PENGARUH KARAKTERISTIK PERMUKIMAN NELAYAN PULAU BUNGIN TERHADAP KONSEP LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN
PENATAAN RUANG
KECAMATAN ALAS
KABUPATEN SUMBAWA BESAR
Oleh Qudri Saufi 41113A0025
JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA (PLANOLOGI)
FAKULTAS TEKNIK
BAB I PENDAHULUAN
1.1 ` Latar Belakang
Pemerintah dan DPR telah menyepakati perubahan/revisi UU no. 27 tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menjadi UU no. 1
tahun 2014. Pasal 1 ayat 1 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan
dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia merupakan negara maritim yang besar dimana memiliki kekuatan
dalam potensi pulau-pulau kecil dengan toprografi yang memiliki potensi akan
kekayaan pulau-pulau yang indah dengan berbagai suku dan tradisi yang dapat
menjadikan Indonesia tetap satu meskipun tradisi dan adat dari masing-masing pulau
berbeda yang menjadikan Indonesia sebagai kawasan yang strategis di wilayah
khatulistiwa dimana Indonesia di kenal dengan istilah ”Zamrut Khatulistiwa”.
Jumlah pulau yang ada di Indonesia yakni 17.504 itu termasuk pulau-pulau yang
sudah di beri nama dan belum di beri nama.
Sebagian besar di Provinsi NTB yang memiliki 280 pulau yakni pulau di
pulau Lombok terkenal akan gili-gili yang menarik seperti Gili terawang, gili meno,
Pulau Sumbawa juga tidak kalah menariknya, dimana Sumbawa juga memiliki pulau
kecil yang di kenal sebagai pulau terpadat di Dunia, pulau ini bernama Pulau Bungin
yang letaknya di bagian utara pulau Sumbawa. Pulau bungin ini dihuni bukan oleh
suku Samawa, Sasak ataupun Mbojo melainkan dihuni oleh masyarakat suku Bajo.
Pulau Bungin merupakan pulau yang dibangun diatas tumpukan batu karang
yang sudah mati yang diambil di laut. Pada tahun 1942 pulau yang pada awalnya
yang hanya seluas 3 hektar menjadi lebih dari 6 hektar pada saat ini. Daratan pulau
ini bertambah sekitar 30-60 are setiap tahunnya, karena setiap yang ingin berkeluarga
diharuskan membuat tempat mendirikan rumah terlebih dahulu dari timbunan karang
dan pasir. Pulau Bungin dengan pola pemukiman kepadatan penduduk yang nyaris
tanpa jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya. Kepadatan
penduduk 14.133 jiwa/km persegi dengan itu pulau bungin disebut – sebut sebagai
pulau terpadat di dunia.
Pulau Bungin sebagai salah satu tujuan wisata lokal, nasional dan
internasional, yang di kenal sebagai pulau terpadat dengan permukiman tradisional
namun di sisi lain apabila dilihat dari segi pengkajian teoritisnya permukiman padat
merupakan lingkungan hunian yang tidak sehat dan tidak layak huni apabila di
kaitkan dengan kebijakan-kebijakan tentang penataan permukiman.
Permukiman yang tidak layak huni biasanya banyak dijumpai di berbagai
pinggiran-pinggiran kota. Namun untuk pulau bungin dengan pemukiman yang di
kenal sangat padat ini di sebabkan karena tingginya angka jumlah penduduk yang
pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat sedangkan kebutuhan akan
lahan yang semakin sempit ini dapat menimbulkan berbagai masalah seperti sirkulasi
angin yang tidak baik, persampahan dan banjir sehingga membentuk pola
permukiman yang sangat padat dan tidak memiliki ruang terbuka kawasan layak
huni.
Pemberdayaan pulau bungin sebagai kawasan wisata permukiman tradisional
yang layak huni dengan cara penataan ruang permukiman nelayan di pulau bungin
atas dasar pengkajian teory and policy yang telah di tetapkan dan di gunakan.
1.2 Rumusan Permasalahan
a. Bagaimana permukiman nelayan suku bajo di pulau bungin terbentuk? b. Bagaimana perkembangan permukiman nelayan di pulau bungin?
c. Bagaimana pengaruh karakteristik permukiman nelayan pulau bungin
terhadap konsep lingkungan hidup dan penataan ruang?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Dapat mengetahui sejarah terbentuknya permukiman nelayan di pulau
bungin.
b. Dapat melihat pola perkembangan permukiman nelayan 10 tahun
sebelumnya di pulau bungin.
c. Membuat karakteristik permukiman nelayan pulau bungin terhadap
konsep lingkungan hidup dan penataan ruangnya.
Setiap masalah yang diteliti atau diangkat sebagai suatu objek penelitian
merupakan masalah yang dianggap penting untuk kemajuan dan perkembangan
bidang yang diteliti. Demikian juga hanya dengan dilakukannya penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat penelitian. Manfaat penelitian dibedakan
menjadi 2 yakni sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat secara teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah
wawasan ilmu pengetahuan secara umum.
b. Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat
memotivasi peneliti lain untuk mengungkapkan tentang
permasalahan-permasalahan lain yang juga berpengaruh terhadap permukiman yang
ada di pulau bungin tersebut.
1.4.2 Manfaat secara praktis
a. Bagi Masyarakat
Dapat mengarahkan masayarakat setempat dan memperankan
masyarakat sebagai pemeran utama atau stake holders dalam upaya
pembangunan penataan permukiman. b. Bagi Pemerintah
Untuk pemerintah penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
aspiratif untuk membangun suatu desa yang ada di pulau bungin
tersebut.
Pulau bungin sebagai objek wisata permukiman nelayan
tradisional yang benar-benar bisa mendatangkan para wisatawan lokal
maupun interlokal karena pulau bungin yang sudah di kenaal sebagai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Pembentukan Pulau
Teori tekntonik sebagai pembentukan pulau : lempeng secara umum telah
diakui dapat menjawab berbagai permasalahan alamiah, seperti gempa bumi,
vulkanisme, topografi dasar laut, dan sebagainya. Menurut teori ini lempeng litosfer
terpecah menjadi beberapa bagian karena adanya konvensi di astenosfer yang dipacu
oleh perbedaan temperatur antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Tipe batas
lempeng dikenal dengan tiga macam, yaitu: konvergen, divergen, dan shear.
Terbentuknya kepulauan Indonesia dapat dijelaskan dengan batas lempeng
konvergen di mana terjadi tabrakan antara lempeng Australia dari selatan, lempeng
Pasifik dari timur, dan lempeng Asia dari utara. Tabrakan antara lempeng dasar laut
dengan dasar laut menghasilkan palung, busur luar yang terdiri dari batuan melange,
basin luar deretan pulau-pulau vulkanik dan basah belakang.
2.1.2 Dampak Kepadatan Permukiman Terhadap Lingkungan
Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi
oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap
unit tempat tinggal, jumlah unit tempat tinggal pada setiap struktur huian dan jumlah
pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi
unsur-unsur tersebut.
Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada
individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa
lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi
sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan
lingkungan pemukiman yang memilki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman
seperti memilki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan
kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam Ittelson, 1974)
mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh
penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress, dan kesehatan fisik, sehingga
kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang
yang tinggal disana.
Ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dan peningkatan produksi
pangan akan memengaruhi kualitas hidup manusia. Usaha meningkatkan kualitas
hidup manusia makin berat apabila jumlah penduduknya besar. Pertambahan
penduduk yang tinggi dapat menghambat upaya untuk meningkatkan kemakmuran
suatu negara. Apabila suatu negara memiliki pendapatan kecil dan jumlah penduduk
banyak, pendapatan per kapita akan rendah. Hal itu menunjukkan bahwa taraf
kehidupan ekonomi masyarakat rendah. Berikut ini, berbagai dampak dari kepadatan
a) Ketersediaan Air Bersih
Air merupakan sumber kehidupan. Sebagian besar tubuh makhluk
hidup terdiri atas air. Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat
besar manfaatnya bagi manusia. Selain minum, air juga diperlukan untuk
menjaga kebersihan pakaian, badan, dan lingkungan. Tumbuh-tumbuhan dan
hewan temak juga memerlukan air, begitu pula pemrosesan barang-barang
produksi maupun industri. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan
peningkatan kebutuhan air. Pada umumnya, kebutuhan air diperkotaan
dipenuhi oleh PAM (Perusahaan Air Minum) yang mengalirkan air sampai ke
rumah-rumah penduduk. Akan tetapi, makin padatnya penduduk
menyebabkan daerah peresapan air hujan makin berkurang.
b) Ketersediaan Pangan
Thomas Robert Maltusseorang sosiolog Inggris, mengemukakan teori
yang berjudul Essay on The Principle of Population. Maltus menyimpulkan
bahwa pertambahan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan pertambahan
produksi pangan mengikuti deret hitung. Jadi semakin meningkat
pertumbuhan penduduk, semakin tinggi pula kebutuhan pangan. Oleh karena
itu peningkatan produksi pangan perlu digalakkan. Penduduk yang
kekurangan makanan akan menyebabkan gangguan pada fungsi kerja tubuh
dan dapat terjangkit penyakit seperti busung lapar, anemia, dan beri-beri.
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan pemukiman
yang dialih fungsikan, misalnya untuk tempat tinggal, pembangunan pabrik
dan rumah sakit. Akibatnya, produksi pertanian akan menurun sehingga
bahan pangan harus di imp or. Apabila harga bahan pangan impor tidak
terjangkau oleh masyarakat dapat terjadi bencana kelaparan. Untuk
memenuhi kebutuhan primer (termasuk pangan), pemerintah telah
menerapkan usaha untuk melaksanakan swasembada bahan pangan. Usaha
konkret yang telah dilakukan, yaitu
Ekstensifikasi pertanian dengan cara membuka lahan baru yang masih memungkinkan;
Meningkatkan teknologi pertanian, perikanan, dan peternakan;
Meningkatkan persediaan bahan makanan;
Mengubah sikap dan cara mengonsumsi makanan, antara lain mengubah agar masyarakat tidak hanya bergantung pada satu jenis
bahan makanan saja;
Diversifikasi tanaman dan lahan pertanian.
c) Ketersediaan Lahan
Kepadatan penduduk mendorong peningkatan kebutuhan lahan, baik
lahan untuk tempat tinggal, sarana penunjang kehidupan, industri, tempat
pertanian, dan sebagainya. Untuk mengatasi kekurangan lahan, sering
dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian produktif untuk perumahan
hutan juga sering dilakukan untuk membangun areal industri, perkebunan,
dan pertanian. Meskipun hal ini dapat dianggap sebagai solusi, sesungguhnya
kegiatan itu merusak lingkungan hidup yang dapat mengganggu
keseimbangan lingkungan. Jadi peluang terjadinya kerusakan lingkungan
akan meningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan penduduk.
Pesatnya pertambahan penduduk mengakibatkan makin besar kepadatan
penduduk. Jumlah penduduk yang bertambah dengan luas lahan tetap
menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk. Akibatnya, makin besar
perbandingan antara jumlah penduduk dan luas lahan. Pada akhirnya, lahan
untuk perumahan makin sulit didapat. Itulah sebabnya di kota-kota besar
yang sangat padat penduduknya, kita lihat banyak yang mendirikan bangunan
tidak resmi, bahkan ada pula yang membuat tempat tinggal sementara dari
plastik atau dari karton di pinggir sungai atau di bawah kolong jembatan.
d) Ketersediaan Udara Bersih
Di daerah padat penduduk seperti di perkotaan, jumlah kendaraan
bermotor meningkat. Gas sisa pembakaran kendaraan bermotor menyebabkan
pencemaran udara. Pencemaran udara banyak mengakibatkan gangguan
kesehatan. Manusia dan makhluk hidup memerlukan udara sehat, yaitu udara
yang tidak mengandung un sur pencemar, misalnya gas karbon monoksida
dan karbon dioksida yang jumlahnya melebihi normal. Gas yang diambil dari
udara buruk pernapasan makhluk hidup adalah oksigen. Gas tersebut
diperlukan pelestarian tumbuhan hijau melalui penghijauan dan reboisasi
untuk membersihkan udara.
Jadi dapat dipahami bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk, maka
kebutuhan oksigen semakin banyak. Oleh karena itu pemerintah kota di setiap
wilayah gencar mengkampanyekan penanaman pepohonan. Selain sebagai
penyejuk dan keindahan, pepohonan berfungsi sebagai hutankota untuk
menurunkan tingkat pencemaran udara.
e) Pencemaran Lingkungan
Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan laju pertumbuhan
penduduk yang tinggi. Hal itu menyebabkan kebutuhan akan barang,jasa, dan
tempat tinggal meningkat tajam dan menuntut tambahan sarana dan prasarana
untuk melayani keperluan masyarakat. Akan tetapi, alam memiliki daya
dukung lingkungan yang terbatas. Kebutuhan yang terus-menerus meningkat
tersebut pada gilirannya akan menyebabkan penggunaan sumber daya alam
sulit dikontrol. Pengurasan sumber daya alam yang tidak terkendali tersebut
mengakibatkan kerusakan lingkungan.
2.1.3 Teori Lingkungan
Lingkungan sering didefinisikan sebagai sesuatu yang terdiri dari tiga
komponen yang berbeda, yaitu lingkungan alam, binaan dan budaya. Kata
lingkungan banyak dibahas sesuai degan kapasitas ilmu yang bersangkutan Gibson
(1986) membedakan lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral.
Lingkungan behavioral, yaitu lingkungan yang merupakan imaji kognitif dari
lingkungan objektif yang kemudian menjadi dasar terjadinya prilaku (Maslucha,
2007:29-31).
Lingkungan yang dikaitkan dengan dunia arsitektur adalah lingkungan
binaan. Lingkungan binaan adalah tempat sekaligus hasil pembelajaran pada satu
satuan waktu (Pangarsa, 2006:29) Merupakan semua lingkungan dengan
tempattempat sebagian besar telah direncanakan dan dirancang oleh manusia.
Lingkungan yang dihasilkan ini disinyalir mampu mempengaruhi perilaku manusia
kearah positif maupun negatif (Maslucha, 2007:35). Menurut Maslucha (2007:46)
ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi prilaku manusia, antara lain
sebagai berikut:
a) Kondisi Geografis
Kondisi geografis tiap belahan dunia memiliki ciri khas tersendiri.
Manusia tinggal disebuah wilayah geografis tertentu akan memberikan
tanggapan fisiologis dan psikologis yang berbeda dengan manusia lain.
b) Skala Perhatian rancangan
Setiap maslah perancangan tanpa peduli berapapun skalanya, adalah
masalah untuk menciptakan kecocokan terbaik antara perilaku yang
diharapkan dengan lingkungannya
c) Tingkat Sosial
Manusia dalam masyarakat memiliki tingkat sosial yang berbeda-beda.
kepribadian seseorang. Masyarakat dalam tingkat sosial yang berbeda, dalam
kaitannya dengan perancangan arsitektur, memiliki kebutuhan kebutuhan fisik
dan psikologis yang berbeda pula yang tercermin di dalam lingkungan.
d) Kendali Lingkungan
Kendali lingkungan terkait dengan faktor fisiologis maupun faktor
psikologis, antara lain :
o Kenyamanan
Kenyamanan menurut Broadbent dalam Maslucha (2007:47)
tergantung pada suhu lingkungan, keseimbangan pencahayaan,
penempatan bangunan sejauh mungkin dari sumber bising dan
menyangkut penempatan jalur atau saluran udara antara sumber bau
dengan aktifitas.
o Kesehatan
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kesehatan adalah
perhatian terhadap jalur dan siklus udara. Agar sirkulasi uadara menjadi
lancar dan tidak pengap. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan
yang sehat.
o Keamanan dan keselamatan
Faktor ini terkait keadaan sosial eklonomi masyarakat dan
klontrol sosial yang berlaku sehingga mempengaruhi tingkat keamanan
2.1.4 Teori Permukiman 2.1.4.1 Konsep Permukiman
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang No.1 tahun 2011 Pasal
1 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Menurut Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep
lingkungan hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang
digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan
hidup di luar kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan. Parwata (2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat
bermukim manusia yang telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu
tujuan yang jelas, sehingga memberikan kenyamanan kepada penghuninya.
Permukiman (Settlement) merupakan suatu proses seseorang mencapai dan menetap
pada suatu daerah (Van der Zee 1986). Kegunaan dari sebuah permukiman adalah
tidak hanya untuk menyediakan tempat tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi
juga menyediakan fasilitas untuk pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia
sendiri maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari alam
dan elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut, selanjutnya
tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi:
kebutuhan biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan
emosional, dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi
penduduk, kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan,
hukum dan administrasi; (4) fisik bangunan yang meliputi: rumah, pelayanan
masyarakat (sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan
pemerintahan, industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan (net
work) yang meliputi: sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem
transportasi, sistem komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air
kotor, dan tata letak fisik.
2.1.4.2 Bentuk – Bentuk Permukiman
Sebuah permukiman terbentuk dari komponen-komponen dasar yaitu: (1)
rumah-rumah dan tanah beserta rumah; (2) tanah kapling rumah dan ruang tanah
beserta rumah; dan (3) tapak rumah dan perkarangan rumah (Gambar 2.1).
Perkarangan rumah atau tempat-tempat rumah biasanya disusun dalam
kelompok-kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan susunan
spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah komplek.
Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat dan bentuk perencanaan
tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh kelompok-kelompok dan komplek-komplek
dari tempat rumah dan perkarangan rumah.
Gambar 2.1 Komponen-komponen rumah atau pekarangan rumah. (Sumber:
Van Deer Zee 1986)
kelompok yang homogen dalam segi bentuk, fungsi, ukuran, asal mula dan
susunan spasial. Dua atau lebih kelompok-kelompok dapat membentuk sebuah
komplek (Gambar 2.2). Bentuk dari permukiman dinyatakan dalam bentuk tempat
dan bentuk perencanaan tanah. Perencanaan tanah dibentuk oleh
kelompok-kelompok dan komplek-komplek dari tempat rumah dan perkarangan rumah.
c. Tanah kapling rumah atau pekarangan
b. Rumah dan struktur lainnyaa. Pekarangan rumah
c. Rumah-rumah tunggal dan pekarangan rumah.
b. Kelompok-kelompok rumah dan pekarangan rumah
a. Komplek rumah-rumah dan pekarangan rumah
2.1.4.3 Pola Penyebaran Permukiman
Pola penyebaran pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah desa
kota menurut Koestoer (1995), pembentukannya berakar dari pola campuran antara
ciri perkotaan dan perdesaan. Ada perbedaan mendasar pola pembangunan
permukiman di perkotaan dan perdesaan. Wilayah permukiman di perkotaan sering
disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya
sebagian besar rumah menghadap secara teratur ke arah kerangka jalan yang ada dan
sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok dan dilengkapi
dengan penerangan listrik. Kerangka jalannyapun ditata secara bertingkat mulai dari
jalan raya, penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk perdesaan ditandai terutama
oleh ketidak teraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung
berkelompok membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air,
misalnya sungai. Pola permukiman perdesaan masih sangat tradisional banyak
mengikuti pola bentuk sungai, karena sungai disamping sebagai sumber kehidupan
sehari-hari juga berfungsi sebagai jalur transportasi antar wilayah.
2.1.4.4 Konfigurasi Massa
Berikut ini mengkategorikan bentuk-bentuk dengan penambahan menurut
sifat hubungan yang muncul diantara bentuk-bentuk komponennya sebaik
konfigurasi keseluruhannya.
Terdiri dari sejumlah bentuk sekunder yang mengelilingi satu bentuk
dominant yang berada tepat di pusatnya. Bentuk-bentuk terpusat menuntut adanaya
dominasi secara visual dalam keteratuan geometris, bentuk yang harus ditempatkan
terpusat, misalnya seperti bola, kerucut, ataupun silinder. Oleh karena sifatnya yang
terpusat, bentuk-bentuk tersebut sangat ideal sebagai struktur yang berdiri sendiri,
dikelilingi oleh lingkunganya, mendominasi sebuah titik didalam ruang, atau
menempati pusat suatu bidang tertentu. Bentuk ini dapat menjadi symbol
tempat-tempat yang suci atau penuh penghormatan, atau untuk mengenang kebesaran
2.1.4.4.2 Bentuk Linier
Terdiri atas bentuk-bentuk yang diatur berangkaian pada sebuah baris. Bentuk
garis lurus atau linier dapat diperoleh dari perubahan secara proposional dalam
dimensi suatu bentuk atau melalui pengaturan sederet bentuk-bentuk sepanjang garis.
serupa dan diorganisir oleh unsur la in yang terpisah dan lain sama sekali seperti
sebuah dinding atau jalan.
Bentuk garis lurus dapat dipotong-potong atau dibelokkan sebagai penyesuaian terhadap kondisi setempat seterti topografi, pemandangan
tumbuh-tumbuhan, maupun keadaan lain yang ada dalam tapak.
Bentu garis lurus dapat diletakkan dimuka atau menunjukkan sisi suatu ruang luar atau membentuk bidang masuk ke suatu ruang di
belakangnya.
Bentuk linier dapat dimanipulasi untuk membatasi sebagian.
Bentuk linier dapat diarahkan secara vertical sebagai suatu unsur menara untuk menciptakan sebuah titik dalam ruang.
2.1.4.4.3 Bentuk Radial
Merupakan suatu komposisi dari bentuk-bentuk linier yang berkembang
kearah luar dari bentuk terpusat dalam arah radial. Suatu bentuk radial terdiri dari
atas bentuk –bentuk linier yang berkembang dari suatu unsure inti terpusat kearah
luar menurut jari -jarinya. Bentuk ini menggabungkan aspek-aspek pusat dan linier
ataupun sebagai pusat fungsional seluruh organisasi. Posisinya yang terpusat dapat
dipertegas dengan suatu bentuk visual dominant, atau dapat digabungkan dan
menjadi bagian dari lengan -le ngan radialnya.
Lengan-lengan radial memiliki sifat-sifat dasar yang serupa dengan bentuk
linier, yaitu sifat ekstrovertnya. Lengan-lengan radial dapat menjangkau ke luar dan
berhubungan atau meningkatkan diri dengan sesuatu yang khusus di suatu tapak.
Lengan-lengan radial dapat membuka permukaanya yang diperpanjang untuk
mencapai kondisi sinar matahari, angin, pemandangan atau ruang yang diinginkan.
Organisasi bentuk radial dapat dilihat dan dipahami dengan sempurna dari
suatu titik pandang di udara. Bila dilihat dari muka tanah, kemungkinan besar unsure
pusatnya tidak akan dengan jelas, dan pola penyeberan lengan -lengan linier menjadi
kabur atau menyimpang akibat pandangan perspektif.
Sekumpulan bentuk-bentuk yang tergabung bersama-sa ma karena saling
berdekatan atau saling memberikan kesamaan sifat visual. Jika organisasi terpusat
memiliki dasar geometric yang kuat dalam penataan bentuk-bentunya, maka
organisasi kelompok dibentuk berdasarkan persyaratan fungsional seperti ukuran,
wujud ataupun jarak letak. Walaupun tidak memiliki aturan deometrik dan sifat
introvert bentuk perpusat organisasi kelompok cukup fleksibel dalam memadukan
bermacam-macam wujud, ukuran, dan orientasi ke dalam strukturnya.
Berdasarkan fleksibilitasnya, organisasi kelompok bentuk-bentuk dapat
diorganisir dengan berbagai cara sebagai berikut:
Dapat dikaitkan sebagai anggota tambahan terhadap suatu bentuk atau ruang induk yang lebih besar
Dapat dihubungkan dengan mendekatkan diri untuk menegaskan dan mengekspresikan volumenya sebagai suatu kesatuan individu.
Dapat menghubungkan volume-volumenya dan bergabung menjadi suatu bentuk tunggal yang memiliki suatu variasi tampak
Suatu organisasi kelompok dapat juga terdiri dari bentuk-bentuk yang
umumnya setara dalam ukuran, wujud dan fungsi. Bentuk-bentuk ini secara visual
disusun menjadi sesuatu yang koheren, organisasi nonhirarki, tidak hanya melalui
jarak yang saling berdekatan namun juga melalui kesamaan sifat visual yang
dimilikinya.
Sejumlah bentuk perumahan kelompok dapat dijumpai dalam berbagai bentuk
melahirkan suatu jenis yang unik sebagai tanggapan terhadap faktor kemampuan
teknis, iklim dan sosial budaya, pengorganisasian perumahan kelompok ini pada
umumnya mempertahankan individualitasnya masing-masing unitnya serta suatu
tingkat keragaman moderat dalam konteks keseluruhan penataan.
2.1.4.4.5 Bentuk Grid
Merupakan bentuk-bentuk modular yang dihubungkan dan diatur oleh
grid-grid tiga dimensi. Grid adalah suatu system perpotongan dua garis-garis sejajar atau
lebih yang berjarak teratur. Grid membentuk suatu pola geometric dari titik-titik yang
berjarak teratur pada perpotongan garis-garis grid dan bidang-bidang beraturan yang
dibentuk oleh garisgaris grid itu sendiri.
Grid yang paling umum adalah yang berdasarkan bentuk geometri bujur
sangkar. Karena kesamaan dimensi dan sifat semetris dua arah, grid bujur sangkar
sebagai skala yang membagi suatu permukaan menjadi unit-unit yang dapat dihitung
dan memberikannya suatu tekstur tertentu. Grid bujur sangkar juga dapat digunakan
untuk menutup beberapa permukaan suatu bentuk dan menyatukannya dengan
bentuk geometri yang berulang dan mendalam.
Bujur sangkar, bila diproyeksikan kepada dimensi ketiga, akan menimbulkan
suatu jaringan ruang dari titik-titik dan garis-garis referensi. Di dalam kerangka kerja
modular ini, beberapa bentuk dan ruang dapat diorganisir secara visual.
2.2 Tinjauan Kebijakan
Undang-undang republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 Pasal 1 Tentang
Perumahan dan kawasan permukiman: (1) Perumahan dan kawasan permukiman
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan
perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan,
kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran
masyarakat; (2) Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan; (3) Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan; (4) Penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan,
pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan,
pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan
terpadu; (5) Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya; (6) Rumah swadaya adalah rumah yang
dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat; (7) Permukiman kumuh adalah
permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana
yang tidak memenuhi syarat.; (8) Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik
lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat
tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman; (9) Sarana adalah fasilitas dalam
pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi; dan (10) Utilitas umum
adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian.
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 10 tahun 2012 Tentang
Rencana tata ruang wilayah kabupaten sumbawa Tahun 2011 – 2031: (1) Pasal 21,
Kawasan Peruntukan Pertanian, yaitu: pengembangan pengolahan ikan pada kawasan
Pusat Pelelangan Ikan (PPI) di Teluk Santong, Tanjung Pengamas, Labuhan Mapin,
Pulau Bungin, Pulau Kaung, Labuhan Jambu, Labuhan Buak, Prajak, Labuhan
Terata, Labuhan Sengoro, Pidang, dan Lunyuk dengan luasan kurang lebih 11,50 Ha;
(2) Pasal 25, Kawasan Peruntukan Pariwisata, yaitu: kawasan wisata budaya yang
menjadi prioritas pengembangan dengan penataan desa-desa wisata seperti Desa
Poto, Desa Pemulung, Desa Tepal, Pulau Bungin, sarkofagus di Desa Batu Tering
dan daerah konservasi budaya yaitu Istana Dalam Loka, Bala Kuning, Wisma Praja,
dan Makam Raja-Raja.
Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 10 tahun 2012 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumbawa 2011-2031 Arahan
Pengembangan Destinasi Kawasan Peruntukan Pariwisata Unggulan:
No. Destinasi Pariwisata Daya Tarik Wisata Jenis Daya Tarik Wisata
2.3 Penelitian Terdahulu Oleh Novi Nurhasana, Universitas Islam Indonesia.
Perencanaan Penataan Permukiman Suku Bajo Di Pulau Bungin
(Penekanan Pada Aspek Lingkungan Berkelanjutan Di Wilayah Permukiman Pesisir
Sumbawa) dengan aristektur lokal daerah pesisir permukiman pulau Bungin sebagai
pendekatan perancangan kawasan untuk merevitalisasi lingkungan permukiman
pesisir yang berkelanjutan. Menjadikan pulau Bungin sebagai kawasan permukiman
yang mewadahi setiap kegiatan rutinitas masyarakat pulau Bungin sebagai salah satu
suku Pelaut di Indonesia.
Perencanaan kawasan permukiman pesisir pulau Bungin menjadi adalah satu
permukiman yang mampu memberikan nilai ekologis tinggi terhadap lingkungan
pesisir tanpa mengurangi nilai aspek pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan ini
digunakan sebagai alat ukur dalam perencanaan kawasan permukiman sehingga
dapat memenuhi nilai permukiman pesisir yang sehat dan bersih pada umumnya.
Pulau Bungin, Kabupaten Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat,
merupakan suatu permukiman nelayan suku Bajau/ Bajo dengan segala problem dan
keunikannya. Pulau Bungin terletak di sebelah Selatan Pesisir Kecamatan Alas,
permukiman pulau Bungin terbentuk dari adanya kemauan suku Bajo dalam
memiliki satu permukiman tetap dari kehidupan nomaden di atas perahu/ bido. Orang
selatan alas, ketergantungan dengan kehidupan laut merupakan satu hal yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat pulau Bungin. Alam memberi mereka penghidupan
untuk bisa bertahan hidup dan penyesuaian pada alam setempat ini juga yang
memunculkan beberapa masalah. Dalam perkembangannya pulau Bungin menjadi
kawasan permukiman nelayan yang padat akan penduduk, maka dari itu faktor
penduduk yang berkualitas dapat memungkinkan untuk bisa mengolah dan
mengelola potensi sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien dan maksimal,
dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga
harapannya terjadi keseimbangan dan keserasian antara jumlah penduduk dengan
kapasitas dari daya dukung alam dan daya tampung lingkungan pesisir pulau Bungin
yang berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu
lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga
lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan
lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan perbaikan lingkungan
permukiman pulau Bungin yang berkepadatan tinggi, hal tersebut mencakup seluruh
komponen yang ada di permukiman mulai dari pola penataan massa bangunan,
openspace, ruang terbuka hijau, fasilitas komunal, persampahan hingga revitalisasi
terumbu karang yang mati dan mengalami pemutihan akibat penambangan lokal
yang dijadikan dasar mendirikan hunian rumah. Hal tersebut merupakan tantangan
dalam menciptakan rancangan konsep permukiman pesisir yang padat berbasis
Bajo di pulau Bungin dan mempertahankan adat istiadat setempat tanpa merusak
lingkungan sekitar permukiman untuk memperkuat karakter lingkungan masyarakat
nelayan serta kebiasaan-kebiasaan pola kehidupan masyarakat pulau Bungin menjadi
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab metode penelitian ini dijabarkan mengenai rancangan penelitian,
lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik
pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik
penyajian data.
3.1 Rancangan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan pada
metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan naturalistik. Penelitian
Kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan
dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2008).
Metode penelitian kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk
menggambarkan fakta-fakta yang ada di lapangan terkait dengan kondisi
infrastruktur pada permukiman kumuh yang distudi, proses pengadaan infrastruktur
dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
kondisi tersebut pada permukiman kumuh di Pulau Bungin.
Dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus (batasan masalah) diperoleh
setelah peneliti melakukan grand tour observation dan grand tour question atau yang
disebut dengan penjelajahan umum. Dari penjelajahan umum ini peneliti
tentang situasi penelitian. Dalam hal ini gambaran umum penelitian yang diperoleh
adalah konteks studi dari penelitian yang dilakukan yaitu, infrastruktur sebagai
bagian penting sebuah permukiman, proses dan pihak yang terlibat dalam pengadaan
infrastruktur pada permukiman kumuh, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
kondisi tersebut pada permukiman kumuh yang distudi.
Pendekatan naturalistik pada penelitian ini digunakan karena peneliti melihat
fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan terkait kondisi infrastruktur serta
pihak-pihak yang terkait didalamnya secara apa adanya dan tidak dibuat- buat.
Pendekatan naturalistik juga digunakan untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan pada ketiga rumusan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya. Untuk
mendukung data-data yang diperoleh di lapangan, dilakukan juga wawancara
mendalam kepada pihak-pihak terkait, baik itu pihak lembaga pemerintahan maupun
penghuni permukiman kumuh itu sendiri. Hasil yang diperoleh disajikan dalam
bentuk gambar berupa peta jaringan pola permukiman, serta analisis deskriptif
mengenai kondisi infrastruktur, proses pengadaan infrastruktur, serta faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi pada permukiman kumuh di Pulau Bungin.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Pulau Bungin Desa Karang Dalam Kecamatan
Alas Kabupaten Sumbawa, dengan jumlah penduduk Denpasar Barat mencapai
234.182 jiwa dengan luas wilayah 2.413 Ha pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik
Sebalah Timur : Kecamatan Buer
Sebelah Selatan : Desa Luar Kecamatan Alas
Sebelah Barat : Pulau Pandjang Kecamatan Alas Barat
Sebelah Utara : Selat Alas
3.3 Jenis dan Sumber Data
Dalam sub bab ini dibahas mengenai jenis data dan sumber data yang
digunakan dalam penelitian.
3.3.1 Jenis data
Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, maka
jenis data yang diperoleh adalah data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk
kalimat serta uraian-uraian berdasarkan atas apa yang terjadi di lapangan, yang
dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh informan maupun responden. Data kualitatif
dalam penelitian ini berupa hasil dari observasi ataupun wawancara mendalam
kepada narasumber/informan di lapangan. Informasi yang diperoleh adalah mengenai
Sejarah Pulau Bungin, keadaan pulau bungin, penyebab terjadinya kumuh kawasan
studi. Selain itu juga diperoleh jenis data kuantitatif yang merupakan data-data
terukur dan pasti seperti identifikasi pola permukiman, dan identifikasi ifrastruktur
yang tersedia. Pada penelitian ini yang termasuk ke dalam jenis data kuantitatif yaitu,
peta jaringan infrastruktur, luas permukiman, lebar jalan, lebar saluran drainase
terkait dengan kondisi infrastruktur.
3.3.2 Sumber data
Sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber
1) Data primer
Data primer diperoleh secara langsung melalui informan/responden
melalui wawancara secara mendalam ataupun dalam bentuk question list serta
observasi lapangan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan cara
melihat secara langsung fenomena dan fakta yang ada di lapangan (observasi
fisik) mengenai pola kepadatan permukiman, kondisi infrastruktur seperti,
jaringan jalan, pembuangan limbah, jaringan air bersih, serta sarana mandi
cuci kakus (MCK). Data mengenai pengadaan serta pengelolaan infrastruktur
dapat diperoleh melalui wawancara secara mendalam kepada pihak terkait
seperti kepala lingkungan, kepala camat, pemilik lahan serta penghuni rumah
kumuh. Wawancara dilakukan dengan menggunakan question list yang sudah
disiapkan, namun pertanyaan ini nantinya bisa berkembang menyesuaikan
dengan kondisi di lapangan.
2) Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang berupa dokumentasi,
salinan/kutipan data, referensi-referensi. Dalam penelitian ini data sekunder
bersumber dari instansi pemerintahan terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum
(PU), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Tata
Ruang, Badan Pusat Statistik (BPS), kecamatan, kantor desa, kepala
lingkungan, pemilik lahan, ataupun penghuni permukiman kumuh itu sendiri.
Data yang diperoleh berupa data statistik Kecamatan Alas, serta
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan data
bergantung pada diri peneliti sebagai alat pengumpulan data. Hal ini disebabkan oleh
sulitnya mengkhususkan secara tepat pada apa yang akan diteliti.
Disamping itu, orang sebagai instrumen dapat mengambil keputusan secara
luwes. Ia dapat menilai keadaan dan dapat mengambil keputusan (Moleong, 2008).
Dalam penelitian ini, selain peneliti sebagai instrumen dalam suatu penelitian,
instrumen lain yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah:
a) Panduan pengamatan
Merupakan acuan yang digunakan untuk melakukan pengamatan atau
observasi lapangan mengenai kondisi permukiman, proses pengadaan, serta
factor yang mempengaruhi kondisi tersebut pada objek yang distudi.
b) Panduan wawancara
Sama halnya dengan panduan pengamatan, panduan wawancara ini
nantinya digunakan sebagai dasar untuk melakukan wawancara agar tetap
berada pada konteks studi.
c) Question list/daftar pertanyaan
Berupa daftar pertanyaan terkait data-data yang diperlukan seperti,
bagaimana proses perluasan pulau bungin, proses kepadatan permukiman,
dan pengelolaan infrastruktur pada objek studi, bagaimana mereka
faktor-faktor internal yang mempengaruhi kondisi tersebut terjadi di
kondisi dan pengadaan infrastruktur yang ada pada permukiman kumuh yang
distudi.
Sedangkan recorder digunakan untuk merekam percakapan pada saat
wawancara berlangsung, agar tidak ada satu data pun yang terlewatkan pada
saat mencatat.
f) Seperangkat komputer
Komputer digunakan untuk mentabulasi keseluruhan data-data yang
sudah diperoleh.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis dan sumber data yang sudah disebutkan diatas, maka
metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
3.6.1 Observasi lapangan
Observasi lapangan diperlukan untuk mengetahui kondisi riil dan
Sasaran observasi terdiri atas:
1) Tempat atau lokasi, kepadtan permukiman di Pulau Bungin Kecamatan
Alas yang digunakan sebagai studi kasus.
2) Pihak-pihak terkait, orang-orang yang melakukan suatu kegiatan terkait
infrastruktur pada permukiman kumuh di Pulau Bungin yaitu, instansi
pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Bappeda, kepala
camat, kepala lingkungan), pemilik lahan, penghuni rumah kumuh, serta
warga sekitar permukiman ataupun orang-orang yang berkompeten
didalamnya.
3) Aktivitas, kegiatan yang dilakukan oleh pelaku pada objek studi maupun
sekitarnya.
Tahapan observasi yang dilakukan adalah, (1) grand tour
observation/observasi deskriptif merupakan observasi awal untuk mengetahui
gambaran umum mengenai pola permukiman, (2) observasi terfokus, pada observasi
ini, pengamatan mulai difokuskan pada proses pengembangan permukiman hingga
masalah yang diteliti yaitu kepadatan permukiman yang terlihat kumuh, (3) observasi
terseleksi, pada tahapan ini fokus yang ditemukan mulai diuraikan sehingga data
yang diperoleh lebih rinci yang tertera pada question list.
3.6.2 Wawancara mendalam
Metode wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui Tanya
jawab langsung dengan responden ataupun informan. Pada penelitian ini dilakukan
yang dilakukan, seperti instansi pemerintahan (Dinas PU, Dinas Tata Ruang,
Bappeda, kepala camat, kepala lingkungan), pemilik lahan, penghuni rumah kumuh,
serta warga sekitar permukiman.
3.6.3 Dokumentasi
Metode dokumentasi terdiri atas dokumen-dokumen yang berisi data dan
informasi berupa foto-foto atau video pada saat observasi lapangan, rekaman hasil
wawancara, kebijakan, pedoman, peraturan, kajian, artikel, opini yang berkaitan
dengan penelitian ini. Metode dokumentasi dilakukan dengan cara perekaman
menggunakan kamera secara langsung pada objek penelitian, pencatatan data yang
diperoleh, kemudian pencocokan dengan data yang diperoleh.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini diarahkan pada uraian
deskriptif mengenai bagaimana kondisi dan mekanisme perkembangan permukiman
kumuh di Pulau bungin serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian
kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan
pengumpulan data. Data-data yang diperoleh di lapangan dalam bentuk hasil
wawancara maupun rekaman terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk tulisan, dengan
menentukan kata kunci dari setiap hasil tersebut agar dapat mempermudah dalam
mengingat dan mengelompokkan data tersebut.
Data-data berupa gambar (foto, sketsa, peta) juga di interpretasikan ke dalam
Data yang dihasilkan diuji kembali keabsahannya berdasarkan validitas dan
reliabilitasnya. Untuk menganalisis fakta-fakta yang ditemukan di lapangan,
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Reduksi data, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh dari hasil
wawancara mengenai faktor kepadatan permukiman dan data sekunder
terkait hal tersebut, kemudian ditentukan data atau informasi yang sesuai
dengan fokus penelitian. Sementara data yang kurang relevan
dikesampingkan.
b) Pengklasifikasian data dalam beberapa titik tekan pada persoalan atau
rumusan masalah penelitian. Pada tahap inilah pendekatan-pendekatan
teori yakni teori-teori mengenai karakteristik permukiman dan proses
pengadaannya serta kualitas ruang permukiman dijadikan teori untuk
memahami, meneliti serta menganalisis fokus dalam penelitian.
c) Kesimpulan/verifikasi data, merupakan tahap akhir dari teknik analisis data
yang diperoleh dari klasifikasi data yang didapat, dan kemudian dibuatkan
kesimpulan dari keseluruhan hasil analisisnya.
3.8 Teknik Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang dapat
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian informasi dilakukan dalam bentuk teks naratif yang memperlihatkan
Pulau bungin, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Data tersebut
juga disajikan dalam bentuk teks naratif, gambar dan peta.
Penarikan simpulan merupakan satu bagian dari satu kegiatan konfigurasi
yang utuh. Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan analisis yang cermat dan
mendalam terhadap data-data yang diperoleh. Simpulan yang didapat harus mampu
memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan dalam