• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KARAKTERISTIK PERMUKIMAN sosial NELAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH KARAKTERISTIK PERMUKIMAN sosial NELAYA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK PERMUKIMAN NELAYAN PULAU BUNGIN TERHADAP KONSEP LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN

PENATAAN RUANG

KECAMATAN ALAS

KABUPATEN SUMBAWA BESAR

Oleh Qudri Saufi 41113A0025

JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA (PLANOLOGI)

FAKULTAS TEKNIK

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 ` Latar Belakang

Pemerintah dan DPR telah menyepakati perubahan/revisi UU no. 27 tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menjadi UU no. 1

tahun 2014. Pasal 1 ayat 1 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian

Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan

dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia merupakan negara maritim yang besar dimana memiliki kekuatan

dalam potensi pulau-pulau kecil dengan toprografi yang memiliki potensi akan

kekayaan pulau-pulau yang indah dengan berbagai suku dan tradisi yang dapat

menjadikan Indonesia tetap satu meskipun tradisi dan adat dari masing-masing pulau

berbeda yang menjadikan Indonesia sebagai kawasan yang strategis di wilayah

khatulistiwa dimana Indonesia di kenal dengan istilah ”Zamrut Khatulistiwa”.

Jumlah pulau yang ada di Indonesia yakni 17.504 itu termasuk pulau-pulau yang

sudah di beri nama dan belum di beri nama.

Sebagian besar di Provinsi NTB yang memiliki 280 pulau yakni pulau di

pulau Lombok terkenal akan gili-gili yang menarik seperti Gili terawang, gili meno,

(3)

Pulau Sumbawa juga tidak kalah menariknya, dimana Sumbawa juga memiliki pulau

kecil yang di kenal sebagai pulau terpadat di Dunia, pulau ini bernama Pulau Bungin

yang letaknya di bagian utara pulau Sumbawa. Pulau bungin ini dihuni bukan oleh

suku Samawa, Sasak ataupun Mbojo melainkan dihuni oleh masyarakat suku Bajo.

Pulau Bungin merupakan pulau yang dibangun diatas tumpukan batu karang

yang sudah mati yang diambil di laut. Pada tahun 1942 pulau yang pada awalnya

yang hanya seluas 3 hektar menjadi lebih dari 6 hektar pada saat ini. Daratan pulau

ini bertambah sekitar 30-60 are setiap tahunnya, karena setiap yang ingin berkeluarga

diharuskan membuat tempat mendirikan rumah terlebih dahulu dari timbunan karang

dan pasir. Pulau Bungin dengan pola pemukiman kepadatan penduduk yang nyaris

tanpa jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Kepadatan

penduduk 14.133 jiwa/km persegi dengan itu pulau bungin disebut – sebut sebagai

pulau terpadat di dunia.

Pulau Bungin sebagai salah satu tujuan wisata lokal, nasional dan

internasional, yang di kenal sebagai pulau terpadat dengan permukiman tradisional

namun di sisi lain apabila dilihat dari segi pengkajian teoritisnya permukiman padat

merupakan lingkungan hunian yang tidak sehat dan tidak layak huni apabila di

kaitkan dengan kebijakan-kebijakan tentang penataan permukiman.

Permukiman yang tidak layak huni biasanya banyak dijumpai di berbagai

pinggiran-pinggiran kota. Namun untuk pulau bungin dengan pemukiman yang di

kenal sangat padat ini di sebabkan karena tingginya angka jumlah penduduk yang

(4)

pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat sedangkan kebutuhan akan

lahan yang semakin sempit ini dapat menimbulkan berbagai masalah seperti sirkulasi

angin yang tidak baik, persampahan dan banjir sehingga membentuk pola

permukiman yang sangat padat dan tidak memiliki ruang terbuka kawasan layak

huni.

Pemberdayaan pulau bungin sebagai kawasan wisata permukiman tradisional

yang layak huni dengan cara penataan ruang permukiman nelayan di pulau bungin

atas dasar pengkajian teory and policy yang telah di tetapkan dan di gunakan.

1.2 Rumusan Permasalahan

a. Bagaimana permukiman nelayan suku bajo di pulau bungin terbentuk? b. Bagaimana perkembangan permukiman nelayan di pulau bungin?

c. Bagaimana pengaruh karakteristik permukiman nelayan pulau bungin

terhadap konsep lingkungan hidup dan penataan ruang?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Dapat mengetahui sejarah terbentuknya permukiman nelayan di pulau

bungin.

b. Dapat melihat pola perkembangan permukiman nelayan 10 tahun

sebelumnya di pulau bungin.

c. Membuat karakteristik permukiman nelayan pulau bungin terhadap

konsep lingkungan hidup dan penataan ruangnya.

(5)

Setiap masalah yang diteliti atau diangkat sebagai suatu objek penelitian

merupakan masalah yang dianggap penting untuk kemajuan dan perkembangan

bidang yang diteliti. Demikian juga hanya dengan dilakukannya penelitian ini

diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian. Manfaat penelitian dibedakan

menjadi 2 yakni sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat secara teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah

wawasan ilmu pengetahuan secara umum.

b. Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat

memotivasi peneliti lain untuk mengungkapkan tentang

permasalahan-permasalahan lain yang juga berpengaruh terhadap permukiman yang

ada di pulau bungin tersebut.

1.4.2 Manfaat secara praktis

a. Bagi Masyarakat

Dapat mengarahkan masayarakat setempat dan memperankan

masyarakat sebagai pemeran utama atau stake holders dalam upaya

pembangunan penataan permukiman. b. Bagi Pemerintah

Untuk pemerintah penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan

aspiratif untuk membangun suatu desa yang ada di pulau bungin

tersebut.

(6)

Pulau bungin sebagai objek wisata permukiman nelayan

tradisional yang benar-benar bisa mendatangkan para wisatawan lokal

maupun interlokal karena pulau bungin yang sudah di kenaal sebagai

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Teori Pembentukan Pulau

Teori tekntonik sebagai pembentukan pulau : lempeng secara umum telah

diakui dapat menjawab berbagai permasalahan alamiah, seperti gempa bumi,

vulkanisme, topografi dasar laut, dan sebagainya. Menurut teori ini lempeng litosfer

terpecah menjadi beberapa bagian karena adanya konvensi di astenosfer yang dipacu

oleh perbedaan temperatur antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Tipe batas

lempeng dikenal dengan tiga macam, yaitu: konvergen, divergen, dan shear.

Terbentuknya kepulauan Indonesia dapat dijelaskan dengan batas lempeng

konvergen di mana terjadi tabrakan antara lempeng Australia dari selatan, lempeng

Pasifik dari timur, dan lempeng Asia dari utara. Tabrakan antara lempeng dasar laut

dengan dasar laut menghasilkan palung, busur luar yang terdiri dari batuan melange,

basin luar deretan pulau-pulau vulkanik dan basah belakang.

2.1.2 Dampak Kepadatan Permukiman Terhadap Lingkungan

Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi

oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap

unit tempat tinggal, jumlah unit tempat tinggal pada setiap struktur huian dan jumlah

(8)

pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi

unsur-unsur tersebut.

Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada

individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa

lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi

sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan

lingkungan pemukiman yang memilki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman

seperti memilki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan

kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam Ittelson, 1974)

mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh

penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress, dan kesehatan fisik, sehingga

kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang

yang tinggal disana.

Ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dan peningkatan produksi

pangan akan memengaruhi kualitas hidup manusia. Usaha meningkatkan kualitas

hidup manusia makin berat apabila jumlah penduduknya besar. Pertambahan

penduduk yang tinggi dapat menghambat upaya untuk meningkatkan kemakmuran

suatu negara. Apabila suatu negara memiliki pendapatan kecil dan jumlah penduduk

banyak, pendapatan per kapita akan rendah. Hal itu menunjukkan bahwa taraf

kehidupan ekonomi masyarakat rendah. Berikut ini, berbagai dampak dari kepadatan

(9)

a) Ketersediaan Air Bersih

Air merupakan sumber kehidupan. Sebagian besar tubuh makhluk

hidup terdiri atas air. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat

besar manfaatnya bagi manusia. Selain minum, air juga diperlukan untuk

menjaga kebersihan pakaian, badan, dan lingkungan. Tumbuh-tumbuhan dan

hewan temak juga memerlukan air, begitu pula pemrosesan barang-barang

produksi maupun industri. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan

peningkatan kebutuhan air. Pada umumnya, kebutuhan air diperkotaan

dipenuhi oleh PAM (Perusahaan Air Minum) yang mengalirkan air sampai ke

rumah-rumah penduduk. Akan tetapi, makin padatnya penduduk

menyebabkan daerah peresapan air hujan makin berkurang.

b) Ketersediaan Pangan

Thomas Robert Maltusseorang sosiolog Inggris, mengemukakan teori

yang berjudul Essay on The Principle of Population. Maltus menyimpulkan

bahwa pertambahan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertambahan

produksi pangan mengikuti deret hitung. Jadi semakin meningkat

pertumbuhan penduduk, semakin tinggi pula kebutuhan pangan. Oleh karena

itu peningkatan produksi pangan perlu digalakkan. Penduduk yang

kekurangan makanan akan menyebabkan gangguan pada fungsi kerja tubuh

dan dapat terjangkit penyakit seperti busung lapar, anemia, dan beri-beri.

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan pemukiman

(10)

yang dialih fungsikan, misalnya untuk tempat tinggal, pembangunan pabrik

dan rumah sakit. Akibatnya, produksi pertanian akan menurun sehingga

bahan pangan harus di imp or. Apabila harga bahan pangan impor tidak

terjangkau oleh masyarakat dapat terjadi bencana kelaparan. Untuk

memenuhi kebutuhan primer (termasuk pangan), pemerintah telah

menerapkan usaha untuk melaksanakan swasembada bahan pangan. Usaha

konkret yang telah dilakukan, yaitu

 Ekstensifikasi pertanian dengan cara membuka lahan baru yang masih memungkinkan;

 Meningkatkan teknologi pertanian, perikanan, dan peternakan;

 Meningkatkan persediaan bahan makanan;

 Mengubah sikap dan cara mengonsumsi makanan, antara lain mengubah agar masyarakat tidak hanya bergantung pada satu jenis

bahan makanan saja;

 Diversifikasi tanaman dan lahan pertanian.

c) Ketersediaan Lahan

Kepadatan penduduk mendorong peningkatan kebutuhan lahan, baik

lahan untuk tempat tinggal, sarana penunjang kehidupan, industri, tempat

pertanian, dan sebagainya. Untuk mengatasi kekurangan lahan, sering

dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian produktif untuk perumahan

(11)

hutan juga sering dilakukan untuk membangun areal industri, perkebunan,

dan pertanian. Meskipun hal ini dapat dianggap sebagai solusi, sesungguhnya

kegiatan itu merusak lingkungan hidup yang dapat mengganggu

keseimbangan lingkungan. Jadi peluang terjadinya kerusakan lingkungan

akan meningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan penduduk.

Pesatnya pertambahan penduduk mengakibatkan makin besar kepadatan

penduduk. Jumlah penduduk yang bertambah dengan luas lahan tetap

menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk. Akibatnya, makin besar

perbandingan antara jumlah penduduk dan luas lahan. Pada akhirnya, lahan

untuk perumahan makin sulit didapat. Itulah sebabnya di kota-kota besar

yang sangat padat penduduknya, kita lihat banyak yang mendirikan bangunan

tidak resmi, bahkan ada pula yang membuat tempat tinggal sementara dari

plastik atau dari karton di pinggir sungai atau di bawah kolong jembatan.

d) Ketersediaan Udara Bersih

Di daerah padat penduduk seperti di perkotaan, jumlah kendaraan

bermotor meningkat. Gas sisa pembakaran kendaraan bermotor menyebabkan

pencemaran udara. Pencemaran udara banyak mengakibatkan gangguan

kesehatan. Manusia dan makhluk hidup memerlukan udara sehat, yaitu udara

yang tidak mengandung un sur pencemar, misalnya gas karbon monoksida

dan karbon dioksida yang jumlahnya melebihi normal. Gas yang diambil dari

udara buruk pernapasan makhluk hidup adalah oksigen. Gas tersebut

(12)

diperlukan pelestarian tumbuhan hijau melalui penghijauan dan reboisasi

untuk membersihkan udara.

Jadi dapat dipahami bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk, maka

kebutuhan oksigen semakin banyak. Oleh karena itu pemerintah kota di setiap

wilayah gencar mengkampanyekan penanaman pepohonan. Selain sebagai

penyejuk dan keindahan, pepohonan berfungsi sebagai hutankota untuk

menurunkan tingkat pencemaran udara.

e) Pencemaran Lingkungan

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan laju pertumbuhan

penduduk yang tinggi. Hal itu menyebabkan kebutuhan akan barang,jasa, dan

tempat tinggal meningkat tajam dan menuntut tambahan sarana dan prasarana

untuk melayani keperluan masyarakat. Akan tetapi, alam memiliki daya

dukung lingkungan yang terbatas. Kebutuhan yang terus-menerus meningkat

tersebut pada gilirannya akan menyebabkan penggunaan sumber daya alam

sulit dikontrol. Pengurasan sumber daya alam yang tidak terkendali tersebut

mengakibatkan kerusakan lingkungan.

2.1.3 Teori Lingkungan

Lingkungan sering didefinisikan sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga

komponen yang berbeda, yaitu lingkungan alam, binaan dan budaya. Kata

lingkungan banyak dibahas sesuai degan kapasitas ilmu yang bersangkutan Gibson

(1986) membedakan lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral.

(13)

Lingkungan behavioral, yaitu lingkungan yang merupakan imaji kognitif dari

lingkungan objektif yang kemudian menjadi dasar terjadinya prilaku (Maslucha,

2007:29-31).

Lingkungan yang dikaitkan dengan dunia arsitektur adalah lingkungan

binaan. Lingkungan binaan adalah tempat sekaligus hasil pembelajaran pada satu

satuan waktu (Pangarsa, 2006:29) Merupakan semua lingkungan dengan

tempattempat sebagian besar telah direncanakan dan dirancang oleh manusia.

Lingkungan yang dihasilkan ini disinyalir mampu mempengaruhi perilaku manusia

kearah positif maupun negatif (Maslucha, 2007:35). Menurut Maslucha (2007:46)

ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi prilaku manusia, antara lain

sebagai berikut:

a) Kondisi Geografis

Kondisi geografis tiap belahan dunia memiliki ciri khas tersendiri.

Manusia tinggal disebuah wilayah geografis tertentu akan memberikan

tanggapan fisiologis dan psikologis yang berbeda dengan manusia lain.

b) Skala Perhatian rancangan

Setiap maslah perancangan tanpa peduli berapapun skalanya, adalah

masalah untuk menciptakan kecocokan terbaik antara perilaku yang

diharapkan dengan lingkungannya

c) Tingkat Sosial

Manusia dalam masyarakat memiliki tingkat sosial yang berbeda-beda.

(14)

kepribadian seseorang. Masyarakat dalam tingkat sosial yang berbeda, dalam

kaitannya dengan perancangan arsitektur, memiliki kebutuhan kebutuhan fisik

dan psikologis yang berbeda pula yang tercermin di dalam lingkungan.

d) Kendali Lingkungan

Kendali lingkungan terkait dengan faktor fisiologis maupun faktor

psikologis, antara lain :

o Kenyamanan

Kenyamanan menurut Broadbent dalam Maslucha (2007:47)

tergantung pada suhu lingkungan, keseimbangan pencahayaan,

penempatan bangunan sejauh mungkin dari sumber bising dan

menyangkut penempatan jalur atau saluran udara antara sumber bau

dengan aktifitas.

o Kesehatan

Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kesehatan adalah

perhatian terhadap jalur dan siklus udara. Agar sirkulasi uadara menjadi

lancar dan tidak pengap. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan

yang sehat.

o Keamanan dan keselamatan

Faktor ini terkait keadaan sosial eklonomi masyarakat dan

klontrol sosial yang berlaku sehingga mempengaruhi tingkat keamanan

(15)

2.1.4 Teori Permukiman 2.1.4.1 Konsep Permukiman

Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 Pasal

1 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan

perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai

penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep

lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang

digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat

kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan

hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun

perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat

bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu

tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya.

Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap

pada suatu daerah (Van der Zee 1986). Kegunaan dari sebuah permukiman adalah

tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi

juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.

Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia

sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari alam

dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut, selanjutnya

(16)

tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi:

kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan

emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi

penduduk, kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan,

hukum dan administrasi; (4) fisik bangunan yang meliputi: rumah, pelayanan

masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan

pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan (net

work) yang meliputi: sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem

transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air

kotor, dan tata letak fisik.

2.1.4.2 Bentuk – Bentuk Permukiman

Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1)

rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah

beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah (Gambar 2.1).

Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam

kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan

spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek.

Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan

tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-komplek

dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

(17)

Gambar 2.1 Komponen-komponen rumah atau pekarangan rumah. (Sumber:

Van Deer Zee 1986)

kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan

susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah

komplek (Gambar 2.2). Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat

dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh

kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.

c. Tanah kapling rumah atau pekarangan

b. Rumah dan struktur lainnyaa. Pekarangan rumah

c. Rumah-rumah tunggal dan pekarangan rumah.

b. Kelompok-kelompok rumah dan pekarangan rumah

a. Komplek rumah-rumah dan pekarangan rumah

(18)

2.1.4.3 Pola Penyebaran Permukiman

Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa

kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari pola campuran antara

ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan

permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering

disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya

sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan

sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi

dengan penerangan listrik. Kerangka jalannyapun ditata secara bertingkat mulai dari

jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.

Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama

oleh ketidak teraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung

berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air,

misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak

mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber kehidupan

sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah.

2.1.4.4 Konfigurasi Massa

Berikut ini mengkategorikan bentuk-bentuk dengan penambahan menurut

sifat hubungan yang muncul diantara bentuk-bentuk komponennya sebaik

konfigurasi keseluruhannya.

(19)

Terdiri dari sejumlah bentuk sekunder yang mengelilingi satu bentuk

dominant yang berada tepat di pusatnya. Bentuk-bentuk terpusat menuntut adanaya

dominasi secara visual dalam keteratuan geometris, bentuk yang harus ditempatkan

terpusat, misalnya seperti bola, kerucut, ataupun silinder. Oleh karena sifatnya yang

terpusat, bentuk-bentuk tersebut sangat ideal sebagai struktur yang berdiri sendiri,

dikelilingi oleh lingkunganya, mendominasi sebuah titik didalam ruang, atau

menempati pusat suatu bidang tertentu. Bentuk ini dapat menjadi symbol

tempat-tempat yang suci atau penuh penghormatan, atau untuk mengenang kebesaran

(20)

2.1.4.4.2 Bentuk Linier

Terdiri atas bentuk-bentuk yang diatur berangkaian pada sebuah baris. Bentuk

garis lurus atau linier dapat diperoleh dari perubahan secara proposional dalam

dimensi suatu bentuk atau melalui pengaturan sederet bentuk-bentuk sepanjang garis.

(21)

serupa dan diorganisir oleh unsur la in yang terpisah dan lain sama sekali seperti

sebuah dinding atau jalan.

 Bentuk garis lurus dapat dipotong-potong atau dibelokkan sebagai penyesuaian terhadap kondisi setempat seterti topografi, pemandangan

tumbuh-tumbuhan, maupun keadaan lain yang ada dalam tapak.

 Bentu garis lurus dapat diletakkan dimuka atau menunjukkan sisi suatu ruang luar atau membentuk bidang masuk ke suatu ruang di

belakangnya.

 Bentuk linier dapat dimanipulasi untuk membatasi sebagian.

 Bentuk linier dapat diarahkan secara vertical sebagai suatu unsur menara untuk menciptakan sebuah titik dalam ruang.

(22)

2.1.4.4.3 Bentuk Radial

Merupakan suatu komposisi dari bentuk-bentuk linier yang berkembang

kearah luar dari bentuk terpusat dalam arah radial. Suatu bentuk radial terdiri dari

atas bentuk –bentuk linier yang berkembang dari suatu unsure inti terpusat kearah

luar menurut jari -jarinya. Bentuk ini menggabungkan aspek-aspek pusat dan linier

(23)

ataupun sebagai pusat fungsional seluruh organisasi. Posisinya yang terpusat dapat

dipertegas dengan suatu bentuk visual dominant, atau dapat digabungkan dan

menjadi bagian dari lengan -le ngan radialnya.

Lengan-lengan radial memiliki sifat-sifat dasar yang serupa dengan bentuk

linier, yaitu sifat ekstrovertnya. Lengan-lengan radial dapat menjangkau ke luar dan

berhubungan atau meningkatkan diri dengan sesuatu yang khusus di suatu tapak.

Lengan-lengan radial dapat membuka permukaanya yang diperpanjang untuk

mencapai kondisi sinar matahari, angin, pemandangan atau ruang yang diinginkan.

Organisasi bentuk radial dapat dilihat dan dipahami dengan sempurna dari

suatu titik pandang di udara. Bila dilihat dari muka tanah, kemungkinan besar unsure

pusatnya tidak akan dengan jelas, dan pola penyeberan lengan -lengan linier menjadi

kabur atau menyimpang akibat pandangan perspektif.

(24)

Sekumpulan bentuk-bentuk yang tergabung bersama-sa ma karena saling

berdekatan atau saling memberikan kesamaan sifat visual. Jika organisasi terpusat

memiliki dasar geometric yang kuat dalam penataan bentuk-bentunya, maka

organisasi kelompok dibentuk berdasarkan persyaratan fungsional seperti ukuran,

wujud ataupun jarak letak. Walaupun tidak memiliki aturan deometrik dan sifat

introvert bentuk perpusat organisasi kelompok cukup fleksibel dalam memadukan

bermacam-macam wujud, ukuran, dan orientasi ke dalam strukturnya.

Berdasarkan fleksibilitasnya, organisasi kelompok bentuk-bentuk dapat

diorganisir dengan berbagai cara sebagai berikut:

 Dapat dikaitkan sebagai anggota tambahan terhadap suatu bentuk atau ruang induk yang lebih besar

 Dapat dihubungkan dengan mendekatkan diri untuk menegaskan dan mengekspresikan volumenya sebagai suatu kesatuan individu.

 Dapat menghubungkan volume-volumenya dan bergabung menjadi suatu bentuk tunggal yang memiliki suatu variasi tampak

Suatu organisasi kelompok dapat juga terdiri dari bentuk-bentuk yang

umumnya setara dalam ukuran, wujud dan fungsi. Bentuk-bentuk ini secara visual

disusun menjadi sesuatu yang koheren, organisasi nonhirarki, tidak hanya melalui

jarak yang saling berdekatan namun juga melalui kesamaan sifat visual yang

dimilikinya.

Sejumlah bentuk perumahan kelompok dapat dijumpai dalam berbagai bentuk

(25)

melahirkan suatu jenis yang unik sebagai tanggapan terhadap faktor kemampuan

teknis, iklim dan sosial budaya, pengorganisasian perumahan kelompok ini pada

umumnya mempertahankan individualitasnya masing-masing unitnya serta suatu

tingkat keragaman moderat dalam konteks keseluruhan penataan.

2.1.4.4.5 Bentuk Grid

Merupakan bentuk-bentuk modular yang dihubungkan dan diatur oleh

grid-grid tiga dimensi. Grid adalah suatu system perpotongan dua garis-garis sejajar atau

lebih yang berjarak teratur. Grid membentuk suatu pola geometric dari titik-titik yang

berjarak teratur pada perpotongan garis-garis grid dan bidang-bidang beraturan yang

dibentuk oleh garisgaris grid itu sendiri.

Grid yang paling umum adalah yang berdasarkan bentuk geometri bujur

sangkar. Karena kesamaan dimensi dan sifat semetris dua arah, grid bujur sangkar

(26)

sebagai skala yang membagi suatu permukaan menjadi unit-unit yang dapat dihitung

dan memberikannya suatu tekstur tertentu. Grid bujur sangkar juga dapat digunakan

untuk menutup beberapa permukaan suatu bentuk dan menyatukannya dengan

bentuk geometri yang berulang dan mendalam.

Bujur sangkar, bila diproyeksikan kepada dimensi ketiga, akan menimbulkan

suatu jaringan ruang dari titik-titik dan garis-garis referensi. Di dalam kerangka kerja

modular ini, beberapa bentuk dan ruang dapat diorganisir secara visual.

2.2 Tinjauan Kebijakan

Undang-undang republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 Pasal 1 Tentang

Perumahan dan kawasan permukiman: (1) Perumahan dan kawasan permukiman

adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan

perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan,

(27)

kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran

masyarakat; (2) Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar

kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan; (3) Permukiman adalah bagian dari

lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang

mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan

fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan; (4) Penyelenggaraan

perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan,

pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan,

pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan

terpadu; (5) Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal

yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat

penghuninya, serta aset bagi pemiliknya; (6) Rumah swadaya adalah rumah yang

dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat; (7) Permukiman kumuh adalah

permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat

kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana

yang tidak memenuhi syarat.; (8) Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik

lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat

tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman; (9) Sarana adalah fasilitas dalam

(28)

pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi; dan (10) Utilitas umum

adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian.

Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 10 tahun 2012 Tentang

Rencana tata ruang wilayah kabupaten sumbawa Tahun 2011 – 2031: (1) Pasal 21,

Kawasan Peruntukan Pertanian, yaitu: pengembangan pengolahan ikan pada kawasan

Pusat Pelelangan Ikan (PPI) di Teluk Santong, Tanjung Pengamas, Labuhan Mapin,

Pulau Bungin, Pulau Kaung, Labuhan Jambu, Labuhan Buak, Prajak, Labuhan

Terata, Labuhan Sengoro, Pidang, dan Lunyuk dengan luasan kurang lebih 11,50 Ha;

(2) Pasal 25, Kawasan Peruntukan Pariwisata, yaitu: kawasan wisata budaya yang

menjadi prioritas pengembangan dengan penataan desa-desa wisata seperti Desa

Poto, Desa Pemulung, Desa Tepal, Pulau Bungin, sarkofagus di Desa Batu Tering

dan daerah konservasi budaya yaitu Istana Dalam Loka, Bala Kuning, Wisma Praja,

dan Makam Raja-Raja.

Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 10 tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumbawa 2011-2031 Arahan

Pengembangan Destinasi Kawasan Peruntukan Pariwisata Unggulan:

No. Destinasi Pariwisata Daya Tarik Wisata Jenis Daya Tarik Wisata

(29)

2.3 Penelitian Terdahulu Oleh Novi Nurhasana, Universitas Islam Indonesia.

Perencanaan Penataan Permukiman Suku Bajo Di Pulau Bungin

(Penekanan Pada Aspek Lingkungan Berkelanjutan Di Wilayah Permukiman Pesisir

Sumbawa) dengan aristektur lokal daerah pesisir permukiman pulau Bungin sebagai

pendekatan perancangan kawasan untuk merevitalisasi lingkungan permukiman

pesisir yang berkelanjutan. Menjadikan pulau Bungin sebagai kawasan permukiman

yang mewadahi setiap kegiatan rutinitas masyarakat pulau Bungin sebagai salah satu

suku Pelaut di Indonesia.

Perencanaan kawasan permukiman pesisir pulau Bungin menjadi adalah satu

permukiman yang mampu memberikan nilai ekologis tinggi terhadap lingkungan

pesisir tanpa mengurangi nilai aspek pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan ini

digunakan sebagai alat ukur dalam perencanaan kawasan permukiman sehingga

dapat memenuhi nilai permukiman pesisir yang sehat dan bersih pada umumnya.

Pulau Bungin, Kabupaten Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat,

merupakan suatu permukiman nelayan suku Bajau/ Bajo dengan segala problem dan

keunikannya. Pulau Bungin terletak di sebelah Selatan Pesisir Kecamatan Alas,

permukiman pulau Bungin terbentuk dari adanya kemauan suku Bajo dalam

memiliki satu permukiman tetap dari kehidupan nomaden di atas perahu/ bido. Orang

(30)

selatan alas, ketergantungan dengan kehidupan laut merupakan satu hal yang tidak

dapat dipisahkan dari masyarakat pulau Bungin. Alam memberi mereka penghidupan

untuk bisa bertahan hidup dan penyesuaian pada alam setempat ini juga yang

memunculkan beberapa masalah. Dalam perkembangannya pulau Bungin menjadi

kawasan permukiman nelayan yang padat akan penduduk, maka dari itu faktor

penduduk yang berkualitas dapat memungkinkan untuk bisa mengolah dan

mengelola potensi sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien dan maksimal,

dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga

harapannya terjadi keseimbangan dan keserasian antara jumlah penduduk dengan

kapasitas dari daya dukung alam dan daya tampung lingkungan pesisir pulau Bungin

yang berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu

lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga

lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan

lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan perbaikan lingkungan

permukiman pulau Bungin yang berkepadatan tinggi, hal tersebut mencakup seluruh

komponen yang ada di permukiman mulai dari pola penataan massa bangunan,

openspace, ruang terbuka hijau, fasilitas komunal, persampahan hingga revitalisasi

terumbu karang yang mati dan mengalami pemutihan akibat penambangan lokal

yang dijadikan dasar mendirikan hunian rumah. Hal tersebut merupakan tantangan

dalam menciptakan rancangan konsep permukiman pesisir yang padat berbasis

(31)

Bajo di pulau Bungin dan mempertahankan adat istiadat setempat tanpa merusak

lingkungan sekitar permukiman untuk memperkuat karakter lingkungan masyarakat

nelayan serta kebiasaan-kebiasaan pola kehidupan masyarakat pulau Bungin menjadi

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab metode penelitian ini dijabarkan mengenai rancangan penelitian,

lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik

pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik

penyajian data.

3.1 Rancangan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan pada

metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan naturalistik. Penelitian

Kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan

dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2008).

Metode penelitian kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk

menggambarkan fakta-fakta yang ada di lapangan terkait dengan kondisi

infrastruktur pada permukiman kumuh yang distudi, proses pengadaan infrastruktur

dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi

kondisi tersebut pada permukiman kumuh di Pulau Bungin.

Dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus (batasan masalah) diperoleh

setelah peneliti melakukan grand tour observation dan grand tour question atau yang

disebut dengan penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum ini peneliti

(33)

tentang situasi penelitian. Dalam hal ini gambaran umum penelitian yang diperoleh

adalah konteks studi dari penelitian yang dilakukan yaitu, infrastruktur sebagai

bagian penting sebuah permukiman, proses dan pihak yang terlibat dalam pengadaan

infrastruktur pada permukiman kumuh, serta faktor-faktor yang mempengaruhi

kondisi tersebut pada permukiman kumuh yang distudi.

Pendekatan naturalistik pada penelitian ini digunakan karena peneliti melihat

fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan terkait kondisi infrastruktur serta

pihak-pihak yang terkait didalamnya secara apa adanya dan tidak dibuat- buat.

Pendekatan naturalistik juga digunakan untuk menemukan jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan pada ketiga rumusan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya. Untuk

mendukung data-data yang diperoleh di lapangan, dilakukan juga wawancara

mendalam kepada pihak-pihak terkait, baik itu pihak lembaga pemerintahan maupun

penghuni permukiman kumuh itu sendiri. Hasil yang diperoleh disajikan dalam

bentuk gambar berupa peta jaringan pola permukiman, serta analisis deskriptif

mengenai kondisi infrastruktur, proses pengadaan infrastruktur, serta faktor-faktor

yang mempengaruhi kondisi pada permukiman kumuh di Pulau Bungin.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Pulau Bungin Desa Karang Dalam Kecamatan

Alas Kabupaten Sumbawa, dengan jumlah penduduk Denpasar Barat mencapai

234.182 jiwa dengan luas wilayah 2.413 Ha pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik

(34)

Sebalah Timur : Kecamatan Buer

Sebelah Selatan : Desa Luar Kecamatan Alas

Sebelah Barat : Pulau Pandjang Kecamatan Alas Barat

Sebelah Utara : Selat Alas

(35)

3.3 Jenis dan Sumber Data

Dalam sub bab ini dibahas mengenai jenis data dan sumber data yang

digunakan dalam penelitian.

3.3.1 Jenis data

Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, maka

jenis data yang diperoleh adalah data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk

kalimat serta uraian-uraian berdasarkan atas apa yang terjadi di lapangan, yang

dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh informan maupun responden. Data kualitatif

dalam penelitian ini berupa hasil dari observasi ataupun wawancara mendalam

kepada narasumber/informan di lapangan. Informasi yang diperoleh adalah mengenai

Sejarah Pulau Bungin, keadaan pulau bungin, penyebab terjadinya kumuh kawasan

studi. Selain itu juga diperoleh jenis data kuantitatif yang merupakan data-data

terukur dan pasti seperti identifikasi pola permukiman, dan identifikasi ifrastruktur

yang tersedia. Pada penelitian ini yang termasuk ke dalam jenis data kuantitatif yaitu,

peta jaringan infrastruktur, luas permukiman, lebar jalan, lebar saluran drainase

terkait dengan kondisi infrastruktur.

3.3.2 Sumber data

Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber

(36)

1) Data primer

Data primer diperoleh secara langsung melalui informan/responden

melalui wawancara secara mendalam ataupun dalam bentuk question list serta

observasi lapangan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan cara

melihat secara langsung fenomena dan fakta yang ada di lapangan (observasi

fisik) mengenai pola kepadatan permukiman, kondisi infrastruktur seperti,

jaringan jalan, pembuangan limbah, jaringan air bersih, serta sarana mandi

cuci kakus (MCK). Data mengenai pengadaan serta pengelolaan infrastruktur

dapat diperoleh melalui wawancara secara mendalam kepada pihak terkait

seperti kepala lingkungan, kepala camat, pemilik lahan serta penghuni rumah

kumuh. Wawancara dilakukan dengan menggunakan question list yang sudah

disiapkan, namun pertanyaan ini nantinya bisa berkembang menyesuaikan

dengan kondisi di lapangan.

2) Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang berupa dokumentasi,

salinan/kutipan data, referensi-referensi. Dalam penelitian ini data sekunder

bersumber dari instansi pemerintahan terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum

(PU), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Tata

Ruang, Badan Pusat Statistik (BPS), kecamatan, kantor desa, kepala

lingkungan, pemilik lahan, ataupun penghuni permukiman kumuh itu sendiri.

Data yang diperoleh berupa data statistik Kecamatan Alas, serta

(37)

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan data

bergantung pada diri peneliti sebagai alat pengumpulan data. Hal ini disebabkan oleh

sulitnya mengkhususkan secara tepat pada apa yang akan diteliti.

Disamping itu, orang sebagai instrumen dapat mengambil keputusan secara

luwes. Ia dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan (Moleong, 2008).

Dalam penelitian ini, selain peneliti sebagai instrumen dalam suatu penelitian,

instrumen lain yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah:

a) Panduan pengamatan

Merupakan acuan yang digunakan untuk melakukan pengamatan atau

observasi lapangan mengenai kondisi permukiman, proses pengadaan, serta

factor yang mempengaruhi kondisi tersebut pada objek yang distudi.

b) Panduan wawancara

Sama halnya dengan panduan pengamatan, panduan wawancara ini

nantinya digunakan sebagai dasar untuk melakukan wawancara agar tetap

berada pada konteks studi.

c) Question list/daftar pertanyaan

Berupa daftar pertanyaan terkait data-data yang diperlukan seperti,

bagaimana proses perluasan pulau bungin, proses kepadatan permukiman,

dan pengelolaan infrastruktur pada objek studi, bagaimana mereka

(38)

faktor-faktor internal yang mempengaruhi kondisi tersebut terjadi di

kondisi dan pengadaan infrastruktur yang ada pada permukiman kumuh yang

distudi.

Sedangkan recorder digunakan untuk merekam percakapan pada saat

wawancara berlangsung, agar tidak ada satu data pun yang terlewatkan pada

saat mencatat.

f) Seperangkat komputer

Komputer digunakan untuk mentabulasi keseluruhan data-data yang

sudah diperoleh.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis dan sumber data yang sudah disebutkan diatas, maka

metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

3.6.1 Observasi lapangan

Observasi lapangan diperlukan untuk mengetahui kondisi riil dan

(39)

Sasaran observasi terdiri atas:

1) Tempat atau lokasi, kepadtan permukiman di Pulau Bungin Kecamatan

Alas yang digunakan sebagai studi kasus.

2) Pihak-pihak terkait, orang-orang yang melakukan suatu kegiatan terkait

infrastruktur pada permukiman kumuh di Pulau Bungin yaitu, instansi

pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Bappeda, kepala

camat, kepala lingkungan), pemilik lahan, penghuni rumah kumuh, serta

warga sekitar permukiman ataupun orang-orang yang berkompeten

didalamnya.

3) Aktivitas, kegiatan yang dilakukan oleh pelaku pada objek studi maupun

sekitarnya.

Tahapan observasi yang dilakukan adalah, (1) grand tour

observation/observasi deskriptif merupakan observasi awal untuk mengetahui

gambaran umum mengenai pola permukiman, (2) observasi terfokus, pada observasi

ini, pengamatan mulai difokuskan pada proses pengembangan permukiman hingga

masalah yang diteliti yaitu kepadatan permukiman yang terlihat kumuh, (3) observasi

terseleksi, pada tahapan ini fokus yang ditemukan mulai diuraikan sehingga data

yang diperoleh lebih rinci yang tertera pada question list.

3.6.2 Wawancara mendalam

Metode wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui Tanya

jawab langsung dengan responden ataupun informan. Pada penelitian ini dilakukan

(40)

yang dilakukan, seperti instansi pemerintahan (Dinas PU, Dinas Tata Ruang,

Bappeda, kepala camat, kepala lingkungan), pemilik lahan, penghuni rumah kumuh,

serta warga sekitar permukiman.

3.6.3 Dokumentasi

Metode dokumentasi terdiri atas dokumen-dokumen yang berisi data dan

informasi berupa foto-foto atau video pada saat observasi lapangan, rekaman hasil

wawancara, kebijakan, pedoman, peraturan, kajian, artikel, opini yang berkaitan

dengan penelitian ini. Metode dokumentasi dilakukan dengan cara perekaman

menggunakan kamera secara langsung pada objek penelitian, pencatatan data yang

diperoleh, kemudian pencocokan dengan data yang diperoleh.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini diarahkan pada uraian

deskriptif mengenai bagaimana kondisi dan mekanisme perkembangan permukiman

kumuh di Pulau bungin serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian

kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan

pengumpulan data. Data-data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk hasil

wawancara maupun rekaman terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk tulisan, dengan

menentukan kata kunci dari setiap hasil tersebut agar dapat mempermudah dalam

mengingat dan mengelompokkan data tersebut.

Data-data berupa gambar (foto, sketsa, peta) juga di interpretasikan ke dalam

(41)

Data yang dihasilkan diuji kembali keabsahannya berdasarkan validitas dan

reliabilitasnya. Untuk menganalisis fakta-fakta yang ditemukan di lapangan,

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Reduksi data, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh dari hasil

wawancara mengenai faktor kepadatan permukiman dan data sekunder

terkait hal tersebut, kemudian ditentukan data atau informasi yang sesuai

dengan fokus penelitian. Sementara data yang kurang relevan

dikesampingkan.

b) Pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan pada persoalan atau

rumusan masalah penelitian. Pada tahap inilah pendekatan-pendekatan

teori yakni teori-teori mengenai karakteristik permukiman dan proses

pengadaannya serta kualitas ruang permukiman dijadikan teori untuk

memahami, meneliti serta menganalisis fokus dalam penelitian.

c) Kesimpulan/verifikasi data, merupakan tahap akhir dari teknik analisis data

yang diperoleh dari klasifikasi data yang didapat, dan kemudian dibuatkan

kesimpulan dari keseluruhan hasil analisisnya.

3.8 Teknik Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang dapat

memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Penyajian informasi dilakukan dalam bentuk teks naratif yang memperlihatkan

(42)

Pulau bungin, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Data tersebut

juga disajikan dalam bentuk teks naratif, gambar dan peta.

Penarikan simpulan merupakan satu bagian dari satu kegiatan konfigurasi

yang utuh. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan analisis yang cermat dan

mendalam terhadap data-data yang diperoleh. Simpulan yang didapat harus mampu

memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari penelitian ini adalah menganalisa perubahan biaya pekerjaan struktur beton terhadap durasi menggunakan metode lean construction dengan aplikasi work

Maka yang menjadi pertanyaan pokok dalam kajian ini adalah bagaimanakah rancangan program strategi pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan berbasis kelembagaan lokal di

Analisis deskriptif pada penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan data hasil kuesioner yang dilakukan sebelumnya, penjelasan dengan analisis deskriptif dilakukan untuk

Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa Impor Produk Non-migas Tahun 1993 - 2009. Pangsa impor produk non-migas Indonesia pada periode 1991

Sekolah Tinggi Teknologi Jawa Barat Yayasan Pendidikan Al-Aitaam Bandung.. No Perguruan

Hengki Wijaya : “Analisis Biblika Mengenai Penanggalan Manusia Lama dan Pengenaan Manusia Baru Berdasarkan Perspektif Surat Efesus 4:17-32 .” (Dibimbing oleh Pdt. Daniel

Judul Disertasi : STUDI PEMANFAATAN BAHAN PENGEMULSI BERBASIS MINYAK KELAPA UNTUK PRODUK FILM LATEKS PEKAT KARET ALAM DENGAN AGEN VULKANISASI SULFUR DAN DIKUMIL