• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

Lanjut usia (lansia) dalam perkembangannya merupakan masa tua dimana seseorang akan mengalami kemunduran secara fisik dan psikis. Namun di masa kemundurannya ini, ditemukan ada lansia yang merasa diasingkan dari kehidupan keluarga meskipun hidup dalam lingkungan yang sama, merasa tidak berdaya dan tidak sejahtera hidupnya. Dengan demikian dalam bab I akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian tentang Subjective Well-Being, Kepribadian (Big Five Personality), dan Kebermaknaan Hidup Pada Lanjut Usia (Lansia) di Kota Salatiga Ditinjau dari Jenis Kelamin.

1.1 Latar Belakang

Memasuki era globalisasi saat ini, setiap bangsa dituntut untuk dapat mengikuti perubahan dan perkembangan agar dapat meningkatkan kemajuan negaranya. Kondisi tersebut menjadi hal yang positif karena dapat mendorong suatu bangsa untuk berjalan ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu, masyarakat diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, salah satunya dengan menyesuaikan diri. Namun, ketika masyarakat sulit untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan, maka kemungkinan akan tertinggal dalam memperbaiki taraf hidupnya. Kemudian perlu dicermati bahwa ada beberapa bidang yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa yaitu ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang medis. Bidang medis merupakan hal utama dari berbagai bidang karena dengan majunya bidang medis suatu negara, maka dapat membantu dalam peningkatan kualitas kesehatan yang tentunya dapat berpengaruh pada meningkatnya umur harapan hidup (UHH) manusia. Peningkatan ini diikuti dengan meningkatnya penduduk lanjut usia (lansia) dan peningkatan tersebut diketahui bertambah dengan cepat (Bandiyah, 2009).

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO, 2013) dan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menunjukkan diperkirakan tahun 2000 UHH mencapai 67 tahun. Angka ini terus mengalami peningkatan sampai tahun 2015 yaitu menjadi 70 tahun. Sementara tahun 2045-2050 menjadi 77 tahun dan 83 tahun pada tahun 2095-2100 berdasarkan data dalam World Population Prospects (Department of Economic and Social Affairs, 2015). Data ini sesuai dengan data dalam BPS (2013) yang menunjukkan bahwa UHH terus mengalami

(2)

2

peningkatan (expanded longevity). Oleh sebab itu, nampak bahwa populasi lanjut usia (lansia) mengalami perkembangan yang sangat cepat. Pernyataan ini didukung oleh penelitian (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) yang mengungkapkan bahwa tahun 2000, populasi lansia dunia telah tumbuh lebih dari 795.000 setiap bulannya dan diperkirakan akan mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipatnya pada tahun 2025. Selain itu, pada tahun 2025 akan ada lebih dari 800 juta orang berusia di atas 65 tahun, dan dua pertiganya tinggal di negara berkembang (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

Salah satu negara berkembang dengan jumlah lansia yang tinggi adalah Indonesia. Berdasarkan hasil Laporan Pelaksanaan Home Care Service (2011), Indonesia berada pada peringkat ke-10 dunia untuk populasi lansia. Pada awalnya rasio penduduk lansia di Indonesia termasuk kategori rendah yaitu sekitar 4,5% tahun 1971 (BPS, 1998). Namun, karena jumlahnya semakin meningkat, maka tahun 2012 jumlah penduduk lansia tercatat telah mencapai kurang lebih 18,55 juta orang atau 7,78 % dari total penduduk Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang menunjukkan angka rasio ketergantungan penduduk lansia (old age dependency ratio) tahun 2012 sebesar 12,01 (BPS, 2013). Pada tahun 2013 didapatkan proporsi lansia telah mencapai 8,1% dari total populasi (WHO, 2015). Merujuk pada tingginya persentase penduduk lansia dengan angka di atas 8% ini, menunjukkan bahwa negara Indonesia sudah mulai masuk ke kelompok negara berstruktur tua (ageing population). Data BPS (2014) menunjukkan di beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki persentase lansia di atas 7% yaitu di Yogyakarta Tengah (13,05%), Jawa Tengah (10,96 persen), dan Bali (10,05 persen). Hasil Angka Proyeksi BPS (2015) Jawa Tengah menempati posisi terbesar kedua, meningkat menjadi 11,79% pada tahun 2015 dengan jumlah lansia sebesar 3,98 juta jiwa. Berdasarkan data tersebut, nampak bahwa semakin banyak jumlah penduduk lansia setiap tahunnya.

Jumlah lansia yang meningkat dapat memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang mungkin muncul adalah pemerintah akan berusaha meningkatkan kesejahteraan dengan upaya promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif yang tepat dan optimal (Euis, 2012). Dampak negatif populasi penduduk lansia yang meningkat ini mengakibatkan kelompok risiko dalam masyarakat menjadi lebih tinggi (Kemenkes, 2013) dan meningkatnya jumlah penduduk lansia dapat menimbulkan masalah terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia, karena bila tidak ditangani maka dapat berkembang menjadi

(3)

3

masalah yang lebih kompleks (Komnas Lansia, 2010). Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah lansia merupakan fenomena yang harus diterima dan memerlukan perhatian serta penanganan yang memadai dari berbagai pihak. (Tata Laksana Usia Lanjut di Panti Jompo, 2011). Karena besarnya tingkat jumlah penduduk lansia merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan sekaligus menjadi tantangan dalam pembangunan suatu negara. Sehingga apabila kondisi tersebut tidak segera diantisipasi, maka tidak menutup kemungkinan proses pembangunan akan mengalami berbagai hambatan (Tanaya dkk., 2015).

Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan buruk yang akan terjadi, maka perlu memberdayakan lanjut usia karena lanjut usia merupakan salah satu aset bangsa. Untuk memberdayakan lanjut usia agar menjadi individu yang sehat, lebih produktif dan mandiri, lansia perlu memenuhi Subjective Well-Being. Quandagno (1980) mengungkapkan pada lansia, kekuasaan dan persentasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah. Atas dasar itulah orang lansia perlu untuk melakukan berbagai aktivitas agar mereka merasa tetap dihargai oleh orang-orang di sekitarnya dan dapat memiliki Subjective Well-Being dalam hidupnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan empat lansia di Salatiga yaitu 3 wanita dan 1 pria mengenai Subjective Well-Being (1/8/16) diketahui bahwa masalah terkait rendahnya Subjective Well-Being dialami oleh beberapa lansia tersebut. Sebagian besar subjek mengungkapkan sering merasa kesepian karena jarang ada keluarga yang mau peduli untuk berkomunikasi dengan dirinya. Biasanya ketika di rumah bersama keluarga, keluarganya seperti malas mengobrol dan lebih memilih menonton televisi atau melakukan kegiatan lainnya. Ada juga rasa ketidakberdayaan yang dialami karena merasa tidak produktif, fisik yang menjadi semakin lemah, dan merasa tidak mampu untuk banyak melakukan berbagai hal. Namun dua subjek lainnya merupakan orang yang aktif, dimana agar tidak merasa tidak berdaya, mereka aktif dalam kegiatan di daerah rumah dan kegiatan gereja. Selain itu, 1 dari subjek masih memiliki anak yang usianya masih cukup muda, subjek mengungkapkan bahwa sering merasa khawatir dan cemas dengan kehidupannya karena merasa sudah sangat tua, namun anaknya masih ada yang belum mapan dan tidak pasti arah hidupnya. Sementara, subjek lainnya juga merasa kecemasan yang timbul karena rasa khawatir pada kehidupan anak-anaknya, namun mereka tidak mampu membantu banyak karena anak-anaknya tidak mau membicarakan masalah yang dialami,

(4)

4

sehingga sebagian besar lansia tersebut merasa tidak dihargai keberadaannya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa ada beberapa lansia yang masih mengalami kekecewaan akan kehidupannya saat ini dan merasa belum tenang akan kehidupannya di masa tua ini. Masalah-masalah yang dirasakan oleh lansia tersebut, apabila tidak segera ditangani tentunya akan berpengaruh pada rendahnya Subjective Well-Being lansia.

Atas dasar beberapa fenomena tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada masalah terkait dengan Subjective Well-Being lansia. Menurut Diener (dalam Muba, 2009) Subjective Well-Being memiliki 3 komponen yang saling berhubungan yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif. Merujuk pada komponen tersebut, nampak bahwa terdapat masalah kepuasan hidup yang ditunjukan dengan sebagian besar lansia yang diwawancara merasa kondisi hidupnya masih belum sesuai dengan harapannya, dimana lansia tersebut masih sering mengalami kecemasan, belum mendapatkan hal-hal penting dalam hidup yang diinginkannya, merasa tidak puas akan kehidupannya kini namun semua mengungkapkan tetap bersyukur dan menerima kehidupannya ini. Sementara itu, merujuk pada afek positif juga terdapat masalah dimana rendahnya rasa bersemangat untuk aktif, kuat dan mau bergabung dengan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan semangat hidupnya. Sementara merujuk pada afek negatif, semua subjek masih sering merasa gelisah dan sedih akan kehidupannya kini.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, Subjective Well-Being penting untuk diteliti mengingat bahwa seseorang yang memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang Subjective Well-Being dan kepuasan hidup, maka cenderung bersikap lebih bahagia dan lebih puas (Muba, 2009). Taurista & Sadewo (2015) mengungkapkan peningkatan Subjective Well-Being lanjut usia penting untuk diarahkan agar lanjut usia tetap dapat diberdayakan sehingga berperan dalam kegiatan pembangunan dengan memperhatikan fungsi, kearifan, pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia, dan kondisi fisiknya. Sementara itu, Diener (2000) menyatakan jika lansia memiliki Subjective Well-Being yang baik, maka dapat membuat lansia menikmati kehidupannya, karena individu yang memiliki Subjective Well-Being yang tinggi pada umumnya memiliki sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan.

Dalam suatu kesempatan beberapa ahli menyatakan terdapat dampak positif dan negatif Subjective Well-Being pada lansia. Pavot & Diener (2010) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki Subjective Well-Being yang tinggi cenderung memiliki kepribadian ekstrovert, optimistik,

(5)

5

sebaliknya individu yang Subjective Well-Being rendah cenderung memiliki kepribadian yang neurotik, pesimistik. Selain itu, dampak negatif lainnya yaitu rendahnya tingkat Subjective Well-Being pada diri lansia tersebut membuat lansia memandang rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan sehingga timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, depresi dan kemarahan (Myers & Diener, 1995). Dengan kata lain bahwa, rendahnya Subjective Well-Being dapat menyebabkan meningkatnya risiko terkena penyakit jantung, dan bila sampai mengalami stres maka dapat menghambat penyembuhan penyakit (Davison, Lawson, & Coatsworth, 2010). Kemudian, Cotter & Fouad (2011) menjelaskan bahwa individu yang memiliki Subjective Well-Being yang tinggi akan menunjukkan kepuasan hidup tinggi dan lebih sering merasa bahagia. Sebaliknya, individu yang memiliki Subjective Well-Being yang rendah menunjukkan ketidakpuasan terhadap hidup dan lebih sering merasakan emosi yang negatif.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi Subjective Well-Being Beberapa ahli menyatakan bahwa ada beragam faktor-faktor yang mempengaruhi Subjective Well-Being individu, yaitu: perbedaan jenis kelamin, tujuan, agama dan spiritualitas, kualitas hubungan sosial, dan kepribadian seseorang. Selanjutnya, Diener (Compton, 2005) menyatakan bahwa Subjective Well-Being juga dapat diprediksikan dengan melihat beberapa peubah yang berkaitan dengan kepuasan dalam hidup dan kebahagiaan. Peubah-peubah tersebut adalah self esteem yang positif, memiliki kontrol pribadi (personal control), derajat ekstroversi, optimisme, hubungan sosial yang positif, serta kebermaknaan hidup. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepribadian merupakan salah satu prediktor Subjective Well-Being yang paling konsisten (Diener et al 1999; Lyubomirsky, King, & Diener, 2005). Berdasarkan sejumlah faktor yang telah disebutkan, penulis memilih kebermaknaan hidup dan kepribadian sebagai prediktor Subjective Well-Being ditinjau dari jenis kelamin.

Oleh sebab itu, kebermaknaan hidup penting karena keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia (Bastaman, 2007). Keinginan inilah yang mendorong manusia untuk tetap aktif dan produktif. Sementara itu, menurut Frankl (Schultz, 1991), seseorang yang memiliki kebermaknaan hidup akan bertanggungjawab mengarahkan hidupnya, memiliki sikap optimis, tetap eksis, dan mampu mengenali potensi serta kekurangan yang dimiliki. Frank (dalam Bastaman, 2007) mengungkapkan bahwa makna hidup tidak hanya dapat

(6)

6

ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun dalam keadaan yang menderita, selama manusia masih dapat menemukan hikmah dalam kondisi tersebut. Bila individu dapat menemukan dan memenuhi kebermaknaan hidupnya, maka berdampak pada munculnya rasa bahagia dalam diri (Bastaman, 2007) dan dengan adanya kebahagiaan, maka akan mendorong manusia untuk terhindar dari tekanan hidup.

Terdapat beberapa hasil penelitian sebelumnya, Morgan & Fastides (2009) menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup memiliki hubungan dengan Subjective Well-Being. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan Magno, Galang, Paterno, & Roldan, (2011) dengan hasil yang menemukan bahwa kebermaknaan hidup berhubungan dan memberikan efek yang signifikan pada Subjective Well-Being. Sementara itu, penelitian lain oleh Doğan, Sapmaz, Telb, Sapmaz, & Temizel, (2012) menemukan bahwa kebermaknaan hidup secara signifikan dapat memprediksi Subjective Well-Being . Penelitian lain oleh Yalçın & Malkoç, (2015) menemukan adanya hubungan kebermaknaan hidup dan Subjective Well-Being dengan moderator harapan dan forgiveness.

Adanya hubungan yang signifikan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya lansia yang memiliki perasaan dan arti hidup positif dalam kehidupannya akan merasakan kepuasan dalam kehidupannya. Selain itu akan memandang segala hal yang terjadi dalam kehidupan secara positif, sehingga meningkatkan kebahagiaan dalam dirinya. Namun terdapat hasil penelitian lain yang menunjukkan hasil sebaliknya. Cohen & Cairns, (2012) dalam hasil penelitiannya menemukan kebermaknaan hidup tidak memiliki hubungan dengan Subjective Well-Being.

Selain itu, kepribadian sebagai salah satu faktor yang memengaruhi Subjective Well-Being , merupakan hal yang penting untuk diteliti. Hal ini karena kepribadian merupakan pola kognitif, afektif, dan perilaku yang berbeda dan karakteristik yang menentukan gaya personal individu serta mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan (Sarafino, 2002). Kepribadian juga bisa mempengaruhi secara langsung melalui afektif (Lykken, 1999) atau secara tidak langsung berdampak pada preferensi lingkungan individu dan pola-pola perilaku. Peneliti lain mengungkapkan bahwa kepribadian hal yang unik dan merupakan suatu pola yang relatif stabil, perilaku, pikiran dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang (Baron et al 2000), sehingga penting untuk diteliti. Hal ini didukung oleh Zganec, Ivanovic & Lipovcan, (2011) yang mengungkapkan kepribadian merupakan salah satu faktor yang paling penting karena memiliki efek

(7)

7

jangka panjang khususnya dalam memprediksi kesejahteraan individu. Teori kepribadian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tipe kepribadian Big Five yaitu Extraversion, Agreeableness, Neuoriticism, Openness, Conscientiousness (Costa & McCrae dalam Feist & Feist, 2009).

Ditemukan beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa kepribadian (Big Five personality) memiliki keterkaitan dengan Subjective Well-Being . Gutierrez, Jimenez, Hernandez, & Puente, (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepribadian dengan menggunakan Big Five personality memiliki hubungan dengan Subjective Well- Being. Tanksale (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepribadian merupakan prediktor Subjective Well- Being. Hal ini didukung oleh penelitian Darias & Quevedo, (2015) yang menemukan bahwa kepribadian merupakan prediktor Subjective Well- Being Penelitian lain oleh Soto (2015) menemukan kepribadian dan aspek Subjective Well-Being memiliki pengaruh satu sama lain. Sementara itu, dalam penelitian sebelumnya Albuquerque, Matos, & Figueiredo, (2013) dalam penelitiannya menemukan hasil yang lebih spesifik, yaitu dimensi kepribadian openness to experience, agreeableness dan conscientiousness menunjukkan prediktor yang kuat pada semua aspek Subjective Well- Being, dibandingkan aspek extraversion dan neuroriticsm.

Adanya keterkaitan antara kepribadian dan Subjective Well- Being disebabkan karena lansia yang jarang cemas, mudah berteman, memiliki kepercayaan pada diri, cenderung memiliki tingkat afek positif yang tinggi yang meningkatkan kebahagiaan dalam dirinya. Selain itu, memiliki pandangan dan bereaksi dengan lebih positif. Ketika seorang lansia memiliki keterbukaan terhadap suatu pengalaman baru, maka lansia tersebut akan cenderung memiliki perasaan yang positif dan mampu mendapatkan kepuasan dalam hidupnya.

Hasil penelitian sebelumnya ditemukan penelitian secara simultan oleh Işık. S., & Üzbe. N., (2015) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan adanya hubungan antara kebermaknaan hidup dan kepribadian dengan Subjective Well-Being . Reker, Peacock, & Wong (dalam Galang, 2011), menemukan antara kepribadian dan kebermaknaan hidup, hasil menunjukkan kebermaknaan hidup merupakan prediktor yang paling konsisten pada Subjective Well-Being . Diungkapkan bahwa individu yang memiliki kebermaknaan hidup yang tinggi akan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi dan kebermaknaan hidup yang rendah cenderung akan memiliki Subjective Well-Being yang rendah.

(8)

8

Hal lain yang menjadi ketertarikan peneliti adalah jenis kelamin. Penelitian Pavot et al (2010) menunjukkan perbedaan Subjective Well-Being yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, perempuan cenderung menghasilkan skor yang sangat tinggi ataupun sangat rendah. Sebaliknya penelitian oleh Bartels & Boomsma (2009) menunjukkan hasil yang bertolak belakang, ditemukan tidak ada perbedaan tingkat Subjective Well-Being antara laki-laki dan perempuan. Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum tidak terdapat perbedaan Subjective Well-Being yang signifikan antara pria dan wanita. Tetapi ditemukan perempuan memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Selain itu, hasil penelitian lain menunjukkan adanya perbedaan kebermaknaan hidup pada laki-laki dan perempuan. Penelitian oleh Grouden & Jose, (2014) menemukan bahwa secara umum perempuan lansia lebih merasakan kebermaknaan hidup dibandingkan dengan laki-laki lansia. Hal ini senada dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Steger & Samman, (2012) yang menemukan bahwa adanya perbedaan tingkat kebermaknaan hidup laki-laki dan perempuan, dengan tingkat kebermaknaan hidup perempuan yang lebih tinggi.

Hasil penelitian lain mengenai kepribadian dan jenis kelamin juga telah ditemukan. Chapmana, Dubersteina, Sörensena, & Lyness, (2007) menemukan bahwa adanya perbedaan kepribadian dengan dimensi Big Five Personality pada lansia laki-laki dan perempuan. Magan, Mehta, Sarvottam, Yadav, & Pandey, (2014) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara kepribadian dan jenis kelamin. Weisberg, DeYoung, & Hirsh, (2011) dalam temuan sebelumnya, melaporkan skor perempuan terkait dengan teori kepribadian Big Five seperti Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism lebih tinggi dari laki-laki. Namun, perbedaan jenis kelamin pada dimensi kepribadian Conscientiousness dan Openness tidak terlalu tinggi perbedaannya.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang di uraikan diatas dan beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki hasil berbeda kepada masing-masing partisipan maka sangat penting untuk mengetahui pengaruh kebermaknaan hidup dan kepribadian secara simultan pada Subjective Well-Being lanjut usia (lansia) di Salatiga dan perbedaan Subjective Well-Being lansia ditinjau dari jenis kelamin. Sampel dan tempat penelitian yang digunakan dalam penelitian inilah yang

(9)

9

membedakan penelitian ini dengan penelitian lain sebelumnya. Penelitian ini menjadi ketertarikan penulis karena sepengetahuan penulis, pada lansia di Salatiga belum dilakukan penelitian dengan topik yang penulis angkat. Oleh sebab itu, penulis hendak melakukan penelitian dengan judul kebermaknaan hidup dan kepribadian (big five personality) sebagai prediktor Subjective Well-Being lanjut usia (lansia) di salatiga yang ditinjau dari jenis kelamin.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dapat rumuskan adalah :

1. Apakah Kebermaknaan Hidup Dan Kepribadian (Big Five Personality) merupakan prediktor Subjective Well-Being Lanjut Usia (Lansia) Laki-laki di Kota Salatiga?

2. Apakah Kebermaknaan Hidup Dan Kepribadian (Big Five Personality) merupakan prediktor Subjective Well-Being Lanjut Usia (Lansia) Perempuan di Kota Salatiga?

3. Apakah ada perbedaan Subjective Well-Being lansia ditinjau dari jenis kelamin di Kota Salatiga?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menentukan pengaruh kebermaknaan hidup dan kepribadian (Big Five Personality), secara simultan terhadap Subjective Well-Being lanjut usia (lansia) Laki-laki di Kota Salatiga.

2. Menentukan pengaruh kebermaknaan hidup dan kepribadian (Big Five Personality), secara simultan terhadap Subjective Well-Being lanjut usia (lansia) Perempuan di Kota Salatiga.

3. Menentukan perbedaan Subjective Well-Being lansia ditinjau dari jenis kelamin di Kota Salatiga.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah informasi dalam ilmu psikologi terutama dalam Subjective Well-Being, kepribadian dan kebermaknaan hidup lansia. Penelitian ini juga diharapkan dapat melihat relevansi antara teori dan kenyataan saat ini.

(10)

10 2. Manfaat Praktis

1. Bagi informan

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi lansia untuk mengetahui Subjective Well-Being, Kepribadian (Big Five Personality), dan Kebermaknaan Hidupnya.

2. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat yang memiliki orangtua atau keluarga yang sudah lansia agar mempertimbangkan perawatan yang diberikan agar lansia tetap merasa nyaman dan bahagia dalam menjalani kehidupan sehingga menemukan Subjective Well-Being, Kepribadian (Big Five Personality), dan Kebermaknaan Hidupnya.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memeroleh pembahasan yang sistematis, penulis menyusun tulisan ini ke dalam beberapa bab antara lain:

1. Bab I, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Pendahuluan yang di dalamnya membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab II, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Tinjauan Pustaka yang terdiri dari masing-masing peubah, teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, yakni teori lanjut usia, teori jenis kelamin, teori Subjective Well-Being, teori kepribadian, teori kebermaknaan hidup, aspek, komponen, dimensi, faktor-faktor, hasil-hasil penelitian sebelumnya, landasan teori, model penelitian dan hipotesis penelitian.

3. Bab III, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Metode Penelitian yang terdiri dari peubah penelitian, definisi operasional, populasi, sampel dan teknik sampling dalam penelitian, kemudian aspek dan indikator sehingga dapat dikembangkan skala penelitian yang dibangun dari teori yang digunakan, bagaimana validitas dan reliabilitas alat ukur, serta teknik analisis data.

4. Bab IV, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Hasil dan Pembahasan, yang terdiri dari deskripsi tempat penelitian, karakteristik responden, prosedur penelitian, hasil seleksi aitem dan reliabilitas, deskripsi hasil pengukuran peubah penelitian, hasil uji asumsi klasik, hasil uji hipotesis dan pembahasan.

5. Bab V, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran yang terdiri dari kesimpulan penelitian, saran kepada lansia dan masyarakat yang berkaitan dengan hasil penelitian, serta rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

Hala nola, patrimonializazio kontzeptutik artikulazioranzko jauzia proposatu da, iragana sare hedatu baten moduan planteatuz, Latour-en ANT teoria eta Krauss-en “hedatuaren”

Skripsi yang berjudul Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Pencarian Pengobatan pada Mahasiswa di Lingkungan Fakultas Kesehatan dan Non Kesehatan Universitas Jember

Pada bulan Januari sampai Juni 2015 di Puskesmas Pundong ditemukan jumlah ibu hamil yang berisiko dalam kehamilannya sebanyak 149 orang, Tujuan dari penelitian ini

Tujuan perawatan hygiene mulut pasien adalah pasien akan memiliki mukosa mulut utuh yang terhidrasi baik serta untuk mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui

Kajian ini dijalankan bagi menjawab soalan kajian: (1) apakah pandangan murid terhadap kemampuan pendekatan pembelajaran bahasa secara holistik meningkatkan

Penduduk menyerahkan Kartu Keluarga kepada bagian administrasi , kemudian bagian administrasi melakukan pembuatan Surat Keterangan Berkelakuan Baik sesuai dengan

Dengan hasil penelitian ini dapat dilihat keakuratan diagnostik potong beku, sitologi imprint intraoperasi, dan gambaran USG pada pasien dengan diagnosa tumor ovarium untuk