• Tidak ada hasil yang ditemukan

10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

X. PEMBAHASAN UMUM

Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara pesisir pantai Pulau Rupat dengan Kota Dumai. Selat ini berperan penting dari sisi ekologi dan ekonomi bagi masyarakat Riau umumnya dan Kota Dumai khususnya.

Peran ekologis, Selat Rupat dapat dilihat dari keberadaan vegetasi mangrove di wilayah tersebut. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari terjangan angin dan gelombang laut, mencegah intrusi air laut, sebagai habitat (tempat tinggal) biota perairan, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis biota perairan. Peran tersebut menyebabkan kawasan mangrove dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat sebagai wilayah penangkapan ikan. Mangrove merupakan habitat pesisir yang peka terhadap pencemaran minyak.

Selat Rupat berperan penting dalam menunjang perekonomian Riau karena berpotensi sebagai pelabuhan utama di pesisir timur Pulau Sumatera. Kondisi Selat Rupat yang terlindung mampu mendukung pertumbuhan ekonomi Kota Dumai sebagai kawasan industri dan jasa. Prioritas pertumbuhan ekonomi Dumai memperoleh dukungan penuh dari pemerintah Propinsi Riau terutama setelah pemekaran wilayah Kepulauan Riau menjadi propinsi. Kota Dumai diharapkan mampu menjadi ujung tombak perekonomian Propinsi Riau menggantikan Batam. Peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kota Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999 menyebabkan pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Dumai juga dikenal sebagai kota minyak karena di kota ini terdapat dua perusahaan minyak terbesar yang bergerak di bidang eksploitasi, pengolahan dan distribusi minyak (PT. CPI dan PT. Pertamina UP II). Dumai juga merupakan pelabuhan utama di Propinsi Riau yang mampu melayani pergerakan regional maupun internasional.

Pada saat ini, dengan dukungan infrastruktur yang ada Dumai tumbuh menjadi kota industri, perdagangan dan jasa dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,6% per tahun (BPS Dumai 2007). Posisi yang strategis, yang berdekatan langsung dengan Negara Malaysia mampu menjadikan Dumai sebagai sentral

(2)

ekonomi Riau di masa depan. Seiring dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus yang memuat zona pengolahan ekspor, logistrik, industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi dan ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi di Kota Dumai terus meningkat.

Kota Dumai telah memiliki lima kawasan Industri yang strategis yaitu Kawasan Industri Dumai (KID) Pelintung, Kawasan Industri Lubuk Gaung, Kawasan Industri Dock Yard, Kawasan Industi Bukit Kapur dan Kawasan Industri Bukit Timah. Peningkatan aktivitas kawasan industri dapat meningkatkan frekuensi transportasi laut di Selat Rupat yang berpotensi meningkatkan pencemaran minyak di Selat Rupat. Intensitas pemanfaatan Selat Rupat yang tinggi karena berbagai aktivitas industri dan transportasi laut bisa memicu terjadinya pencemaran minyak di perairan yang menyebabkan tekanan ekologis terhadap Selat Rupat. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya degradasi terhadap lingkungan perairan Selat Rupat.

Pada pembahasan umum ini akan diuraikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sub-mayor bidang pencemaran yang meliputi sumber pencemar minyak di Selat Rupat, tingkat pencemaran perairan Selat Rupat, respon lingkungan terhadap pencemaran minyak dan pengendalian pencemaran minyak yang tepat diterapkan di Selat Rupat. Uraian masing-masing elemen ini adalah sebagai berikut:

10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat

Sumber pencemaran minyak di perairan Selat Rupat pada umumnya berasal dari aktivitas industri migas, muara sungai dan pelabuhan. Industri migas di pesisir Pantai Dumai merupakan sumber utama minyak yang langsung masuk ke Selat Rupat setelah melalui proses pengolahan. Konsentrasi minyak dari industri migas (2002–2009) yang masuk ke Selat Rupat memperlihatkan kecenderungan menurun. Konsentrasi minyak tertinggi terlihat pada tahun 2002 dan 2003, namun pada tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan kecenderungan terus menurun. Sebelum tahun 2007, industri migas masih menggunakan Keputusan Menteri

(3)

Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 (lampiran IV) sebagai standar Baku Mutu dengan batas maksimal untuk minyak adalah 25 ppm. Komitmen pemerintah untuk mengendalikan pencemaran minyak di lingkungan perairan mulai dilakukan dengan dikeluarkannya regulasi (PerMenLH No.04 Tahun 2007) untuk industri migas. Kebijakan ini diikuti oleh upaya industri migas untuk menurunkan konsentrasi minyak di effluent agar di bawah baku mutu, sehingga pada tahun 2008-2009 konsentrasi minyak di effluent industri migas telah menurun hingga di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (<20 ppm).

Kepadatan aktivitas masyarakat Kota Dumai di daratan dapat diketahui dari konsentrasi minyak di muara sungai yang masuk ke Selat Rupat. Berdasarkan survei lapangan, terdapat 5 sungai yang memiliki kontribusi terhadap pencemaran minyak di Selat Rupat. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Buluhala, Sungai Mampu, Sungai Mesjid, Sungai Dumai dan Sungai Pelintung. Berdasarkan konsentrasi minyak, Sungai Mesjid dan Sungai Dumai merupakan dua sungai yang memberikan kontribusi besar terhadap input polutan minyak di perairan Selat Rupat. Konsentrasi minyak rata-rata di muara Sungai Mesjid dan Sungai Dumai masing-masing adalah 3.8 ppm dan 3.5 ppm. Berdasarkan bakumutu, konsentrasi minyak pada kedua sungai tersebut telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Sedangkan tiga muara sungai lainnya (Sungai Buluhala, Sungai Mampu dan Sungai Pelintung) konsentrasi minyak rata-ratanya masih di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan (< 1 ppm).

Konsentrasi minyak rata-rata di pelabuhan migas dan pelabuhan umum masing-masing adalah 5.7 ppm dan 5.9 ppm. Apabila dibandingkan dengan bakumutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran I), konsentrasi minyak di kedua lokasi tersebut telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan.

Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak yang masuk ke perairan, jenis dan sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut.

(4)

10.2 Tingkat pencemaran minyak di Selat Rupat

Polutan minyak yang berasal dari industri migas, muara sungai dan pelabuhan masuk ke Selat Rupat sebagai input. Faktor hidrooseanografi (khususnya arus dan gelombang) dapat mempengaruhi konsentrasi minyak di Selat Rupat, namun karena perairan ini relatif tenang (gelombang 0.07-0,27 m) maka faktor arus lebih dominan dalam mempengaruhi konsentrasi minyak di Selat Rupat. Kecepatan arus yang relatif tinggi (0.22-0.82 m/dt) sangat mempengaruhi konsentrasi minyak di perairan tersebut. Pola arus yang mencakup arah dan kecepatan merupakan mekanisme penting dalam distribusi dan transportasi polutan minyak di Selat Rupat.

Konsentrasi minyak rata-rata di perairan Lubuk Gaung, Pelintung dan Pulau Ketam masing-masing adalah 2.0 ppm, 1.40 ppm dan 0.95 ppm. Apabila dibandingkan dengan baku mutu (KepMenLH No.51 Tahun 2004 Lampiran III), konsentrasi minyak di perairan Lubuk Gaung dan Pelintung telah melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Sedangkan konsentrasi minyak rata-rata di Perairan Pulau Ketam hampir mendekati baku mutu yang telah ditetapkan.

Kecepatan arus yang bervariasi (0.22-0.82 m/ dt) di berbagai wilayah Selat Rupat dapat mempengaruhi konsentrasi minyak di perairan. Kecepatan arus tertinggi terdapat di perairan Pulau Ketam, yaitu rata-rata 0.65 m/dt dan di perairan Lubuk Gaung 0.63 m/dt. Kecepatan arus rata-rata di wilayah pelabuhan (pelabuhan umum dan migas) adalah 0.38 m/dt.

Gelombang di perairan Selat Rupat relatif lebih kecil dibandingkan dengan di Selat Malaka karena Selat Rupat merupakan perairan yang semi tertutup. Pada kondisi normal tinggi gelombang di Selat Rupat berkisar 0.07- 0.21 m, sedangkan di Selat Malaka 0.10-0.40 m. Tingginya gelombang di Selat Malaka disebabkan perairan ini merupakan perairan terbuka yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, lamanya angin bertiup dan jarak tanpa rintangan (fetch). Faktor gelombang berperan penting dalam menetapkan kelayakan suatu tempat bagi lokasi pelabuhan, karena pelabuhan harus tenang dan terlindung dari gempuran gelombang agar proses bongkar-muat dapat berlangsung dengan aman dan cepat.

Menurut Lee et al. (1978), tingkat pencemaran perairan oleh bahan organik (termasuk minyak) dapat dievaluasi berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan

(5)

BOD5. Konsentrasi minyak yang tinggi di perairan akan menyebabkan tingginya

pemakaian oksigen terlarut untuk proses penguraian (degradasi) sehingga konsentrasi oksigen terlarut di perairan menurun (Clark 2003). Konsentrasi oksigen terlarut di perairan Selat Rupat berkisar 4.45-6.25 ppm. Oksigen terlarut terendah terdapat di pelabuhan (pelabuhan umum dan migas). Konsentrasi oksigen terlarut meningkat di lokasi yang berjauhan dengan pelabuhan. Konsentrasi oksigen terlarut di Perairan Lubuk Gaung dan Pelintung masing-masing adalah 6,02 ppm dan 6.10 ppm. Oksigen terlarut tertinggi terdapat di Perairan Pulau Ketam dengan konsentrasi rata-rata 6.25 ppm. Perairan Pulau Ketam relatif lebih baik karena tidak banyak aktivitas pelabuhan dan industri yang mempengaruhinya. Namun di perairan ini masih terdapat minyak dengan konsentrasi yang hampir mendekati bakumutu (1 ppm). Keberadaan minyak di wilayah ini berasal dari sumber-sumber pelabuhan (transportasi kapal), industri yang ikut terbawa oleh arus saat surut.

Indikator BOD5 merupakan faktor penting yang dapat menentukan tingkat

pencemaran minyak (organik) pada suatu perairan. Semakin tinggi nilai BOD5

semakin tinggi pencemaran di perairan tersebut. BOD5 merupakan indikator

untuk mengetahui besarnya pemakaian oksigen terlarut oleh mikroorganisme dalam proses penguraian minyak secara biologi. Makin banyak jumlah minyak yang diuraikan oleh mikroorganisme akan semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan dan nilai BOD5 akan semakin tinggi.

BOD5 di perairan Selat Rupat berkisar 3.3-10.9 ppm. Perairan pelabuhan

(umum dan migas) memiliki nilai BOD5 yang lebih tinggi, karena memiliki

konsentrasi minyak yang relatif tinggi di bandingkan dengan perairan lainnya. Semakin jauh dari pelabuhan makin kecil nilai BOD5. Perairan Pulau Ketam

merupakan perairan yang memiliki BOD5 terkecil yaitu 3.3 ppm. Indikator ini

menunjukkan semakin mengecilnya pengaruh pencemaran minyak di perairan tersebut.

Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarutnya dan BOD5, maka perairan Selat

Rupat yang meliputi wilayah Perairan Pelintung, Lubuk Gaung dan Pulau Ketam termasuk kategori tercemar ringan (TR). Pelabuhan Dumai (pelabuhan umum dan migas) merupakan sumber polutan minyak utama di perairan.

(6)

10.3. Respon lingkungan wilayah terhadap pencemaran minyak

Berbagai aktivitas industri, transportasi, pengolahan dan distribusi minyak di pesisir Pantai Dumai menyebabkan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak, sebaliknya perairan ini peka terhadap minyak. Kawasan Selat Rupat memiliki kepekaan yang berbeda terhadap polutan minyak sesuai karakteristik lingkungan di wilayah tersebut. Berdasarkan tingkat kepekaannya, maka wilayah penelitian Selat Rupat dibagi atas tiga bahagian, yaitu wilayah yang sangat peka, wilayah yang peka dan wilayah kurang peka.

Wilayah termasuk kategori sangat peka adalah wilayah dengan sumberdaya pesisir yang mudah rusak akibat tercemar minyak. Selain itu sumberdaya alamnya memiliki produktivitas yang tinggi dan memiliki kontribusi besar terhadap ekosistem dan masyarakat di sekitarnya. Lokasi yang tercakup dalam wilayah ini adalah wilayah Lubuk Gaung. Wilayah peka adalah wilayah yang memiliki sumberdaya yang mudah rusak dan memerlukan waktu yang lama untuk memperbaharuinya. Wilayah yang termasuk peka adalah wilayah Pulau Ketam. Wilayah yang kurang peka adalah wilayah yang dicirikan oleh tipe penutupan non mangrove dan pemukiman. Lokasi yang termasuk dalam kategori kurang peka adalah wilayah Pelintung yang dicirikan oleh penutupan belukar, vegetasi non mangrove serta pemukiman.

Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Wilayah yang sangat peka akan memberikan respon negatif yang dapat membahayakan ekosistem di sekitarnya walaupun konsentrasi minyaknya relatif rendah. Sebaliknya, wilayah yang kurang peka akan memberikan respon yang tidak membahayakan saat polutan minyak memasuki wilayah tersebut. Berdasarkan kondisi eksisting, wilayah Pelintung dan Pulau Ketam memberikan respon aman terhadap pencemaran minyak, namun wilayah Lubuk Gaung memberikan respon yang cukup berbahaya karena memiliki vegetasi mangrove yang relatif baik dan merupakan wilayah tangkapan.

Menurut NOAA (2002), kepekaan suatu perairan ditentukan oleh garis pantai (termasuk tipe sedimen, gelombang dan arus laut dan kemiringan pantai), sumberdaya biologi (terutama vegetasi yang tumbuh di sekitar pantai) dan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut (daerah pelabuhan, pemukinan nelayan,

(7)

pariwisata dan lain-lain). Berdasarkan garis pantai, Lubuk Gaung, Pesisir Rupat Barat dan Selatan memiliki pantai yang landai dengan kemiringan <3 %, gelombang laut dengan morfologi pantai yang terlindung, memiliki tipe substrat dasar yang didominasi oleh sedimen pasir berlumpur sehingga memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Sedimen sangat rentan terhadap minyak karena bersifat impermiabel, minyak dapat berpenetrasi dan terkubur ke dalam sedimen, sehingga saat terjadi pencemaran minyak sangat sulit memulihkannya.

Keberadaan minyak di Selat Rupat yang sangat peka dengan pasang-surut setiap selang waktu enam jam sekali menyebabkan minyak terperangkap dan tidak mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Minyak yang memiliki molekul resisten berpotensi untuk terakumulasi dan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Polutan minyak masuk ke ekosistem mangrove pada saat air pasang, dan saat air surut minyak akan terjebak dan menempel pada akar mangrove dan permukaan sedimen. Minyak yang terjebak pada ekosistem mangrove sulit untuk dibersihkan. Kontaminasi minyak pada ekosistem mangrove dapat menutup akar nafas sehingga menyebabkan rontoknya daun. Menurut NOOA (2002), lapisan minyak akan menutupi seluruh sistem perakaran mangrove yang mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada lentisel akar nafas, sehingga pertukaran gas O2 dan CO2 akan terputus. Apabila

hal ini terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove. Oleh sebab itu, untuk mengatasi resiko kerusakan lingkungan terhadap minyak perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak di perairan.

10.4 Pengendalian pencemaran minyak yang efektif di Selat Rupat

Pada dasarnya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat dapat dilakukan dengan dua instrumen, yaitu instrumen teknologi dan instrumen regulasi (peraturan perundang-undangan). Penentuan prioritas teknologi dan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak dilakukan melalui survei pakar.

a. Instrumen pengendalian pencemaran minyak (teknologi dan regulasi) Berdasarkan survei pakar teknologi yang dapat digunakan untuk pengendalian pencemaran minyak di perairan laut adalah oilboom (mekanik), dispersant (kimia) dan bioremediasi (biologi). Berdasarkan hasil analisis CPI

(8)

(comparative performance index), prioritas penggunaan dispersant untuk pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat merupakan pilihan utama, kemudian diikuti oilboom dan bioremediasi. Pada umumnya dispersant dan oilboom masih populer digunakan di perairan karena pertimbangan waktu dan biaya dalam pemulihan lingkungan perairan terhadap pencemaran minyak.

Berdasarkan analisis ISM (interpretive structural modelling), pemerintah merupakan elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. Stakesholder ini memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengendalian pencemaran minyak terutama dari aspek legal formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Pelayaran, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

Peraturan perundang-undangan ini merupakan instrumen yang berkaitan langsung dengan usaha dan/ atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan terjadi pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Pemerintah melalui instansi teknis berperan dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terjadinya pencemaran minyak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas industri migas dan aktivitas transportasi kapal di pelabuhan yang berada di sekitar Selat Rupat.

Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah melalui instrumen regulasi terhadap industri migas (PermenLH No.04 Tahun 2007) ternyata cukup efektif menurunkan konsentrasi minyak di effluent industri migas hingga dibawah baku mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, dengan berlakukannya Undang-undang No.17 Tahun 2007 tentang pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim dan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal maka semua kapal yang berlayar dan berlabuh di Pelabuhan Dumai harus mengikuti prosedur yang telah berlaku.

b. Model pengendalian pencemaran minyak di perairan

Upaya perlindungan potensi sumberdaya alam Selat Rupat yang peka terhadap minyak perlu dilakukan, di sisi lain pembangunan Kota Dumai sebagai

(9)

ujung tombak ekonomi Propinsi Riau juga perlu dijalankan. Oleh sebab itu diperlukan suatu model pengendalian agar kelestarian sumberdaya alam dapat terjaga untuk generasi yang akan datang.

Berdasarkan kondisi eksisting di Selat Rupat, tingkat pencemaran perairan Pulau Ketam Lubuk Gaung dan Pelintung termasuk kriteria tercemar ringan. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Lubuk Gaung merupakan wilayah yang memberikan respon cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak karena memiliki karakteristik lingkungan yang sangat peka. Sedangkan wilayah Pulau Ketam dan Pelintung merupakan wilayah yang aman terhadap pencemaran minyak. Apabila kondisi lingkungan di perairan ini tidak mengalami perubahan, berdasarkan hasil simulasi hingga tahun 2020 wilayah Lubuk Gaung masih beresiko cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Oleh sebab itu, untuk mengatasi resiko ancaman kerusakan lingkungan terhadap wilayah Selat Rupat yang sangat peka ini, perlu dilakukan pengendalian pencemaran minyak dengan menggunakan instrumen teknologi dan regulasi.

Pada umumnya pengendalian pencemaran minyak saat ini telah dilakukan, namun masih belum optimal, sehingga konsentrasi minyak di beberapa wilayah perairan masih melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu diperlukan upaya pengendalian yang sistematis dengan menggunakan instrumen regulasi dan teknologi. Pemilihan alternatif pengendalian yang efektif dapat dilakukan dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: skenario I menggunakan instrumen regulasi (peraturan perundang-undangan) secara parsial, skenario II menggunakan teknologi (oilboom dan dispersant), dan skenario III menggunakan gabungan instrumen regulasi dan teknologi.

Pengendalian skenario III (pengendalian gabungan) menggunakan teknologi dan regulasi mampu menurunkan konsentrasi minyak di perairan hingga 63.6 % sehingga respon wilayah terhadap pencemaran minyak di wilayah Pelintung dan Pulau Ketam menjadi sangat aman (klas 1) dan Lubuk Gaung dari tingkat cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas 2). Perubahan status respon ke kriteria aman menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Berdasarkan hasil simulasi, hasil tangkapan nelayan yang sebelumnya 2,058 ton

(10)

pada tahun 2005 dapat meningkat menjadi 2,212,9 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung diikuti dengan peningkatan pendapatan nelayan.

Wilayah Lubuk Gaung tidak mudah mengalami perubahan resiko menjadi sangat aman (klas 1), karena merupakan wilayah yang sangat peka terhadap minyak. Walaupun konsentrasi minyak yang mencemari kecil, namun respon terhadap minyak di wilayah Lubuk Gaung sangat tinggi. Oleh sebab itu, wilayah ini perlu diprioritaskan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.

Instrumen teknologi yang digunakan adalah oilboom dan dispersant memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan kondisi lapangan. Oilboom efektif digunakan pada perairan yang tenang yang berfungsi sebagai perangkap minyak di perairan agar tidak menyebar pada wilayah yang luas, kemudian dilakukan penyedotan. Sebaliknya, penggunaan dispersant lebih efektif pada perairan yang memiliki arus yang kuat dan bergelombang karena membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant bisa tercampur sempurna dengan minyak.

Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan

aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecahkan minyak menjadi butiran-bituran kecil (droplet). Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi dan mencegah minyak agar tidak menyebar luas hingga ke pantai sehingga wilayah yang peka diharapkan dapat menjadi lebih aman.

Keberadaan instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan terutama Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi dapat menekan konsentrasi polutan minyak di perairan.

Pada skenario II (penggunaan teknologi), penggunaan dispersant mampu memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil (droplets) yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu terdispersi ke badan air (Lessard dan Demarco 2000). Hasil dispersi ini menyebabkan semakin besarnya droplet minyak yang lepas ke badan air sehingga mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi

(11)

karena luas permukaannya menjadi lebih kecil sehingga bisa dicegah agar minyak tidak sampai ke pantai.

Kelebihan penggunaan dispersant ini adalah dapat digunakan dalam segala macam cuaca, dapat diaplikasikan di wilayah yang luas dengan menggunakan helikopter dan dapat mendegredasi minyak dengan cepat. Efektivitas dispersant tergantung pada jenis minyak, umumnya 1 bahagian dispersant mampu memecah 100 bahagian minyak dan dengan bantuan arus dan gelombang dispersant mampu memecah minyak berat (Lessard & Demarco 2000). Penggunan teknologi dispersant mampu mengurangi resiko bahaya di wilayah Lubuk Gaung yang sangat peka terhadap pencemaran minyak.

Penggunaan instrumen teknologi (dispersant dan oilboom) mampu mengurangi konsentrasi minyak hingga 55.7 % di perairan sehingga dapat menurunkan resiko pencemaran minyak di Selat Rupat. Respon lingkungan di wilayah Pelintung dan Pulau Ketam mengalami perubahan dari kriteria aman (klas 2) menjadi sangat aman (klas 1). Wilayah Lubuk Gaung juga mengalami perubahan respon lingkungan dari cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas 2) terhadap pencemaran minyak.

Perubahan resiko lingkungan menjadi aman dan sangat aman menggunakan skenario II di Selat Rupat, mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari 2,058 ton (tahun 2005) menjadi 2,184 ton (2010) dan meningkat lagi hingga 2,191,3 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung akan meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.

Pengendalian dengan skenario I (penggunaan regulasi secara parsial) merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh stakeholder untuk mengendalikan pencemaran minyak di perairan. Skenario I mampu menurunkan konsentrasi minyak di perairan hingga 43.6 %.

Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan bersifat mengikat dan harus diikuti oleh stakeholder terkait. Apabila tidak diikuti akan dikenakan sanksi hukuman pidana dan denda. Regulasi yang digunakan pada skenario ini merupakan langkah pencegahan melalui penerapan peraturan perundang-undangan agar mampu menurunkan tingkat pencemaran minyak pada sumbernya sebelum masuk ke perairan. Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan

(12)

dengan upaya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat ini adalah:

1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat, tentang perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan), pemeliharaan (meliputi konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam), pengawasan dan penindakan berupa pemberian sanksi (administrasi, pidana dan denda) yang tegas bagi pihak yang melanggar (110 halaman).

2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ini memuat tentang transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan laut (206 halaman).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut, pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan perusakan laut, pemulihannya (9 halaman).

4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, yang memuat pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal, perlindungan laut, pencegahan pencemaran dari kegiatan di pelabuhan, tanggung jawab pemilik atau operator kapal dan pemberian sanksi administratif bagi yang melanggar.

5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi (13 Halaman).

6. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 04 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal. Peraturan ini memuat tentang pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal, peralatan penanggulangan awal

(13)

pencemaran minyak oleh kapal, tanggung jawab pemilik atau operator kapal,dan pencucian tangki kapal dan dumping.

a) Pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal dilakukan dengan mewajibkan semua kapal memenuhi persyaratan:

Tangki-tangki dan pipa-pipa yang berkaitan dengan pemasangan peralatan pencegahan pencemaran dirancang dan dibangun dengan konstruksi yang kuat.

Sistem pipa balast di kapal terpisah dari sistem pipa minyak bahan bakar, minyak muatan dan minyak pelumas.

Tangki penampungan minyak kotor dari ruang permesinan berkapasitas memadai.

Pipa saluran pembuangan dari kapal ke darat dipasang melalui sambungan pembuangan.

Peralatan pemisah air berminyak (oily water separator) yang dipasang di ruang mesin harus efektif dengan effluent tidak boleh melebihi 15 ppm.

Menyediakan buku catatan minyak (oil record book) untuk mencatat kegiatan-kegiatan di kapal meliputi: buku catatan minyak untuk ruang permesinan, pencucian tangki minyak bahan bakar, pembuangan air bilga melalui alat pemisah air dan minyak, penyaluran limbah berminyak dari tangki penampungan minyak kotor (tank slop) ke fasilitas penampungan di darat dan buku catatan minyak untuk pembuangan air bilga ke luar kapal melalui alat pemisah air dan minyak, pencucian tangki minyak bahan bakar serta penyaluran limbah berminyak dari kapal ke fasilitas penampungan di darat.

b) Peralatan dan bahan untuk pengendalian pencemaran minyak adalah: Bahan kimia dispersant 100 liter, untuk kapal tangki minyak dengan tonase kotor 150 GT - 1000 GT.

Bahan kimia dispersant 60 liter, untuk kapal selain dari kapal tanker dengan tonase 400 GT hingga 1000 GT.

(14)

Oilboom berukuran panjang > 140 meter, dispersant 400 liter, alat penyemprot, dan 100 kg bahan penyerap (absorber) minyak, untuk kapal tanker 1000 GT hingga 5000 GT.

Dispersant 400 liter dan bahan penyerap (absorber) minyak 100 kg, untuk kapal selain dari kapai tanker dengan tonase 5000 GT hingga 1000 GT.

Oilboom berukuran panjang sekurang-kurangnya 200 meter, dispersant 600 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap (absorber) minyak 200 kg untuk kapal tanker dengan tonase 5000 GT hingga 10 000 GT. Dispersant 600 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap (absorber) minyak 200kg, untuk kapal selain dari kapal tangki minyak dengan tonase 5000 GT hingga 10 000 GT.

Oilboom yang panjangnya sekurang-kurangnya 300 meter, dispersant 1000 liter, alat penyemprot, dan bahan penyerap (absorber) minyak 300 kg untuk kapal tanker dengan tonase 10.000 GT.

Dispersant 1000 liter, alat penyemprot dan bahan penyerap (absorber) minyak 300 Kg, untuk kapal selain dari kapal tangker dengan tonase lebih 10 000 GT.

Kapal-kapal yang dilengkapi dengan oilboom harus dilengkapi pula dengan sekoci kerja.

7. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan (lampiran I), baku mutu air laut untuk wisata bahari (lampiran II) dan baku mutu air laut untuk biota laut - lampiran III (11 halaman).

Instrumen regulasi merupakan kontrol bagi berbagai stakeholders untuk mencegah terjadinya pencemaran minyak di lingkungan perairan. Selain itu, dalam menjalankan kegiatannya semua pelaku industri harus memiliki prosedur tetap (protap) untuk mencegah terjadinya berbagai insiden (kecelakaan) yang merugikan diri sendiri dan lingkungan kerja. Pada saat ini, industri migas dibawah koordinasi BP Migas telah mengeluarkan prosedur tetap (protap) untuk penanggulangan tumpahan minyak di perairan. Apabila pemerintah sebagai pelaku kebijakan telah menjalankan instrumen regulasi tersebut dengan baik dan

(15)

pemberian sanksi tegas (pidana dan denda) bagi yang melanggar dilaksanakan, maka pencemaran minyak di perairan dapat dicegah secara dini.

Peran regulasi dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat dapat menurunkan klas bahaya wilayah Lubuk Gaung menjadi aman terhadap resiko pencemaran minyak. Penerapan regulasi dapat memberikan tekanan kepada stakeholders terkait. Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.04 Tahun 2007, maka konsentrasi minyak di outlet effluent industri migas telah mengalami penurunan hingga dibawah baku mutu (< 20 ppm).

Pelaksanaan regulasi ini ternyata hanya efektif untuk mengendalikan pencemaran minyak di effluent industri, namun untuk wilayah pelabuhan dan muara sungai masih sukar diwujudkan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen dari stakeholder terkait (pengelola kapal dan industri di daratan) dalam menekan input pencemaran minyak di perairan.

Berdasarkan ketiga skenario tersebut, skenario III lebih efektif dibandingkan skenario I dan skenario II. Skenario III memilki kemampuan mengurangi minyak di perairan hingga 63.8 %. Kombinasi teknologi dan regulasi mampu mengendalikan pencemaran minyak di Selat Rupat sehingga menjadikan lingkungan yang peka aman terhadap pencemaran minyak. Status aman mampu meningkatkan tangkapan dan pendapatan nelayan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk penerapan regulasi secara tegas dalam pengendalian pencemaran minyak. Pemerintah selaku stakeholder kunci juga harus mampu memberikan insentif kepada stakeholder yang taat dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap penyelamatan lingkungan dan memberikan sanksi tegas bagi pihak yang melanggar demi kelestarian lingkungan.

Referensi

Dokumen terkait

Pilihan yang ada berkait dengan jenis elemen(1 dimensi 2 dimensi atau 3 dimensi) dan elemen(1 dimensi, 2 dimensi, atau 3 dimensi), dan berlanjut dengan tingkat kesulitan dari

Pelayanan Paket Penunjang Diagnostik diberikan pada Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan, Pelayanan Satu Hari (One Day Care), Pelayanan Rawat Inap Tingkat

EFEKTIVITAS LACTOBACILL∪ S PLANTARUM TERHADAP SERUM IMUNOGLOBULIN E TOTAL DAN INDEKS SCORING ATOPIC DERMATITIS(SCORAD)PASIEN DERMATITIS ATOPIK DEWASA. laissa Bonla,CIa Rosla

a) Lingkungan sekolah adalah adalah keadaan di sekitarSMAN 12 Makassar yang terdiri dari guru, alat, kondisi gedung, kurikulum, waktu sekolah dan disiplin yang

Limbah merupakan produk samping industri yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu yang tidak diinginkan karena tidak mempunyai nilai ekonomi.Limbah

Berdasarkan wawancara kepada Adi Supriadi selaku Asisten Manajer SDM pada tanggal 16 Februari 2010 permasalahan kinerja karyawan yang terjadi di reshare CV Rabbani Asysa

Bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah tempat tinggal 24 Juni 2012; Menimbang, bahwa oleh karena masalah ini adalah masalah perceraian sehingga meskipun Tergugat