• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA SUMATERA UTARA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Erika Revida adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU dan Program Pascasarjana USU

SISTEM KEKERABATAN MASYARAKAT SUKU BATAK

TOBA SUMATERA UTARA

Erika Revida

Abstract

Batak Toba people is one of some Batak ethnics in North Sumatra. This ethnic professes patrilineal system who pull descent line from father. Batak Toba people prohibits the marriage with the same clan. The woman has been married came to her husband’s clan group. So she does not have the right to get her parent’s property, because ti is specially for her brother. The work ethic in Batak Toba people are (1) Boras Pati Ni Tano (the land’s rice) and (2) Hamoraon, hagabeon, hasangapon (Property, descents, and honor). The children are the best and highest property or the property which has highest price in Batak Toba people. So, they have motto: My children are my property. They also do anything to reach their children’s success in life.

Keywords: kinship system, society, clan

Pendahuluan

Sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba termasuk satu hal yang amat penting dan menentukan serta berperan banyak dalam hal menentukan perilaku hidup orang Batak Toba sehari-hari. Dengan ikatan, aturan dan penerapan sistem kekerabatan, masyarakat Batak Toba dapat hidup dalam situasi aman, damai, tenteram dan tertib.

Suku bangsa Batak Toba pada dasarnya menarik garis keturunan melalui garis ayah

(patrilineal). Satu kelompok kerabat dihitung

dari dari satu ayah disebut “sa ama”, satu kakek disebut “sa ompung” dan kelompok kekerabatan yang besar adalah marga (Bangun dalam Koentjaraningrat, 1990). Kelompok kekerabatan yang terkecil atau keluarga batih disebut ripe. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut keluarga luas patrilineal. Sa ompung dapat disebut klen.

Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan itu mempunyai nilai yang sangat penting, karena dalam urutan generasi setiap ayah yang mempunyai anak laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilinealnya. Dari

seorang ayah lahir dua atau lebih kelompok keturunan yang masing-masing mempunyai identitas sendiri.

Apabila mereka berkumpul maka akan menyebut ayah tadi “Ompu parsadaan”. Ompu berarti kakek, moyang lelaki, sada artinya satu, jadi merupakan titik temu mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu (na sa ompu) dari generasi ke generasi akan menjadi satu marga. Dengan perkataan lain bahwa marga itu merupakan suatu pertanda bahwa orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek bersama atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek menurut garis patrilineal (Bruner, 1980).

Kaum laki-laki dalam masyarakat Batak Toba mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga. Laki-lakilah yang dapat meneruskan marga bagi keturunannya, atau setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga bapaknya dan bukan marga dari ibunya. Hal ini dimaksudkan agar anak lebih dekat dengan bapaknya, sedangkan ibu sudah pasti dekat dengan anaknya karena ibulah yang melahirkan.

(2)

Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya, harus selalu memelihara kepribadian dan rasa kekeluargaan tetap terpupuk bukan saja terhadap keluarga dekat, akan tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga.

Nama panggilan seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Jadi apabila orang Batak Toba bertemu, maka yang pertama sekali ditanya adalah apa nama marganya dan bukan nama pribadinya atau tempat asalnya. Dengan mengetahui nama marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka. Proses seperti demikian disebut martutur atau martarombo, sehingga dengan demikian mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Dengan demikian orang yang saling berkenalan dapat mengetahui apakah ia mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut. Ini menumbuhkan persaudaraan di kalangan masyarakat Batak Toba.

Permasalahan

Berdasarkan hal-hal di atas, maka permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah “Bagaimana sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba Sumatera Utara?”

Pembahasan

1. S i s t e m d a n B e n t u k P e r k a wi n a n Masyarakat Batak Toba

Dalam masyarakat Indonesia, perkawinan dianggap masalah keluarga. Ter Haar (1960) menyatakan bahwa perkawinan itu adalah urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda.

Perkawinan adalah suatu keharusan bagi setiap manusia, karena selain panggilan alamiah, perkawinan juga dianggap suci, sakral dan berbahagia untuk meneruskan keturunan. Orang yang tidak mempunyai keturunan akan hilang dari rentetan dan jenjang silsilah yang ditarik sepanjang zaman dari satu klen atau marga.

Sistem perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah perkawinan “eksogami”. Perkawinan di luar klen atau marganya yang melarang kawin di dalam marganya sendiri.

Apabila terjadi perkawinan tersebut akan dikucilkan atau dikutuk oleh pemuka adat dan masyarakat Batak Toba.

Dahulu kala pada masyarakat Batak Toba dianjurkan kawin dengan pariban atau “boruni

tulang” (anak gadis paman), yaitu antara

seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya (Bangun dalam Koentjaraningrat, 1990). Adapun tujuan perkawinan dengan boruni tulang (marpriban) menurut masyarakat suku Batak Toba adalah: a. Mempererat kekeluargaan

b. Pertalian dengan keluarga ibu tidak putus. c. Harta peninggalan orang tua tidak beralih

dari garis keturunan ayah kepada keluarga ibu.

Ciri khas bentuk perkawinan masyarakat suku Batak Toba yang mengikuti garis bapak ( p a t r i l i n e al) a d a l ah a p a y an g d i s eb u t perkawinan jujur. Perkawinan jujur adalah suatu perkawinan yang pihak laki-laki menyerahkan

jujur kepada pihak keluarga wanita yaitu berupa

uang yang diserahkan sebelum mempelai wanita dibawa ke lingkungan keluarga laki-laki, jujur itu disebut juga dengan istilah “sinamot”, artinya harta yang diperoleh dari hasil manramot (bekerja dengan keras dan tekun). Karena itu pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan

sinamot kepada pihak keluarga wanita, biasanya

dalam bentuk uang atau barang yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak kedua orang tua pengantin sebelum perkawinan dilangsungkan.

Ter Haar (dalam Koentjaraningrat, 1990) berpendapat bahwa uang jujur adalah pembayaran dengan mata uang atau dengan barang sebagai syarat magis untuk melepaskan dan mengalihkan (bersama anaknya) dengan tidak mengganggu keseimbangan sosial, pembayaran uang jujur dari pihak laki-laki kepada pihak keluarga wanita untuk memasukkan perempuan ke dalam keluarga laki-laki, sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan meneruskan marga si suami dengan anak menjadi ahli waris dari keluarga laki-laki tersebut.

Dengan demikian fungsi uang jujur itu adalah sebagai berikut :

1) Syarat suatu perkawinan.

2) Uang pelepas wanita dari keluarga dan dimasukkan ke dalam keluarga suami.

3) Menjaga keseimbangan dalam keluarga perempuan.

(3)

4) Menentukan kedudukan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu.

5) Menentukan kedudukan harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi suku Batak Toba, karena hanya orang yang sudah kawin yang berhak mengadakan upacara adat. Perkawinan menurut adat Batak Toba adalah merupakan semacam jembatan yang mempertemukan “Dalihan Na

Tolu” dari orang tua penganten laki-laki dengan

Dalihan Na Tolu dari penganten perempuan, artinya sebagai akibat perkawinan, maka

Dalihan Na Tolu dari penganten laki-laki

berkerabat dengan Dalihan Na Tolu penganten perempuan, atau demikian sebaliknya. Dengan demikian, perkawinan suku Batak Toba haruslah diresmikan menurut adat Dalihan Na Tolu, upacara agama dan catatan sipil hanyalah sebagai pelengkap.

2. Harta dalam Perkawinan Masyarakat

Suku Batak Toba

Untuk dapat membina dan membangun satu rumah tangga yang bahagia, suami dan istri itu harus mempunyai modal berupa harta perkawinan yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupan mereka.

Pengadaan harta kekayaan/rumah tangga yang baru, dapat bersumber dari kedua belah pihak, laki-laki ataupun wanita yang telah menjadi suami istri itu, sebelum kawin telah mempunyai harta sendiri yang kemudian setelah kawin dibawa ke dalam rumah tangga, selain itu setiap pihak juga menentukan pemberian dari orang tua mereka.

Dalam masyarakat suku Batak Toba, bentuk harta kekayaan keluarga baru yang terpisah dari harta kekayaan orang tuanya adalah pada saat “manjae” artinya keluarga baru itu mempunyai tempat tinggal sendiri lepas dari rumah orang tuanya. Dengan demikian harta mereka telah terpisah dari harta orang tua laki-laki. Harta kekayaan pada masyarakat suku Batak toba terdiri dari: hauma (sawah), jabu (rumah), omas (emas), pinahan (ternak), dan

hepeng (uang).

Dilihat dari sumbernya maka harta keluarga dalam masyarakat Batak Toba itu adalah:

1) Harta yang diperoleh laki-laki dari orang tuanya sendiri sebagai modal pertama yang

diberikan pada saat ia berpisah rumah dengan orang tuanya.

2) Harta yang dibawa wanita, pemberian orang tuanya disebut “pauseang”. Biasanya wanita yang mau kawin membawa barang rumah tangga, perhiasan emas dan sawah.

Harta yang diperoleh bersama selama perkawinan diperoleh setelah “manjae” terdiri dari: a) harta hasil jerih payah suami istri berdua; b) harta yang diperoleh dari keluarga masing-masing, selama perkawinan berjalan.

Seorang wanita Batak Toba setelah kawin mungkin menerima harta dari ayahnya sendiri, harta tersebut disebut:

1) Indahan Arian, yaitu sebidang tanah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah kawin dan mempunyai anak. Sawah itu adalah untuk indahan arian (nasi siang) bagi cucunya. 2) Don-don Tua, yaitu sawah yang diberikan

oleh seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari seorang anak perempuannya.

3) Batu Ni Assimun, yaitu hewan piaraan atau

emas yang diberikann oleh seorang ayah kepada seorang anak perempuannya yang sudah mempunyai anak atau untuk cucunya. 4) Punsu Tali, yaitu sawah yang diberikan

orang tua kepada anak perempuannya. Pemberian ini adalah pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh si perempuan itu apabila orang tuanya sudah meninggal.

Apabila suatu perkawinan berakhir karena kematian salah satu pihak dan mereka mempunyai anak, maka harta pauseang dari seorang wanita yang meninggal dunia akan menjadi milik suaminya. Apabila laki-laki yang meninggal maka pauseang akan tetap milik wanita, sedangkan keluarga laki-laki tidak dapat menuntut kembali sinamot.

Apabila dari perkawinan tersebut memperoleh anak, maka harta peninggalan istri menjadi milik anaknya dan harta peninggalan suami menjadi milik istri bersama anak-anaknya. Apabila istri itu mau kawin lagi bukan dengan anggota keluarga suaminya, maka

pauseang istri tidak dapat dibawa olehnya. Harta

itu tetap milik anaknya.

Suatu perkawinan yang bercerai dan perkawinan itu akibat kesalahan wanita, maka terjadi penggeseran harta kekayaan, yaitu pihak

(4)

keluarga wanita harus mengembalikan sinamot dan tidak dapat pauseang (harta bawaan istri dari ayahnya). Sebaliknya jika laki-laki atau suami yang salah, maka laki-laki tidak dapat menuntut sinamot kembali, pauseang harus kembali kepada pihak wanita.

3. S i s t e m P e w a r i sa n I d e a l d a l a m Masyarakat Batak Toba

Warisan adalah hal peralihan dan penerus harta benda dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Ketentuan ahli waris hukum adat adalah berdasarkan sistem kekeluargaan. Masyarakat Batak Toba yang berdasarkan pada hubungan genealogik yang patrilineal, dalam mana susunan kekeluargaan sangat erat hubungannya dengan sistem perwarisan. Bahwa hanya anak laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Van Dijk (1960) mengatakan bahwa pada sistem patrilineal, hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris, oleh karena anak perempuan keluar dari golongan famili patrilinealnya semula sesudah kawin, perempuan tersebut akan masuk pada golongan famili suaminya. Anak laki-laki mendapat warisan dari bapaknya maupun ibunya dan pada asasnya berhak atas semua harta benda.

Susunan kekeluargaan memegang peranan penting dalam hal siapa yang berhak menjadi ahli waris. Menurut pandangan masyarakat Batak Toba, apabila tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, maka dianggap tidak berketurunan dan kurang berarti dalam hidupnya, karena anak laki-lakilah yang meneruskan keturunan. Harta kekayaan dari seorang yang tidak mempunyai anak laki-laki akan jatuh ke tangan bapaknya dan apabila sudah meninggal maka jatuh ke tangan saudara laki-laki bapaknya. Anak perempuan tidak berhak mendapat warisan. Anak perempuan bukan ahli waris dari orang tuanya, yang sejak kawin telah melepaskan diri dari keluarga orang tuanya dan masuk menjadi keluarga anggota suaminya.

Walaupun seorang anak perempuan bukan ahli waris, namun menurut adat Batak Toba ada pemberian tertentu kepada anak perempuan sebelum atau pada saat perkawinan atau sesudah kawin dan mempunyai anak. Pemberian seperti ini harus disertai upacara adat tertentu yang dihadiri oleh pihak keluarga.

4. Etos Kerja Masyarakat Batak Toba 4.1 Lambang Boras Pati ni Tano (Dewa

Tanah)

Boras Pati ni Tano adalah dewa tanah

yang wujudnya berupa kadal, bentuk ekornya bercabang dua, badannya berloreng-loreng dengan warna gelap kemerah-merahan. Boras

Pati ni Tano melambangkan suatu kekuatan

pelindung manusia dari marabahaya dan memberikan harta kekayaan kepada manusia atau melambangkan kemakmuran dan kesuburan tanah, berasal dari bahasa Sansekerta “brihan

pati” yang menunjukkan sifat kedewaan.

Bekerja di lahan pertanian tidak terlepas dari perlindungan Boras Pati ni Tano ini. Mereka dapat bercocok tanam di ladang, penuh dengan semangat mengusahakan lahan adalah karena bantuan Boras Pati ni Tano yang memberikan berkat, tuah sehingga mendapat hasil pertanian.

4.2 K o n s e p H a m o r a o n , H a g a b e o n , Hasangapon (3 H)

Konsep tentang 3 H dalam masyarakat Batak Toba begitu mengkristal di dalam kehidupannya. 3 H dalam masyarakat Batak Toba adalah singkatan dari Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (kebahagiaan) dan Hasangapon (Kehormatan). Konsep 3 H ini

sekaligus merupakan tujuan hidup dari setiap masyarakat Batak Toba. Ini merupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus-menerus mewarisi dan mendarah daging bagi masyarakat Batak Toba. Selain itu, konsep 3 H telah melekat pada pola pemikiran dan setiap tingkah laku masyarakat Batak Toba. Bekerja sebagai petani ladang dan sawah mempunyai tujuan yang luhur dalam hidupnya untuk memperoleh kekayaan (Hamoraon), kebahagian (Hagabeon) dan kehormatan (Hasangapon).

4.2.1. Hamoraon (Kekayaan)

Kekayaan (Hamoraon) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, bentuk kekayaan dalam harga diri, kekayaan dalam harta dan kekayaan dalam anak. Kekayaan memperhatikan akan harga diri dan atas keberadaan anak dalam keluarga, walaupun telah mempunyai harta banyak namun belum kaya apabila tidak mempunyai anak.

Kekayaan (Hamoraon) selalu identik dengan harta kekayaan, harga diri dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun

(5)

banyak harta. Hal ini diungkapkan dalam untaian lagu yaitu “Anakkonhi do Hamoraon di

Ahu” (anakku adalah harta yang paling berharga

bagiku). Orang Batak Toba bekerja siang dan malam hari adalah demi untuk kepentingan dan keperluan anak-anaknya, karena itu segala pikiran, tenaga serta harga diri senantiasa dikorbankan demi anak-anaknya. Hal ini juga diungkap dalam syair lagu: “hugogoh pe

mansari arian nang bodari laho pasingkolahkon gelengki” (kuatpun saya bekerja siang dan

malam adalah untuk keperluan sekolah anakku). Keluarga yang mempunyai anak berhasil dalam sekolah dan pekerjaan adalah merupakan keberhasilan orang tua yang telah bersusah payah me mb e s a r k a n n y a , m e r e k a me r u p ak an kebanggaan orang tua dan sekaligus anak adalah harta yang dibangga-banggakan orang tua.

Setelah panen selesai warga masyarakat suku Batak Toba melakukan berbagai kegiatan adat istiadat, yang berkaitan dengan harga diri. Harkat dalam kehidupan sosial dalam masyarakat selalu diukur materi atau kekayaan. Setiap pelaksanaan pesta adat yang dilakukan selalu memperhitungkan akan kesempurnaan material untuk melakukan pesta adat.

4.2.2. Hagabeon (Kebahagiaan)

Hagabeon sama artinya dengan

kebahagiaan atau kesejahteraan. Kebahagian dalam hal ini adalah kebahagian dalam keturunan, dalam arti keturunan yang memberi harapan hidup, karena keturunan itu adalah suatu kebahagian yang tidak ternilai bagi orang tua, kerabat dan keluarga.

Harapan keluarga adalah kelahiran anak laki-laki, yang sesuai dengan peran garis keturunan laki-laki pada sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba. Keluarga yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki menganggap hidup ini tidak mempunyai kebahagian hidup, sebab anak perempuan juga didambakan oleh keluarga Batak Toba. Anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki dianggap hambar dan kurang mendapat kehormatan di mata pemuda Batak Toba. Hal ini disebabkan tidak adanya tempat berlindung dan bertaut bagi anak perempuan.

Pada setiap pemberkatan perkawinan orang Batak Toba seringkali terdengar syair bahwa “Lak-lak ma tutu singkoru, tubuan anak

ma hamu jala tubuan boru” (bagaikan kulit

kayu yang melekat pada batangnya dan bagaimana manik-manik yang dikalungkan di

leher. Demikianlah pengantin diharapkan dapat melahirkan anak laki-laki yang melekat dalam adat dan melahirkan anak perempuan yang mempunyai sifat keibuan. Kelahiran anak laki-laki dan anak perempuan dalam suatu keluarga senantiasa merupakan kebahagiaan (Hagabeon) yang tumbuh dalam keluarga tersebut.

4.2.3. Hasangapon (Kehormatan)

Hasangapon atau kehormatan adalah

suatu kedudukan seseorang yang dimiliki di dalam lingkungan masyarakat, yang biasanya status perolehannya melalui proses belajar. Orang yang dianggap terhormat itu adalah orang yang memiliki status tertentu, seperti guru, orang kaya, kepala desa, pengurus gereja atau tokoh-tokoh adat yang dapat dijadikan tauladan. Karena itu, dengan status tertentu harus berperilaku sesuai dengan statusnya.

Kedudukan sosial dapat dikatakan sebagai suatu kehormatan (hasangapon), sebagi panutan masyarakat dianggap suatu kehormatan bagi dirinya. Sebenarnya pada semua lapisan masyarakat memiliki konsep Hasangapon, yang menilai apakah seseorang itu dianggap baik dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan peran masyarakat menurut keinginan masyarakat.

Dalam masyarakat suku Batak Toba, konsep 3 H merupakan kepemilikan adat dalam kehidupan masyarakat yang harus menjadi milik setiap individu. Manusia hidup untuk memperoleh Kekayaan (Hamoraon), Kebahagian (Hagabeon) dan Kehormatan (Hasangapon). Sebagai tujuan hidup, maka setiap masyarakat Batak Toba dalam kehidupannya harus mencerminkan ketiga konsep ini.

Kesimpulan

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba pada dasarnya menganut sistem kekerabatan “patrilineal”, yaitu menarik garis keturunan melalui garis dari marga ayah.

Sistem perkawinan dalam masyarakat batak Toba adalah perkawinan “eksogami”. Perkawinan dari luar klen atau perkawinan yang melarang kawin dengan satu marganya sendiri.

Harta dalam masyarakat Batak Toba yang telah kawin terpisah dari orang tuanya. Harta dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari

“hauma (sawah), jabu (rumah), omas (emas), pinahan (ternak), dan hepeng (uang)”..

(6)

Pengadaan harta untuk rumah tangga yang baru dapat bersumber dari kedua belah pihak.

Sistem pewarisan dalam masyarakat Batak Toba ditentukan oleh susunan kekeluargaan. Apabila tidak mempunyai anak laki-laki, maka yang menjadi ahli waris adalah bapaknya sendiri, dan kalau bapaknya sudah meninggal yang menjadi ahli waris adalah saudara kandung laki-laki dari bapaknya.

Etos kerja dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari dua hal yaitu Lambang Boras Pati ni

Tano dan konsep 3 H yaitu Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon. Lambang Boras Pati ni Tano adalah dianggap sebagai dewa

pelindung dan pemberi berkat. Konsep 3 H merupakan tujuan hidup masyarakat Batak Toba dan selalu melekat dan mendarah daging dalam pola pemikiran masyarakat Batak Toba.

Daftar Pustaka

Bruner, Edward H. 1990. The Expression Of

Tethnicity In Indonesia. Dalam Urban Ethnicity. Abner Cohen (Ed).London.

Taviscook.

Garna, Judistira. 1989. Pembauran Dan Batas

Interaksi Antar Etnik. Bandung. Program

Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.

Jones,M. James. 1972. Prejudice And Racism. Massachussets. Addison Wilsley.

Keller, Suzanne. 1984. Penguasa Dan

Kelompok Elite. Pernanan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta.

Penerbit Rajawali.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu

Antropologi. Jakarta. Penerbit Rineka

Cipta.

____ , 1996. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta. Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama.

____ , 1990. Manusia dan kebudayaan Di

Indonesia. Jakarta. Penerbit Jambatan.

Malau, Gens. 2000. Budaya Batak. Jakarta. Penerbit Yayasan BinaBudaya Nusantara TaoToba NusaBudaya.

Pelly, Usman.1985. Konflik Dan Persesuaian

Antar Etnik. Jakarta. Fajar Agung.

Sihombing, TM. 1977. Filsafat Batak. Jakarta. Pemerbit Balai Pustaka.

Sugihan, Barhein T. 1996. Sosiologi Pedesaan. Jakarta. Penerbit PT RajaGrafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

prosedur, cara atau kerja dalam upaya mencapai pengetahuan baru, bukan essensidan urgensitas dalam makna sumber atau alat untuk mencapai pengetahuan. Penggunaan

Dalam pelaksanaan kegiatan, saya selaku anggota Pengawas Satuan Pendidikan dari tanggal 16 s.d 23 April 2011, selalu datang lebih awal daripada para peserta

Pada eksperimen ini, penguat yang digunakan berasal dari abu batubara yaitu sisa abu hasil pembakaran batu bara., partikel abu batubara ini sangat ringan yaitu antara

Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, 1) kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai pekerjaan yang telah

Hal ini terkait dengan pemahaman tentang konsep dasar matematika yang seharusnya telah dipahami oleh siswa sebelum melanjutkan materi yang lebih mendalam lagi, karena pada

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadisiswanto dkk (2013) pada studi “Analisa pengaruh bahan bakar bioethanol E-30 (Bensin 70% - Ethanol 30%), E-50

Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

Selain sebagai indikator pelayanan yang menunjukkan seberapa cepat dan tanggap petugas kesehatan dalam menangani masalah dan memberikan pertolongan medis kepada