• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Kekeluargaan yang Salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Teori Kekeluargaan yang Salah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Kekeluargaan yang Salah Oleh Aloysius Damar Pranadi

Kudapati sebuah sistem orientasi dan pengenalan mahasiswa di beberapa universitas mengalami kekurangan. Sebenarnya kekurangan ini mungkin muncul berpuluh-puluh tahun silam, sehingga menyebabkan munculnya sebuah tingkah laku masyarakat yang tidak terlihat menyimpang (padahal menyimpang). Dan penyimpangan yang terjadi ini berasal dari dasar atau prinsip sebuah kehidupan yang bagus sebenarnya yaitu kekeluargaan.

Mengapa ada kesalahan dalam teori kekeluargaan yang menjadi prinsip fundamental

masyarakat kini? Sebenarnya jika dijelaskan secara runtut dan perlahan, kita sebenarnya bukan menilai adanya kesalahan dalam prinsip dasar yang satu ini. Melainkan munculnya berbagai penyimpangan yang terjadi karena pola pikir dan faktor psikologis insidensial manusia. Maksudnya adalah, dengan adanya penanaman-penanaman pola pikir yang salah, manusia mudah sekali terpicu melakukan penyimpangan secara tidak langsung terhadap teori kekeluargaan yang sebenarnya.

Untuk mengetahui lebih lanjut apa saja penyimpangan yang tidak kita sadari pernah terjadi dalam kekeluargaan, kita akan membahasnya perlahan dengan contoh yang konkrit dan nyata yang pernah saya temukan dalam masyarakat di sekitar saya (termasuk saya sendiri yang pernah

melakukannya):

1. Makna saya dan anda dalam satu keluarga yang sebenarnya (perspektif dari saya)

Apa sih makna keluarga yang sebenarnya? Dalam beberapa jabaran tentang keluarga disebutkan bahwa keluarga merupakan kumpulan terkecil yang memiliki relasi rasa, emosi, dan batin yang kuat antar anggotanya.

Tetapi dilain sisi ada yang menjabarkan bahwa keluarga itu ialah sama rasa, sama tujuan. Ada juga yang mengartikannya sebuah tubuh yang tercipta dengan manusia sebagai organnya, dan penafsiran lainnya.

Semua tidak ada yang salah, hanya mungkin perlu dikaji ulang konteks tersebut digunakan dimana. Jelas dalam kerumah tanggaan keluarga lebih ke makna yang pertama kali disebutkan. Apakah makna kedua kurang cocok? Dan makna ketiga salah?

(2)

Relasi rasa adalah adanya hubungan khusus antar rasa yang belum tentu diartikan sama rasa. Jika saya dan anda satu rasa, maka saya dan anda memiliki sebuah kontak/hubungan khusus antar rasa kita yang terjalin. Bukan berarti saya dan anda pasti memiliki rasa yang sama, melainkan ada sebuah relasi yang bisa membuat rasa di anda berpengaruh pada rasa di anda. Dan dari yang saya ketemukan di sebagian besar masyarakat salah menafsirkan pengaruh tersebut menjadi pengaruh yang sama. Padahal berpengaruh disitu bukan berarti saya dan anda pasti memiliki output rasa yang sama.

Akan saya berikan sebuah contoh konkritnya:

Ospek di beberapa jurusan atau universitas di Indonesia masih menanamkan nilai

kekurangtepatan kekeluargaan yang satu ini. Kekurangtepatan diatas terjadi karena para panitia mengatasnamakan keprofesionalitasan dan kesenioritasan memang tidak mampu berbuat banyak terhadap ospek yang sudah menjadi tradisi turun menurun. Walau ospek zaman sekarang sudah berubah secara fisik, namun secara nilai moral masih tetap mempertahankan kesalahan yang saya jabarkan sebelumnya, yaitu definisi saya dan anda satu keluarga.

Dari ospek yang pernah saya lihat atau mungkin saya rasakan ada penyimpangan bahwa dalam sebuah ospek itu yang dibangun nilai kekeluargaannya ialah “satu rasa” bukan “relasi rasa”. Dimana para mahasiswa baru dituntut untuk merasakan beban bersama-sama saat mereka salah, dan mereka melakukan ketidaksiplinan. Apakah menurut anda itu salah?

Mungkin dari kalian akan menjawab, “Tidak, hal itu memang harus diajarkan ke mereka, karena mereka adalah satu bagian dalam ospek tersebut. Dan mereka harus merasakan ’hukuman’ untuk kesalahan mereka, walau hanya satu dua yang salah.”

Lebih lengkapnya lagi, para panitia biasanya memancing mahasiswa barunya untuk melakukan hal-hal yang menuju ke arah pemikiran yang sejalur dengan pernyataan di atas.

Dengan mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya menilai argument anda yang seperti itu tidak dapat dibenarkan dalam konteks kekeluargaan yang sebenarnya.

(3)

menanggung ‘hukuman’nya bersama. (mengapa saya menyebutnya sok pahlawan, karena dalam kehidupan sehari-harinya belum tentu ia menolong si salah itu. Dan mungkin maksud si

pembela itu menolong agar menjadi seseorang yang aktif saat waktu ospek atau makrab saja) Sebagai pihak yang tidak salah, saya tidak ingin hukuman itu juga dilimpahkan kepada saya. Dengan dasar apa saya harus juga menerima hukuman itu? Kekeluargaan?? Tidak ada dasar kekeluargaan yang bisa membuat saya menerima hukuman orang yang salah kepada saya yang dimisalkan sebagai pihak yang tidak salah. Mungkin kalau saya berdasarkan kepada nilai kekasihanan, dan nilai kesokpahlawanan, saya bisa saja melakukan hal itu.

Begini, saya analogikan dalam keluarga yang sebenarnya. Apakah seorang ayah yang mendapat tekanan di kantor, anaknya juga harus merasakan marah-marahan dan omelan bos ayahnya tersebut?? Apakah anaknya yang mendapat anaknya yang mendapat nilai jelek dan rapot jelek, ayahnya juga harus mendapatkan kinerja yang jelek di kantornya?? Tidak kan?? Apa anda mau tetap mempertahankan argument anda untuk yang bertahan bahwa konsep ospek sudah sedemikian benar ketika melihat analogi di atas.

Selama saya ospek saya pernah dipancing untuk seperti itu, tetapi apa yang saya lakukan? Saya tidak pernah merasakan hukuman teman-teman yang telah salah, dan saya hanya dapat berpura-pura sakit karena jika saya melawan pendapat sang panitia, mereka tetap mengerucut pada kesalahan fatal dalam penafsiran kekeluargaan yang ingin mereka sampaikan. Makanya lebih baik saya diam dan menyingkir dari medan kesalahan yang terjadi agar saya tidak menganut kekurang tepatan itu.

Mengapa hal kecil itu sedemikian penting bagi saya untuk dibahas? Pertama, yang ditekankan dalam ospek disitu memanglah sebuah nilai kecil namun sangat mengena untuk kehidupan mahasiswa tersebut sampai ia tua nanti. Hal itu dapat terlihat efek salah tafsir tersebut sudah membuat negeri ini rugi mental. Dari kenyataan yang terlihat, diketahui banyak beberapa pihak baik swasta maupun negeri yang saling melindungi dalam hal pajak.

Saya tidak akan menyebutkan oknumnya siapa, tetapi saya sudah melihat dari lika-liku perilaku beberapa perusahaan dan sandiwaranya dalam panggung politik dan pemerintahan. Jelas mereka menganut azas kekeluargaan yang hampir sama dengan azas kepentingan bersama yaitu, satu rasa. Mereka akan sama-sama senang, dan jika terkuak akan sama-sama berada di dalam keterpurukan bersama.. Tetapi karena mereka tidak mau mengalami keterpurukan bersama, mereka akan punya sifat lain yang keluar. Sifat apakah itu? Sifat saling melindungi antar anggota mereka. Yang diam-diam menyimpan semua borok dan perilaku menyimpang kalian agar mereka sama-sama tidak dirugikan suatu saat nanti. Itulah efek besar dari sebuah tindakan sederhana, salah tafsir arti kekeluargaan.

Solusi ke depannya:

(4)

bahwa keluarga itu ialah satu rasa, tetapi yang benar itu relasi rasa. Ketika dalam satu anggota keluarga pantas diberikan ‘hukuman’ atau tugas pertanggungjawaban, maka anggota lainnya tidak harus menanggung hukuman atau tugas pertanggungjawaban itu bersama. Melainkan harus memberitahu bagaimana mereka agar tidak mengulangi kesalahan yang telah

diperbuatnya, tanpa harus merasakan hal tersebut. Begitu juga kita yang dipihak salah, kita harus sadar dan lebih memperbaiki ke depannya. Sebab melalui kesalahan kita belajar banyak hal, dan tidak sepantasnya kesalahan yang sama diulangi terus menerus. Dan diharapkan melalui pemikiran yang sudah tepat, tidak ada lagi muncul pihak-pihak terkait yang siap mengubah azas kekeluargaan menjadi azas kepentingan.

2. Saling pengertian yang menghapus profesionalitas

Terkadang dari berbagai organisasi yang saya dalami, banyak juga organisasi yang didasari oleh azas kekeluargaan. Sungguh hebat, nyata, dan terasa memang, sampai-sampai saya merasakan salah duanya. (sebab saya sendiri mengikuti lebih dari tiga organisasi yang berbeda jenis). Azas kekeluargaan memang penting, dan yang paling utama dalam keorganisasian. Sebab organisasi yang berazaskan kekeluargaan akan menjadi lebih solid, dan kuat dibanding organisasi yang berdasarkan pada azas keprofesionalitasan. Tetapi memang ada beberapa kelemahan dasar dalam organisasi kekeluargaan yang ditemukan sepanjang kenyataan yang saya temukan.

Sebenarnya kekurangan itu berasal dari penyalahgunaan beberapa nilai kekeluargaan. Salah satunya ialah saling pengertian.

Saling pengertian dalam azas kekeluargaan adalah salah satu nilai yang paling sering

dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk disalahgunakan. (Saya juga secara tidak sadar pernah melakukannya)

Jika kita berorganisasi, jelas ada rasa saling pengertian yang muncul antar anggota keorganisasian. Tingkat saling pengertian seseorang itu sejalur dengan tingkat kesabaran

seseorang. Semakin sabar orang itu, maka semakin saling mengerti orang itu. Tetapi ingat, orang yang tidak sabar juga bisa memiliki tingkat saling pengertian yang tinggi juga. Asalkan dia

memiliki hubungan khusus atau relasi rasa yang telah kita bahas sebelumnya.

Namun tidak usah jauh-jauh mendalami apa saja yang bisa membuat saling mengerti. Langsung saja kita membahas tentang apa yang dimaksud dari penyalahgunaan yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Seseorang yang diberikan kepercayaan dalam organisasi satu, mungkin ia memiliki tugas yang lain. (dengan mengikuti organisasi lainnya, ataupun kerja sambilan) Ketika ada time crash dalam menagement waktu orang itu (time crash = munculnya dua pertemuan penting yang

(5)

dengan memiliki saling pengertian memberikan kesempatan orang tadi untuk datang telat alias menyusul, tentunya dengan syarat.

Ketika time crash itu berlangsung lebih dari satu kali, atau bahkan sering, organisasi yang tegas akan langsung memperingatkannya. Tetapi organisasi yang terlalu mengamalkan azas

kekeluargaan memberitahunya secara halus, dan mengajak secara persuasive orang tersebut. Namun orang tersebut malahan sering memanfaatkan saling pengertian yang diberikan organisasi yang berdasarkan azas kekeluargaan itu. Dan tidak sedikit saya melihat beberapa penyalahgunaan nilai ini dalam kehidupan real masyarakat.

Secara perlahan orang itu akan menghapuskan profesionalitas dia secara tidak langsung, dan lebih parahnya lagi jika organisasi itu tidak bisa lebih tegas karena takut kehilangan orang itu. Hal ini terjadi di beberapa organisasi memang, dan saya tidak secara langsung melihatnya. Contoh konkritnya:

Dalam beberapa organisasi di Indonesia pada umumnya, masih banyak yang mengalami

keterlambatan waktu mulai rapat/pertemuan. Masih belum tertanamnya budaya “tepat waktu. Karena kebanyakan organisasi masih berdasarkan pada budaya jam karet.

Solusi:

Saya kira butuh ketegasan demi keseimbangan keprofesionalitasan dan kekeluargaan. Terutama dengan membudayakan tepat waktu. Budaya tepat waktu sebenarnya dapat dibangun dengan memberikan denda/potongan jika telat. Hal itu dapat mengurangi jumlah oknum yang telat, dan membudayakan tepat waktu.

Masalah ini mungkin sepele, tetapi efeknya juga demikian besar jika kita ambil contoh penyalahgunaan ini di tingkat yang lebih luas. Misalkan dalam merencanakan sebuah proyek, segala keterlambatan pertemuan akan menyebabkan semangat/kinerja para pekerjanya turun sekitar 30%. Hal itu dapat membuat proyek itu berjalan dengan lambat dan dikira bahwa proyek itu bukanlah hal yang serius. Jika proyek itu terhenti atau terlambat, banyak hal yang

berpengaruh khususnya proyek-proyek besar yang mencangkup hajat hidup orang banyak.

3. Pembelaan yang salah kaprah sehingga munculnya premanisme

Dalam kekeluargaan memang akan muncul sebuah sikap saling mengeratkan genggaman tangan. Artinya dengan berjalannya waktu kita akan terbiasa untuk saling tolong menolong, dan melindungi satu sama lain. Namun apakah kita menyadari bahwa saling melindungi dan saling menolong itu bisa bernilai buruk?

(6)

Sebenarnya pembelaan salah kaprah adalah salah satu perluasan dari salah definisi

kekeluargaan yang dibahas pada poin pertama. Jika dikombinasikan dengan tingkat emosional yang tinggi, maka dapat mudah muncul pembelaan yang salah kaprah.

Pembelaan yang salah kaprah memiliki artian yaitu pembelaan terhadap objek yang belum tentu ia benar/salah namun tetap dibela dengan alasan bahwa mereka satu keluarga/komunitas. Hal itu dapat terlihat jelas diberbagai belahan dunia, bahwa ada pembelaan-pembelaan yang salah hanya demi kepentingan (padahal ia mengatasnamakan kekeluargaan)

Jika ditinjau asal muasalnya, pembelaan salah kaprah sudah ditanamkan di dalam pengenalan lingkungan. (contoh: ospek, makrab, atau bertemu salah satu “preman” berbaju rapi)

Hal itu tergantung pada si subyek yang belajar disana, apakah ia menyadari adanya hal tersebut atau tidak.

Dalam contoh konkrit lingkup kemahasiswaan/mahasiswa begini:

Dalam ospek atau mos di universitas atau sekolah, sering kali dikerucutkan untuk mengajarkan kekeluargaan. Namun beberapa diantaranya masih menganut kekeluargaan yang kurang tepat yaitu satu rasa (seperti yang telah dibahas pada point pertama). Dan dengan beberapa panitia ospek masih menanamkan nilai tersebut, panitia pasti akan memancing peserta untuk menjadi tokoh-tokoh yang kritis namun malahan menjadi tokoh-tokoh yang sok pahlawan.

Tokoh-tokoh itu nantinya akan membela teman-teman mereka yang salah dengan

mengatasnamakan kekeluargaan (yang salah). Jelas hal ini terlihat sepele memang tetapi apa dampak ke depannya?

Ya salah satu dampaknya ialah munculnya sebuah koorporasi gelap yang terselubung antara pejabat-pejabat yang menyatakan diri mereka satu keluarga besar. Misalkan ada sebuah

koorporasi koruptor, mereka sudah membangun koorporasi itu dari akar yang paling dalam. Dan dengan kekuatan kekeluargaan yang salah ini, mereka benar-benar menjadi kokoh sekokoh karang raksasa di sepanjang Australia utara.

Susah untuk membongkar sindikat hal itu karena mereka sudah menganut kekeluargaan yang salah, yaitu satu rasa. Satu tertangkap, terbongkar semua. Maka dari itu mereka menyimpan perkara mereka masing-masing dan tidak membocorkan satu sama lain sehingga tercipta sebuah sistem koorporasi yang kuat.

(7)

Hal ini tampak terjadi di Indonesia saat ini. Dan saya telah mencari banyak informan bahwa banyak sekali kasus besar seperti ini terjadi di lingkup-lingkup yang sederhana sekalipun. Misalkan sederhananya saja, ada teman geng kita yang salah dengan berkelahi sama seseorang karena diejek. Sebenarnya kita secara emosional langsung bertanya: “SIAPA ORANGNYA? DIMANA DIA?” lalu kita bertemu orangnya dan membalasnya.

Itu salah satu kesalahan utama kita. Kita membela berdasarkan kekeluargaan yang salah. Kita tidak melihat runtutannya, dan hanya berpikir secara emosional. Coba jika kita dibuat lebih sabar, dan berpikir jernih pasti kita akan mencari tahu bagaimana jalan cerita, sebab-akibat, dan solusi yang tepat yang lebih persuasive. Itu baru namanya kekeluargaan yang sebenarnya. Tetapi yang sering terjadi ialah hampir semua manusia berpikir pakai emosi bukan

menggunakan otak. Padahal kita tahu bahwa emosi tidak bisa membuat kita berpikir sebenarnya. Dan malah menimbulkan saling benci, gap, atau bahkan perang.

Juga sebenarnya pemikiran kekeluargaan yang salah ini adalah dasar dari premanisme

dimanapun. Muncul banyak preman dimana-mana, baik yang memakai seragam putih merah, putih biru, putih abu-abu, seragam kuliah, atau yang berseragam kerah putih sekali pun. Mereka preman-preman yang mereka sendiri tidak sadari.

Solusi:

Melihat problematika yang ada dalam pengenalan lingkungan memang kita tidak bisa

menghentikan apa yang sudah menjadi scenario pengenalan tersebut. Kita hanya bisa menjadi penonton, dan pengevaluasi untuk ke depannya.

Biarlah teman kita yang bersalah itu menerima hukuman/sangsi yang sepatutnya ia tempuh, kita akan salah jika membela mereka yang salah. Contoh pada kasus narkoba di kalangan artis, dewan perwakilan rakyat pun dengan “bodoh”nya mau meladeni kasus murah seperti itu karena adanya pembelaan yang berlebihan dari teman-teman artis yang mungkin berkecimpung juga di dunia politik.

Selain membuang waktu, energi, dan kebenaran kita telah membuang prinsip juga yang bernama kekeluargaan. Enyahlah kekeluargaan itu dalam diri kita, sebab tergantikan dengan yang namanya KEBERSAMAAN. Kebersamaan ialah sekelompok orang yang dalam kondisi apapun baik memiliki relasi yang baik atau kurang baik tetapi dalam kondisi yang serupa akan bertingkah laku saling membantu dan berbagi rasa bersama.

Sebelum terjadinya degradasi prinsip yang kita pegang itu, diharapkan dari pengenalan lingkungan (perlahan namun pasti) harus dihapuskannya pembelaan-pembelaan yang

(8)

Dan untuk emosi, lebih baik dijaga agar emosi itu tidak menutup jalan berpikir kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Mohon diselesaikan secara runtut, matang, dan persuasive jika ada problematika yang kompeks dan berlarut. Seandainya teman kita bersalah sebaiknya biarkanlah dia menerima sangsi, namun kita tidak boleh meninggalkannya. Sebagai sahabatnya kita harus membuatnya tetap semangat, mau berubah ke arah yang benar dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Sebab dengan semua itu kita menyadari akan adanya benih-benih masa depan yang tidak ada lagi premanisme (pembodohan idealisme terhadap prinsip kekeluargaan), dan perdamaian yang sebenarnya lebih terasa.

4. Pembagian zona nyaman yang salah

Terkadang kita berpikir bahwa comfort zone adalah bagian yang penting dari kehidupan sosialita manusia pada umumnya. Mereka menganggap pada zona inilah mereka dapat bebas

berekspresi, berkreasi, dan memaksimalkan potensi diri yang ada. Mereka mengkritik secara kritis, tetapi kritik yang membenahi dan membangun bukan untuk menjatuhkan. Mereka akan saling berjuang satu sama lain atas nama profesionalitas juga, dan bersaing secara sehat dalam organisasi yang berazaskan kekeluargaan.

Tetapi apa yang terjadi jika orang itu tidak lagi di daerah kekuasaan nyamannya. Apakah dia berani memaksimalkan potensi diri, dan mengkritisasi segala halnya yang ada? (ingat:

mengkritisasi sesuatu disini berarti dalam konteks membenahi, membangun, atau melengkapi ide/gagasan seseorang)

Jujur ada sebuah contoh yang tak sengaja contoh ini kualami langsung. Contoh ini dilihat dari konteks kejadianku saat masuk sebuah organisasi internasional. Aku baru disana dan tidak lama berkecimpung disana ada sebuah tawaran konferensi nasional. Dalam konferensi itu grafiknya hampir mendekati grafik distribusi kumulatif gamma standard (mendekati eksponensial terbalik dalam buku Prinsip Prinsi Statistik untuk Teknik dan Sains tulisan Dr. Ir. Harinaldi, M.Eng.). Acara hari pertama sangat spektakuler karena bertepatan dengan SUMPAH PEMUDA. Hari

kedua turun, dan semakin tak sesuai jadwal. Hari ketiga lebih tidak karuan lagi lagi, hingga kami berlarut tidurnya dan hanya sempat tidur 3 jam SAJA! Lalu pada hari keempat kami kelaparan selama lebih dari 10 jam, dan sempat ada teman kami yang meminum air wastafel kamar mandi hanya demi merasakan segarnya tetesan air.

Ini bukan zona nyamanku. Aku baru. Aku masih anak ayam di organisasi ini. Aku masih tak berarti, tetapi saat Evaluasi dari ketua organisasiku untuk acara hari keempat itu, aku geram bukan kepalang dan mengkritik segala halnya. Tanpa kurang sedikit pun!

(9)

baru ikut konferensi nasional yang seharusnya tak perlu ikut konferensi semacam ini. (semacam pecundang). Apakah dengan aku bersifat seperti pecundang yang lemah terhadap kekerasan konferensi ini akan kehilangan rasa kekeluargaan jika aku mengkritisasi mereka? Dalam artian begini: Jika aku bersifat kritis itu berarti aku bukanlah teman mereka, atau keluarga mereka. Atau mungkin pikiranku membawaku pada bisa jadi aku ini dianggap sebagai musuh oleh mereka, dan aku tidak ada sama sekali kekeluargaannya. Apakah aku akan pasrah dengan zona nyamanku sebagai pemula disini? Tidak!

Dengan aku mengkritisasi mereka yang baru mengenalku, aku tidak merasa dipihak musuh mereka. Aku membantu mereka sebagaimana adik yang jika kakaknya mendapat nilai nol memberitahu kakaknya untuk tidak main game terus agar bisa dapat nilai bagus. Aku membantu sebagaimana adik jika kakaknya ini telah mencopet dan aku menyuruhnya mengembalikan dompet itu kepada yang punya.

Solusi:

Kritis. Suatu kata yang tidak bisa kita perbuat jika kita diluar zona nyaman dengan alasan membangun persahabatan awal. Padahal yang terjadi sebaliknya. Jika kita memegang azas kekeluargaan harusnya kita berpikir kritis dan mengkritisasi segala hal yang perlu dikritisasi. Hal itu demi kita berkembang ke arah yang lebih baik secara bersama-sama.

Beranilah kritis di bukan zona nyaman kita jika itu menyangkut diri kita dan segenap orang yang ada di sekitar kita. Jangan bersikap tak acuh, karena dengan begitu kita justru menghilangkan kekeluargaan kita. Kurangi pembicaraan permasalahan ini, dalam artian di belakang, (kita tidak memberi tahu pihak yang bersangkutan tetapi mengumbar kelemahan acara mereka di

belakang). Justru itulah pecundang yang sebenarnya.

Lebih baik saat dikasih waktu evaluasi mengenai acara itu kita langsung memberitahu apa saja segalanya yang patut diperbaiki. Atau tidak ada waktu, mintalah waktu untuk berbagi bersama dengan cara sebaik-baiknya dengan orang tersebut. Kritis boleh tetapi dengan cara yang sepatutnya, dan jauhi celaan. Contohnya pada saat saya bercerita salah satu contoh tadi, saya berusaha tidak mencela, saya hanya menceritakan akan apa yang terjadi. Seandainya saya mencela mereka, justru saya menghapus azas kekeluargaan antar kita yang telah dibangun. Azas yang faktual, saling mengkritis, dan membenahi, bukan mencela.

5. Perilaku ketergantungan yang akut

Jujur saya disini melihat bahwa ketergantungan terjadi sebagaimana mestinya di manusia. Saya kira saat belajar dalam perihal biologi, parasitisme hanya terjadi pada mahkluk yang tercipta untuk menjadi benalu, tetapi dalam sosialita manusia ternyata ada juga. Terlebih dalam organisasi/(keluarga?).

(10)

bantuan/pertolongan itu kita terdegradasi kastanya dari manusia menjadi benalu berwujud manusia? (Saya mohon maaf jika terlalu kasar membahasakan benalu berwujud manusia, tetapi itulah kata-kata yang paling berpenghargaan tinggi dan sopan untuk orang-orang yang seperti itu). Jawabannya ialah JANGAN MAU! Tetapi pada kenyataan banyak dari kita (mungkin termasuk saya) yang terlena akan kenikmatan sementara dan terdegradasi sedemikian rupa tanpa kita sadari.

BIar tidak terlalu membingungkan, lebih baik saya jabarkan dalam contoh begini (cerita ini tidak ada kaitan dengan pengalaman saya. Ini hanya contoh belaka):

Ada seorang di sebuah organisasi. DIa bekerja sebagai koordinator yang rajin. Tetapi dari

kerajinannya itu dia telah mengajak teman setimnya (saya tidak menyebut staf karena itu terlalu kasar untuk organisasi mahasiswa) untuk mencari sebuah sponsor. Tetapi teman setimnya itu telah melihat koornya itu telah rajin mencari sehingga mereka bersantai dan meninggalkan semuanya kepada koornya itu. Sedangkan dianya malah tidak berusaha mencari karena dia berpikir, “ah, koornya sudah kerja..”

Tetapi ada suatu kasus dari sebuah organisasi yang tanpa sengaja saya pantau perkembangannya. Kasus ini berlawanan dengan kasus diatas.

Ada seorang di sebuah organisasi. Hanya menjabat sebagai tim biasa, bukan koor. Dia melihat koornya telah mencari sponsor 5 buah. Dia tidak mau kalah. Dia berjuang untuk mendapatkan 7 sponsor. Temannya melihatnya, dia sedikit memamerkan apa yang dia dapat lalu bertanya dengan sopan kepada teman setimnya yang belum bekerja: Apa yang telah kamu dapat untuk sponsor organisasi ini? Apa kamu akan bangga dengan dirimu melihati diriku yang sedang berjuang mengalahkan koorku sendiri, sedangkan kamu tidak berbuat apa-apa? (Begitulah pertanyaan sopannya, dalam kenyataannya sikap saling memamerkan dan menunjukkan keprofesionalitasan menjadi acuan dasar organsisasi ini). Dan teman yang diberitahunya itu pun menjadi tak mau tinggal diam dan terpacu untuk meraih lebih dari 7 sponsor.

Apa yang berbeda dari dua kasus itu? Parasitisme. Ya, hal itulah yang membedakan keduanya. Di kasus pertama terjadi, sedangkan di kasus kedua tidak terjadi. Saya sangat yakin akan adanya latar belakang yang berbeda dalam mereka berdua. Pertanyaan sederhana untuk memacu kita ialah begini: Dimanakah letak posisi organisasi kita berada, di kasus pertamakah atau dikedua? Bercobalah dengan interopeksi bersama dalam satu organisasi atau mungkin lingkup

department untuk mengetahui letak jati diri organisasi kita ada dimana.

Dalam kekeluargaan sering terjadi hal tersebut, dalam pemikiran sederhananya dapat

diwakilkan dengan keluarga kita. Yang menyapu itu selalu ibu dalam konteks umum, (pasti ada yang berpikir “Tidak, bukan ibu! Pembantu saya kok!” *Sekedar intermesso*), yang bekerja itu selalu bapak, yang bersekolah dan bertekun belajar itu anak. Tetapi apa tidak boleh

(11)

Runtuhnya kekontinuitasan peran itu bisa terjadi saat si lakon itu jatuh sakit, atau berhalangan dan lainnya. Apa yang kita harus lakukan dalam keluarga kita? Apakah kita biarkan diri kita tidak menyapu jika ibu sakit berhari-hari? Tidak, kan? Pasti ada saat ayah menyapu tetapi ada saat kita menyapu. Saat ayah di PHK atau pension, apakah ibu tinggal diam? Tidak dia pasti akan bekerja dan berusaha menyelesaikan masalah. Itu normalnya.

Tetapi jika kekeluargaan dijiwai dalam sebuah organisasi tidak akan sesimpel itu masalahnya. Tidak hanya ada tiga peran saja disana. Tidak hanya ada ibu bapak dan anak. Tetapi melainkan, aku, kamu, dia, mereka, kita, kami, dan kalian. DIsana terdiri dari ragam variasi peran yang tidak sama. Jangan salah jika ketergantungan itu malah dinikmati oleh kita atau segelintir dari kita. Dalam contoh kompleks INDONESIA. BBM naik semua rakyat dari sabang sampai merauke memberontak berkoar-koar akan kenaikannya. Padahal BBM di indo, adalah BBM termurah sepanjang sejarah manusia karena disubsidi dari pemerintah. Ini adalah contoh dari

ketergantungan rakyat yang sudah AKUT, dan sudah mendarah-daging dalam jiwa mereka. Susah untuk memusnahkan sesuatu yang sudah membudaya kuat. Dan itu salah satu contoh besar dari sebuah organisasi yang bernama negara Indonesia yang telah mengalami salah satu efek kekeluargaan yang salah.

Solusi:

Terkadang menerima pertolongan terus menerus juga tidak baik, dan sering menimbulkan ketergantungan. Ketergantungan juga akan melahirkan bayi-bayi kemalasan, kenikmatan berlarut, dan sikap tak acuh.

Terkadang jua, sikap tidak mau kalah, sikap saling mengingatkan diri dengan memamerkan itu diperlukan tetapi harus dalam kadar yang cukup dan tidak berlebihan. Jika berkadar cukup, sikap tidak mau kalah akan melahirkan bayi-bayi kemandirian, sikap daya saing yang tinggi, dan sebagainya.

Sebenarnya, kita jangan sampai memanfaatkan saling tolong menolong dalam kekeluargaan sebagai alasan untuk diam atau menikmati ketergantungan. Kita harus menunjukan

keprofesionalitasan kita dalam sebuah organisasi melalui daya saing, dan saling unjuk gigi. Berikan segala sesuatunya maksimal, sehingga jangan kalah dengan segala sesuatu yang maksimal dari orang lain. Tetapi ingat, jangan menjatuhkan orang yang sudah berusaha keras, tetap menghargai, mengapresiasi atas apa yang telah mereka berikan, dan kroscek terhadap diri kita apa yang telah kita perbuat, apakah sudah lebih darinya atau belum. Jangan sampai

menjadikan diri teman setim kita dalam organisasi itu benalu, dan diri kita juga. 6. Posisi dan hubungan khusus dalam keluargaan dan relasinya dengan profesionalitasan

(12)

Siapa bilang keprofesionalitasan itu selalu bertolak belakang dalam kekeluargaan. Tidak juga. Dalam kadar tertentu dan arah yang tepat kita bisa menyelaraskan keduanya dalam sebuah konsep yang justru mendekati sempurna dalam sebuah organisasi. Tetapi sayang tidak semudah itu untuk membuat kedua elemen ini selaras.

Seperti yang telah saya bilang bahwa profesionalitas itu air dan api untuk azas kekeluargaan. Dalam artian air, berarti ia bisa mengalir bersamaan dan memberikan kesegaran bagi azas kekeluargaan itu. Lebih konkritnya lagi, jika kita tahu pembagian suatu kadar kapan harus professional, dan kapan harus bertindak seperti keluarga, keduanya akan tercipta seperti itu. Sebuah organisasi itu terdiri dari individu yang beragam latar belakang, dan masalah yang dihadapinya. Justru itu yang menjadikan air dari keprofesionalitasan. Dalam bekerja, semua harus sesuai dengan elemen profesionalitasnya masing-masing. Sedangkan dalam konteks untuk mendekatkan relasi dalam hubungan, kita juga perlu mempertahankan azas kekeluargaan, tetapi jangan menyalahgunakannya seperti lima point sebelumnya yang menggambarkan penyimpangan nilai-nilai kekeluargaan.

Dalam artian begini, dalam sebuah organisasi tidak harus melulu kita membahas program kerja. Ada waktu dimana saat di luar kerja/rapat kita itu kita harus meningkatkan relasi antar individu yang ada di organisasi itu dengan mungkin makan bersama, sharing bersama, jalan-jalan bersama, refreshing bersama. Itu jika dilihat dari sisi dimana kita bisa meningkatkan nilai kekeluargaan dari sisi eksternal (diuar konteks kerja), justru pada masa-masa sulit saat bekerja dan saling menunjukkan keprofesionalitasan kita, kita membangun kekeluargaan secara sisi internal (dalam konteks kerja).

Jika dilihat dari sisi apinya, profesinolitas itu bisa jadi api dalam dua jenis yaitu:

a. Menunjukkan keprofesionalitasan kita, kita menjauhkan azas kekeluargaan. Pada contoh hal seperti ini:

Dalam sebuah organisasi ada seorang yang bekerja secara professional. Dia bekerja dalam ranah kerjanya dengan sangat baik dan selesai. Lalu dia melihat temannya yang belum selesai, dia malah tidak membantu karena alasan demi menjaga profesionalitas dan responsibilitas orang yang pekerjaannya belum selesai tersebut. Hal ini baik sebenarnya, tetapi setidaknya untuk tidak menghilangkan azas kekeluargaan orang yang selesai itu menanyai apakah si orang yang belum selesai itu mengalami kesulitan, apakah dia memiliki halangan dalam suatu konteks tertentu, dan seandainya membantu, jangan sampai membantu seratus persen. Jika mau secara kuantitatif bantulah sekitar 30%nya paling banyak, sisanya biar dia saja. Karena dia juga harus meningkatkan responsibilitas terhadap kerjanya. (untuk menghindari ketergantungan) b. Dalam kasus kedua ialah jangan sampai kita menunjukkan kekeluargaan kita, dan

(13)

Dalam sebuah organisasi ada seseorang yang tidak mau menerima jabatan tinggi suatu acara. Lalu saat seiring dengan berjalannya waktu dia sangat tidak bertanggung jawab, dan

meninggalkan semua pekerjaannya. Seseorang yang memiliki peran lebih penting melihatnya dan ini sebuah masalah. Tetapi sayang karena lain satu hal, ternyata si orang peran penting menimpakan tugasnya ke orang lain tanpa memberitahu/membujuk orang yang tak peduli itu. Ditambah orang itu ada hubungan relasi yang baik sehingga orang yang lari itu tidak mampu diberi sangsi yang tegas dari tindakannya yang merugikan acara itu. Itu salah dan mungkin saja terjadi di sebuah organisasi.

Solusi:

Berkaca dari dua kasus diatas, jangan sampai kita tebang pilih dalam dua elemen itu. Sebab jika kita menebang pilih kita akan mendapatkan efek api dari profesionalitas itu sendiri. Sedangkan jika kita melakukan atau menjadikan profesionalitas itu air, dan sarana persaingan sehat, saya yakin sebuah organisasi itu menjadi sesuatu yang besar dan dapat tumbuh sebagaimana mestinya.

Referensi

Dokumen terkait

mendayagunakan zakat secara produktif sebagai pemberian modal usaha yang tujuannya adalah supaya zakat tersebut dapat berkembang. Zakat didayagunakan dalam rangka

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perubahan penggunaan lahan di DAS Mamasa pada periode tahun 2000- 2014, Memperoleh besarnya laju erosi yang terjadi di

Seperti pada siklus pertama akumulasi yang diperoleh yaitu 32,5% persentase tersebut menujukan kategori nilai yang sangat kurang, namun kenaikan yang sangat

Menentukan kondisi operasi yang optimal (daya microwave , lama waktu ekstraksi, dan rasio antara bahan baku yang akan diekstrak dengan pelarut yang digunakan) dari

Tidak adanya kebijakan perusahaan terkait penggunaan internet di tempat kerja dengan kombinasi kebijakan lain (membawa perangkat keras pribadi dan cara kerja baru) yang ada

Oleh karena p-value = 0,011 < α (0,05), maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara mekanika tubuh (body mekanik) dengan nyeri punggung pada ibu

ubudiyahnya kepada Allah subhanahu.. wa ta’ala membebaskannya dari kufur dan syirik. Inilah amal yang utama dan selainnya berada di bawahnya dalam keutamaan di sisi Allah

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi akhir zaman, yang telah mendapatkan mukjizat paling besar dan menjadi pembuka pintu surga, yaitu nabi besar kita Muhammad