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan D4/S1/S2/S3. Sementara, guru tetap/PNS yang telah menyelesaikan maksimal pada tingkat D4/S1 ada 6 orang.

Visinya adalah berprestasi, bertaqwa dan

berbudaya berbasis ICT menuju Sekolah Berstandar

Internasional. Misinya adalah Mewujudkan

pelaksanaan pendidikan, pengajaran, pelatihan, dengan KTSP yang didukung oleh fasilitas berbasis ICT, tenaga pendidik dan kependidikan yang kompeten dalam lingkungan sekolah yang aman, nyaman berakhlak mulia, menuju perubahan-perubahan lebih bermutu menuju sekolah yang kompetitif.

4.1.3 SMAN 4 Palangka Raya

Visinya adalah cerdas spiritual, cerdas sosial, cerdas terampil, cerdas intelektual, dan berbasis saintifik, budaya dan lingkungan. Misinya adalah melaksanakan, mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dan bersikap toleran; mewujudkan rasa kebersamaan tanpa diskriminatif; mengembangkan kreativitas warga sekolah dalam berbagai bidang; menciptakan insan berprestasi dan budaya lokal dan

(4)

34

cinta lingkungan; dan menanamkan nilai-nilai kearifan budaya lokal dan cinta lingkungan.

4.3

Hasil Penelitian

Mengacu pada rumusan penelitian tentang bagaimana evaluasi context, input, process dan product

dari penyelenggaraan program pendidikan inklusif di Kota Palangka Raya, hasil pengumpulan data akan digolongkan sesuai dengan komponen evaluasi tersebut. Dengan demikian, penggolongan tersebut memudahkan dalam melakukan pembahasan dan penarikan kesimpulan.

4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal

4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal

SDN 6 Bukit Tunggal sudah mulai menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus atau kelainan sebelum pemberlakuan Perwali dan pencanangan Kota Pendidikan Inklusif. Dengan melihat beberapa peserta didik yang memiliki kelainan dalam taraf ringan dan berdomisili di dekat sekolah tersebut, sekolah berinisiatif untuk melayani dan menerima ABK. Jadi, sekolah ini sudah menjalani program pendidikan inklusif sejak beberapa tahun sebelumnya sampai pada akhirnya Disdikpora mencanangkan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif dimana secara serentak semua sekolah diwajibkan menjalankan

(5)

35 program pendidikan inklusif. Hal ini disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Sebelum adanya Perwali dan surat pemberitahuan dari Dinas kota, sekolah ini sudah menerima ABK karena banyak peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus/kelainan. Selain itu juga, ada begitu banyak ABK yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah ini sehingga permohonan dan permintaan dari para orang tua agar anaknya bisa diterima di sekolah ini pun menjadi salah satu alasan.

Program pendidikan inklusif ini memiliki sasaran yaitu peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus atau kelainan ringan atau tidak berat. Pada tahun ajaran 2014/2015 jumlah ABK di sekolah ini ada 43 anak yang terdata dan memiliki jenis kelainan slow learner. Mengingat keterbatasan sekolah dalam banyak hal maka jenis kelainan pada ABK yang bisa diterima di sekolah adalah hanya sebatas kelainan kelas ringan. Apabila ada ABK yang memiliki kelainan atau kecacatan cukup berat maka pihak sekolah akan mengajukan kepada orang tua ABK tersebut untuk menyekolahkan anak ini di sekolah lain atau SLB yang lebih mampu dan bersedia melayani anak tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Sumber peserta didik dari program ini sudah tentu adalah siswa yang memiliki kebutuhan khusus ringan atau tidak berat. Hal ini disebabkan karena kemampuan sekolah juga yang masih terbatas. Jadi apabila ada anak yang parah dan sekolah tidak mampu melayaninya maka kami akan konsultasikan kembali kepada orang tua dan mengusulkan untuk menyekolahkan anak tersebut ke SLB saja.

(6)

36

Berdasarkan pernyataan kepala sekolah dalam wawancara di atas perihal keterbatasan dalam melayani ABK, maka manfaat yang diterima sekolah dari penyelenggaraan program ini juga tidak nampak signifikan. Sekolah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat luas atas keterbukaan dalam melayani peserta didik dengan jenis/karakteristik kebutuhan khusus/kelainan ringan walau pelayanan yang diberikan belum maksimal. Walau demikian, seiring berjalannya waktu sekolah tetap berupaya melayani ABK demi menjaga kepercayaan orang tua dan siswa sebagai pelanggan.

4.2.3.2 Evaluasi Input Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal

Sejak awal sekolah ini mulai menerima ABK, sekolah hanya mengandalkan sarana prasarana seadanya dalam kegiatan pelayanan ABK di sekolah. Dalam hal ini, sarpras yang digunakan untuk melayani ABK adalah sarpras yang pada umumnya juga diberikan atau disediakan untuk siswa reguler. Nara

sumber yakni walikelas menyampaikan bahwa “sarpras

masih umum sama seperti yang digunakan atau disediakan sekolah untuk siswa reguler. Sekolah belum mendapatkan bantuan sarpras khusus demi menunjang kebutuhan khusus ABK”.

Dari pernyataan dalam wawancara di atas, keterbatasan sekolah nampak dari ketersediaan sarpras yang masih minim dan belum memadai.

(7)

37 Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif, bantuan sarpras dari Dinas terkait juga belum ada. Oleh karena itu, sekolah belum optimal dan maksimal dalam memberikan pelayanan bagi ABK. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Hingga saat ini, sekolah belum mendapatkan bantuan sarana maupun prasarana khusus bagi pelayanan ABK. Sarana prasarana yang ada di sekolah ini masih umum sehingga kami hanya memanfaatkan seadanya dan secara merata saja.

Pelaksanaan program pendidikan inklusif di sekolah ini melibatkan semua pihak sekolah. Pihak sekolah yang terlibat di dalamnya meliputi baik kepsek, komite, pengawas sekolah, wakasek, walikelas, dan guru mapel. Sementara, keterlibatan langsung dari tenaga ahli, psikolog, dan GPK dari SLB, PK-PLK maupun Dinas terkait belum ada sama sekali dari awal sekolah ini menerima ABK hingga saat ini setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif. Hal tersebut disampaikan oleh kepala sekolah dan wali kelas SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Sampai saat ini belum ada keterlibatan dari psikolog, GPK, atau tenaga profesional dalam rangka pelaksanaan program tersebut di sekolah ini; Sejauh ini, pakar, tenaga profesional atau GPK dari SLB langsung yang disediakan/diberikan dari Dinas setempat untuk datang kemari, tidak ada dan belum pernah terlibat dan membantu kami di sini.

Dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal, sumber dana khusus untuk melayani dan membantu ABK belum ada diberikan dari Dinas terkait. Sejauh ini, sekolah

(8)

38

mengambil dan menggunakan dana BOS untuk

memenuhi kebutuhan dan pelayanan ABK. “Kami

menggunakan dan memanfaatkan dana BOS untuk membantu ABK dalam rangka pembiayaan program tersebut di sekolah ini. Hal ini mengingat bahwa belum ada bantuan dana khusus bagi ABK”, ucap Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara.

Selain sumber dana yang berasal dari BOS karena mengingat belum ada bantuan dana khusus bagi ABK, bantuan SDM dalam bentuk guru pembimbing khusus (GPK) tidak ada. Selama ini, sekolah hanya menggunakan dan memanfaatkan semua guru yang ada untuk terlibat dalam mengajar dan melayani ABK baik di kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian, guru mengajar dan melayani ABK sesuai dengan kondisi kemampuan guru yang sebenarnya masih terbatas. Hal tersebut disampaikan oleh kepala sekolah dan wali kelas SDN 6 Bukit Tunggal sebgai berikut:

Sekolah ini belum memiliki atau tidak pernah mendapatkan bantuan berupa GPK. Jadi selama ini, ABK hanya ditangani langsung oleh wali kelas dan guru mapel saja dengan keterbatasan para guru juga; Sekolah ini belum pernah memiliki atau mendapatkan bantuan GPK langsung. Sekolah hanya mengatasi dan menangani ABK dengan seadanya saja, sesuai dengan porsi dan kemampuan dari tiap guru di sini.

Mengingat tidak ada bantuan khusus dalam bentuk GPK, maka ABK ditangani dan dibimbing langsung oleh guru kelas dan wali kelas di dalam maupun di luar kelas. Guru-guru di SDN 6 Bukit Tunggal belum pernah terlibat dalam pelatihan khusus

(9)

39 penanganan ABK maupun pelaksanaan program pendidikan inklusif. Pernyataan ini dirangkum dari hasil wawancara bersama kepala sekolah, wali kelas, dan guru kelas SDN 6 Bukit Tunggal dimana pada intinya ketidakmaksimalan dan ketidakoptimalan pelayanan yang diberikan sekolah ini bagi ABK disebabkan oleh keterbatasan guru dalam hal kemampuan atau kompetensi sebagai akibat dari tidak ada pelibatan atau pembekalan dalam pelatihan khusus dari Dinas terkait untuk guru-guru.

4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal

Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif, Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan

surat permohonan dan pemberitahuan perihal

monitoring dan evaluasi (monev) sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Surat ini ditujukan kepada seluruh kepala sekolah dari tingkat satuan pendidikan TK/RA, SD/MI, SMPMTs, dan SMA/MA baik berstatus negeri maupun swasta di Palangka Raya. Dengan demikian, SDN 6 Bukit Tunggal juga mendapat surat pemberitahuan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Monev terakhir hanya disampaikan melalui surat permohonan dan pemberitahuan dari Kasi. SLB Disdikpora pada bulan Nopember 2014 agar setiap sekolah segera mengidentifikasi tiap peserta didik yang memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format dan segera melaporkan ke Dinas tersebut untuk segera ditindaklanjuti.

(10)

40

Selain kegiatan monev yang dilakukan Dinas terkait, kompetensi guru kelas dalam hal menyusun perencanaan pengajaran seperti RPP dan materi ajar khusus bagi ABK di kelas tetap sama dan umum. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan atau kekhususan dalam modifikasi kurikulum, penyusunan RPP dan bahan ajar bagi ABK. Hal ini disebabkan karena keseluruhan isi pembelajaran baik materi, kurikulum dan sebagainya yang diberikan bagi ABK tetap sama halnya dengan yang diberikan kepada siswa reguler. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Dalam membuat RPP, saya tidak menyusun atau memasukkan topik/materi khusus bagi ABK. Kami di sini masih menggunakan KTSP dan pemberlakuan kurikulum ini tetap sama baik untuk siswa reguler pada umumnya maupun ABK secara khusus. Jadi tidak ada modifikasi kurikulum bagi ABK.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dalam proses belajar mengajar di kelas, guru juga cenderung memperlakukan ABK sama halnya dengan siswa reguler pada umumnya. Jadi, tidak ada pembedaan perlakuan antara ABK dan siswa reguler yang dilakukan atau diberikan guru di dalam kelas. Namun, ada kalanya perlakuan khusus diberikan secara individual dalam hal pembimbingan. Nara sumber yaitu guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal menyatakan bahwa

“saya memberikan bimbingan dan perhatian khusus kepada ABK, misalnya saya mendekati mereka dan kemudian membimbing secara khusus dibanding teman-temannya yang lain.”

(11)

41 Sama halnya dengan pernyataan nara sumber di atas dalam wawancara, pengajaran dan pembimbingan yang diberikan wali kelas terhadap ABK di dalam maupun luar kelas juga sama dan serupa dengan cara yang diberikan oleh guru kelas pada umumnya. Dalam hal materi ajar dan RPP yang diberikan pada ABK masih sama seperti yang diberikan pada siswa reguler. Namun, guru terkadang memberikan perlakuan atau bimbingan khusus secara intensif dan individual kepada ABK. Hal ini disampaikan oleh salah seorang wali kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Dari segi pendampingan, saya tidak menyusun perencanaan khusus seperti lembar kerja begitu. Pendampingan dilakukan secara umum dan reguler saja; Ketika mengajar di kelas, saya akan mengajar secara umum dulu. Kadang saya mendekati ABK tersebut dan berusaha menjelaskan berkali-kali dengan cara yang lebih mudah. Kemudian saat pemberian soal latihan, saya memberikan soal latihan yang lebih mudah dibanding dari siswa reguler lainnya.

SDN 6 Bukit Tunggal memiliki kegiatan

ekstrakurikuler yang diperuntukkan bagi semua siswa. Berdasarkan hasil wawancara bersama kepala sekolah, wali kelas, dan guru kelas di SDN Bukit Tunggal 6, kegiatan ekstrakurikuler ditujukan untuk semua siswa termasuk ABK. Hingga saat ini, banyak ABK yang ikut serta dalam kegiatan tersebut yang berlangsung di luar jam sekolah. ABK memilih kegiatan ekstrakurikuler sesuai kemampuannya masing-masing. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

(12)

42

Kegiatan ekstrakurikuler diberikan dan boleh diikuti oleh semua siswa tergantung minat dan ketertarikan mereka masing-masing. Ada beberapa ABK yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan kemampuan dan hobi mereka.

Mengingat sarana prasarana khusus yang ada di SDN 6 Bukit Tunggal untuk melayani ABK tidak ada sehingga sekolah menggunakan sarpras umum maka manfaat sarpras umum tersebut bagi ABK dan guru cukup signifikan. Sarpras umum yang digunakan juga masih terbatas karena sarpras tersebut diperuntukkan bagi semua siswa, baik ABK maupun siswa reguler. Sekolah belum pernah mendapatkan bantuan sarpras khusus bagi ABK dari Dinas terkait. Hal ini disampaikan oleh salah seorang wali kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Berhubung sekolah tidak memiliki atau mendapat bantuan sarpras khusus bagi ABK sehingga sekolah menggunakan sarpras umum yang juga pada umumnya dipakai oleh siswa umum maka sarpras tersebut cukup bermanfaat. Walaupun manfaat ini tidak begitu signifikan terhadap sejauh mana manfaatnya bagi ABK dan saya sebagai pengajar.

Berdasarkan fakta keterbatasan sarpras yang dijelaskan nara sumber dalam wawancara di atas, guru berinisiatif untuk membuat alat peraga sebagai pelengkap dalam mengajar ABK dan siswa reguler di kelas. Alat peraga ini juga melengkapi kekurangan dari sarpras, sebagai media belajar yang disediakan sekolah seperti buku penunjang, buku paket, dan sebagian alat peraga. Dari alat peraga yang tersedia ini pun guru ternyata masih belum bisa mendapatkan manfaat yang signifikan. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal sebagai berikut:

(13)

43

Namun guru juga terkadang membuat alat peraga khusus untuk menunjang pelajaran termasuk buat ABK. Jadi guru belum sepenuhnya mendapatkan manfaat dari penggunaan sarpras yang sudah ada ini untuk mengajar ABK terkait dengan beberapa sarpras yang belum terpenuhi atau belum lengkap.

SDN 6 Bukit Tunggal sebagai salah satu sekolah di kota Palangka Raya yang melaksanakan program pendidikan inklusif masih menemukan dan menjumpai beberapa kendala yang menyebabkan sekolah ini belum maksimal dan optimal dalam menjalankan program. Kendala yang dijumpai di antaranya adalah tidak adanya ketersediaan SDM yaitu GPK dalam menangani

ABK, tidak adanya pelatihan khusus untuk

meningkatkan kompetensi guru, dan tidak ada bantuan sarpras khusus bagi ABK. Hal ini disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Sekolah belum mempunyai atau mendapatkan bantuan GPK yang khusus menangani anak. Kemampuan guru di sini terbatas karena tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus. Kedua, sarpras khusus bagi ABK juga belum ada sehingga kami hanya menggunakan dan memanfaatkan penggunaan sarpras yang seadanya dan yang umum dipakai oleh siswa reguler pada umumnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang wali kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

GPK atau tenaga khusus yang belum ada untuk membantu penanganan ABK. Kedua, sarpras masih minim karena belum ada bantuan dari Dinas terkait pelayanan bagi ABK. Ketiga, kemampuan dan pengetahuan guru masih terbatas.

(14)

44

Hal senada juga ditambahkan oleh salah seorang guru kelas di SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Kendalanya adalah alat peraga yang masih kurang untuk media belajar ABK di kelas, jadi perlu ditambah dan dimaksimalkan. Kemudian, GPK belum ada sehingga guru-guru yang ada di sini hanya membantu seadanya saja. Hal ini terkait dengan pelatihan yang belum pernah diperoleh oleh guru-guru di sini juga.

Dari kendala-kendala di atas, pihak sekolah yang diwakili oleh kepala sekolah, wali kelas dan guru kelas dalam wawancara berharap agar kendala tersebut segera teratasi dan Dinas terkait bisa melakukan perbaikan dan pembenahan terhadap kendala yang dihadapi SDN 6 Bukit Tunggal. Hal ini disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Harapan saya adalah ada bantuan dan solusi dari kendala yang saya jelaskan di atas tadi. Maka nantinya, sekolah bisa memaksimalkan pelayanannya kepada ABK dan pelaksanaan program tersebut bisa berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.

SDN 6 Bukit Tunggal berupaya menjalankan tanggung jawab sebagai penyelenggara program pendidikan inklusif yang seharusnya diimbangi dengan dukungan oleh Dinas terkait. Dengan demikian, sekolah ini nantinya bisa melaksanakan program pendidikan inklusif dengan baik dan maksimal atas dukungan materiil maupun non materiil dari Dinas terkait.

(15)

45

4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal

Produk dari program pendidikan inklusif ini adalah dampak penerapan program tersebut terhadap prestasi atau perkembangan ABK dari segi akademik dan non akademik. Mengingat bahwa jenis kebutuhan khusus atau kelainan ABK di SDN 6 Bukit Tunggal adalah mayoritas lamban belajar atau slow learner, maka perkembangan atau prestasi akademik ABK tersebut hanya mencapai rerata atau standar KKM. Semua ABK bisa naik kelas karena pada evaluasi penilaian, standar KKM diturunkan menyesuaikan kemampuan ABK tersebut. Sementara itu, sekolah wajib menaikkan level ABK atau ABK berhak naik kelas, tidak boleh tinggal kelas. Hal ini disampaikan oleh Kepala SDN 6 Bukit Tunggal dalam wawancara sebagai berikut:

Karena sejauh ini jenis kebutuhan ABK di sekolah hanya slow learner dan KKMnya kami turunkan karena menyesuaikan kemampuan siswa, maka perkembangan anak cukup baik. Dalam artian, ABK mampu mencapai nilai standarnya.

Sementara, perkembangan non akademik ABK juga dapat dikatakan cukup baik atau rerata. “Untuk prestasi bidang non akademik dari ABK juga tidak nampak begitu signifikan atau bisa dikatakan masih rata-rata saja”, ucap wali kelas dalam wawancara.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

(16)

46

Perkembangan secara akademik dari ABK tidak terlihat begitu signifikan dan menonjol. Sejauh ini, ABK hanya mencapai rata-rata dengan nilai yang standar karena soal-soal yang dibuat saat kegiatan evaluasi di kelas dipermudah sesuai kemampuan ABK. Dari segi non akademik, prestasi siswa juga sebatas rata-rata dan tidak begitu menonjol.

Selain dampak pelaksanaan program terhadap perkembangan prestasi ABK, dampak lain yang muncul adalah terlayaninya SDN 6 Bukit Tunggal memiliki

peserta didik yang memiliki kebutuhan

khusus/kelainan sejumlah 43 anak dengan 1 jenis kelainan yaitu lamban belajar (slow learner). Kepala

sekolah menyebutkan bahwa “sebanyak 43 ABK di

sekolah ini memiliki jenis kelainan lamban belajar (slow learner)”. Sementara walikelas menambahkan bahwa “semua ABK di sini memiliki kelainan dalam hal lamban belajar.”

Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SDN 6 Bukit Tunggal dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1

Ringkasan Hasil Temuan Lapangan di SDN 6 Bukit Tunggal

Komponen

Evaluasi Substansi Data Lapangan

Context

1. Kebutuhan yang belum terpenuhi

1. Sudah menerima ABK sebelum adanya Perwali dan

pencanangan Kota

Pendidikan Inklusif. 2. Populasi yang

dilayani

1. Semua anak yang memiliki kebutuhan khusus atau kelainan ringan atau tidak berat.

(17)

47

masyarakat luas bahwa sekolah bisa melayani ABK walaupun pelayanan belum maksimal.

Input

1. Kemampuan sekolah

1. Sarpras belum memadai dan masih terbatas.

2. Perencanaan

1. Semua pihak di dalam sekolah ikut terlibat kecuali tenaga

ahli/profesional/psikolog/G PK.

3. Sumber dana

1. Belum ada dana khusus bagi ABK, menggunakan dana BOS.

4. Staf/SDM

1. Belum ada GPK.

2. Kemampuan guru masih terbatas.

3. Belum ada pelatihan khusus bagi guru.

Process

1. Monitoring/ evaluasi

1. Monev berisi surat

permohonan dan

pemberitahuan dari Kasi. SLB Disdikpora pada bulan Nopember 2014.

2. Kompetensi SDM

1. Materi/bahan ajar dan kurikulum yang digunakan

tetap sama/umum.

Bimbingan yang diberikan perlu penyesuaian dengan kebutuhan ABK. 3. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran/ pendampingan 1. Pengajaran dan pendampingan sama/umum, namun

terkadang secara individual dengan menyesuaikan terhadap

kebutuhan/kemampuan ABK.

2. ABK boleh mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sesuai kemampuan.

4. Efektivitas sarpras

1. Manfaat sarpras bagi ABK dan guru tidak signifikan karena sarpras yang dimiliki dan digunakan merupakan sarpras milik sekolah sendiri dan belum ada

(18)

48

bantuan khusus/fasilitas dari Dinas terkait.

5. Masalah/ kendala yang dihadapi

1. GPK belum ada, sarpras belum memadai, & pelatihan khusus bagi guru tidak ada.

2. Kendala-kendala tadi bisa diatasi.

Product

1. Prestasi/ perkembangan ABK

1. Perkembangan dari segi

akademik dan non

akademik cukup baik atau rata-rata.

2. Jumlah ABK yang terlayani

2. 43 ABK dengan jenis kelainan lamban belajar (slow learner).

4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 3

4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3 SMPN 3 merupakan salah satu sekolah di Palangka Raya yang juga melaksanakan program pendidikan inklusif. Sebelum pencanangan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif pada tahun 2014 lalu, sekolah ini sudah mulai menerima ABK sejak tahun 2008. Hal ini terbukti dari SK Disdikpora tahun 2008 yang ditujukan kepada sekolah ini sebagai sekolah piloting (percontohan) pendidikan inklusif. Selain pemberlakuan SK tersebut, SMPN 3 mendapat banyak permintaan dan kepercayaan dari orang tua yang memiliki ABK agar dilayani dan diterima di sekolah ini. Dengan demikian, sekolah sambil berjalan dan berproses dalam melayani ABK walaupun hasil pelayanan yang diberikan belum maksimal. Hal

(19)

49 yang melatarbelakangi sekolah untuk menjalankan program pendidikan inklusif tersebut dijelaskan pula oleh Kepala SMN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Jadi saya pikir sekolah ini dengan pemimpin terdahulu pun memang sudah terbuka menerima dan melayani siswa demikian. Hal ini juga didukung dari adanya SK dari Disdikpora pada tahun 2008 dimana sekolah ini wajib menerima ABK. Ada beberapa anak yang harus dilayani di sekolah ini mengingat begitu banyak permintaan dan kepercayaan para orang tua yang memiliki ABK untuk dilayani dan diterima di sekolah ini. Kebanyakan siswa demikian juga berdomisili di Kecamatan Jekan Raya, rumah yang berdekatan dengan sekolah ini.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, sasaran dari program tersebut sudah tentu peserta didik yang memiliki jenis kebutuhan khusus/kelainan yang variatif atau ABK. Namun, karakteristik dari jenis kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan yang ditolerir oleh sekolah adalah jenis yang ringan dan anak masih bisa mengikuti pelajaran. Dalam hal ini, sekolah masih belum bisa melayani ABK dengan jenis kebutuhan, kelainan atau kecacatan yang cukup bahkan berat. Hal ini dikarenakan kemampuan sekolah dari segi SDM atau tenaga pengajar khusus, sarpras, dana dan sebagainya belum memadai. Kepala SMPN 3

menjelaskan bahwa “apabila jenis ketunaan anak

masuk dalam kategori parah atau berat, maka kami akan menyampaikan dan mengusulkan kepada orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah atau pendidikan khusus”.

Sejak 2008 hingga saat ini, SMPN 3 masih terbuka dalam menerima ABK yang memiliki jenis kebutuhan

(20)

50

khusus, kelainan atau kecacatan yang ringan. Hal ini juga terbukti dari adanya pendaftaran dan penerimaan ABK di setiap tahun ajaran baru. Dengan demikian, sekolah mendapat kepercayaan dari masyarakat karena ABK bisa diterima dengan baik. Selain itu, hubungan sekolah dengan orang tua ABK juga terjalin baik dan saling terbuka dalam perkembangan anak. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Dengan keterbukaan sekolah dalam menerima dan berusaha melayani ABK maka sekolah juga mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat. Masyarakat mendapatkan haknya dalam hal pemerataan akses pendidikan bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, sekolah juga berharap adanya kerja sama dari orang tua.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka manfaat yang diterima sekolah dalam menjalankan program pendidikan inklusif ialah kepercayaan masyarakat dan hubungan kerja sama yang terjalin anatara pihak sekolah dengan orang tua ABK.

4.2.3.2 Evaluasi Input Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3

Sejak tahun 2008, SMPN 3 sudah menjalankan program pendidikan inklusif dan menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan tertentu yang masih tergolong ringan. Sekolah melayani ABK dengan ketersediaan sarana prasarana yang masih terbatas karena sarpras khusus bagi ABK belum ada. Sebelumnya, Pemko pernah memberikan bantuan fasilitas berupa kursi roda sebanyak 4 buah namun alat bantu ini belum

(21)

51 digunakan dan diarahkan sebagaimana mestinya oleh sekolah. Hal ini dikarenakan belum ada pantauan ulang yang dilakukan langsung dari Pemko. Secara personal, sekolah pernah mengajukan pembukaan atau pengadaaan ruang khusus bagi ABK namun hingga saat ini belum ada realisasi atau respon balik dari Dinas terkait. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Untuk saat ini, kami belum mempunyai sarpras khusus bagi ABK terkait jenis kebutuhan ABK di sini juga memang tidak begitu parah dan masih bisa ditangani. Namun, kami pernah mengusulkan kepada Dinas terkait untuk membuka kelas/ruang khusus bagi ABK tapi hingga saat ini belum direalisasi.

Sementara, guru BK menjelaskan bahwa “Pemko

pernah memberikan kursi roda sebanyak 4 buah sebagai alat bantu bagi ABK namun belum kami gunakan. Untuk prasarana lainnya belum ada seperti ruang khusus dll”.

SMPN 3 menjalankan program pendidikan inklusif dengan melibatkan semua pihak sekolah di dalamnya yang meliputi kepala sekolah, komite sekolah, pengawas sekolah, wakasek (bidang SIM, kesiswaan, kurikulum, sarana prasarana, dan humas), seluruh guru kelas, guru BK/pendamping dan walikelas, dan staf TU. “Program tersebut melibatkan semua warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, komite sekolah, pengawas sekolah, wakasek, guru kelas, guru BK/pendamping dan walikelas, dan staf”, ungkap guru dalam wawancara.

(22)

52

Keterlibatan dari pihak luar sekolah dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif di SMPN 3 belum ada. Sekolah belum pernah mendapat kunjungan atau keikutsertaan dari profesional. Menurut wawancara dengan Kepala SMPN 3, GPK langsung dari SLBN 1 pernah terlibat dalam menangani seorang ABK yang didatangkan atas keinginan dan inisiatif orang tua anak itu sendiri. Guru BK

menyampaikan hal serupa bahwa “sekolah belum

pernah mendapatkan bantuan tenaga profesional. Kami hanya mengandalkan kemampuan dari guru BK saja”.

Adapun dalam hal sumber dana, pada tahun 2012 SMPN 3 pernah mendapat bantuan dana dari Pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendukung ABK dalam meningkatkan keterampilan serta bantuan dana berupa beasiswa bagi ABK yang berprestasi. Selain itu, pada tahun 2014 bidang Dikdas Disdikpora memberikan bantuan beasiswa ABK-PKLK kepada 7 ABK. Selain itu, dana BOS digunakan untuk membantu sisa ABK lainnya yang belum mendapatkan bantuan dana khusus dan beasiswa dari Dinas terkait. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Untuk saat ini, sekolah belum mendapatkan bantuan dana khusus bagi ABK lainnya sementara jumlah ABK kian bertambah. Jadi selama ini, dana kami ambil dari BOS yang diberikan kepada seluruh siswa termasuk ABK. Hal ini dikarenakan, penggunaan dana BOS tidak memandang latar belakang siswa baik siswa reguler maupun ABK.

Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif,

(23)

53 pembimbingan dari guru BK yang dianggap sekolah sebagai GPK, dimana jumlah guru BK yang tersedia ada 5 orang. Dalam hal ini, sekolah belum mempunyai GPK dan belum pernah mendapatkan bantuan khusus berupa GPK dari Dinas terkait. Kepala SMPN 3 menjelaskan bahwa “sekolah belum memiliki GPK dan belum mendapat bantuan GPK dari Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kota. Sejauh ini, secara khusus ABK langsung ditangani dan didampingi oleh guru BK/pendamping”.

Berdasarkan wawancara bersama salah seorang guru BK, penanganan dan pendampingan ABK secara langsung dan individual merupakan tanggung jawab guru BK. Sementara, guru kelas berupaya melayani ABK di kelas walaupun dengan kemampuan yang serba terbatas. Hal ini disebabkan karena guru bukan berasal atau berlatar belakang pada pendidikan khusus maupun karena belum mendapatkan pelatihan khusus.

“Kami hanya melayani semampunya saja karena tidak memiliki kemampuan atau latar belakang khusus dalam mendampingi ABK”, ungkap guru tersebut.

Dalam rangka pelaksanaan program pendidikan inklusif, SMPN 3 pernah mendapat undangan dari Disdikpora guna mengikuti kegiatan sosialisasi, workshop bahkan pelatihan khusus bagi peningkatan kompetensi guru. Pihak sekolah yang pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagian guru kelas dan guru BK. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

(24)

54

Jadi saya sendiri pernah ikut serta dan memilih beberapa guru kelas, wali kelas, dan guru BP untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Namun pelatihan secara khusus bagi semua guru belum ada atau belum merata. Terakhir kemarin, salah satu guru BP mendapatkan surat tugas dari Disdikpora untuk mengikuti kegiatan Bimtek penyusunan kurikulum PK/PLK.

Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Saya sudah mengikuti pelatihan dan workshop sebanyak 3 kali perihal pendidikan inklusif yang diselenggarakan oleh Disdikpora. Saya pernah mendapat tugas dari Kepala Disdikpora untuk mengikuti kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) penyusunan kurikulum PK-PLK Prov. Kalteng tahun 2015 pada tanggal 23-28 Maret 2015 lalu.

Sementara itu, pemberian atau pengadaan pelatihan khusus bagi guru kelas yang belum merata disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Memang ada beberapa guru yang pernah atau sudah mengikuti kegiatan sosialisasi, workhsop dan pelatihan. Namun, saya pribadi belum pernah. Sehingga, saya pun belum begitu memahami bagaimana penanganan yang benar dan tepat bagi ABK dalam proses belajar mengajar.

Dengan demikian, beberapa pihak sekolah di SMPN 3 seperti kepala sekolah, beberapa guru kelas dan guru BK pernah mengikuti kegiatan workshop,

sosialisasi maupun pelatihan khusus yang

diselenggarakan oleh Disdikpora maupun PK-PLK dalam rangka penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya.

(25)

55

4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3 Berdasarkan kebijakan Disdikpora yang ditujukan kepada semua sekolah di kota Palangka Raya untuk melaksanakan program pendidikan inklusif dan secara serentak dideklarasikan pada 18 Oktober 2014 lalu, Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan surat permohonan dan pemberitahuan perihal monev sekolah ABK. Semua sekolah dari seluruh tingkat satuan pendidikan baik berstatus negeri maupun swasta menerima surat tersebut. Dengan demikian, SMPN 3 juga mendapat surat tersebut untuk kemudian ditanggapi. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inkluisf pada bulan Oktober 2014 lalu, sekolah mendapat surat permohonan dan pemberitahuan dari Disdikpora, perihal monev sekolah ABK. Melalui surat ini, sekolah diminta untuk mengidentifikasi tiap peserta didik yang memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format dan segera melaporkan ke Dinas tersebut untuk segera ditindaklanjuti.

Dalam hal pembelajaran, guru kelas tetap menggunakan kurikulum umum, materi ajar, dan sistem penilaian yang sama baik bagi siswa reguler maupun ABK. Dengan demikian, guru tidak menyusun perencanaan khusus dalam pembelajaran yang diberikan pada ABK. Sama halnya dengan penggunaan kurikulum, materi ajar, dan sistem penilaian maka

dalam proses pembelajaran guru kelas juga

memperlakukan ABK sama seperti memperlakukan siswa reguler pada umumnya. Namun, guru akan tetap

(26)

56

menyesuaikan pendampingan dalam mengajar sesuai kemampuan ABK (layanan secara individual). Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Kami tidak ada menyusun perencanaan pembelajaran khusus bagi ABK. Sejauh ini ABK masih mengikuti sistem pembelajaran yang sama dengan teman-temannya. Namun dalam penanganannya di kelas, kami memberikan pelayanan atau bimbingan yang lebih kepada ABK tersebut. Jadi dalam proses mengajar, kami hanya menyesuaikan saja dengan kemampuan ABK.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan proses pembimbingan atau pendampingan yang diberikan oleh guru BK kepada ABK. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Tidak ada perencanaan atau penyusunan materi/lembar kerja khusus bagi ABK secara tertulis. Semua dilakukan sesuai jadwal kerja atau piket kami selaku guru BP dalam melayani jika ada siswa yang bermasalah atau perlu pendampingan khusus di ruang BK secara berkesinambungan. Namun jika ada hal yang krusial dan mendadak dari guru kelas yang membutuhkanpenanganan atau pendampingan khusus dari kami maka kami akan mendatangi kelas dan langsung menangani ABK tersebut.

SMPN 3 memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler dari berbagai bidang seperti ekskul di bidang olahraga, kesenian, kemanusiaan/sosial, SAINS, kesehatan, keterampilan memasak, dan lain-lain. Adapun kegiatan ini dibuka dan diberikan kepada semua siswa baik siswa reguler maupun ABK. Jadi, ABK boleh mengikuti kegiatan tersebut sesuai dengan kemampuan, bakat,

minat dan ketertarikannya. Kepala SMPN 3

mengatakan “tentunya, kegiatan ini terbuka untuk semua siswa termasuk ABK”.

(27)

57 Hal senada disampaikan pula oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Semua siswa di sini memiliki kebebasan untuk memilih dan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler, termasuk diikuti oleh ABK. Jadi kegiatan ini terbuka untuk semua siswa sesuai dengan kemampuan, hobi dan bakat dari anak itu sendiri.

Selain itu, hal serupa juga disampaikan oleh salah

seorang guru kelas dalam wawancara bahwa “kegiatan

ekstrakurikuler di sekolah ini terbuka untuk semua siswa. Jadi, ABK sangat boleh mengikuti kegiatan ini sesuai dengan kemampuan, hobi, minat dan ketertarikannya”.

Berhubung jenis kebutuhan khusus atau kelainan ABK di SMPN 3 sejauh ini ringan dan masih bisa tolerir yaitu tuna daksa dan slow learner, maka sarpras umum yang dimiliki sekolah masih bisa membantu ABK tersebut. Alat bantu kursi roda yang diberikan oleh Disdikpora hingga saat ini belum digunakan dan diarahkan kepada ABK yang membutuhkan. Selain itu, prasarana lain seperti jalan khusus untuk jalur kursi roda dan ruang khusus belum ada. Oleh karena itu, sarana prasarana baik yang sudah diberikan Dinas terkait maupun yang belum ada dapat dikatakan belum bermanfaat atau berdampak bagi ABK dan guru yang menangani ABK. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Meskipun, sekolah sudah mendapat bantuan kursi roda dari Pemko, namun karena belum adanya pemeriksaan dari Dinas terkait maka kami belum berani menggunakan kursi ini untuk anak tersebut. Sejauh ini sarana berupa kursi roda sudah ada namun belum digunakan dan prasarana masih belum ada

(28)

58

juga. Sehingga manfaat pengadaannya pun belum terlihat. Manfaat dari pengadaan sarpras belum terlihat begitu sigifikan. Selain itu, prasarana juga belum ada sehingga belum ada manfaat yang terlihat dari segi prasarana.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Sarpras yang memang ada sejak awal dan disediakan dari sekolah memang digunakan dan dimanfaatkan oleh ABK juga walaupun sebenarnya sarpras yang ada diperuntukkan bagi semua siswa. Jadi, manfaatnya yang nampak bagi ABK tidak begitu signifikan dan biasa-biasa saja. Sama halnya dengan jawaban di atas dimana manfaat adanya sapras yang ada dalam melayani ABK, bagi saya tidak begitu signifikan.

Dari proses berjalannya program pendidikan inklusif di SMPN 3, ada beberapa kendala yang menyebabkan pelaksanaan program tersebut belum maksimal. Kendala yang dimaksud meliputi tidak adanya GPK/tenaga profesional khusus, sarpras belum

memadai, dan kurangnya pemerataan dalam

memberikan kesempatan untuk guru lainnya dalam mengikuti pelatihan khusus. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Paling tidak masing-masing sekolah harus mempunyai 1 GPK berdasarkan perintah dan tugas dari Dinas terkait. Kemudian, sarpras belum mendukung dalam hal ruang khusus untuk mendampingi ABK dalam latihan keterampilan, pelajaran tambahan dan lain-lain. Terakhir, banyak guru kelas yang kurang pengalaman dalam menangani ABK yang bisa disebabkan juga karena kurangnya kegiatan sosialisasi, workshop atau pelatihan tentang penanganan ABK dalam lingkup pendidikan inklusif.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

(29)

59

Kendalanya antara lain adalah kurangnya pemerataan terhadap pemberian/pengadaan pelatihan, workshop maupun sosialisasi bagi sebagian guru. Kedua, tenaga GPK yang tidak ada sehingga ABK belum terlayani oleh sekolah dengan baik dan sebagaimana mestinya. Selain itu, sarpras belum memadai dalam memfasilitasi ABK.

Di samping itu, kendala lain yang ditemukan adalah tidak ada monitoring dari Dinas terkait pelaksanaan program pendidikan inklusif di sekolah. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Selain itu, belum adanya pengawasan atau kegiatan monitoring khusus dari Pemko terhadap proses pelaksanaan program di sekolah. Hal ini berakibat pada salah satunya yaitu penggunaan kursi roda yang belum bisa diarahkan atau dilaksanakan.

Dari kendala-kendala di atas, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif di SMPN 3 berharap agar ada solusi dan perbaikan dari Dinas terkait serta dukungan dari pihak sekolah dan masyarakat. Dengan demikian, sekolah bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dalam mensukseskan program tersebut. “Harapan saya semoga kendala-kendala di atas tadi bisa teratasi segera mungkin demi menunjang pelaksanaan program tersebut”, imbuh seorang guru BK dalam wawancara. Harapan lainnya adalah kegiatan sosialisasi yang lebih gencar yang dilakukan oleh Dinas

terkait untuk kemudian disampaikan kepada

masyarakat luas. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Harapan saya adalah kendala di atas bisa teratasi. Kemudian, Pemko/Dinas setempat lebih gencar lagi dalam mensosialisasikan program tersebut ke

(30)

sekolah-60

sekolah, masyarakat luas dan terhhusus kepada orang tua .

Berdasarkan hasil wawancara bersama Kepala SMPN 3, harapan yang sama pula disampaikan agar kendala-kendala bisa teratasi. Selain itu, sekolah berharap agar rencana penyusunan standar KKM dalam hal evaluasi belajar ABK pada TA 2015/2016 bisa berjalan baik dan mendapat dukungan dari banyak pihak baik SDM yang ada di sekolah maupun informasi atau panduan dari Dinas terkait.

4.2.3.4 Evaluasi Product Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMPN 3 Dampak penerapan pendidikan inklusif terhadap perkembangan atau prestasi ABK dari segi akademik dan non akademik merupakan produk atau hasil yang dicapai dari suatu pelaksanaan program. Berhubung SMPN 3 memiliki ABK dengan jenis kebutuhan khusus atau kelainan yang ringan dan bisa ditolerir, maka perkembangan akademik ABK termasuk cukup baik atau rata. Selain itu, beberapa ABK juga memiliki prestasi cukup baik dalam bidang non akademik. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMPN 3 dalam wawancara sebagai berikut:

Sejauh ini, perkembangan akademik ABK bisa dikatakan rata-rata atau cukup baik, mengingat bahwa jenis ketunaannya ringan yaitu hanya fisik dan intelektual yang masih bisa mengikuti/mengejar pelajaran. Dari bidang non akademik, ABK cukup berprestasi dan membanggakan.

Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

(31)

61

Pencapaian prestasi untuk ABK slow learner dikatakan masih standar atau hanya rata-rata KKM. Sementara anak tuna daksa juga mencapai standar KKM sesuai kurikulum umum/reguler. Dari bidang non akademik, memang ada beberapa ABK yang berprestasi misal dalam bidang keterampilan memasak.

Hal senada disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Mengacu pada jenis kebutuhan khusus/kelainan ABK di sekolah saat ini yang hanya tuna daksa (namun memiliki IQ yang bagus) dan slow learner, maka prestasi akademik bagus bagi siswa yang tuna daksa tadi dan rerata KKM bagi siswa yang slow learner. Sementara dari segi non akademik, ada beberapa ABK yang berprestasi baik.

Mengingat bahwa SMPN 3 sudah menerima ABK sejak tahun 2008 maka sekolah ini sudah meluluskan beberapa ABK dengan prestasi akademik dan non akademik yang cukup baik. Di samping itu, banyak lulusan ABK dari SMPN 3 ini yang melanjutkan ke jenjang studi yang lebih tinggi.

Selain perkembangan atau prestasi ABK, dampak juga terlihat pada banyaknya ABK yang terlayani. Berhubung sasaran dari program tersebut adalah peserta didik dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan yang masih bisa ditolerir, maka ABK yang saat ini masih dilayani dan terdata di sekolah ada sekitar 12 anak dengan jenis kelainan tuna daksa dan

slow learner.Jenis kebutuhan khusus/kelainan dari ABK di sini ada 2 yaitu tuna daksa dan slow learner. Hingga saat ini jumlah ABK yang terdata di sekolah ini ada sekitar 12 siswa”, ungkap Kepala SMPN 3. Sementara berdasarkan pernyataan guru BK, jenis kebutuhan khusus/kelainan dari ABK sekolah tersebut

(32)

62

hanyaada 2 yaitu tuna daksa (tidak bisa berjalan) dan slow learner.

Hasil temuan data lapangan terhadap evaluasi penyelenggaraan program pendidikan inklusif di SMPN 3 dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2

Ringkasan Hasil Temuan Lapangan di SMPN 3 Komponen

Evaluasi Substansi Data Lapangan

Context

1. Kebutuhan yang belum terpenuhi

1. Sudah menerima ABK berdasarkan SK dari Disdikpora (2008),

kemudian secara

serentak seluruh sekolah se-kota Palangka Raya pada tahun 2014.

2. Populasi yang dilayani

1. Siswa dengan jenis kebutuhan

khusus/kelainan variatif yang ringan atau tidak berat/parah sekali.

3. Peluang/manfaat

1. Pemerataan akses

pendidikan bagi

masyarakat dan sekolah mendapat kepercayaan dan dukungan balik.

Input

1. Kemampuan sekolah

1. Sarpras belum memadai (kelas/ruang khusus) namun ada bantuan kursi roda.

2. Perencanaan

1. Semua pihak di dalam sekolah ikut terlibat, kecuali dari pakar/tenaga ahli/psikolog/GPK.

3. Sumber dana

1. Bantuan beasiswa ABK-PKLK kepada 7 siswa tahun 2014 dan saat ini masih menggunakan dana BOS karena belum ada bantuan dana khusus bagi ABK lainnya,

(33)

63

yang tidak mendapat bantuan beasiswa di atas.

4. Staf/SDM

1. Tidak ada GPK dan ditangani langsung oleh guru BK.

2. Sebagian guru mampu dan sebagian masih terbatas/kesulitan.

3. Sebagian guru sudah mendapat pelatihan khusus.

Process

a. Monitoring/ Evaluasi

1. Monev berisi surat

permohonan dan

pemberitahuan dari Kasi. SLB Disdikpora pada bulan Nopember 2014.

b. Kompetensi SDM

1. Materi/bahan ajar dan

kurikulum yang

digunakan di kelas masih sama/umum. Bimbingan khusus dilakukan secara

individual dan

berkesinambungan

sesuai dengan kebutuhan ABK.

c. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran/ pendampingan

1. Proses pembelajaran dan

pembimbingan di

dalam/luar kelas masih sama/umum namun ada pelayanan/penanganan secara individual.

2. Kegiatan ekstrakurikuler terbuka bagi ABK.

d. Efektivitas sarpras

1. Manfaat sarpras bagi ABK

dan guru belum

signifikan karena belum

memadai dan

penggunaan alat bantu kursi roda yang belum diarahkan.

5. Masalah/ kendala yang dihadapi

1. GPK tidak ada, sarpras belum memadai, dan kurang merata dalam pemberian/pengadaan pelatihan khusus bagi guru, dan tidak ada

(34)

64

monitoring dari Dinas terkait.

2. Kendala-kendala bisa teratasi, Dinas terkait lebih gencar dalam kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, dan rencana penyusunan standar KKM untuk TA 2015/2016 bisa berjalan baik dan terealisasi.

Product

1. Prestasi/ perkembangan ABK

1. Prestasi akademik dan non akademik rata-rata/cukup baik.

2. Jumlah ABK yang terlayani

2. Ada sekitar 12 siswa dengan jenis ketunaan tuna daksa dan slow learner.

4.3.1 Hasil Evaluasi Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMA Negeri 4

4.2.3.1 Evaluasi Context Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4 SMAN 4 merupakan salah satu sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya. Sekolah ini sudah peduli kepada peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan sebelum pencanangan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project dari Pemerintah Pusat bersama Pemprov sebagai perwakilan tingkat SMA untuk menjalankan program pendidikan inklusif pada tahun 2009. Sejak inilah banyak permintaan orang tua ABK untuk menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Hal

(35)

65 tersebut disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Jadi sekolah ini sudah lama memiliki kepedulian untuk menerima semua siswa tanpa diskriminasi, apakah siswa tersebut normal atau berkebutuhan khusus. Hal ini juga berkaitan dengan banyaknya permintaan dan kepercayaan orang tua ABK yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Hingga pada Oktober 2014 kemarin, Disdikpora mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif, maka sekolah kami pun sudah siap untuk menjalankan tugas itu meskipun masih banyak hambatan.

Berdasarkan wawancara di atas, maka sasaran dari program tersebut adalah peserta didik dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan, atau kecacatan ringan. Identifikasi jenis kebutuhan khusus, kelainan, atau kecacatan ini dilakukan sekolah dengan bantuan psikolog dalam proses penerimaan peserta didik baru. SMAN 4 masih belum mampu menerima ABK dengan jenis kelainan atau kecacatan yang berat. Keterbatasan sekolah dalam hal SDM atau tidak adanya GPK dan sarpras menjadi kendalanya. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Jadi kami menerima ABK yang masih bisa kooperatif dan mandiri. Jika, ABK tergolong memiliki kelainan/ketunaan yang berat, belum bisa kooperatif dan mandiri maka kami mengusulkan kepada orang tua untuk menyekolahkan anak tersebut di sekolah atau pendidikan khusus.

Dengan keterbukaan dan kepedulian SMAN 4 dalam menerima ABK dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan, atau kecacatan ringan sejak 2009 hingga saat ini, sekolah mendapat kepercayaan dari orang tua dan masyarakat bahwa sekolah ini menerima ABK. Hal ini

(36)

66

terbukti dari jumlah ABK yang makin bertambah. Oleh karena itu, penanganan khusus yang lebih intensif harus dipersiapkan sekolah berdasarkan bantuan dari Dinas terkait dan dukungan dari masyarakat luas. 4.2.3.2 Evaluasi Input Program Pendidikan

Inklusif di SMAN 4

Dalam melaksanakan program pendidikan inklusif sebagai pilot project sejak tahun 2009, SMAN 4 mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat berupa alat bantu seperti kacamata, tongkat pandu/alat bantu jalan, dan laptop. Ketersediaan alat bantu ini bermanfaat dan berguna bagi ABK dan sudah sesuai dengan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau ketunaan ABK. Di lain hal, sekolah juga mendapatkan bantuan prasarana namun dalam keadaan belum lengkap. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Lepas dari sarpras yang memang sudah ada dan disediakan oleh sekolah sendiri, sekolah ini juga pernah mendapatkan bantuan dari pusat perihal pelaksanaan program pendidikan inklusif sejak tahun 2009 berupa alat bantu seperti kacamata, tongkat pandu/alat bantu jalan, dan laptop. Hanya dari segi prasarana masih belum lengkap. Jadi sejauh ini, sekolah masih cukup bisa memenuhi kebutuhan ABK sesuai dengan kebutuhan/ketunaan mereka.

Hal serupa dijelaskan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Pada tahun 2012, sekolah ini mendapat bantuan dari PK-PLK berupa alat bantu seperti kursi roda, kacamata, laptop, tongkat jalan/penyangga. Semua alat bantu yang diberikan ini sudah sesuai dengan jenis ketunaan yang dimiliki ABK. Prasarana LAB khusus dan jalur khusus bagi ABK yang memakai kursi roda juga sudah

(37)

67

ada. Jadi sejauh ini, sekolah masih cukup bisa memenuhi kebutuhan ABK sesuai dengan kebutuhan/ketunaan mereka.

Berdasarkan hasil wawancara bersama Kepala SMAN 4 dan guru BK di atas, ketersediaan sarpras dinyatakan sudah sesuai dengan jenis kebutuhan ABK. Kedua nara sumber tersebut menambahkan pula bahwa SMAN 4 memiliki 15 ABK dengan jenis ketunaan tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, low vision dan slow learner. “Jenis ketunaan ABK di sini ada 6 seperti tuna daksa, tuna rungu ringan, hiperaktif, autis, low vision dan slow learner”, imbuh Kepala SMAN 4 dalam wawancara.

Dalam hal perencanaan pelaksanaan program pendidikan inklusif di SMAN 4, pihak yang telibat di dalamnya adalah semua pihak sekolah. Kerja sama dan dukungan dari semua pihak di sekolah meliputi keterlibatan dari kepala sekolah, komite, pengawas, wakasek, wali kelas, guru mapel dan guru BK/pendamping bahkan pihak luar sekolah seperti PK-PLK dan psikolog. Keterlibatan dari pihak luar sekolah juga diperoleh dari adanya dukungan dan kerja sama dari orang tua ABK. Guru BK menjelaskan bahwa

“yang terlibat dalam pelaksanaan program ini di sekolah adalah kepala sekolah, guru BK, wali kelas, guru mapel, serta orang tua dari ABK itu sendiri”.

Selain itu, dalam proses penerimaan peserta didik baru, sekolah ini mendapat bantuan dari psikolog dalam mengidentifikasi jenis ketunaan peserta didik baru. Selain itu, PK-PLK juga pernah ikut terlibat.

(38)

68

Kepala SMAN 4 menyampaikan bahwa “sekolah ini

pernah mendapat pendampingan PK-PLK oleh perguruan tinggi dalam bentuk pelaksanaan workshop/lokakarya yang dilaksanakan di sekolah ini pada tanggal 22 Nopember 2013 lalu”.Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Sekolah secara rutin mendapatkan bantuan dengan andil para psikolog dalam mengidentifikasi jenis ketunaan peserta didik baru pada saat PPDB. Selain itu, pihak pusat sering memonitor, memberikan bantuan fasilitas/alat bantu, mengadakan workshop/lokakarya, dan pelatihan pembuatan kurikulum modifikasi bagi ABK yang berlangsung di sekolah ini.

Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif ini, SMAN 4 menggunakan dana yang berasal dari bantuan APBD. Hal ini disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Untuk saat ini, dana yang digunakan dalam melayani ABK dan menjalankan program pendidikan inklusif di sekolah ini, berasal dari dukungan APBD yang seyogyanya secara umum juga digunakan dalam melayani siswa reguler. Secara khusus bagi pelayanan ABK, sekolah belum mendapatkan bantuan/dana khusus.

Sejak pelaksanaan program pendidikan inklusif pada tahun 2009 hingga saat ini, SMAN 4 belum

memiliki GPK sama sekali. Penanganan dan

pendampingan ABK di sekolah ini langsung ditangani oleh guru BK. Kepala SMAN 4 mengungkapkan bahwa

“sekolah ini belum memiliki GPK; ABK di sini hanya dibimbing langsung dari guru BK sebagai pendamping, di samping dukungan dan penanganan dari guru kelas

(39)

69

dan wali kelas”. Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Sekolah ini belum memiliki GPK. Jadi selama ini ABK ditangani oleh guru BK, wali kelas, dan guru mapel dengan modal wawasan dan pengalaman yang pernah didapat baik dari kegiatan workshop/lokakarya, pelatihan maupun sosialisasi di dalam maupun di luar sekolah.

Mengingat sekolah ini tidak memiliki GPK dan hanya mengandalkan guru BK dalam menangani dan mendampingi ABK, maka peran guru mapel dalam mengajar ABK secara langsung sangat penting. Sebagian guru mapel ada yang sudah mengikuti kegiatan workshop, sosialisasi atau pelatihan. Dalam proses di kelas, guru-guru tersebut cukup bisa menangani ABK dibanding dengan guru-guru yang belum pernah mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Bagi sebagian guru yang sudah mendapatlan pengalaman untuk terlibat dalam pelatihan, workshop dan sosialisasi bisa dikatakan cukup mampu dalam menangani ABK. Namun ada sebagian guru merasa berat dan kesulitan dalam menangani ABK dikarenakan guru-guru ini tidak atau belum pernah mendapat pelatihan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelatihan khusus untuk meningkatkan kompetensi guru maupun kepala sekolah dalam rangka pelaksanaan program pendidikan inklusif di SMAN 4 pernah diberikan langsung oleh Dinas terkait. “Sebagian guru pernah mendapatkan pelatihan termasuk saya juga pernah ambil bagian”, ungkap Kepala SMAN 4 dalam

(40)

70

wawancara. Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru BK bahwa sebagian guru mapel, wali kelas, dan guru BK sudah pernah terlibat dalam kegiatan workshop/lokakarya, pelatihan maupun sosialisasi di dalam dan luar sekolah. Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Saya pernah mendapatkan pelatihan tahun ajaran 2007/2008 dan ikut membimbing ABK di lomba olimpiade. Namun masih ada sebagian guru yang belum mengikuti atau mendapatkan kesempatan dalam pelatihan.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, pelatihan khusus yang diberikan Dinas terkait ternyata belum merata. Hal ini berdampak kepada kemampuan guru yang masih terbatas dan kesulitan dalam menangani ABK sehingga guru berpengalaman dan berwawasan. Sementara, sebagian guru sudah cukup mampu dalam menangani ABK di dalam maupun di luar kelas.

4.2.3.3 Evaluasi Process Penyelenggaraan Program Pendidikan Inklusif di SMAN 4 Setelah pencanangan Kota Pendidikan Inklusif, Disdikpora kemudian mengeluarkan dan menyebarkan surat permohonan dan pemberitahuan perihal monev sekolah ABK pada bulan Nopember 2014. Surat ini ditujukan kepada seluruh kepala sekolah dari tingkat satuan pendidikan TK/RA, SD/MI, SMPMTs, dan SMA/MA baik berstatus negeri maupun swasta di Palangka Raya. Dengan demikian, SMAN 4 juga mendapat surat pemberitahuan tersebut. Hal ini

(41)

71 disampaikan oleh Kepala SMAN 4 dalam wawancara sebagai berikut:

Sekolah ini mendapat surat dari Disdikpora yang berisi permohonan dan pemberitahuan agar setiap sekolah segera mengidentifikasi tiap peserta didik yang memiliki kelainan, melakukan pendataan sesuai format dan segera melaporkan ke Disdikpora untuk segera ditindaklanjuti. Surat ini diberikan kepada sekolah pada bulan Nopember 2014.

Dalam hal penyusunan perencanaan pengajaran seperti RPP dan materi ajar yang dikhususkan bagi ABK di kelas, guru mapel tetap menggunakan kurikulum, materi ajar dan sistem penilaian yang sama dan umum. Dalam hal ini, guru tidak menggunakan atau membuat materi khusus bagi ABK. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Kurikulum yang digunakan sama karena K 2013 khusus untuk ABK belum ada. Dari segi/kriteria penilaian penentuan standar penilaian per mata pelajaran juga merata secara umum. Jadi memang sejauh ini anak-anak masih bisa mengikuti sejauh ada bimbingan dan perlakuan individual. ABK menyesuaikan dengan kurikulum berdasarkan bantuan dan peran dari guru.

Hal demikian juga dilakukan oleh guru BK dalam melakukan pendampingan terhadap ABK, yang disampaikan dalam wawancara sebagai berikut:

Dari segi penyusunan perencanaan pendampingan, guru tidak membuat sesuatu yang khusus berkenaan dengan kekhususan pada ABK karena jenis ketunaan anak juga masih bisa dikendalikan dan ditolerir. Pendampingan yang kami berikan pada dasarnya sama seperti anak normal.

Sementara untuk proses pengajaran, guru memberikan materi yang sama baik kepada siswa

(42)

72

reguler maupun ABK. Perlakuan khusus hanya dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan ABK. “Proses pendampingan diberikan secara individual baik di ruang BK atau kelas. Guru menyesuaikan pembimbingan yang diberikan dengan jenis ketunaan anak”, ungkap guru BK perihal pendampingan individual yang diberikan kepada ABK. Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Pemberian pengajaran dalam proses belajar mengajar baik bagi ABK maupun non ABK tetap sama karena berada dalam 1 kelas. Namun yang membedakan hanyalah pelayanan khusus (individual) kepada ABK, penilaian tetap sama tapi tetap disesuaikan dengan kemampuan ABK. Jadi guru berperan dalam mensiasati/mengintensifkan pelayanan sesuai keadaan ABK pada saat itu. Misalnya, saya menjelaskan materi pelajaran tidak cukup 1 kali saja tapi 2-3 kali lebih diintensifkan.

SMAN 4 memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang dibuka untuk mendukung dan menampung semua siswa dengan berbagai kegiatan sesuai bakat, minat, dan kemampuan siswa. Kegiatan ini merupakan wadah yang akan menunjang perkembangan siswa baik akademik maupun non akademik. Kegiatan ini juga

sangat terbuka bagi ABK. Kepala SMAN 4

menyampaikan bahwa “semua siswa di sini tanpa

terkecuali boleh mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang disesuaikan dengan bakat, kemampuan dan ketertarikan siswa. Di sini banyak ABK juga yang mengikuti kegiatan tersebut”. Sementara, guru kelas menambahkan dalam wawancara bahwa kegiatan ekstrakurikuler ini diperuntukkan bagi semua siswa

(43)

73 sehingga ABK juga boleh mengikutinya sesuai kemampuan dan minat mereka. Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini banyak sekali dan bersifat terbuka bagi seluruh siswa termasuk ABK. ABK boleh mengikuti kegiatan ini sesuai dengan kemampuan, bakat, minat, hobi dan ketertarikannya. Hal ini juga perlu didampingi oleh pendamping kegiatan terkait.

Selama menjalankan program pendidikan inklusif sejak 2009 hingga saat ini, SMAN 4 sudah mendapatkan banyak dukungan baik dari pusat maupun kota dalam bentuk bantuan penyediaan sarpras. Sarpras yang diberikan sudah sesuai dengan keadaan dan jenis kebutuhan khusus, kelainan atau kecacatan ABK. Dengan demikian, sarpras tersebut sudah bermanfaat bagi ABK dan guru. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Sejauh ini sarpras baik yang disediakan oleh sekolah ataupun dari Dinas sudah cukup memadai dan bermanfaat bagi siswa. Sejauh ini kami merasa tidak ada masalah untuk masalah sarpras karena fasilitas yang diberikan sudah cukup sesuai bagi ABK sesuai dengan jenis ketunaannya. Selain itu, kami juga mendapatkan bantuan dari Dinas kota berupa buku-buku bacaan tentang ABK yang saat bermanfaat nantinya bagi kami semua guru.

Hal serupa disampaikan oleh salah seorang guru mapel dalam wawancara sebagai berikut:

Sejauh ini sekolah sudah mempunyai sarpras yang cukup memadai dalam memfasilitasi ABK dikarenakan pengadaannya sudah sesuai dengan jenis ketunaan anak masing-masing. Jadi, ABK sudah terbantu dan terfasilitasi dengan adanya sarpras tersebut. Sama

(44)

74

halnya dengan ABK, guru pun bisa

merasakan/mendapatkan manfaat dari pengadaan sarpras yang memadai.

Dari proses berjalannya program pendidikan inklusif di SMAN 4, ada beberapa kendala yang menyebabkan pelaksanaan program tersebut belum maksimal. Kendala yang dimaksud meliputi tidak adanya GPK/tenaga profesional khusus dan prasarana yang belum lengkap. Kepala SMAN 4 menyebutkan bahwa “kendala yang dihadapi sekolah dalam rangka pelaksanaan program pendidikan inklusif di antaranya adalah belum adanya GPK. Kemudian ketersediaan prasarana juga belum maksimal”. Selain kendala dari tidak adanya GPK dan prasarana yang belum lengkap, kendala lain yang muncul adalah sistem penilaian bagi ABK saat UN yang masih disamaratakan dengan penilaian untuk anak reguler. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang guru BK dalam wawancara sebagai berikut:

Yang menjadi kendala adalah pada saat UN dimana ABK juga mendapatkan soal yang sama layaknya yang diterima oleh anak reguler. Pada saat penilaian terhadap lembar jawaban, siswa ABK yang misalnya banyak menjawab dengan salah maka nantinya malah tidak lulus UN. Padahal dari pusat selalu meminta data ABK yang akan mengikuti UN tapi tetap saja kebijakan dalam hal perhitungan hasil jawaban tetap disamaratakan dengan anak reguler. Hal ini sesungguhnya berbahaya bagi ABK.

Kendala lain yang muncul adalah tidak adanya standar baku terhadap penilaian atas hasil kerja ABK di kelas. Selain itu, masih ada sebagian guru yang belum pernah mengikuti pelatihan khusus. Hal ini disampaikan oleh salah seorang guru kelas dalam wawancara sebagai berikut:

Referensi

Dokumen terkait

Dari posisi-posisi dokumen ini, dengan membandingkan posisi dari suatu dokumen terhadap kata kunci pencarian, akan ditemukan dokumen mana sajakah yang memiliki kesamaan

Dengan adanya hubungan linier yang bermakna antara kadar sulfametoksazol dalam matriks tablet secara KLT-densitometri dengan aktivitas antibakteri yang dinyatakan dengan

Oleh karena pelaksanaan penyidik dan penyelidikan dibutuhkan jumlah polisi (penyidik atau penyidik pembantu) yang memadai. KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan

Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal

Sebaliknya siswa dengan Self-Efficacy yang lemah atau rendah cenderung rentan dan mudah menyerah menghadapi masalah matematika tersebut, mengalami kesulitan dalam

Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer  terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan

P.21/MenLHK/Setjen/ KUM.1/10/2020 tanggal 2 November 2020 yaitu tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin,

Dari kelima informan tersebut terdiri dari 4 orang pustakawan dan 1 Kepala UPT Perpustakaan IAIN Surakarta, maka dapat ditarik simpulan bahwa Kepala UPT Perpustakaan IAIN