Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Pada Remaja Ni Made Taganing, SPsi., MPsi
Fini Fortuna, 10503078
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Ii + 50, 10 tabel, Daftar Pustaka, Lampiran, 2008
ABSTRAKSI
Aksi-aksi kekerasa terjadi dimana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi-aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan non verbal (memukul, meninju). Agresivitas yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap dirinya juga. Bahaya agresivitas terhadap individu itu sendiri adalah orang lain akan menjauhi pelaku yang hanya akan menyakiti orang lain tanpa berfikir panjang akibat yang akan di dapat setelah menyakiti orang lain. Agresi menurut Berkowitz (1995) adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara verbal maupun non verbal. Salah satu factor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh.
Hurlock (1993) menyatakan bahwa setiap orang tua berbeda di dalam menerapkan pola sikap dan perilaku mereka terhadap anak. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sikap yang mereka pelajari di dalam mengasuh dan mendidik anak antara lain adanya pengalaman awal dengan anak, adanya nilai budaya mengenai cara terbaik dalam memperlakukan anak baik secara otoriter, demokratis maupun permisif.
Santrock (2002) menyatakan bahwa pola asuh otoriter adalah suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menerapkan batas-batas yang tegas dan tidak member peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji ada tidaknya hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Sarwono (1997) berpendapat bahwa perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tuannya. Orang tua yang terlalu menuntut anaknya untuk selalu mengikuti segala kemauannya akan membuat anak frustasi sehingga anak bila berada di luar rumah akan berindak seenaknya dan berperilaku agresif.
Dari hasil penelitian diketahui dari 30 item skala perilaku agresif yang diuji cobakan terdapat 19 item yang valid dengan nilai korelasi antara 0,306 sampai dengan 0,604 dengan koefisien reliabilitas 0,856. Sedangkan skala pola asuh otoriter dari hasil analisis penelitian diketahui dari 30 item yang diuji cobakan terdapat 16 ietm yang valid dengan nilai korelasi antara 0,315 sampai dengan 0,600 dengan koefisien reliabilitas 0,819. Berdasarkan analisis product moment pearson (N=46) diketahui r = 0,303 dengan nilai signifikansi 0,041 (p<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Pemaksaan dan kontrol yang sangat ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam berinisiatif pada anak dan memiliki keterampilan komunikasi yang sangat rendah. Anak akan menjadi seorang yang sulit untuk bersosialisasi dengan teman-temannya sehingga anak akan mempunyai rasa sepi dan ingin diperhatikan oleh orang lain dengan cara berperilaku agresif. Orang tua yang sering memberikan hukuman fisik pada anaknya dikarenakan kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh orang tua akan membuat anak marah dan kesal kepada orang tuanya tetapi anak tidak berani mengungkapkan kemarahannya itu dan melampiaskan kepada orang lain dalam bentuk perialku agresif. Dengan pola asuh orang tua yang tidak terlalu mengekang, anak akan menjadi anak yang berinisiatif, percaya diri dan mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Bagi warga Jakarta, aksi‐aksi
kekerasan baik individual maupun
massal mungkin sudah merupakan
berita harian. Saat ini beberapa televisi
bahkan membuat program‐program
khusus yang menyiarkan berita‐berita
tentang aksi kekerasan. Aksi‐aksi
kekerasan dapat terjadi di mana saja,
seperti di jalan‐jalan, di sekolah, bahkan
di kompleks‐kompleks perumahan. Aksi
tersebut dapat berupa kekerasan verbal
(mencaci maki) maupun kekerasan fisik
(memukul, meninju, dll). Pada kalangan
remaja aksi yang biasa dikenal sebagai
tawuran pelajar/massal merupakan hal
yang sudah terlalu sering kita saksikan,
bahkan cenderung dianggap biasa.
Pelaku‐pelaku tindakan aksi ini bahkan
sudah mulai dilakukan oleh siswa‐siswa
di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah
memprihatinkan. Hal yang terjadi pada
saat tawuran sebenarnya adalah
perilaku agresi dari seorang individu
atau kelompok (http://www.e‐
psikologi.com/remaja.htm).
Berkowitz (1995) mendefinisikan
agresi sebagai segala bentuk perilaku
yang di maksudkan untuk menyakiti
seseorang, baik secara fisik maupun
mental. Agresi yang dilakukan berturut‐
turut dalam jangka lama yang terjadi
pada anak‐anak atau sejak masa anak‐
anak akan berdampak terhadap
perkembangan kepribadian anak yang
makin lama dikenal oleh masyarakat
sebagai suatu kriminal. Sikap agresif
merupakan penggunaan hak sendiri
dengan cara melanggar hal orang lain.
Salah satu faktor penyebab agresi yang
pertama adalah frustasi. Frustasi dapat
menimbulkan kemarahan dan emosi
marah inilah yang dapat memicu
seseorang melakukan perilaku agresi.
Frustasi itu sendiri adalah hambatan
terhadap pencapaian suatu tujuan
(Sarwono, 2002). Frustasi dapat
disebabkan oleh pola asuh otoriter.
Sikap orang tua yang terlalu menuntut
dapat membuat anak frustasi. Frustasi
dapat ditimbulkan oleh orang tua yang
menginginkan anaknya tunduk dan
patuh serta selalu menuruti semua
kehendak orang tuanya. Orang tua yang
terlalu keras serta tidak responsif pada
kebutuhan anak akan membuat anak
cenderung menjadi takut serta murung.
Kondisi‐kondisi itu bisa melandasi
perilaku agresif. Orang tua yang sering
memberikan hukuman fisik pada
anaknya dikarenakan kegagalan
memenuhi standar yang telah
ditetapkan oleh orang tua akan
membuat anak marah dan kesal kepada
orang tuanya tetapi anak tidak berani
mengungkapkan kemarahannya itu dan
dalam bentuk perilau agresif (Sarwono, 2002).
Esensi hubungan antara orang tua
dengan anak sangat ditentukan oleh
sikap orang tua dalam mengasuh anak,
bagaimana perasaan dan apa yang
dilakukan orang tua. Hal ini bercermin
pada pola asuh orang tua, yakni suatu
kecenderungan cara‐cara yang dipilih
dan dilakukan oleh orang tua dalam
mengasuh anak. Siti Meichati (dikutip
Dayakisni, 1988) mengemukakan bahwa
pola asuh adalah perlakuan orang tua
dalam rangka memenuhi kebutuhan,
memberi perlindungan dan mendidik
anak dalam kehidupan sehari‐hari.
Hubungan baik yang tercipta
antara anak dan orang tua akan
menimbulkan perasaan aman dan
kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya
hubungan yang buruk akan
mendatangkan akibat yang sangat buruk
pula, perasaan aman dan kebahagiaan
yang seharusnya dirasakan anak tidak
lagi dapat terbentuk, anak akan
mengalami trauma emosional yang
kemudian dapat ditampilkan anak dalam
berbagai bentuk tingkah laku seperti
menarik diri dari lingkungan, bersedih
hati, pemurung, temper dan sebagainya
(Hurlock, 1994).
Jadi pola asuh orang tua
merupakan pola interaksi antara anak
dengan orang tua bukan hanya
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti
makan, minum, dan lain‐lain) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman,
kasih sayang, dan lain‐lain), tetapi juga
mengajarkan norma‐norma yang berlaku
di masyarakat agar anak dapat hidup
selaras dengan lingkungan. Pola asuh
otoriter adalah suatu gaya membatasi
dan menghukum yang menuntut anak
untuk mengikuti perintah‐perintah
orang tua dan menghormati pekerjaan
dan usaha. Orang tua yang otoriter
menetapkan batas‐batas yang tegas dan
tidak memberi peluang yang besar
kepada anak‐anak untuk berbicara
(bermusyawarah) (Santrock, 2002).
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa, pola asuh orang tua
memiliki pengaruh yang amat besar
dalam membentuk kepribadian anak
yang tangguh sehingga anak
berkembang menjadi pribadi yang
percaya diri, berinisiatif, berambisi,
beremosi stabil, bertanggung jawab,
mampu menjalin hubungan
interpersonal yang positif dan lain‐lain.
Kepribadian tersebut dapat
dikembangkan dalam keluarga. Pola
asuh yang salah dapat menyebabkan
seorang anak melakukan perilaku
agresif. Orang tua yang terlalu
mendominasi akan membuat anak tidak
yang akhirnya anak akan melakukan
perilaku agresif diluar lingkungan
keluarga. Sehingga pertanyaan pada
penelitian ini adalah apakah ada
hubungan pola asuh otoriter dengan
perilaku agresif pada remaja. TINJAUAN TEORITIS A. Agresivitas 1. Definisi Agrsivitas Berkowitz (1995) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental.
2. Jenis‐jenis Agresivitas
Berkowitz (1995) membagi agresi ke dalam dua bentuk, yaitu:
1. Agresi Instrumental
(Instrumental Agression) 2. Agresi benci (Hostile
Agression) atau Agresi Emosional
Buss dan Durkee (dalam Edmuds&Kendrick, 1980) menggolongkan beberapa bentuk tindakan agresif yang secara operasional dapat digunakan untuk mengukur agresi, yaitu sebagai berikut: 1. Penyerangan: kekerasan
fisik terhadap manusia termasuk perkelahian, tidak
termasuk pengerusakan properti.
2. Agresi tidak langsung: menyebarkan gosip yang berkonotasi negatif, gurauan (yang negatif).
3. Negativisme: tingkah laku menantang, termasuk penolakan untuk bekerja sama, menolak untuk patuh dan pembangkangan.
4. Agresi verbal: berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki.
5. Irritability: kesiapan untuk marah meliputi temper yang cepat dan kekasaran.
6. Resentment: iri dan rasa benci terhadap orang lain. 7. Kecurigaan:
ketidakpercayaan dan proyeksi permusuhan terhadap orang lain, bentuk ekstrim dari kecurigaan ini adalah paranoia.
3. Tipe‐tipe Agresi
Pembagian agresi diajukan oleh Moyer (dalam Sarwono, 1988) yang merinci agresi menjadi ke dalam tujuh tipe agresi, sebagai berikut: a. Agresi predatori
b. Agresi antar jantan c. Agresi ketakutan
d. Agresi tersinggung
e. Agresi pertahanan
g. Agresi instrumental
4. Faktor‐faktor yang Mempengaruhi
Agresi
Sikap agresif merupakan penggunaan hak sendiri dengan cara melanggar hak orang lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresi, diantaranya:
a. Frustasi
b. Media kekerasan c. Faktor Lingkungan Fisik
d. Social Modeling (Observational Learning)
e. Arousal yang Bersifat Umum
5. Teori‐teori Agresi
a. Teori Bawaan
Teori bawaan atau bakat terdiri atas teori naluri dan teori biologi. 1). Teori Naluri
Freud dalam teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Jika naluri seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi berfungsi mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut id yang pada prinsipnya selaku ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure principle). Akan tetapi, tidak semua keinginan id dapat terpenuhi. Kendalinya terletak pada bagian lain dari kepribadian yang
dinamakan super-ego yang mewakili norma-norma yang ada dalam masyarakat dan ego yang berhadapan dengan kenyataan.
2). Teori Biologi
Moyer (dalam Sarwono, 1997) berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Demikian pula hormon laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif.
b. Teori Lingkungan
1). Teori Frustasi-Agresi Klasik 2) Teori Frustasi-Agresi Baru c. Teori Belajar Sosial
Berbeda dari teori bawaan dan teori frustasi agresi yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori belajat sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam Sarwono, 1997) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
B. Pola Asuh
1. Definisi Pola Asuh
Kenny & Kenny (1991)menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk
perilaku anak-anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman.
2. Jenis-jenis Pola Asuh
Berikut tiga pola asuh yang biasa diterapkan orang tua pada anak menurut Santrock (1998):
a. Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orang tua memaksakan kehendaknya, sehingga orang tua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya.
b. Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan.
c. Pola asuh permissive
Pola asuh permissive , Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 1998) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi social terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang
kurang. Pola asuh yang indulgent yaitu bila orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya.
3. Dimensi Pola Asuh
Kenny & Kenny (1991) mengemukakan ada tujuh dimensi dalam pola asuh, yaitu:
a. Pusat Perhatian (Negatif lawan Positif)
b. Campur Tangan Orang Tua (Hukuman lawan Hadiah)
c. Akibat Yang Diinginkan (Keadilan lawan Hasil)
d. Prinsip-prinsip (Mutlak lawan Relatif)
e. Sasaran-sasaran Disiplin (Sikap lawan Tingkah laku)
f. Tujuan Perkembangan (Ketaatan lawan Kemandirian)
g. Sumber Kekuatan (Otoriter lawan Demokrasi)
4. Ciri-ciri Pola Asuh
Hurlock (1993) mengemukakan ciri-ciri pola asuh, yaitu:
1) Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua 2) Pengontrolan orang tua pada
tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian
3) Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua
4) Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal
b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri:
1) Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal
2) Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan
3) Menetapkan peraturan serta mengatur kehidupan anak. c. Pola asuh permisif mempunyai ciri:
1) Kontrol orang tua kurang 2) Bersifat longgar atau bebas 3) Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya
4) Hampir tidak menggunakan hukuman
5) Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri
5. Karakteristik Anak Berdasarkan Pola
Asuh
a. Pola asuh demokratis mempunyai karakteristik anak mandiri, dapat
mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengna teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan kooperatif terhadap orang lain.
b. Pola asuh otoriter mempunyai karakteristik anak penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas, dan menarik diri.
c. Pola asuh permissif mempunyai karakteristik anak impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. C. Remaja
1. Definisi Remaja
Mappiare (1986) berpendapat bahwa ada saat usia seseorang genap 12-13 tahun, maka ia mulai menginjak pada masa remaja awal, masa remja muda berakhir pada usia 17-18 tahun, dan rentang usia yang biasa terjadi dalam masa remaja akhir antara 17-21 tahun (wanita) dan 18-22 tahun (pria).
2. Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1994) ciri-ciri masa remaja, sebagai berikut:
a. Masa remaja sebagai periode penting, b. Masa remaja sebagai peride peralihan,c. Masa remaja sebagai peride perubahan, d. Masa remaja sebagai usia bermasalah, e.
Masa remaja sebagai masa mencari identitas, f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, h. Masa remaja sebagai ambang masa depan.
3. Perubahan-perubahan Pada Masa Remaja
a. Perubahan Biologis b. Perubahan Kognitif c. Perubahan Sosisoemosional D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas dapat diajukan hipotesis penelitian bahwa ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja.
METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, ada beberapa variabel yang akan diuji, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prediktor : Pola Asuh Otoriter 2. Kriterium : Agresivitas
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter akan diukur dengan skala pola asuh otoriter yang dikemukakan oleh Kenny & Kenny (1991), yaitu: pusat perhatian yang negatif, campur tangan orang tua berupa hukuman, akibat yang diinginkan berupa keadilan, prinsip-prinsip yang absolut, sasaran disiplin berupa sikap, tujuan
perkembangan yang membentuk ketaatan, sumber kekuatan berupa otoriter. Semakin tinggi skor yang di dapat maka semakin tinggi tingkat pola asuh otoriter.
2. Agresi
Perilaku agresi akan diukur dengan skala agresi yang dikemukakan oleh Buss dan Durkee (dalam Edmunds & Kendrick, 1980), yaitu: penyerangan, agresi tidak langsung, negativisme, agresi verbal, irritability, resentment, dan kecurigaan. Semakin tinggi skor yang didapat maka semakin tinggi tingkat agresivitas.
C. Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, subjek yang akan diambil adalah remaja pria maupun wanita. Usia subjek penelitian ini berkisar antara 16-18 tahun, pendidikan SMU.
D. Teknik Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan statistik deskriptif untuk menggambarkan variabel pola asuh otoriter dengan perilaku agresif dengan menggunakan mean. Untuk menguji hipotesis yang diajukan sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode statistik yang digunakan korelasi Product Moment Karl Pearson, yaitu analisis hubungan pola asuh otoriter sebagai prediktor (X) dengan perilaku agresif sebagai kriterium (Y). Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.00 for Windows.
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Pola Asuh Otoriter
a. Uji Validitas
Menurut Azwar (2005) koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0,300. Dari hasil uji coba pada Skala Pola Asuh Otoriter diperoleh hasil bahwa dari 30 item yang diujicobakan terdapat 16 item yang dinyatakan valid dan 14 item yang dinyatakan gugur. Dari 16 item yang valid tersebut, memiliki korelasi total item antara 0,315 sampai dengan 0,600.
b. Uji Reliabilitas
Untuk mengetahui konsistensi alat ukur, maka dilakukan uji reliabilitas. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan nilai konsistensi dari alat ukur ini adalah dengan teknik Alpha Cronbach. Dari hasil uji reliabilitas alat ukur tersebut, diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,819.
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Perilaku Agresi
a. Uji Validitas
Menurut Azwar (2005) koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0,300. Dari hasil uji coba pada Skala Perilaku Agresi diperoleh hasil
bahwa dari 30 item yang diujicobakan terdapat 19 item yang dinyatakan valid dan 11 item yang dinyatakan gugur. Dari 19 item yang valid tersebut, memiliki korelasi total item antara 0,306 sampai dengan 0,604.
b. Uji Reliabilitas
Untuk mengetahui konsistensi alat ukur, maka dilakukan uji reliabilitas. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan nilai konsistensi dari alat ukur ini adalah dengan teknik Alpha Cronbach. Dari hasil uji reliabilitas alat ukur tersebut, diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,856.
3. Hasil Uji Normalitas dan Linearitas Skala Pola Asuh Otoriter dan Skala Perilaku Agresi
a. Uji Normalitas
Untuk uji normalitas digunakan uji Kolmogorov Smirnov dan Shapiro-Wilk untuk menguji normalitas sebaran skor. Berdasarkan pengujian normalitas pada variabel Pola Asuh Otoriter diperoleh nilai signifikansi pada Kolmogorov Smirnov sebesar 0,165 (p> 0,05), dan Shapiro-Wilk sebesar 0,192 (p>0,05). Berdasarkan pengujian normalitas pada variabel Perilaku Agresi diperoleh nilai signifikansi pada Kolmogorov Smirnov sebesar 0,200 (p> 0,05), dan Shapiro-Wilk sebesar 0,373 (p>0,05). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa distribusi skor Pola Asuh Otoriter dan skor Perilaku Agresi pada sampel yang telah diambil adalah normal. b. Uji Linearitas
Berdasarkan uji Linearitas diketahui nilai F sebesar 4,446 sehingga diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,041 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pola asuh otoriter dan perilkau agresif yang diukur linear.
4. Hasil Uji Hipotesis Skala Pola Asuh Otoriter dan Skala Perilaku Agresi
Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik analisis Pearson Correlationt, didapat skor untuk Pearson Correlation sebesar 0,303 dengan nilai signifikansi sebesar 0,041 (p<0,05). Sehingga R square yang diapat sebesar 9,2% yang menyatakan bahwa pola asuh otoiter dengan perilaku agresif memiliki pengaruh sebesar 9,2%, selebihnya disebabkan oleh factor-faktor lain diluar pembahasan ini. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan pola asuh otoriter dan perilaku agresi pada remaja adalah diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2007). Agresivitas Pada Remaja.
Http://www.e-psikologi.com/remaja.htm. Azwar, S. (2005). Tes Prestasi: Fungsi &
Pengembangan Prestasi Belajar. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Berkowitz, L. (1995). Agresi: Sebab & Akibatnya. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo.
Edmunds, G. & Kendrick, D. C. (1980). The Measurement of Human Agressiveness. International Edition: John Willey & Sans.
Dayakisni, T. (1988). Perbedaan Intensi Prososial Siswa-siswi Ditinjau Dari Pola Asuh Orang tua. Jurnal Psikologi. No 1 Tahun Ke-XVI. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi Perkembangan Anak. Edisi 6. Alih Bahasa: dr. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi
Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan). Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Kenny, J., & Kenny, M. (1991). Dari Bayi Sampai Dewasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Mappiare, A. (1986). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Santrock, J. W. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup). Jilid 1: Edisi Kelima. Penerbit Erlangga. Sarwono, S. W. (1988). Agresi Manusia.
Bandung: PT Eresco.
Sarwono, S. W. (1997). Psikologi Sosial: Individu & Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Balai Pustaka.