• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN GIGI TIRUAN PADA LANSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN GIGI TIRUAN PADA LANSIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR

YANG

BERHUBUNGAN

DENGAN

PENGGUNAAN GIGI TIRUAN PADA LANSIA

Bintang H Simbolon*

*Dosen Jurusan Teknik Gigi Poltekkes Tanjungkarang

Menurut WHO, salah satu ukuran derajat kesehatan gigi masyarakat yang optimal adalah lima puluh persen dari populasi lansia masih memiliki minimal 20 gigi yang masih berfungsi (WHO, 1982). Pada penelitian Lambri dkk (1990) di Bandung dalam penelitian Lina (1999) dinyatakan bahwa pada lansia usia 45-91 tahun di panti werdha didapatkan data bahwa sebesar 17,5% yang tidak bergigi dan hanya 1,2% yang memiliki gigi lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia di panti werdha Provinsi Lampung tahun 2015. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan metode deskriptif dan dengan pendekatan potong lintang (cross sectional). Populasi adalah seluruh lansia yang berada di panti werdha Provinsi Lampung. Sampel adalah sebesar 93 responden yang dilakukan secara convenience sampling kecuali lansia yang tidak bersedia untuk diperiksa giginya dan tidak bersedia untuk diwawancarai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 23,9% lansia yang tidak mempunyai 1-11 gigi, 15,2% lansia yang kehilangan 12-20 gigi dan 60,9% lansia yang kehilangan ≥ 21 gigi. Dari 7 variabel (jumlah gigi yang hilang, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, gangguan pengunyahan, gangguan bicara,dan gangguan estetika) pada penelitian ini tidak satupun yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia di panti werdha Provinsi Lampung tahun 2015.

Kata kunci : lansia, gigi tiruan, panti werdha PENDAHULUAN

Jumlah penduduk Indonesia adalah terbesar ke empat di dunia setelah Cina, India dan Rusia yaitu sebesar 248.800.000 jiwa pada tahun 2013 (BPS, 2013). Tetapi berdasarkan sensus penduduk tahun 1971, jumlah penduduk lansia di Indonesia adalah sebesar 7,3 juta jiwa atau 6,17% dari jumlah penduduk Indonesia. (BPS, 2001). Sedangkan pada tahun 2000 jumlah penduduk lansia terus meningkat menjadi 20,1 juta jiwa atau 9,99% dari jumlah penduduk Indonesia. Diperkirakan jumlah penduduk lansia pada tahun 2020 bisa mencapai 40,16 juta jiwa atau 14,89% dari jumlah penduduk. Untuk tahun 2013 di provinsi Lampung diperoleh data jumlah lansia adalah sebesar 516.246 jiwa (Profil Kes Prov Lampung, 2013).

Keberhasilan program Keluarga

Berencana di Indonesia dan meningkatnya usia harapan hidup, maka terjadilah transisi

demografi yang ditandai dengan

meningkatnya jumlah penduduk lansia yaitu orang yang berusia 55 tahun atau lebih.

Angka harapan hidup penduduk Indonesia meningkat dari angka 59,8 tahun pada tahun 1990 ke angka 65,4 tahun pada tahun 2000 (BPS, 2003).

Secara individu pengaruh proses penuaan dapat menimbulkan berbagai macam masalah baik secara fisik, biologis, mental, dan sosial ekonomi. Proses penuaan berlangsung secara alamiah dan

berkesinambungan yang menyebabkan

terjadinya perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia pada jaringan dan organ tubuh. Hal ini sangat mempengaruhi

keadaan dan fungsi tubuh secara

keseluruhan. (Dep Kes RI, 1998) dan (Darmojo B, 1986).

Pemeliharaan kesehatan lansia

sebaiknya dilakukan dengan pendekatan

holistik secara komprehensif yang

menyangkut upaya persuasif, preventif dan rehabilitatif dengan menyertakan keluarga dan peran aktif masyarakat. Gangguan fungsi kunyah pada lansia yang tidak bergigi maupun yang bergigi sebagian

merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap status kesehatan umum dan merupakan keluhan yang sering dijumpai sebagai masalah kesehatan gigi

(2)

pada lansia (Iwany A, Anton R, 1996). Terjadinya penurunan produksi enzim-enzim pencernaan lambung seperti pepsin dan tripsin adalah proses yang paling berhubungan dengan kesehatan gigi pada lansia. Disamping itu, hati juga mengalami atropi sehingga produksi empedu menurun. Dengan adanya kemunduran fungsi alat pencernaan tersebut, maka kerusakan gigi geligi dapat memperberat kerja alat

pencernaan. Hal ini terkait dengan

kehilangan gigi yang dapat menyebabkan gangguan pengunyahan. Oleh karena itu

kesehatan gigi pada lansia erat

hubungannya dengan kesehatan umum. (Darmojo B, 1986).

Kebutuhan terhadap gigi tiruan dapat dinilai berdasarkan jumlah gigi yang hilang. Secara garis besarnya, pada kehilangan sebagian gigi geligi yang merupakan indikasi kebutuhan gigi tiruan

sebagian (GTS) sedangkan pada

kehilangan seluruh gigi dinilai sebagai kebutuhan akan gigi tiruan penuh (GTP). (Boucher CO, 1975).

Menurut WHO, salah satu ukuran derajat kesehatan gigi masyarakat yang optimal adalah lima puluh persen dari populasi lansia masih memiliki minimal 20 gigi yang masih berfungsi (WHO, 1982). Phipps dkk (1991), menyatakan dari hasil penelitian yang dilakukannya pada pada 204 orang lansia penduduk Amerika Serikat usia 65-74 tahun, hanya satu orang yang mempunyai gigi lengkap (28 gigi) dan sebesar 58,3% yang sudah tidak mempunyai gigi lagi. (Lina, 1999). Pada penelitian Lambri dkk (1990) di Bandung dalam penelitian Lina (1999) dinyatakan bahwa pada lansia usia 45-91 tahun di panti werdha didapatkan data bahwa sebesar 17,5% yang tidak bergigi dan hanya 1,2% yang memiliki gigi lengkap.

Dari pernyataan diatas dapat diambil

kesimpulan bahwa kebutuhan akan

perawatan prostodonti (gigi tiruan) masih cukup besar walaupun upaya pencegahan dan perawatan konversi terus ditingkatkan. (Daroewati M, 1997). Tetapi tidak semua lansia yang tidak bergigi harus diikuti

dengan pemenuhan untuk perawatan

prostodonti disebabkan oleh banyak faktor yang terdapat dari dalam diri maupun dari lingkungan sekitar yang ada hubungannya dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lina dkk di Medan (1999), diperoleh

keterangan yang menyatakan bahwa

kebutuhan penggunaan gigi tiruan lepas pada rahang atas adalah cukup tinggi yaitu dengan kebutuhan gigi tiruan penuh sebesar 33,86% dan gigi tiruan sebagian sebesar 43,74% tetapi lansia yang tidak menggunakan gigi tiruan rahang atas sangat tinggi dengan persentase sebesar 74,60% dimana yang menggunakan gigi tiruan hanya gigi depan saja dimana gigi belakang tidak diganti adalah sebesar 3,70%, sedangkan yang menggunakan gigi tiruan penuh hanya sebesar 18,69%.

Protesa (prosthesis) dimaksudkan suatu penggantian buatan atau tiruan yang dibuat untuk menggantikan salah satu bagian tubuh yang hilang atau memang sejak lahir tidak ada misalnya : tangan, kaki, mata, gigi, dan sebagainya. Menurut ADA (American Dental Association),

prostodontia adalah ilmu dan seni

pembuatan suatu penggantian yang padan (sesuai) bagi hilangnya bagian koronal gigi, satu atau lebih gigi asli yang hilang serta jaringan sekitarnya, agar supaya fungsi, penampilan, rasa nyaman dan kesehatan yang terganggu karenanya, dapat dipulihkan. Istilah ini sangat luas artinya dan dapat digunakan ilmu restorasi. (Haryanto AG, dkk, 1995).

Dorland (1994) menguraikan tentang istilah protesa yang diartikan sebagai pengganti bagian organ tubuh yang hilang, seperti lengan, kaki, mata, gigi dan sebagainya yang digunakan dengan alasan

fungsional ataupun kosmetik, atau

keduanya. Sedangkan gigi tiruan adalah suatu protesa yang menggantikan gigi yang hilang serta jaringan sekitarnya.

Fungsi dari gigi tiruan adalah memperbaiki fungsi pengunyahan dimana dengan penggunaan gigi tiruan, penderita yang kehilangan gigi akan merasakan adanya suatu perbaikan karena tekanan kunyah akan disalurkan secara merata ke

(3)

seluruh jaringan pendukung. Oleh karena itu, penggunaan gigi tiruan memiliki fungsi dalam mempertahankan dan meningkatkan efisiensi kunyah. Untuk memperbaiki fungsi estetika dimana penggunaan gigi tiruan akan mengembalikan dukungan bibir terhadap wajah, sehingga masalah-masalah yang timbul akibat kehilangan gigi tersebut dapat teratasi.

Fungsi gigi tiruan berikutnya adalah memperbaiki fungsi bicara dimana gigi

merupakan salah satu alat bicara.

Kehilangan gigi terutama gigi anterior dapat menyebabkan gangguan bicara.

Dalam hal ini, gigi tiruan dapat

meningkatkan dan memulihkan

kemampuan bicara, artinya penderita akan mampu kembali mengucapkan kata-kata dan berbicara dengan jelas, terutama bagi lawan bicara (Haryanto AG, dkk, 1995) METODE

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif

dengan menggunakan disain analisis

dengan menggunakan pendekatan potong lintang (cross sectional) dimana penulis ingin melihat bagaimana hubungan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia di panti werdha pemerintah Provinsi Lampung. Variabel independen terdiri dari 7 variabel yaitu : jumlah gigi yang hilang, tingkat pendidikan, jenis kelamin, usia, gangguan pengunyahan, gangguan berbicara dan gangguan estetika pada lansia, sedangkan variabel dependen adalah panggunaan gigi tiruan pada lansia.

Populasi adalah lansia yang berusia 55 tahun atau lebih yang berada di panti werdha pemerintah Provinsi Lampung. Sampel pada penelitian ini adalah lansia

yang bersedia untuk diperiksa dan

diwawancarai dan secara fisik mampu untuk dilakukan pemeriksaan keadaan gigi dan mulutnya. Dengan demikian diperoleh sampel sebesar 93 responden.

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga minggu yaitu antara bulan September sampai dengan bulan November 2015 dan lokasi berada di panti werdha Provinsi

Lampung yang terletak di jalan raya Natar Lampung Selatan.

Teknik pengumpulan data adalah data primer yang diperoleh dengan melakukan pemeriksaan keadaan gigi dan mulut lansia yang dilanjutkan dengan melakukan wawancara langsung terhadap lansia sesuai dengan kuesioner yang sudah

ditetapkan. Penatalaksanaan dalam

pengumpulan data ini sangat dibutuhkan agar kegiatan pemeriksaan gigi pada responden dapat berjalan secara tepat dan sesuai dengan prosedur serta dalam keadaan steril, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Persiapan alat dan bahan

b. Petugas mempersiapkan diri dan lembar status

c. Responden diperiksa keadaan giginya dengan menggunakan sonde dan kaca mulut.

d. Pemeriksaan dimulai dari bagian rahang atas kanan ke rahang atas kiri kemudian ke rahang bawah kiri dan berakhir pada rahang bawah kanan untuk semua gigi. e. Pencatatan dilakukan pada lembar status

sesuai dengan nama masing-masing lansia.

Setelah selesai pengambilan data pada lansia, kemudian petugas membawa

lembar kuesioner dan mengadakan

wawancara kepada lansia yang sudah diperiksa keadaan gigi dan mulutnya. Analisa data dilakukan dengan 2 tahap, yaitu, analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari masing-masing variabel

yang diteliti untuk mendiskripsikan

variabel dependen dan variabel

independen. Kemudian analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel independen.

(4)

HASIL PENELITIAN

Analisa Univariat

Tabel 1: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin f %

Laki-laki 41 44,6

Perempuan 51 55,4

Jumlah 92 100,0

Dari 92 lansia terdapat sebanyak 51 orang (55,45) berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 41 orang (44,6%) yang berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 2: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kelompok Umur Kelompok Umur f % 60 – 64 Tahun 16 17,4 65 – 69 Tahun 25 27,2 ≥ 70 Tahun 51 55,4 Jumlah 92 100,0

Pada hasil penelitian ini diperoleh keterangan 16 orang lansia (17,4%) berusia 60-64 tahun, sebanyak 25 orang (27,2%) yang berusia 65-69 tahun, dan selebihnya 51 orang lansia (55,4%) yang berusia lebih dari 69 tahun,

Tabel 3: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan f % Tidak Sekolah 57 62,0 Lulus SD 31 33,7 Lulus SMP 2 2,2 Lulus SMA 1 1,1 Lulus PT 1 1,1 Jumlah 92 100,0

Dari hasil penelitian ini diperoleh keterangan bahwa lansia yang tidak sekolah paling banyak yaitu 47 orang (62,0%), sedangkan lansia yang lulus SD 31 orang (33,7%). Lansia yang lulus SMP sebanyak 2 orang (2,2%), yang lulus SMA hanya 1 orang (1,1%), demikian juga yang

lulus Perguruan Tinggi hanya 1 orang (1,1%).

Tabel 4: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jumlah Gigi Hilang

Jumlah Gigi Hilang f %

1-11 gigi 22 23,9

12-20 gigi 14 15,2

≥ 21 gigi 56 60,9

Jumlah 92 100,0

Pada penelitian ini diperoleh

keterangan bahwa sebanyak 22 orang lansia (23,9%) yang kehilangan 1-11 gigi, sedangkan yang kehilangan 12-20 gigi sebanyak 14 orang (15,2%). Selebihnya adalah sebanyak 56 orang lansia (60,9%) yang kehilangan ≥ 21 gigi.

Tabel 5: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gangguan Pengunyahan Gangguan Pengunyahan f % Ya 45 48,9 Tidak 47 51,1 Jumlah 92 100,0

Dari seluruh 92 sampel pada

penelitian ini diperoleh keterangan bahwa

sebanyak 45 orang lansia (48,9%)

mengalami gangguan dalam pengunyahan,

sedangkan yang tidak mengalami

gangguan pengunyahan sebanyak 47 orang (51,1%).

Tabel 6: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gangguan Berbicara Gangguan Berbicara f % Ya 7 7,6 Tidak 85 92,4 Jumlah 92 100,0

Dari 92 jumlah sampel pada

penelitian ini diperoleh data bahwa sebanyak 7 orang lansia (7,6%) mengalami gangguan dalam berbicara, sedangkan yang tidak mengalami gangguan dalam

(5)

Tabel 7: Distribusi Frekuensi Berdasarkan Gangguan Estetik Gangguan Estetik f % Ya 37 40,2 Tidak 55 59,8 Jumlah 92 100,0

Pada penelitian ini diperoleh data bahwa sebanyak 37 orang lansia (40,2%)

mengalami gangguan dalam

penampilannya sementara sebanyak 55 orang lansia (59,8%) tidak mengalami gangguan dalam penampilannya.

Analisa Bivariat

Tabel 8: Hubungan Jenis Kelamin dengan Penggunaan Gigi Tiruan

Jenis Kelamin Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak f % f % f % 0,376 Laki-laki 1 2,4 40 97,6 41 100 Perempuan 4 7,8 47 92,2 51 100

Setelah dilakukan analisis data dengan uji statistik, diperoleh p value = 0,376, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia.

Tabel 9:Hubungan Usia Dengan

Penggunaan Gigi Tiruan

Umur (tahun) Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak f % f % f % 60-64 0 0,0 16 100 16 100 0,293 65-69 3 12,0 22 55 25 100 ≥ 70 2 3,9 49 96,1 51 100

Setelah dilakukan analisis data dengan uji statistik, diperoleh p value = 0,293, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia.

Tabel 10: Hubungan Pendidikan dengan Penggunaan Gigi Tiruan

Tingkat Pendidikan Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak f % f % f % Tdk Sekolah 3 5,3 54 94,7 57 100 1,000 Lulus SD 2 6,5 29 93,5 31 100 Lulus SMP 0 0,0 2 100 2 100 Lulus SMA 0 0,0 1 100 1 100 Lulus PT 0 0,0 1 100 1 100

Dari hasil analisis yang dilakukan dengan uji statistik, diperoleh nilai p value= 1,000, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat pendidikan tidak ada hubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia.

Tabel 11: Hubungan Jumlah Gigi yang Hilang dengan Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah Gigi Hilang Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak f % f % f % 1 – 11 2 9,1 20 90,9 22 100 0,427 12 – 20 1 7,1 13 92,9 14 100 > 20 2 3,6 54 96,4 56 100

Dari hasil analisis yang dilakukan dengan uji statistik, diperoleh nilai p value= 0,427, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah gigi yang hilang tidak ada hubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia

Tabel 12: Hubungan Gangguan

Pe-ngunyahan dengan Penggunaan Gigi Tiruan Gangguan Pengunyahan Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak f % f % f % Ya 2 4,3 45 95,5 47 100 0,674 Tidak 3 6,7 42 93,3 45 100

(6)

Setelah dilakukan analisa dengan uji statistik maka diperoleh p value = 0,674 sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa gangguan pengunyahan tidak mempunyai hubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia.

Tabel 13: Hubungan Gangguan Berbicara dengan Penggunaan Gigi Tiruan

Gangguan Berbicara Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak n % n % n % Ya 0 0,0 7 100 45 100 1,000 Tidak 5 5,9 80 94,1 47 100

Setelah dilakukan analisis dengan uji statistik, maka diperoleh p value= 1,000 ,sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa gangguan berbicara tidak mempunyai hubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia.

Tabel 14: Hubungan Gangguan Estetik

dengan Penggunaan Gigi

Tiruan Gangguan Estetik Penggunaan Gigi Tiruan Jumlah p value Ya Tidak f % f % f % Ya 2 5,4 35 94,6 37 100 1,000 Tidak 3 5,5 52 94,5 55 100

Setelah dilakukan analisis dengan uji statistik maka diperoleh p value= 1,000, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa

gangguan estetik tidak mempunyai

hubungan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia.

PEMBAHASAN

Dari hasil analisa bivariat yang

dilakukan, diperoleh data yang

menyatakan bahwa ke 7 variabel

independen yaitu variabel umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah gigi yang hilang, gangguan pengunyahan, gangguan berbicara dan gangguan estetik

pada lansia tidak satupun yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel dependen yaitu variabel penggunaan gigi tiruan pada lansia. Pada keterangan yang

menyatakan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara umur dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Davenport dkk tahun 2000 di Inggris yang menyatakan bahwa kelompok lansia tidak lebih banyak yang menggunakan gigi tiruan dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Demikian juga berdasarkan

data yang diambil National Health

Interview Survey pada tahun 1983 mengungkapkan bahwa terjadi penurunan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dengan bertambahnya usia. Analisa ini menunjukkan bahwa 59,5% penduduk bergigi usia 65 hingga 74 tahun di Amerika dilaporkan melakukan kunjungan ke dokter gigi (Burt BA, Eklund SA. 1999).

Pada keterangan yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia dimana hal ini tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian Burt BA dan Eklund SA pada tahun 1999 yang menyatakan bahwa wanita dilaporkan lebih banyak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan gigi dibandingkan dengan pria. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Unell dkk pada tahun 1996 di Swedia menunjukkan bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal penggunaan fasilitas kesehatan gigi

antara pria dan wanita. Hal ini

bertentangan dengan hasil yang didapatkan dari National Health Interview Service

(1989), menunjukkan bahwa wanita lebih sering memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi dibandingkan pria. (Brian AB, Stephen AE, 1999).

Dari hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan pada lansia tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan gigi tiruan dimana hal ini bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Risto T pada

(7)

tahun 1994 dari hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa pendidikan seseorang berhubungan dengan pengetahuan atau pemahaman mengenai kesehatan gigi yang

pada akhirnya berhubungan dengan

tindakan untuk memanfaatkan fasilitas perawatan gigi. Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian Unell dkk pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang cukup

kuat dengan pemanfaatan fasilitas

kesehatan gigi. Tetapi hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Kiyak dan Miller pada tahun 1982 yang menyatakan bahwa

pengetahuan yang baik mengenai

kesehatan gigi tidak menjamin seseorang akan mencari perawatan gigi (Niken WS, 2001).

Pada hasil penelitian ini diperoleh

keterangan yang menyatakan bahwa

jumlah kehilangan gigi pada lansia tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan gigi tiruan, dimana hal ini berlawanan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kanatami dkk pada tahun 2003 di Jepang yang menyatakan bahwa semakin rendah jumlah gigi yang hilang semakin rendah pula permintaan dalam pembuatan gigi tiruan. Banyaknya jumlah gigi yang hilang akan berhubungan dengan kebutuhan akan penggunaan gigi tiruan. Demikian juga dari hasil penelitian yang dilakukan Syahraini SI pada tahun 2004 diperoleh keterangan bahwa jumlah kehilangan gigi mempunyai hubungan yang bermakna dengan penggunaan gigi tiruan.

Demikian juga dari hasil penelitian ini dinyatakan bahwa tidak ada hubungan

yang signifikan antara gangguan

pengunyahan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia di panti werdha pemerintah Provinsi Lampung dimana hal

ini bertentangan dengan apa yang

dikemukakan oleh Kiyak dan Miller pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa ketika fungsi dari mastikasi menurun, maka sistem pencernaan akan harus bekerja lebih keras untuk semua yang bukan tugasnya. Dengan penggunaan gigi tiruan dapat memiliki fungsi dalam mempertahankan

dan meningkatkan efisiensi kunyah. Untuk alasan inilah biasanya orang akan mencari sebuah gigi tiruan (Haryanto AG, 1992).

Hasil analisis pada penelitian ini diperoleh keterangan yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gangguan bicara dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia. Hal ini

bertentangan dengan apa yang

dikemukakan Haryanto AG (1992) yang menyatakan bahwa untuk alasan perbaikan fungsi bicara orang terkadang akan

mencari perbaikan dengan dengan

menggunakan gigi tiruan. Demikian juga halnya dengan apa yang diperoleh dari hasil penelitian Syahraini SI (2004) yang menyatakan bahwa gangguan berbicara mempunyai hubungan yang bermakna dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia. Diperoleh dari hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa gangguan estetika

tidak mempunyai hubungan yang

signifikan dengan penggunaan gigi tiruan pada lansia di panti werdha pemerintah Provinsi Lampung. Hal ini tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Brewer (1970) yang menemukan bahwa pasien-pasien gigi tiruan pertama kali memperhatikan penampilan gigi tiruan mereka dan setelah itu kenyamanan dan kemampuan mengunyah. Sedangkan Collet HA pada tahun 1967 menyatakan hal yang

sama bahwa efek estetik bukanlah

merupakan faktor utama dalam pembuatan gigi tiruan, tetapi faktanya adalah hal tersebut lebih penting untuk kenyamanan dan untuk fungsi pengunyahan.

Salah satu variabel dari faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan gigi tiruan adalah sosial ekonomi pada pasien dimana pada penelitian ini variabel tersebut tidak dapat ditampilkan karena hampir seluruh lansia yang berada di panti werdha pemerintah Provinsi Lampung ini adalah homogen yaitu pada tingkat sosial ekonomi yang rendah.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat

(8)

gangguan pengunyahan sebesar 48,9% dan

yang tidak mengalami gangguan

pengunyahan sebesar 51,1%. Sedangkan hasil analisis lebih lanjut pada penelitian ini untuk variabel bebas yaitu: umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, jumlah

kehilangan gigi, gangguan pengunyahan,

gangguan bicara dan gangguan

penampilan/estetik pada lansia ternyata semuanya tidak mempunyai hubungan

yang dengan variabel terikat yaitu

penggunaan gigi tiruan pada lansia yang berada di panti werdha pemerintah Provinsi Lampung .

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik, 2001. Statistik Indonesia 2000. Jakarta.

Biro Pusat Statistik, 2003. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2002. Jakarta Biro Pusat Statistik, 2013. Statistik

Indonesia 2013. Jakarta.

Brewer A, 1970. Selection of Denture Teeth for Esthetics and Function. J Prosthetic Dental, Vol. 23.

Brian AB. Stephen AE, 1999. Dentistry, Dental Practice, and The Community 5th. Ed Philadelphia:WB Saunders. Boucher, Carl O, 1975. Prosthodontic

Treatment For Edentulous Patients.

Seventh Ed, St Louis; CV Mosby Company

Collet HA, 1967. Motivation : A Factor in Denture Treatment. J Prosthetic Dental, Vol. 17.

Darmojo B, 1986. Perubahan Fisik dan Psikis Pada Usia Lanjut. Simposium Hubungan Suami Istri Pada Usia Lanjut di Semarang. Perhimpunan Gerontologi Indonesia.

Daroewati M, 1997. Tuntunan dan

Kebutuhan Perawatan Prostodonti Pada Lansia Yang Tinggal di Panti Werdha. JKG UI, Jakarta.

Haryanto AG, dkk, 1995. Buku Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan I.

Penerbit Hipokrates, Jakarta.

Iwany A, Anton R, 1996. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Serta Pemenuhan Kebutuhan Akan Gigi Tiruan Pada Lansia di Kelurahan Bungur Besar Jakarta Pusat. JKG UI; Vol 3, Jakarta

Kementrian Kesehatan RI; Dinas

Kesehatan Provinsi Lampung, Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2013.

Lina N, 1999. Kebutuhan dan Penggunaan Geligi Tiruan Pada Lansia di Kota Madya Medan. MIKG Usakti 1999; Vol 14, Jakarta.

Niken WS, 2001. Hambatan-Hambatan

Perawatan Gigi Pada Lanjut Usia.

Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia No 6.

Gambar

Tabel 7 :  Distribusi  Frekuensi  Berdasarkan  Gangguan Estetik  Gangguan Estetik  f  %  Ya   37  40,2  Tidak  55  59,8  Jumlah  92  100,0
Tabel 13:  Hubungan  Gangguan  Berbicara  dengan Penggunaan Gigi Tiruan

Referensi

Dokumen terkait

kolom “YA” atau “TIDAK” sesuai dengan gerakan-gerakan yang diakuan oleh siswa, apakah sudah sesuai dengan harapan atau tidak. Dari hasil pengamatan. yang

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang telah melimpahkan segala kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian serta menyelesaikan Laporan

Nortasun - nahaste antisozialengan lehenengo eta bigarren elkarrizke- ten arteko kappa koefizienteak 0,8 emaitza izan zuen, eta horrek akordio ona, ia perfektua adierazten du, hau

100.. Kredit dan NPL Bank Umum Kepada Pihak Ketiga Bukan Bank Berdasarkan Lapangan Usaha dan Bukan Lapangan Usaha Per Lokasi Dati I Bank Penyalur Kredit - Januari 2015 Credit and NPL

Atas dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar sistem bank Islam,

treatment pada elemen interior yang merusak eksisting akan diminamalisir sehingga budaya pinisiq sebagai bagian dari unsur daerah kemudian dapat diterapkannya ke dalam desain

cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah.. memperkaya cerita itu

According to Simon (2012) RAFT helps students understand their role as writer and learn how to communicate their ideas effectively and clearly in order to make the