• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS. Pelaksanaan suatu penelitian memerlukan kerangka pemikiran yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS. Pelaksanaan suatu penelitian memerlukan kerangka pemikiran yang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS

II. 1. Kajian Pustaka

Pelaksanaan suatu penelitian memerlukan kerangka pemikiran yang dijadikan sebagai referensi. Begitu pula referensi dalam penelitian ini. Penulis menggunakan beberapa buku sumber yang dijadikan acuan dalam penyusunan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas penulis yaitu “Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Terhadap Etnis Tionghoa (1955-1969)”.

Pemaparan kajian pustaka ini dibagi ke dalam tiga sub-bab berdasarkan isi literatur-literatur yang berhubungan permasalahan yang dikaji pertama, sumber buku yang membahas tentang azas-azas kewarganegaraan, kedua sumber buku, artikel yang membahas tentang etnis Tionghoa berkaitan dengan kehidupan kewarganegaraan, politik, ekonomi, dan sosial-budaya, serta ketiga sumber buku yang membahas tentang perjanjian dwi kewarganegaraan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

II. 1. 1. Sumber yang Membahas Azas-azas Kewarganegaraan

Berkenaan dengan pemahaman konsep tentang kewarganegaraan buku pertama yang digunakan penulis adalah karya Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1988) dalam bukunya “Hukum Tata Negara Indonesia”. Buku ini

(2)

membahas azas-azas dan pengertian-pengertian dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Indonesia. Menjelaskan tentang Azas-azas kewarganegaraan yang berkaitan dengan azas ius soli dan azas ius sanguinis, kemudian pengertian tentang bipatride (dwi kewarganegaraan) dan apatride (tanpa kewarganegaraan) serta sejarah kewarganegaraan sejak proklamasi kemerdekaan. Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang terkenal adanya dua azas yaitu asas kelahira (ius soli) dan azas keturunan (ius sanguinis). Azas ius soli berpendapat bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Asas ius sanguinis berpendapat bahwa kewarganegaraan seseorang didasarkan pada keturunan orang yang bersangkutan. Jadi jika suatu negara menganut azas keturunan dan negara lain menganut asas kelahiran, maka peraturan ini akan menimbulkan dwi kewarganegaraan bagi seseorang yang bersangkutan. Bipatride (dwi kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang dianggap sebagai warga neagra oleh negara-negara yang bersangkutan.

Bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disenangi oleh negara di mana orang tersebut berada, bahkan bagi yang bersangkutan. Keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja merugikan negara tertentu. Hal ini pernah dialami oleh Republik Indonesia, sebelum ditandatanganinya Perjanjian antara Soenario–Chow maka sebagian dari orang-orang Cina yang berdomisili di Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan dari Republik Rakyat Cina yang berasaskan ius sanguinis, tetap dianggap sebagai warga negara Republik Rakyat Cina, sebaliknya menurut

(3)

Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu orang Cina tersebut sudah dianggap menjadi warga Negara Indonesia. Dengan demikian terjadilah bipatride terhadap orang Cina yang bersangkutan (Kusnardi dan Ibrahim, 1988 : 295). Kekurangan dari buku Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia adalah belum menyelidiki secara mendalam kaidah-kaidah Hukum Tata Negara Indonesia positif.

Buku berikutnya yang digunakan adalah karya M. Tabrani (1980) dalam bukunya “Kewarganegaraan dan Pewarganegaraan dalam Republik Indonesia”. Buku ini memuat tentang masalah kewarganegaraan dan pewarganegaraan berkaitan dengan undang-undang warganegara, kebangsaan ganda dan tanpa bernegara serta memuat tentang masalah golongan peranakan Tionghoa serta masalah naturalisasi.

II. 1. 2. Sumber yang Membahas Etnis Tionghoa

Buku pertama yang dijadikan bahan referensi berkaitan dengan perkembangan kedudukan warganegara keturunan Cina di Indonesia adalah “Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia”, yang ditulis oleh Leo Suryadinata. Buku ini banyak mengungkapkan latar belakang sejarah mengapa timbul krisis-krisis antara Tionghoa dan pribumi di Indonesia. Selain itu menguraikan tentang posisi etnis Tionghoa dalam sejarah nasional Indonesia. Buku ini memiliki kontribusi dalam penyusunan karya tulis ini yaitu membantu penulis untuk memahami sejarah dan karakteristik etnis Tionghoa di Indonesia dan masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan keberadaan etnis Tionghoa.

(4)

Dalam bukunya bagaimana Suryadinata (2002: 70) berusaha mengungkapkan tentang status dan kedudukan orang-orang Tionghoa di Indonesia telah ditempatkan pada posisi lebih tinggi daripada pribumi, dengan harapan mempertahankan keterpisahan masyarakat Tionghoa dengan pribumi. Hal ini berlaku pada masa kolonial Belanda untuk memperburuk hubungan antara orang pribumi dengan orang Tionghoa, seperti hak istimewa dalam pendidikan, dan kesempatan menjadi warga negara Belanda. Adanya perbedaan semacam ini menurut penulis, akan mengakibatkan ketidaksengangan orang pribumi terhadap orang-orang Tionghoa melalui prasangka negatif. Keadaan-keadaan seperti ini tidak berubah setelah Indonesia merdeka terutama pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

Selanjutnya buku kedua karangan Leo Suryadinata (1999) yang berjudul “Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa”. Karya dari Suryadinata ini lebih banyak menyoroti persoalan-persoalan etnis Tionghoa melalui kajian studi komparatif di Asia Tenggara yakni Indonesia dan Malaysia. Dalam buku ini menjelaskan kebijakan pemerintah dan integrasi nasional di Indonesia. Pemerintah Indonesia baru tampaknya menerapkan kebijakan integrasi nasional yang plural. Integrasi Nasional didefinisikan dalam pengertian menciptakan identitas nasional. Ini mencakup integrasi politik dan integrasi teritorial. Penciptaan kebudayaan Indonesia adalah salah satu tujuan integrasi nasional. (Suryadinata, 1999 : 156). Kebijakan terhadap kelompok ‘minoritas asing’ berbeda. Pemerintah menggunakan model asimilasi yang mengharuskan etnis Tionghoa meninggalkan identitas Cina mereka dan mengubahnya menjadi identitas ‘pribumi’ Indonesia.

(5)

Dengan kata lain, kecinaan dianggap ‘asing’ dan ‘berbahaya’ bagi pembentukan kebudayaan Indonesia (Suryadinata, 1999 : 157). Tujuan kebijakan Indonesia terhadap etnis Tionghoa masih merupakan pembauran total. Kebijakan asimilasi dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti pendidikan, status bahasa Cina, undang-undang kewarganegaraan, dan peraturan mengganti nama. Sebagian besar isi dari buku ini lebih berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap keberadaan golongan etnis Tionghoa sebagai kaum minoritas. Kekurangan dari buku “Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia” serta “etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa” sedikit sekali mengungkapkan hal tentang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, padahal dalam bukunya diungkapkan masalah kewarganegaraan.

Buku ketiga, Berkenaan dengan masalah orang Indonesia keturunan Cina, baik totok maupun peranakan yang sudah ratusan tahun turun temurun menjadi penduduk Indonesia, meskipun sudah banyak kemajuan yang dicapai, hingga sekarang belum terpecahkan dengan tuntas. Oleh karena itu, Profesor Stuart W. Greif (1991) dalam bukunya yang berjudul “WNI; Problematik Orang Indonesia Asal Cina”, mengungkapkan berbagai problematik yang dihadapi orang Indonesia asal Cina. Buku ini berisi tentang curahan isi hati dan pikiran orang-orang keturunan Cina baik yang sudah maupun belum menjadi WNI, mengenai diri mereka, serta keluarga, nenek moyang, pekerjaan, pengalaman hidup, dan berbagai harapan mereka sebagai penduduk Indonesia. Pendapat mereka mengenai usaha pemerintah untuk memecahkan sejumlah masalah mereka melalui jalan asimilasi (pembauran). Dan kesempatan untuk menjadi WNI. Selain itu,

(6)

berisi pula informasi mengenai latar belakang yang menyebabkan mereka, bahkan hingga hari ini, seolah-olah tidak dianggap sebagai orang Indonesia oleh golongan pribumi, walaupun namanya sudah diganti dan statusnya sudah WNI. Kemudian pertentangan antara golongan integrasionis yang menginginkan keturunan Cina menjadi suku bangsa tersendiri di samping suku-suku lain di Indonesia dengan golongan asimilasionis yang ingin membaurkan diri ke dalam masyarakat Indonesia sehingga lebur menjadi orang Indonesia, dan berbagai upaya pemerintah sejak zaman Soekarno hingga saat ini untuk memecahkan masalah Cina ini. Sebagian besar kajian buku ini merupakan dialog tanya-jawab dengan orang-orang Tionghoa peranakan yang tinggal di Indonesia, namun dalam metode tanya-jawab ini mengandung kelemahan karena penyajian data dan fakta yang dikemukakan oleh orang-orang Tionghoa tersebut dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya dalam arti bias. Dalam hal ini kejelian seorang sejarawan sangat diperlukan dalam menafsirkan setiap data dan fakta yang ditemui di lapangan.

Buku keempat, karya dari Hari Poerwanto (2005) yang berjudul “Orang Cina Khek dari Singkawang”. Meskipun tema buku ini adalah masyarakat Cina Khek di Singkawang, tetapi buku ini memberikan banyak data sejarah mengenai persoalan orang Cina di Indonesia secara keseluruhan. Mengungkapkan berbagai kebijakan politik dan hukum yang dikeluarkan pemerintah penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga tahun 1990 untuk mengatasi masalah orang Cina. Selain itu, ada pula pembahasan mengenai Periode Dwi Kewarganegaraan di zaman pemerintah Soekarno berikut gejolak politik

(7)

yang menyertainya. Kekurangan dari buku ini sedikit sekali mengungkapkan penjelasan tentang isi Perjanjian Dwi Kewarganegaraan serta dampak yang ditimbulkannya dari pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan hanya secara umum diungkapkan.

Buku kelima, karangan Mely G. Tan (1979) yang berjudul Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Kajian dari buku ini lebih melihat pada pendekatan sosial-historis dan ekonomi dalam melihat keberadaan golongan etnis Tionghoa di Indonesia. Mely G, Tan mencoba untuk menganalisis secara jelas tentang fungsi ekonomi, sebab musabab, serta proses pembentukan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Indonesia sebagai minoritas, namun mereka pada gilirannya mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam bidang ekonomi. Sebagian besar buku ini merupakan saduran dari G. William Skinner, seorang antropologi Amerika Serikat, dalam karangannya yang berjudul “The Chinese Minority”. Memberi gambaran yang menyeluruh ditinjau dari segi sosial budaya. Dengan menggunakan sumber-sumber Barat (khususnya Belanda dan Inggris), Tionghoa dan Indonesia (Peranakan Tionghoa maupun etnis Indonesia), Skinner mencoba memberikan analisa sosial-historis mengenai kedatangan serta perkembangan permukiman dan peranan orang-orang Tionghoa di Indonesia sampai tahun 1960-an.

Menurut Skinner (1979:IX), salah satu upaya dalam memahami tentang golongan etnis Tionghoa di Indonesia bukanlah didasarkan pada kriteria ras, hukum ataupun budaya, melainkan pada identifikasi sosial : di Indonesia seorang keturunan Tionghoa disebut orang Tionghoa, jika ia bertindak sebagai anggota

(8)

dari dan mengidentifikasi dirinya dengan masyarakat Tionghoa. Satu-satunya ciri budaya yang dapat diandalkan adalah penggunaan nama keluarga Tionghoa. Karangan ini dibuat sebelum peristiwa G 30 S 1965 dan sebelum ada anjuran pergantian nama bagi orang-orang keturunan asing yang mengakibatkan perubahan nama secara misal sejak 1966. Selain itu hal yang disoroti adalah mengenai konsentrasi pemukiman orang-orang tionghoa, yang asing maupun warga negara, di daerah perkotaan-perkotaan, terutama di kota-kota besar.

Keadaan ini sebelumnya sudah terbentuk seja zaman Belanda. Berdasarkan sensus tahun 1930 sebagian besar orang-orang Tionghoa yang bermukim di Indonesia sebagian besar tinggal di Pulau Jawa terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Surakarta, dan Surabaya. Adanya peraturan-peraturan Belanda tersebut membantu dalam pembentukan pola pemukiman pola tersebut. Kemudian ditambah dengan gejolak sosial-politik pada perang dunia II dan Revolusi kemerdekaan RI terjadi eksodus-eksodus orang-orang Etnis Tionghoa dari pedesaan ke kota-kota kecil ke kota-kota besar, terutama di Jawa. Sejak tahun 50-an orang-orang Etnis Tionghoa menjadi lebih urban lagi. Terutama setelah pelaksanaan PP no 10 tahun 1959-60 orang Tionghoa asing di Jawa tidak diperbolehkan berusaha di tingkat bawah kabupaten.

Dari pemaparan diatas tentang buku ini menurut penulis, Mely G. Tan seolah ingin menyatakan bahwa orang etnis Tionghoa di Indonesia masih memegang peranan yang penting dalam kehidupan ekonomi, meskipun sudah ada diversifikasi diluar bidang perdagangan perantara, dan bagi mereka yang masih merupakan warga negara Indonesia dan peranakan.

(9)

Buku keenam, karangan I. Wibowo (1999) yang berjudul Restropeksi dan Rekonstruksi Masalah Cina. Sebagian besar isi buku ini merupakan kumpulan makalah-makalah yang membahas tentang masalah-masalah Cina di Indonesia dari kebijakan pemerintah Orde Lama sampai Orde Baru. I. Wibowo (1999:127) melalui pendekatan sosio-historis, buku ini menggarisbawahi bahwa orang-orang Cina perantauan yang tinggal di Asia Tenggara sama sekali tidak memiliki ikatan politik apapun dengan pemerintah RRC di Beijing, mengingat pada tahun 1949-1966 terjadi perubahan kebijakan politik di bidang kewarganegaraan melalui prinsip ius sanguinis.

Menurut Wibowo prinsip ius sanguinis dimana semua orang Cina yang dilahirkan di luar negara Cina tetap dianggap sebagai orang Cina dengan harapan dapat memberikan bantuan keuangan sebagai pemerintah RRC. Dan pada tahun 1956 terjadi pergeseran, dimana tidak semua etnis Cina berpihak pada pemerintah RRC. Pihak Taiwan dibawah partai Nasionalis hendak memperebutkan kelompok etnis Cina. Hal ini mengakibatkan pemerintah di negara-negara Asia Tenggara memaksa kelompok etnis Cina untuk mendidik anak mereka dengan pendidikan setempat. Hal ini diperkuat dengan ketidaksenangan pemerintah terhadap etnis Cina di Asia Tenggara akan kecurigaan bahwa etnis Cina akan dijadikan mata-mata oleh mereka. Hingga sejak tahun 1957 pemerintah RRC mulai mengambil jarak dengan kelompok Cina perantauan yang dapat mengganggu kebijakan luar negeri mereka. Bila ditelaah buku karya I. Wibowo ini, hendak menyoroti kewarganegaraan mereka sebagai kebijakan yang sarat dengan kepentingan ekonomi.

(10)

Buku ketujuh, yakni karya I. Wibowo (2001) yang berjudul “Harga Yang Harus Dibayar; Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia”. Karya Wibowo ini merupakan kumpulan karangan dari berbagai sejarawan yang menyoroti asal muasal “masalah Cina”, berikut segala implikasinya. Terutama dilema yang mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Yang berbeda dari buku ini adalah memuat manusianya, maksudnya orang-orang yang mengalami berbagai peristiwa dalam masalah Cina, turut serta berbicara didalamnya.

Selain buku yang membahas mengenai kewarganegaraan golongan etnis Cina di Indonesia, juga penulis menggunakan beberapa literatur yang memaparkan tentang persoalan-persoalan politik dan perekonomian golongan etnis Tionghoa. Pertama, karangan Amir Nadapdap dkk. (2003) yang berjudul “Jurnalisme Anti Toleransi? Rasialisme dalam Pemberitaan Pers”. Buku yang ditulis oleh tim KIPPAS ini merupakan kumpulan riset hasil penelitian pemberitaan menyangkut media massa / pers. Buku ini mencoba memaparkan sisi lain dari keberadaan etnis tionghoa di Indonesia yaitu peran dari media massa / pers. Menurut Nadapdap (2003:7) masyarakat Tionghoa adalah adalah suatu etnis dari sekian banyak etnis lain yang menghuni nusantara ini, dan keberadaannya selalu dianggap sebagai orang asing di Indonesia, stereotif seperti ini oleh sebagian orang dianggap sebagai kebenaran. Sikap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sebenarnya berawal ketika Belanda datang ke Indonesia. Sebelum kedatangan kolonial, masyarakat Indonesia tidak mengenal konsep ras. Hal ini bisa dilihat dari perkawinan antar etnis, ras dan bangsa pada masa itu. Ketika Belanda dating ke Indonesia. Mereka mempopulerkan konsep ras, untuk

(11)

memberikan legitimasi atas penjajahan yang mereka lakukan. Ide ras ini membenarkan usaha untuk membedakan golongan orang Tionghoa dengan Pribumi yang berpijak pada kepentingan ekonomi. Tidak hanya pada masa kolonial, namun juga pada masa Demokrasi Terpimpin melalui PP no 10/1959 yang isinya melarang orang Tionghoa berdagang di pedesaan hingga 31 Desember 1959 mengakibatkan sekitar 100.000 lebih orang Tionghoa mengungsi ke luar negeri.

Kelebihan dari isi buku ini adalah bagaimana memaparkan dengan detail permasalahan dan krisis yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak hanya dalam bidang politik dan pendidikan, namun juga dalam media massa atau pers. Sebagaimana diketahui bahwa pers yang berfungsi sebagai lembaga independent dalam menyampaikan aspirasi masyarakat tanpa mengenal ras, masih terdapat golongan etnis Tionghoa, menurut Nadapdap dkk. (2003:75) bahwa :

“Etnisitas sering mempunyai implikasi politik yang kuat, seperti juga perubahan politik selalu mempunyai dampak terhadap posisi etnisitas. Dalam hal ini, maka posisi etnisitas Tionghoa sebagai etnis yang sering mengalami diskriminasi masih belum berubah karena sikap politik pemerintah Indonesia masih tetap melegitimasikan pembedaan terhadap etnis Tionghoa. Dan media masih belum sepenuhnya menjadi agen perubahan dari upaya diskriminasi pada tataran wacana.”

Buku kedua, yang mengkaji tentang perekonomian golongan etnis Tionghoa yaitu karya dari Bob Widyahartono (1989)yang berjudul “Kongsi & spekulasi Jaringan Kerja Bisnis Cina. Buku ini merupakan buku yang disadur dari J.L. Veleming Jr. yang berjudul asli Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsh-Indie (1926). Buku ini lebih menitikberatkan pada kehidupan seluk beluk kebudayaan bisnis Cina secara menyeluruh, berbeda dengan buku lainnya yang

(12)

lebih banyak menyoroti terhadap aspek Antropologi dan politik, buku ini melalui pendekatan sosiologi dan ekonomi. Buku ini berusaha untuk memaparkan tentang bagaimana kehidupan perniagaan Cina Perantauan di jaman penjajahan Belanda. Widyahartono (1989:XI) menjelaskan bagaimana posisi ekonomi pada masa kolonial Belanda termasuk latar belakang dan kedatangan orang-orang Cina perantauan, melalui kajiannya yang mendalam Widyahartono memaparkan tentang orang-orang Cina yang pertama kali memasuki Hindia Belanda bukanlah orang yang mempunyai modal atau keterampilan bermutu tinggi, melainkan sebagai buruh kasar yang tak memiliki keahlian, keterampilan teknis, ataupun pengetahuan khusus, melainkan tenaga kasar yang berasal dari sektor pertanian.

Selain itu, buku ini mencoba menggaris bawahi bahwa peranan orang Cina perantauan di bidang ekonomi ditempatkan pada posisi yang istimewa sebagai perantara daripada pribumi. Sampai tahun1920-an, terbukti dalam kegiatan bisnis pemerintah selalu menempatkan mereka dalam bisnis skala kecil dan menengah. Peranannya hanya dibatasi pada perantara saja. Widyahartono (1989:X) hendak menganalisis faktor keberhasilan ekonomi Cina perantauan tidak hanya secara faktor politis yang ditempatkan oleh pemerintah kolonial pada posisi yang menguntungkan tapi lebih melihat pada faktor internal yaitu sifat dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki orang Cina yang menjadikan rata-rata mereka sukses di bidang ekonomi.

Menurut penulis faktor internal inilah yang tidak disinggung dalam buku-buku yang membahas etnis Tionghoa lainnya. Jadi meskipun secara eksplisit tidak dinyatakan bahwa mereka dibatasi ruang geraknya, yaitu sebagai perantara

(13)

perdagangan diimbangi dengan sifat dan kebiasaan mereka ulet menyebabkan kedudukan sebagai golongan yang minoritas memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Belanda saat itu. Dan pada tahun 1930-an orang-orang Cina mulai diberi kebebasan dalam memperoleh pengajaran di dunia pendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Selain itu, pembahasan lebih diarahkan pada sisi keunggulan yang dimiliki oleh bangsa Cina dan Cina perantauan di Indonesia dan berkaitan dengan kehidupan seluk beluk budaya bisnis Cina yaitu mulai dari kehidupan keluarga hingga kehidupan bisnis mereka, penggunaan nama, Cap dagang, cara menghitung waktu, bahasa, aksara merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan dan pandangan hidup orang Cina, yang dipermukaan seakan-akan tampak sempit, tetapi pada hakikatnya adalah kosmopolit.

Buku Ketiga, karangan Charles A. Coppel (1994) yang berjudul “Tionghoa Indonesia Dalam Krisis”. Buku ini berisi tentang latar belakang sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, timbulnya anti Tionghoa, kebijakan pemerintah mengatur etnis Tionghoa, dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam pemerintahan. Selain itu pula isi buku ini menyoroti tentang kehidupan perekonomian etnis Tionghoa pada masa Orde Lama dan Orde Baru, juga memaparkan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pergantian agama dan pergantian nama masyarakat etnis Tionghoa pada masa Orde baru. Hal ini terjadi karena pemerintah ingin melaksanakan pembauran dan asimilasi secara konsekwen.

Buku keempat, karangan R.Z. Leirissa dkk. (1996) yang berjudul “Sejarah Perekonomian Indonesia”. Karya Leirissa ini lebih banyak menyoroti sejarah

(14)

perekonomian Indonesia dari masa prasejarah, perkembangan kota-kota dagang dari masa emporium sampai imperium, ekonomi Indonesia masa tanam paksa, masa revolusi dan masa pembangunan. Kajian buku ini berusaha memberikan suatu pandangan dan gambaran tentang perkembangan perekonomian Indonesia secara umum terutama pada masa transisi sejak kemerdekaan Indonesia, yaitu pada masa Demokrasi Terpimpin. Menurut Leirissa (1996:99) perkembangan ekonomi Indonesia pada masa itu mengalami kemunduran terutama dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kemerosotan ekonomi berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Di bidang moneter terjadi nilai pemotongan nilai mata uang yang menyisakan nilai sepersepuluh dari nilai mata uang kertas sedang beredar. Berdasarkan hal ini, maka tingkat inflasi tahun 1960 adalah 11 kali lipat dan tahun 1965 sebesar 512 kali lipat, hal itu mengakibatkan cadangan devisa negara menurun drastis. Perkembangan ekonomi yang menurun ini memberikan sumbangan besar pada kerusuhan sosial yang timbul di berbagai tempat. Kejadian ini memicu pergolakan politik yang bermuara pada kejatuhan Soekarno.

Selain buku yang membahas mengenai kehidupan kewarganegaraan, politik, dan ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia, juga penulis menggunakan beberapa literatur yang memaparkan tentang persoalan sosial dan kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Diantaranya yaitu buku pertama, yaitu karya Hidajat Z.M. yang berjudul “Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia” (1993). Fokus kajian dari buku ini lebih menekankan pada aspek kebudayaan Cina yang tinggal di Indonesia. Melalui pendekatan sosio-historis. Buku ini lebih menyoroti pada masalah yang menyangkut kehidupan sosial kultural golongan minoritas

(15)

keturunan Cina. Bagaimana menjelaskan tentang dasar-dasar pemikirannya, pandangan hidup serta ajaran-ajaran filsafatnya.

Selanjutnya mengenai sistem kepercayaannya, struktur sosial dan segala aspek lainnya berhubungan dengan kehidupan kultural orang Cina pada umumnya. Selain memaparkan bagaimana dasar-dasar kepercayaan yang di bawa orang Cina di Indonesia, Hidajat (1993: 12) ingin menjelaskan bagaimana posisi antara orang-orang Cina di Indonesia dengan pemerintah RRC yang bertanggung jawab terhadap masalah Cina perantauan di Indonesia. Selain itu dipaparkan pula usaha pemerintah dalam menangani masalah Cina melalui program asimilasi yang gencar dilakukan oleh Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru, yaitu proses pembentukan dan pembauran dalam sistem nilai-nilai sosial budaya yang kemudian dinyatakan dalam sikap dan pola-poal cara berpikir serta berorientasi seperti kepada bangsa Indonesia, yang memang sampai saat ini proses asimilasi masih belum berakhir hingga sekarang.

Menurut penulis mengenai isi buku yang ditulis oleh Hidajat Z. M. ini lebih banyak menyoroti tentang nilai-nilai aspek kebudayaan Cina yang masih berorientasi pada budaya leluhur tanpa memahami seluk-beluk dan masalah Cina di Indonesia. Salah satu kelebihan dari buku ini adalah pengambaran tentang kebudayaan etnik Cina yang telah membaur dengan kebudayaan masyarakat Indonesia sehingga memiliki ciri khas yang berbeda dengan kebudayaan nenek moyangnya terutama bagi orang-orang Tionghoa peranakan di Indonesia.

Kedua, yaitu buku karangan Tarmizi Taher (1973) yang berjudul “Masyarakat Cina dan Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia”.

(16)

Dalam bukunya, Taher bermaksud menjawab sebagian persoalan-persoalan komunitas Cina di Indonesia melalui pendekatan asimilasi. Buku ini dibuat pada masa pemerintahan Orde Baru sehingga segala pandangan-pandangan yang ada dalam buku ini memiliki kesamaan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa itu. Salah satu persoalan yang hendak dijawab oleh Taher yaitu menyangkut Cina perantauan dengan melihat kembali kultural orang Cina yaitu sistem nilai (mentalitet) khususnya budaya kerja dan ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya. Buku ini secara khusus mencoba menyoroti beberapa model pemecahan masalah Cina perantauan yang mungkin dapat diterapkan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia.

Selain itu buku ini mencoba menggunakan pendekatan teori migran (minority) mencoba menggambarkan tentang keberhasilan orang Cina sebagai perantau di Indonesia. Namun teori ini juga sebenarnya mengandung kelemahan menurut penulis, dalam beberapa kasus daerah di Indonesia dapat ditemukan tidak semua etnis Cina berhasil dalam bidang ekonomi, contohnya Cina di Kalimantan, Padang, Medan, dll. Sedangkan dalam bagian terakhir buku ini dibahas pula tentang masalah pokok antara hubungan pribumi dan keturunan Cina yang terletak pada kenyataan adanya jurang ketimpangan di bidang ekonomi yang sangat dalam.

Ketiga, yaitu “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia” (1993) karya Koentjaraningrat. Pemaparan dari buku Koentjaraningrat ini tidak berbeda jauh dengan buku-buku yang membahas kebudayaan Cina lainnya. Hal yang membedakan dari isi buku ini terletak pada pendekatan yang digunakan dalam

(17)

mengkaji keberadaan etnis Tionghoa, yaitu melalui kajian ilmu antropologi, sesuai dengan bidang keilmuannya. Koentjaraningrat (1993: 356) menggarisbawahi bahwa persoalan menyangkut etnis Tionghoa dapat ditelusuri melalui pendekatan kebudayaan yaitu bahwa memang secara kultural dan ras orang Tionghoa memang berbeda dengan orang Indonesia lainnya. Namun dalam perkembangannya, orang Tionghoa itu sendiri terbagi dalam dua golongan yaitu golongan peranakan dan totok. Penggolongan tersebut hanya berdasarkan kelahiran saja, artinya orang peranakan itu, bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan totok bukan hanya orang Tionghoa yang lahir di negara Tionghoa. Penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi dari para perantau Tionghoa itu terhadap kebudayaan Indonesia yang ada di sekitarnya.

Selain itu, masih ada soal lain yang disorot dalam identifikasi orang Tionghoa di Indonesia, ialah soal kewarganegaraannya yang merupakan suatu soal yang rumit hingga sejak tahun 1960 berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan RRC, mereka dapat memilih salah satu kewarganegaraan, ialah warga negara Cina atau warga negara Indonesia (WNI). Sedangkan mengenai pola perkampungan dan sistem kekerabatan, serta kehidupan religi mereka umumnya masih memegang nilai adat budaya leluhur mereka terutama perayaan hari raya imlek yang dirayakan setahun sekali.

(18)

2. 1. 3. Sumber yang Membahas Perjanjian Dwi Kewarganegaraan

Buku pertama yang menjadi rujukan penulis adalah karya Prof. Mr. Dr. Gouw Giok Siong (1958) dalam bukunya yang berjudul “Warga Negara dan Orang Asing (berikut Peraturan-peraturan dan Tjontoh-tjontoh)”. Buku ini dibagi dalam tujuh bagian, pertama berkaitan dengan faham kewarganegaraan. Kedua, tinjauan sejarah kedudukan hukum kenegaraan golongan Tionghoa di Indonesia dari “asing sampai Nederlands Onderdaanschap”. Ketiga, mengenai perbandingan kekawulaan Belanda dengan kewarganegaraan Indonesia. Keempat, mengenai isi kewarganegaraan Indonesia. Kelima, mengenai siapa warga negara R.I ?. Dalam bab ini secara khusus diungkapkan masalah mengenai perjanjian dwi kewarganegaraan antara Soenario-Chou tahun 1955. Keenam, mengenai masalah perkawinan dan kewarganegaraan. Ketujuh, berkaitan dengan masalah asimilasi. Menurut penulis kelebihan dari buku yang ditulis oleh Gouw Giok Siong ini cukup menyeluruh membahas tentang masalah kewarganegaraan khususnya mengenai etnis Tionghoa. Selain itu buku ini sangat menjiwai jamannya yakni sekitar pasca proklamasi yang mana perhatian terhadap masalah-masalah status warganegara dan orang asing semakin memuncak.

Buku kedua yang menjadi rujukan penulis adalah karya Leo Suryadinata (1984) dalam bukunya yang berjudul “Dilema Minoritas Tionghoa”. Buku ini dibagi dalam tiga bagian, bagian pertama, Suryadinata menjelaskan persepsi tentang Bangsa Indonesia dan minoritas Tionghoa. Bagian kedua, memberikan uraian singkat tentang posisi ekonomi orang Tionghoa serta analisa sosiohistoris terbatas mengenai masyarakat Tionghoa Indonesia. Bagian ketiga, menjelaskan

(19)

bagaimana kebijaksanaan pemerintah Indonesia yaitu menguraikan bagaimana suatu persepsi orang Indonesia tertentu yang dominan sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijaksanaan. Misalnya, persepsi kaum nasionalis yang sekuler mengenai etnik Tionghoa menang dalam masa Liberal dan Demokrasi Terpimpin, sedangkan persepsi kaum militer dominan setelah kudeta tahun 1965 (Suryadinata, 1984 : XXIII).

Persepsi-persepsi ini berkembang sesuai dengan kendala ekonomis dan politis pada waktu itu, terwujud dalam kebijakasanaan pemerintah Indonesia terhadap Tionghoa lokal dari tahun 1949 sampai 1975, serta dampaknya bagi kebijaksanaan Indonesia terhadap RRC. Walaupun negara RI diproklamasikan pada tahun 1945, penguasaan sebenarnya oleh pemerintah atas semua daerah baru benar-benar tercapai setelah 1949. Oleh karena itu bahasannya berpusat pada masa setelah 1949, kecuali mengenai masalah kewarganegaraan yang dilihat sejak tahun 1946. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah berkaitan dengan kebijaksanaan di bidang ekonomi, kewarganegaraan, kebudayaan, dan pendidikan yang bagaimanakah yang selama ini dijalankan oleh Indonesia terhadap minoritas Tionghoa? Apakah kebijaksanaan tersebut sejalan atau bertentangan dengan asas yang berasal dari persepsi pribumi? Bagaimankah persepsi Indonesia mengenai minoritas Tionghoa berpengaruh terhadap kebijaksanaan Indonesia terhadap RRC (Suryadinata, 1984 : XXIV). Di bagian ketiga inilah Suryadinata menjelaskan rancangan undang-undang kewarganegaraan 1954 dan undang-undang kewarganegaraan 1958 yang tentunya berkaitan dengan status etnis Tionghoa di Indonesia. Dan lahirnya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dan status kebangsaan

(20)

orang-orang Tionghoa lokal. Serta pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dan dampak yang ditimbulkannya.

2. 2. Landasan Teoritis

Asimilasi merupakan konsekuensi logis dari pemberian status WNI kepada orang Cina yang lahir dan puluhan tahun lamanya menetap serta mencari nafkah di Indonesia. Hal ini sesuai dengan landasan idiil dan konstitusional negara RI yang Bhineka Tunggal Ika (Poerwanto, 2005 : 303). Dewasa ini, ide mengenai asimilasi di kalangan orang Tionghoa belum dapat menunjukkan hasil yang berarti. Menurut Poerwanto (2005 : 4) dalam kehidupan sehari-hari, asimilasi yang ditampilkan dalam kondisi tertentu, tampaknya lebih bersifat superficial dan formal. Kondisi ini tidak lepas dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Di samping itu, satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah dimensi asimilasi di kalangan orang Cina, berbeda dengan dimensi asimilasi di kalangan berbagai suku bangsa bumiputra.

Koentjaraningrat menyatakan (2003 : 160) bahwa, asimilasi merupakan suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Dalam peristiwa seperti itu biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesuaikan diri dengan golongan mayoritas. Sehingga sifat-sifat khas dari

(21)

kebudayaannya lambat laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.

Menurut Koentjaraningrat (Poerwanto, 2005 : 6) bahwa, sifat majemuk bangsa Indonesia, selain merupakan kebanggaan, dapat pula menjadi sumber konflik, baik antar suku bangsa maupun antar golongan. Unsur-unsur penting dalam usaha dan proses pembangunan negara kesatuan Indonesia adalah saling pengertian, integrasi dan asimilasi di antara berbagai suku bangsa dan golongan.

Dalam konteks Indonesia, persoalan etnis Tionghoa yang telah berstatus warga negara Indonesia (WNI) adalah erat hubungannya dengan proses pembinaan bangsa, terutama mengingat sifat majemuk bangsa Indonesia dan polarisasi yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Diskriminasi dan prasangka merupakan faktor yang dapat menghambat terciptanya asimilasi dalam hubungan mayoritas-minoritas. Schermerhorn (Poerwanto, 2005 : 10) mengemukakan bahwa prasangka merupakan jawaban yang muncul dari berbagai situasi, yaitu situasi sejarah, ekonomi atau politik.

Sebagai salah satu bentuk proses sosial, asimilasi erat kaitannya dengan proses dan hasil pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Dalam pokok-pokok dan garis-garis penting yang dirumuskan oleh 30 “lonely fighters” penganut faham asimilasi dalam seminar dan piagam asimilasi tertanggal 13-15 Januari 1961 di Bandungan (Ambarawa), terdapat dua definisi asimilasi yaitu :

1. secara umum, dengan asimilasi dimaksudkan proses penyatuan gabungan golongan-golongan yang mempunyai sikap mental, adat kebiasaan dan pernyataan-pernyataan kebudayaan yang berbeda-beda menjadi suatu kebulatan sosiologis yang harmonis dan bermakna, yaitu yang dalam hal ini dinamakan bangsa (nation) Indonesia.

(22)

2. secara khusus, untuk warganegara Indonesia keturunan Tionghoa asimilasi dalam hal ini berarti masuk dan diterimanya orang-seorang yang berasal keturunan Tionghoa ke dalam tubuh bangsa (nation) Indonesia tunggal sedemikian rupa, sehingga akhirnya golongannya semula yang khas tidak ada lagi. Dengan demikian asimilasi khusus inipun ditempatkan dalam rangka “nation-building” Indonesia.

Asimilasi dan akulturasi sebagai bentuk proses sosial seringkali dipakai dalam pengertian yang sama bahkan tidak jarang menjadi tumpang tindih. Milton M. Gordon (Poerwanto, 2005 : 13) menyatakan bahwa, ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai para ahli sosiologi, sedang para ahli antropologi lebih suka mempergunakan istilah akulturasi. Sekalipun kedua istilah tersebut pada dasarnya mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan dimensi berbeda. Lebih jauh, Herskovits (Poerwanto, 2005 : 13) berpendapat bahwa “makna yang terkandung dalam akulturasi berbeda dengan perubahan kebudayaan, sedangkan asimilasi adalah salah satu tahapan dari akulturasi”. Salah satu proses sosial lain yang erat kaitannya dengan pemahaman asimilasi adalah akomodasi. Akomodasi sebagai suatu proses ditandai dengan usaha menciptakan keseimbangan, sekaligus menjauhkan hal-hal yang menimbulkan konflik. Ada kalanya usaha tersebut dilakukan secara sadar, namun dapat pula karena terpaksa. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, ditandai dengan terciptanya keseimbangan hubungan antara individu maupun antar kelompok (Poerwanto, 2005:16). Akomodasi yang menunjuk pada proses maupun yang menunjuk pada suatu keadaan tertentu, erat kaitannya dengan kompromi dan konversi.

(23)

Dalam rangka mewujudkan asimilasi, salah satu contoh penggunaan kompromi adalah pemberian status WNI kepada orang-orang Cina. Sekalipun dalam kenyataan, pemberian status WNI ini masih menimbulkan rasa kurang puas pada kedua belah pihak, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bentuk akomodasi lain yang diharapkan dapat berperan mengatasi hubungan yang kurang mendukung asimilasi adalah konversi. Pada hakikatnya konversi dapat dijadikan pedoman atau arah untuk mewujudkan asimilasi, sehingga sumber potensi konflik dapat dieliminasi (Poerwanto,2005:17).

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi (Soekanto, 1975 : 208) adalah antara lain :

a. Toleransi.

b. Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang. c. Suatu sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.

d. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.

e. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan. f. Perkawinan campuran (amalgamation). g. Adanya musuh bersama dari luar.

Faktor-faktor yang dapat mengahalang-halangi terjadinya asimilasi (Soekanto, 1975 : 228-229) adalah antara lain :

a. Terisolirnya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat. b. Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi. c. Perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi. d. Perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok

tertentu lebih superior daripada golongan atau kelompok lainnya. e. Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan

ciri-ciri fisik dapat pula menjadi penghalang terjadinya asimilasi. f. Suatu in-group feeling yang kuat.

g. Apabila golongan minoritas mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa.

(24)

h. Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi.

Menurut Koentjaraningrat (2003 : 160) dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti, diketahui bahwa :

“pergaulan intensif saja belum tentu mengakibatkan terjadinya suatu proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan contohnya adalah orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi bangsa Indonesia sejak beberapa abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaannya sendiri lebih unggul dari kebudayaan pihak yang dihadapi”.

Menurut Soerjono Soekanto (1975 : 209-210) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyulitkan asimilasi antara orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Indonesia, adalah antara lain :

a. Perbedaan ciri-ciri badaniyah.

b. In-group feeling yang sangat kuat pada golongan tionghoa, sehingga mereka lebih kuat mempertahankan identitas sosial dan kebudayaannya.

c. Dominasi ekonomi yang menyebabkan timbulnya sikap superior. Dominasi ekonomi tersebut bersumber pada fasilitas-fasilitas yang dahulu diberikan oleh pemerintah Belanda, dan juga karena kemampuan tehnis dalam perdagangan serta ketekunan dalam berusaha.

Berkaitan dengan dimensi asimilasi yang berbeda antara orang Tionghoa dengan berbagai suku bangsa bumiputra, menurut Schermerhon (Poerwanto, 2005 : 19) bahwa terdapat implikasi tertentu dalam konsep integrasi, yaitu : pertama, dalam integrasi diperlukan legitimasi penguasa dan kedua, fusi yang terjadi dilakukan secara paksa. Schermerhon menjelaskan pula bahwa dalam konsep tersebut terdapat pengertian brought into dan a process, yang berarti integrasi

(25)

bukan merupakan proses yang terus- menerus, bukan menunjuk pada suatu keadaan tertentu yang absolut, melainkan situasional. Selain itu Schermerhon menyatakan bahwa studi integrasi mencakup tiga masalah utama, yaitu :

1. integrasi sebagai masalah yang terkait erat dengan legitimasi;

2. integrasi sebagai masalah yang terkait erat dengan kongkurensi kebudayaan; dan

3. integrasi sebagai masalah yang dapat menimbulkan ketidaksesuaian pandangan, terutama sehubungan dengan batasan integrasi yang menyangkut penempatan suatu suku bangsa atau golongan subordinat.

Guna mewujudkan asimilasi dalam rangka integrasi nasional di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia yang telah berstatus warga negara Indonesia, maka literatur diatas akan selalu digunakan sebagai sandaran teoritis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi

Kepentingan kemahiran komunikasi dalam kalangan pelajar turut disokong oleh Hurley (2008), yang ada menyatakan bahawa keperluan bagi kemahiran komunikasi ini

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Aplikasi manajemen rantai pasok dengan fitur peramalan dengan metode simple moving average pada PT Sun Motor Solo yang dibuat telah mampu memberikan informasi

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Sebagai agama yang dominan dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting