• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polimorfisme Gen Ferroportin FPN1 Q248H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Polimorfisme Gen Ferroportin FPN1 Q248H"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Polimorfisme Gen Ferroportin (

FPN1

) Q248H dan Karakteristik Sosial

Ekonomi Ibu Hamil dengan Anemia

di Surakarta

Nor Istiqomah

1

, Vitria Sari Dewi

2

,

Arta Farmawati

3

, Ahmad Hamim Sadewa

4

, Yuliana Heri

Soesilo

5

,

Kusumadewi Eka Damayanti

6

, Dono Indarto

7

(1) Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pekalongan

(2,3,4) Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

(5,6,7) Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret

email: noristiqomah@gmail.com

ABSTRACT

Background: Iron deficiency anemia in pregnancy remains an important health problem in Indonesia. Ferroportin (FPN1) is one of important gene in iron metabolism encodes ferroportin for iron absorption, release, and recycle inside the body. The polymorphism of FPN1 Q248H alters negative charge of the amino acid sequence positively, hence influenced its ubiquitination and degradation. Beside of that, the high prevalence of anemia not only caused by genetics, nutrition, physiology of each pregant women, but also demographic factor and sosio-economic burden of family. This research will study the polymorphism of ferroportin Q248H and demographic character in pregnant women in Surakarta.

Methods: The study using descriptive analytic case-control approach. The data used were from questionaire and blood sampling whose counted for screening anemia in private laboratorium. Pregnant women who had intention and had 10-25 week in pregnant were selected to be research subject. FPN1 Q248H polymorphism were determined using PCR-RFLP method. Analysis Chi-square dan Independent t-test used to conclude the relationship between each variable to anemic state of pregnant women in Surakarta. A p< 0.05 was considered as significant. The study using decriptive analytic design method.

Results: Prevalence of anemia in Surakarta is 25.7% with 80.7% have mild anemia. There was no varian in FPN1 Q248H. Majority of pregnant women in group of anaemia have demographic character like 20-25 old, multigravid, last education in High School, housewife, their income range from Rp 500.000,00 to Rp 1.000.000,00, and consume Fe tablet. The bivariat analysis show no statistical significancy of parity, maternal age, education, income, and comsumption of iron tablet to state of anaemia (p> 0.05).

Conclusions: The FPN1 Q248H polymorphism was not a risk factor for iron deficiency anemia in pregnant women, likewise socio-economic factors had no significant role to incidence of anemia in Surakarta.

Keywords: Anemia in pregnancy, Ferroportin (FPN1) Q248H polymorphism, Socio-Economic

PENDAHULUAN

Anemia masih menjadi problematika kesehatan di negara berkembang maupun negara maju. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001 35-75% perempuan di negara berkembang dan 18% perempuan di negara maju mengalami anemia pada masa kehamilan. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001 menyebutkan prevalensi anemia ibu hamil berturut-turut sebesar 50,9% dan 40,1%, dan

pada tahun 2007 dalam laporan riset kesehatan dasar telah turun menjadi 24,5% (Atmarita, 2005). Namun pada tahun 2008 WHO melaporkan prevalensi anemia ibu hamil mencapai 41,8% di dunia, dan 44,3% di Indonesia.

(2)

meningkatkan kadar hemoglobin secara tepat. Meskipun demikian, data masih menunjukkan terdapat 20 propinsi di Indonesia yang memiliki angka prevalensi anemia defisiensi besi (ADB) lebih besar dibandingkan angka prevalensi nasional (50,9%) tahun 2007, termasuk propinsi Jawa Tengah dengan angka prevalensi ADB pada ibu hamil 57,7%, sementara prevalensi ADB pada ibu hamil di kota Surakarta mencapai 53,4% (Depkes RI, 2008). Fakta ini masih menunjukkan bahwa peningkatan angka cakupan suplementasi besi belum sejalan dengan penurunan prevalensi ADB pada ibu hamil.

Defisiensi besi menunjukkan adanya gangguan dalam homeostasis besi. Ferroportin merupakan protein transporter yang penting untuk homeostasis besi, konsentrasi besi plasma, dan distribusi besi di jaringan (Bowers dkk, 2011). Ferroportin diekspresikan pada permukaan enterosit, hepatosit, dan jaringan makrofag. Jika ferroportin berinteraksi dengan hepcidin maka akan menyebabkan fosforilasi, internalisasi, dan degradasi oleh lisosom. Ekspresi ferroportin yang rendah mereduksi absorpsi besi di usus, sehingga level besi dalam sel enterosit tinggi; menurunkan pelepasan besi dari liver, sehingga kadar besi dalam liver tinggi; dan mencegah recycle besi oleh makrofag jaringan (Nemeth dkk, 2010)

Bentuk polimorfisme G744T (Q248H) menyebabkan perubahan glutamin menjadi histidin pada posisi 248 yang dimungkinkan merubah seluruh muatan negatif sekuen asam amino 240EEETELKQLNLHK253 menjadi lebih positif, yang mempengaruhi ubikuitinasi dan degradasi ferroportin (Cui dkk, 2009;

Schimanski dkk, 2005). Pada studi secara in vitro telah dibuktikan terjadinya peningkatan ekspresi ferroportin pada sel 293T yang mengalami polimorfisme Q248H dengan paparan konsentrasi hepcidin 0,01 dan 0,03 µM, namun ekspresi ferroportin turun pada pemberian hepcidin 0,1µM (Nekhai dkk, 2012; Xu dkk, 2009) Penurunan ekspresi ferroportin menyebabkan gangguan ekspor besi menuju sumsum tulang belakang untuk eritropoiesis. Akibat lebih lanjut dapat terjadi penurunan jumlah eritrosit atau terjadinya anemia.

(3)

Pada penelitian ini ingin diketahui profil genetik polimorfisme FPN1 Q248H pada ibu hamil dengan anemia serta karakteristik sosio-ekonomi untuk mendapatkan gambaran umum anemia ibu hamil di Kota Surakarta.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah analitik kategorik bersifat case control. Pemilihan subyek penelitian berdasarkan kriteria inklusi usia ibu hamil 18-35 tahun, dengan usia kehamilan 10-25 minggu. Subyek keluar (dieksklusi) jika secara bersamaan menderita penyakit kronis (tuberkulosis (TB paru), diabetes mellitus (DM), malaria, jantung, hepatitis) atau penyakit yang mengganggu eritropoesis dan memiliki kadar Hb≤ 7g/dL (anemia berat).

Perhitungan sampel penelitian dihitung dengan rumus penentuan proporsi deksriptif kategorik dengan tingkat kemaknaan (Zα) sebesar 1,96, nilai P dari penelitian sebelumnya sebesar 0,4, sehingga nilai Q sebesar 0,6. Berdasarkan rumus tersebut didapatkan n = 92 ~ 101 ibu hamil. Sebanyak 26 ibu hamil anemia (kasus), dan 75 ibu hamil tidak anemia (kontrol).

Pengelompokan kasus (ibu hamil anemia) dan kontrol (ibu hamil tidak anemia) berdasarkan skrining hemoglobin metode sianmethemoglobin. Kriteria kadar Hb<11 g/dL untuk ibu hamil anemia dan kadar Hb≥11 g/dL untuk ibu hamil tidak anemia (WHO, 2008). Subyek penelitian diambil dari 7 puskesmas di daerah Surakarta, yaitu puskesmas Banyuanyar, Sibela, Krembyongan,

Gambirsari, Ngoresan, Sangkrah, dan Pucangsawit. Sebanyak 101 ibu hamil diambil darah venanya sebanyak 10 ml, digunakan untuk pengukuran kadar hemoglobin (metode

sianmethemoglobin) dan indeks eritrosit, serta analisis DNA (metode PCR-RFLP). Selain itu data sosial ekonomi juga dikumpulkan dengan metode kuisioner.

DNA genom diisolasi dari sampel darah dengan menggunakan kit isolasi Promega®. Selanjutnya DNA genom diamplifikasi dengan menggunakan kit Master Mix Go Taq Green Promega®. Analisis FPN1

Q248H menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length

Polymorphism (PCR-RFLP) dengan primer

forward: 5'-CAT CGC CTG TGG CTT TAT TT-3' dan primer reverse: 5'-GCT CAC ATC AAG GAA GAG GG-3' (Kasvosve dkk, 2005). Setelah denaturasi pada 94oC selama 3 menit, amplifikasi PCR menggunakan 5 siklus: denaturasi pada 94oC (45 detik), annealing

pada 56oC (45 detik), dan ekstensi pada 68oC (45 detik). Kemudian dilanjutkan dengan 25 siklus: denaturasi pada 94oC (45 detik),

annealing pada 52oC (45 detik), dan ekstensi pada 68oC (45 detik). Selanjutnya final ekstensi 15 menit pada 68oC dalam thermal cycler 9600 (Esco). Produk PCR sepanjang 392 bp kemudian dipotong dengan enzim

(4)

HASIL

1. Distribusi alel dan genotip

Hasil PCR-RFLP gen FPN1 Q248H diperoleh gambaran genotip dan alel subyek. Produk PCR yang dihasilkan memiliki ukuran 392 bp seperti gambar 1 dan 2 setelah didigesti dengan PvuII.

Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR gen

FPN1 Q248H sampel no. 13, 16, 29, 31, 34, 35, 36, 41, 44, 50, 73, 87, 88, 100, 104, 119. M = marker.

Prduk PCR 392 bp.

Gambar 2. Hasil PCR-RFLP polimorfisme FPN1

Q248H sampel no. 13, 16, 29, 31, 34, 35, 36, 41, 44, 50, 73, 87, 88, 100, 104, 119. M = marker. Enzim restriksi untuk exon 6 PCR yaitu PvuII. Genotip GG menunjukkan 252 dan 140 bp. GG=wild type, GT=mutasi heterozigot, TT=mutasi

homozigot

Pada perhitungan frekuensi genotip

FPN1 Q248H ditemukan 100% subyek memiliki genotip GG atau tidak terjadi variasi genotip. Sedangkan analisis deskriptif untuk prevalensi anemia dan jenis anemia yang diderita ibu hamil seperti tabel berikut.

Tabel 1. Prevalensi Anemia di Puskemas Kota Surakarta (n=101)

Status Anemia n %

Anemia 26 25,7

Tidak anemia 75 74,3

Jumlah 101 100

Secara umum, prevalensi anemia ibu hamil di Kota Surakarta sebesar 25,7%. Selanjutnya dari hasil pengukuran hemoglobin 101 ibu hamil didapatkan rerata hemoglobin sebesar 11,6±1,0 g/dl dengan nilai terendah 9,5 g/dl dan nilai tertinggi 13,7 g/dl. Rerata hemoglobin untuk 26 ibu hamil yang menderita anemia adalah 10,3±0,4 g/dl. Semua ibu hamil yang mengalami anemia termasuk dalam klasifikasi anemia ringan dan sedang menurut WHO. Dari Tabel 2 terlihat sebagian besar anemia yang diderita ibu hamil adalah anemia normositik normokromik (69,2%).

Tabel 2. Jenis anemia yang diderita ibu hamil di Puskesmas-Puskesmas Kota Surakarta

Jenis Anemia N %

normositik normokromik 18 69,2 mikrositik normokromik 2 7,7

mikrositik hipokromik 6 23,1 Jumlah 26 100

2. Karakteristik ibu hamil anemia di Kota

Surakarta

Karakteristik ibu hamil meliputi usia ibu, usia kehamilan, paritas, dan riwayat kehamilan terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Ibu Hamil di

Puskesmas-Puskesmas Kota Surakarta

Karakteristik Ibu

Anemia

Tidak Anemia

(5)

20-25 tahun 9 45,0 14 26,9

Beberapa variabel seperti usia ibu, paritas, pendidikan, pendapatan, dan terapi besi oral selanjutnya dianalisis statistik untuk mengetahui perbedaan antara kelompok anemia dan tidak anemia (Tabel 4 dan Tabel 5).

Tabel 4. Hasil Uji Independent T-Test antara Status Anemia dengan Usia Ibu

Variabel Rerata±s.b∞ IK 95% p Anemia Tidak Anemia

(6)

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, tidak ditemukan individu dengan polimorfisme Q248H. Penelitian sebelumnya menemukan distribusi polimorfisme FPN1 Q248H pada populasi sub-Sahara, Afrika, dan tidak ditemukan pada populasi Kaukasia (Barton dkk, 2007). Frekuensi paling tinggi ditemukan pada populasi asli Afrika yaitu 20% (Kasvosve dkk, 2005). Distribusi alel berdasarkan regio geografik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi alel T pada FPN1 Q248H di beberapa regio geografik di dunia

Regio Geografik Frekuensi (alel Q248H/ total kromosom) Birmingham (Barton dkk, 2007) 0,0256 (2/78) Birmingham (Rivers dkk, 2007) 0,0575 (10/174) Washington DC (Rivers dkk, 2007) 0,0411 (28/682) San Diego (Beutler dkk, 2003) 0,0604 (69/1142) United State (Gordeuk dkk, 2003) 0,0250 (5/200) United State (Beutler dkk, 2003) 0,0800 (16/200) Swaziland (Gordeuk dkk, 2003) 0,0686 (7/102) Zimbabwe (Kasvosve dkk, 2005) 0,200 (40/200) Afrika-Amerika (Beutler dkk,

2003)

Laki-laki 9,71%, wanita 13,65%

Rwanda (Breman, 2010) Wanita 5,6%

Adanya perbedaan frekuensi tersebut menunjukkan bahwa prevalensi genetic trait

bervariasi dan berbeda antar negara. Polimorfisme ini dimungkinkan terkait oleh etnis Zimbabwe dan tersebar pada wilayah Afrika lainnya karena migrasi populasi. Polimorfisme FPN1 Q248H tidak ditemukan pada penelitian ini. Sebagai negara multi etnis, Indonesia sangat mungkin memiliki profil genetik yang bervariasi. Oleh karena itu perlu studi lebih lanjut pada etnis yang berbeda untuk mengetahui frekuensi gen FPN1 Q248H di Indonesia.

Berdasarkan kadar Hb prevalensi anemia ibu hamil di Kota Surakarta dalam

penelitian ini adalah 25,7% atau sejumlah 26 dari 101 ibu yang diperiksa (Tabel 1). Angka ini termasuk kecil bila dibandingkan dengan prevalensi Indonesia yang secara keseluruhan masuk dalam kategori merah, dengan prevalensi 40,1% (Riskesdas 2001 dalam Atmarita, 2005), 50,9% (Depkes RI, 2008), dan 44,3% (WHO, 2008), akan tetapi meningkat 1,2% dari hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 (24,5%) (Atmarita, 2005). Menurut survei anemia di 15 kabupaten Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007, prevalensi anemia di provinsi ini mencapai 57,7% dan lebih tinggi dari angka nasional yaitu 50,9%. Prevalensi anemia yang cukup rendah di Kota Surakarta dimungkinkan karena status kesehatan di daerah ini sudah cukup baik. Kota Surakarta menempati peringkat kedua Angka Kematian Ibu (AKI) paling rendah di Jawa Tengah. Selain itu, cakupan kunjungan ibu hamil ke pelayanan kesehatan mencapai 100% bersama dengan 10 kabupaten/kota lain di Jawa Tengah (Dinkes Propinsi Jawa Tengah, 2011).

Di luar provinsi Jawa Tengah, yaitu di daerah Kassi-Kassi, prevalensi anemia gizi ibu hamil tahun 2010 mencapai 71% (Puji, 2010). Penelitian lainnya tahun 2004 di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, prevalensi anemia ibu hamil sebesar 65,3% (Argana dkk, 2004). Hingga tahun 2010, secara umum Indonesia memang memiliki jumlah anemia tertinggi dibanding negara ASEAN lain, yaitu mencapai 58-80% (Karaoglu dkk, 2010).

(7)

rata-rata hemoglobin ibu adalah 11,6±1,0 g/dl. Semua ibu hamil yang mengalami anemia termasuk dalam klasifikasi anemia ringan dan sedang. Sebagian besar di antaranya adalah anemia normositik-normokromik (69,2%), kemudian anemia mikrositik hipokromik (23,1%), dan yang paling rendah adalah anemia normositik hipokromik (7,7%) (Tabel 2). Anemia normositik normokromik pada penelitian ini mengarah pada anemia defisiensi besi, tetapi dengan gambaran darah tepi yang belum menunjukan penurunan massa heme di eritrosit serta penurunan volume eritrosit.

Penelitian Karoglu dkk (2010) di Turki menunjukkan 56,5% anemia merupakan anemia normositik normokromik. Data asupan makanan di penelitian tersebut terdapat 50% ibu mengalami defisiensi nutrisi besi, 34,5% mengalami defisiensi vitamin B12, dan 71,7% mengalami defisiensi folat. Defisiensi folat yang memiliki koinsidensi dengan defisiensi besi akan menyebabkan anemia normositik normokromik. Menurut Breymann (2002) untuk mendapatkan sel darah merah hipokromik diperlukan suatu anemia yang berat seperti anemia defisiensi besi fungsional seperti pada erythropoietic stress dengan cadangan besi yang tidak memadai.

Kelompok ibu hamil yang mengalami anemia mayoritas pada usia 20-25 tahun, yaitu sebesar 45% (Tabel 3). Rerata usia ibu hamil yang menderita anemia adalah 26,8±5,0 tahun. Sedangkan kelompok ibu tanpa anemia menunjukan rentang terbanyak pada usia yang lebih tua, yaitu 26-30 tahun, sebesar 37,8%. Rerata usia ibu hamil yang tidak menderita anemia adalah 26,9±5,1 tahun (Tabel 4).

Namun hasil analisis bivariat memperlihatkan hubungan tidak bermakna (p=0,927).

Dalam penelitian Broek dkk (2000) yang dilakukan di negara Malawi, usia bukan determinan status anemia yang signifikan. Determinan yang signifikan adalah paritas dan pada trimester ketiga ibu mengunjungi puskesmas pertama kali. Penelitian lain oleh Uche-Nwachi dkk (2010) menunjukan bahwa usia rentan anemia berkisar antara 15-19 tahun atau 20-24 tahun. Terdapat hubungan yang terbalik antara usia dengan status anemia. Semakin muda usia ibu saat melahirkan, maka ibu lebih rentan mengalami anemia. Namun, usia tua juga rentan terkena anemia karena kadar serum feritin menurun seiring dengan peningkatan usia.

Usia janin atau usia kehamilan berperan dalam patofisiologi anemia ibu hamil, yaitu menentukan seberapa cepat pertambahan volume plasma darah dan komponen darah. Pada penelitian ini, terdapat kesamaan rentang usia dari minggu ke-10 hingga minggu ke-25, masing-masing mencakup 20% populasi ibu hamil yang menderita anemia. Sehingga, tidak terdapat kecenderungan usia kehamilan tertentu yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya anemia. Berbeda dengan kelompok ibu anemia, kelompok ibu yang tidak mengalami anemia lebih banyak mempunyai usia kehamilan yang muda, yaitu usia kehamilan 10-13 minggu (34,6%) dan 14-17 minggu (44,2%) (Tabel 3).

(8)

kelompok tidak anemia (Tabel 3). Penelitian yang dilakukan Broek dkk (2000) di Malawi menunjukan bahwa primipara mempunyai risiko tinggi anemia. Oleh karena itu, primipara sebagai populasi target untuk prevensi dan terapi anemia. Hasil yang berbeda terdapat pada penelitian Uche-Nwachi dkk (2010) di Trinidad-Tobago, bahwa multipara lebih cenderung terkena anemia dari pada nullipara karena kebiasaan dan tingkah laku ibu yang hamil pertama kali akan cenderung protektif terhadap janinnya. Ibu multipara lebih rentan anemia sedang atau berat karena persalinan dahulu telah mengurangi cadangan besi maternal karena peningkatkan kebutuhan saat kehamilan dan kehilangan darah saat nifas. Penelitian Taseer dkk (2011) menunjukkan wanita dengan paritas >6 kali melahirkan, 90,4% mengalami anemia. Namun, pada hasil penelitian ini hanya terdapat 3 subyek grande multipara dan termasuk dalam kelompok tidak anemia. Selain paritas, usia ibu hamil dan jarak antar melahirkan yang pendek juga akan meningkatkan risiko anemia ibu hamil. Namun, hubungan antara jumlah kelahiran dengan status anemia pada penelitian ini secara statistik tidak bermakna (p=0,547).

Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah pada tahun 2011, angka melek huruf laki-laki lebih besar dari wanita, yaitu 94,28% dibanding wanita yang hanya 87,87%. Pendidikan yang pernah diterima akan banyak mempengaruhi pola pikir dan pola konsumsi makanan sehari-hari. Hal ini dibuktikan ibu hamil yang tidak anemia mayoritas adalah ibu yang berpendidikan lebih tinggi dari suami

(Tabel 3). Hal ini mungkin mempengaruhi pola pikir dan pola konsumsi makanan ibu sehingga menyebabkan kelompok ini tidak menderita anemia dibandingkan dengan kelompok ibu anemia yang berpendidikan setara atau lebih rendah dari suami. Meskipun hubungan pendidikan ibu dengan status anemia pada penelitian ini tidak bermakna secara statistik (p=0.309). Keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan mampu menyerap pengetahuan baru dan mematuhi nasihat para tenaga kesehatan serta mengajak serta keluarganya dalam hal ini ibu hamil untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Ibu hamil dengan pengetahuan yang rendah selain akan bersikap acuh, juga akan mempengaruhi kepatuhan konsumsi tablet besi dan pemilihan makanan.

(9)

Pendapatan keluarga ibu hamil baik yang mengalami anemia maupun tidak berkisar antara Rp 300.000,00 hingga Rp 3.500.000,00. Rata-rata pendapatan dari 20 ibu hamil anemia adalah Rp 1.165.000,00±722.000,00 (Tabel 3). Sebanyak 5 dari 20 ibu hamil anemia mempunyai pendapatan di bawah upah minimum regional (UMR) Kota Surakarta (< Rp 864.450,00), dan 15 lainnya mempunyai pendapatan di atas UMR. Rata-rata pendapatan dari 52 ibu hamil tanpa anemia adalah Rp 1.189.800,00±624.900,00 (Tabel 3). Dari 52 responden tersebut, 30,8% mempunyai pendapatan di bawah UMR. Angka ini lebih tinggi dari kelompok anemia, yaitu 25,0%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara pendapatan dengan kejadian anemia ibu hamil (p=0,630).

Semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin besar kesempatan ibu untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi. Penelitian Ugwuja dkk (2011) di Nigeria menunjukan bahwa wanita dengan sosial ekonomi rendah lebih rentan mengalami malaria, anemia, ISPA, dan ISK. Sedangkan pada penelitian ini proporsi anemia lebih tinggi pada wanita dengan pendapatan keluarga kurang dari Rp 500.000,00 per bulan. Namun demikian, pendapatan yang meningkat belum tentu akan terjadi perubahan dalam penyusunan menu makanan. Keluarga akan cenderung membeli makanan yang lebih mahal dan belum tentu mengandung nutrisi yang lebih baik dari yang sebelumnya.

Faktor struktural yang diambil dalam penelitian ini adalah peran dari pusat pelayanan kesehatan primer dalam hal

pencegahan anemia berupa suplementasi tablet besi oral. Berdasarkan data ibu hamil yang terkena anemia, cakupan terapi besi oral yang secara rutin dikonsumsi sebesar 15 dari 20 orang (75,0%). Sedangkan pada kelompok tidak anemia, cakupan terapi besi oral lebih rendah, yaitu 67,3% populasi. Tingginya cakupan besi oral juga tidak menunjukkan hubungan signifikan turunnya angka kejadian anemia ibu hamil (p=0,630).

Pemberian terapi besi oral belum sepenuhnya menyeluruh diterima oleh masyarakat yang termasuk dalam subyek penelitian ini (69,4%). Masih terdapat keberagaman durasi dan kepatuhan dari masing-masing pihak yaitu pemberi pelayanan kesehatan dan ibu yang mengonsumsinya. WHO sendiri mengupayakan setiap ibu hamil di seluruh negara untuk mengonsumsi tablet besi 60 mg dan folat 400 mg. Namun, ibu hamil sering mendapat kendala seperti kepatuhan yang rendah, efek mual pada saluran pencernaan, dan kesalahan dalam waktu mengonsumsi, contohnya adalah mengonsumsi tablet besi bersama dengan teh atau makanan yang mempunyai sifat mengurangi absorbsi besi (Karaoglu dkk, 2010).

(10)

Pekalongan 101,53% dan terendah oleh Kabupaten Kendal 53,12%.

Profil genetik ibu hamil di Surakarta yang menjadi subyek penelitian ini 100% tidak mengalami variasi genetik FPN1 Q248H atau dapat dikatakan 100% bergenotip GG (wild type). Namun demikian, 45 ibu hamil yang mengonsumsi besi oral masih terdapat 15 ibu hamil di antaranya yang mengalami anemia (33,33%). Demikian juga 5 dari 22 ibu hamil (22,72%) yang tidak mengonsumsi besi oral mengalami anemia (Tabel 3). Penelitian lain oleh Taseer dkk (2011) juga menunjukan bahwa 63,88% ibu yang tidak mengonsumsi tablet besi oral mengalami anemia, sedangkan 55 dari 142 ibu yang mengonsumsi tablet oral juga mengalami anemia. Dengan demikian masih perlu dilakukan kajian mengenai beberapa faktor lain yang menyebabkan masih tingginya angka kejadian anemia ibu hamil yang tidak sejalan dengan tingginya cakupan konsumsi besi oral. Beberapa faktor perlu dikaji dan dibuktikan, termasuk faktor genetik lain yang berhubungan dengan homeostasis besi.

SIMPULAN DAN SARAN

Tidak ditemukan polimorfisme gen

ferroportin Q248H pada ibu hamil anemia

dan tidak anemia pada studi ini. Faktor

demografi

dan

sosio-ekonomi

tidak

mempengaruhi kecenderungan ibu untuk

mengalami anemia dalam kehamilan di

Kota Surakarta. Dimungkinkan ada faktor

lain yang lebih mempengaruhi seperti

faktor genetik lain yang berhubungan

dengan

homeostasis

besi,

kondisi

kesehatan ibu, pemilihan makanan dan

kecukupan nutrisi, gaya hidup, dukungan

sosial, lingkungan, dan budaya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis sangat berterima kasih kepada Kementrian Kesehatan RI atas hibah Risbin Iptekdok 2012, dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada melalui ‘Dana Masyarakat 2012’.

DAFTAR PUSTAKA

Argana G, Kusharisupeni, Utari DM. 2004. Vitamin C sebagai Faktor Dominan untuk Kadar Hemoglobin pada Wanita Usia 20-35 Tahun. Jurnal Kedokteran Trisakti 23:6–14.

Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: ECG.

Atmarita. 2005. Nutrition Problem in Indonesia. Presented in An Integrated International Seminar and Workshop on LifestyleRelated Diseases. Gajah Mada University 19–20 March.

Barton JC, Acton RT, Lee PL, West C. 2007. SLC40A1 Q248H allele frequencies and Q248H-associated risk of non-HFE iron overload in persons of sub-Saharan African descent. Blood Cells Mol Dis 39:206–11.

Beutler E, Hoffbrand V, Cook JD. 2003. Iron Deficiency and Overload. Hematology 15873-MEM. American Society of Hematology.

Bowers K, Yeung E, Williams MA, Qi L, Tobias DK, Hu FB, Zhang C. A 2011. Prospective Study of Prepregnancy Dietary Iron Intake and Risk for Gestational Diabetes Mellitus. Diabetes Care 34:1557–63.

Breman C. 2010. Ferroportin polymorphism and anemia in HIV infected Rwandese women. Thesis. Master in Geneeskunde.

(11)

Cui Y, Wu Q, Zhou Y. 2009. Iron-Refractory Iron Deficiency Anemia: New Molecular Mechanisms. Kidney Int 76(11):1137–41.

Depkes RI. 2008. Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2007. Jakarta: Balitbang.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2011. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011. Semarang: Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2003. Iron overload in Africans and African-Americans and a common mutation in the SCL 40A1 (ferroportin 1) gene. Blood Cells Mol Dis 31:299–304.

Karaoglu L, Pehlivan E, Egri M, Deprem C, Gunes G, Genc MF, Ternel I. 2010. The Prevalence of Nutritional Anemia in Pregnancy in an East Anatolian Province Turkey. BMC Public Health 10:329.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia. Pusat Data dan Informasi. Jakarta.

Manuaba IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. ECG: Jakarta.

Nekhai S, Xu M, Foster A, Kasvosve I, Diaz S, Machado RF, Castro OL, Kato GJ, Taylor J, Gordeuk VR. 2012. Reduced sensitivity of the ferroportin Q248H mutant to physiologic concentrations of hepcidin. Haematol. doi: 10.3324/haematol.2012.066530. Pola Konsumsi dengan Kejadian Anemia Gizi pada Ibu Hamil di Puskesmas Kassi-Kassi. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Rivers CA, Barton JC, Gordeuk VR, Acton RT, Speechley MR, Snively BM, Leiendecker-Foster C, Press RD, Adams PC, McLaren GD, Dawkins FW, McLaren CE, Reboussin DM. 2007. Association of ferroportin Q248H polymorphism with elevated levels of serum ferritin in African Americans in the Hemochromatosis and Iron Overload Screening (HEIRS) Study. Blood Cells Mol Dis 38:247–52.

Schimanski LM, Drakesmith H, Merryweather-Clarke AT, Viprakasit V, Edwards JP, Sweetland E, Bastin JM, Cowley D, Chinthammitr Y, Robson KJH, Townsend ARM. 2005. In vitro functional analysis of in Under Developed Area. Professional Med J Mar 18(1):1-4.

Uche-Nwachi EO, Odekunle A, Jacinto S, Burnett M, Clapperton M, David Y, Durga S, Greene K, Jarvis J, Nixon C, Seeceeram R, Poon-king C, Singh R. 2010. Anaemia in Pregnancy: Associations with Parity, Abortions, and Child Spacing in Primary Healthcare Clinic Attendess in Trinidad and Tobago. Afr Health Sci 10:67–70.

Ugwuja EI, Akubugwo EI, Ibiam UA, Obidoa O. 2011. Maternal Sociodemographic Parameters: Impact on Trace Element Status and Pregnancy Outcome in Nigerian Women. J Health Popul Nutrt 29(2):156–62.

Van den Broek NR, Rogerson SJ, Mhango CG, Kambala B, White SA, Molyneux ME. 2000. Anaemia in Pregnancy in Southern Malawi: Prevalence and Risk Factors. BJOG 107:445–51.

World Health Organization. 2001. Iron deficiency anemia: assessment, prevention and control.

World Health Organization. 2008. Worldwide prevalence of anaemia 19932005. WHO Global Database on Anaemia.

Gambar

Gambar 1. Hasil elektroforesis produk PCR gen FPN141, 44, 50, 73, 87, 88, 100, 104, 119
Tabel 4. Hasil Uji Independent T-Test antara Status Anemia dengan Usia Ibu
Tabel 6. Frekuensi alel T pada FPN1 Q248H di beberapa regio geografik di dunia

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menjelaskan bahwa adanya variasi gen FPN1 -1355 G/C pada ibu hamil tidak meningkatkan risiko anemia secara umum pada ibu hamil, akan tetapi dapat meningkatkan

Ibu hamil yang menderita kekurangan energi kronis (KEK) terutama pada trimester ketiga (7-9 bulan) menyebabkan risiko dan komplikasi pada ibu: anemia, perdarahan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor de- terminan kejadian anemia (status kecacingan, status seng, kebiasaan sarapan pagi, pola konsumsi makanan sumber heme dan

Hal ini berarti bila tingkat pendidikan yang dimiliki oleh ibu rumah tangga lebih tinggi maka akan mempengaruhi pola pikir atau pola konsumsi keluarga dan memperbaiki

Anemia pada ibu hamil berhubungan dengan faktor perilaku konsumsi alkohol, makanan dan minuman yang tercemar E.. Kata kunci: alkohol,

Munculnya paritas 2–3 lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga tipe genotip pada kedua kelompok (CKD paritas 0–1. Hal tersebut mungkin terjadi karena dan kontrol) sama

Sedangkan analisis hubungan antara pola konsumsi faktor enhancer Fe dengan status anemia didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan mungkin ini disebabkan karena siswi kurang

Konsumsi Inhibitor Sebagai Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri Inhibitor merupakan jenis makanan yang dapat menyebabkan penyerapan Zat besi.. Makanan yang termasuk inhibitor